Recent Cases
DOI: 10.21070/ijler.v13i0.737

Juridical Analysis of Court Decision No. 16/PID.SUS/2019/PN.Drh Regarding Criminal Sanctions For Teachers Who Do Violent Acts Against Students


Analisa Yuridis Putusan Pengadilan No 16/PID.SUS/2019/PN.Drh Tentang Sanksi Pidana Bagi Guru Yang MelakukanTindak Kekerasan Terhadap Peserta Didik

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Criminal Sanction Teacher Violence Learners

Abstract

This study looks at efforts to identify and analyze the juridical selection of the courtroom Number 16PID.SUS/2019/PN.Drh regarding Criminal Sanctions for Teachers Who Do Violence Against Students. And to find out and analyze the correctional basis used by judges in formulating decisions and making choices of punishment in their choices. The form of this research includes juridical-normative research, with a case approach, primary prison substance regulations Number 35 of 2014 concerning Amendments to Regulation Number 23 of 2002 concerning Infant Safety, Regulation Number 14 of 2014 2005 concerning Teachers and Lecturers. And Court Decision Number 16/PID.SUS/2019/PN.Drh, Deductive Information Analysis. The results of this study indicate that the juridical analysis of the selection of case files Number 16/PID.SUS/2019/PN.Drh concerning Criminal Sanctions for Teachers Who Do Violence against Students is not in accordance with the applicable laws and regulations. and policies, the basis of imprisonment used by judges in preparing decisions and sentencing in optional decisions, including the law on honorary teachers and teachers 14 of 2015 article 2 paragraph (4) and (five), then article 39 of a government regulation. Law of the Republic of Indonesia Number 19 of 2017 concerning Teachers and the Purpose for Their Students to Become Great Babies is not a crime.

Pendahuluan

Guru adalah seorang pendidik yang berada di lingkungan sekolah yang bertugas menyampaikan ilmu pengetahuan kepada mahasiswa. Salah satu tugas pokok dan kedudukan guru sebagai pendidik profesional sesuai dengan ketentuan Pasal empat peraturan perundang-undangan Republik Indonesia tentang guru dan akademisi adalah sebagai agen pengenalan yang cirinya untuk memajukan pendidikan terbaik di tanah air.[1]. Oleh karena itu, tidak boleh di seluruh kegiatan pembinaan dan pembelajaran untuk mendedikasikan tindakan kekerasan terhadap mahasiswa, karena siswa datang ke sekolah menengah bertujuan untuk mencari keahlian melalui pemberian perilaku yang tepat, bukan lagi dengan menggunakan jenis kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan instruktur.

Bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pendidik (pendidik) kepada peserta didik adalah dengan melakukan sentuhan badan atau pemukulan terhadap anggota badan ulama. Selain itu, mahasiswa juga menikmati kekerasan fisik dan psikis berupa teriakan dan kalimat berupa makian, kasus kekerasan sangat bertolak belakang dengan peran pelatih sebagai manusia yang mendidik, mengajar, dan mempublikasikan. Seorang pendidik (pelatih) juga memiliki kewajiban untuk membentuk anggota keluarga yang benar dengan mahasiswa dengan kasih sayang dalam pembinaan dan untuk menghindari tindakan kekerasan fisik yang dapat di luar batas kebijakan tutorial [2].

Di Indonesia, tindakan penganiayaan seorang guru terhadap mahasiswa di fakultas sudah sering terjadi karena ada beberapa motif, khususnya tentang subjek dalam mendidik yang menyebabkan kecelakaan fisik dan mental. Kami menyadari bahwa fakultas adalah tempat bagi mahasiswa untuk mendapatkan pengetahuan dan juga harus menjadi lokasi yang aman bagi mahasiswa. namun ternyata di beberapa fakultas telah terjadi kasus kekerasan terhadap mahasiswa dengan menggunakan instruktur [3].

Hukuman yang diberikan oleh pelatih ini sering diartikan sama dengan tindakan kekerasan, penganiayaan, penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi oleh orang tua. Kekerasan adalah suatu masa yang akrab di telinga kita dan ketika kita mendengar kata “kekerasan”. Fenomena kekerasan dewasa ini telah mewarnai hampir semua faktor kehidupan sosial kita, baik itu politik, cara hidup, bahkan pendidikan. Dalam dunia persekolahan, kekerasan dapat dilakukan baik oleh sesama siswa, maupun dari pengajar hingga mahasiswa [4].

Fenomena kekerasan guru terhadap mahasiswa tetap marak di dalam jaringan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 153 proses kasus kekerasan fisik dan mental di sekolah selama 2019. Catatan KPAI menunjukkan empat puluh empat persen pelaku kekerasan adalah pengajar atau kepala sekolah kepada siswa, kemudian 13 persen kekerasan dengan bantuan siswa untuk instruktur, 13 persen kekerasan dengan menggunakan ibu dan ayah siswa kepada instruktur atau siswa, serta 30 persen kekerasan antar sesama siswa. Modus kekerasan fisik yang dicapai melalui instruktur biasanya atas nama mendisiplinkan mahasiswa

Pilihan berkas perkara Pengadilan Negeri Dataran Hunipopu tanggal 17 Februari 2019 dan tidak menggunakan a. Perkara No. 16/Pid.Sus/2019/PN Drh. menjelaskan kasus seorang pendidik (pengajar) bernama Karolina Salawaney alias Kori melakukan tindak kekerasan terhadap cendekiawannya bernama Sari di SD Negeri Tihulale. terutama berdasarkan seleksi ini, terdakwa Karolina Salawaney alias Kori terbukti secara sah dan meyakinkan bertanggung jawab melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 80 ayat (1) jo Pasal 76C peraturan No. Tahun 2014 tentang Perubahan atas undang-undang RI kisaran 23 Tahun 2002 KUHP dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Berdasarkan banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan pengajar terhadap mahasiswa, bahwa pada hakekatnya terhadap mahasiswa sangat penting untuk menjatuhkan sanksi hukum yang sesuai agar kesepakatan kasus kekerasan yang terjadi dapat diselesaikan secara mutlak dan adil yang sejalan dengan penilaian penulis dalam hukumannya dianggap ringan atau tidak lagi sesuai dengan hukuman yang dijatuhkan. dalam UU perlindungan anak. Berdasarkan sepenuhnya sejarah di atas, penulis membahas kerumitan ini dalam bentuk penulisan yang sistematis dalam bentuk kasus lihat dengan memberi nama, terutama“Analisa Yuridis Putusan Pengadilan No 16/PID.SUS/2019/PN.Drh Tentang Sanksi Pidana Bagi Guru Yang Melakukan Tindak Kekerasan Terhadap Peserta Didik”

Metode Penelitian

Teknik penelitian adalah suatu cara atau prosedur untuk menemukan suatu prinsip, konsep, dan sebagainya yang bermanfaat untuk menjawab permasalahan pemasyarakatan yang ada. Sehingga diperlukan suatu pendekatan penelitian yang tepat cara yang baik untuk mendapatkan efek yang sesuai dalam studi kriminal [5]. Dalam kegiatan kajian ini, penulis menggunakan bentuk kajian yuridis-normatif, yaitu kajian yang membahas aspek hukum berupa standar tindak pidana dimana penulis akan membicarakan sanksi bagi pengajar yang melakukan tindak kekerasan terhadap siswa dalam mengajar dan menimba ilmu keolahragaan. berdasarkan undang-undang dan kebijakan yang relevan.

Sebuah teknik diperlukan dalam sebuah makalah yang sistematis untuk lebih memberikan penjelasan dan mendapatkan ambisi dan target studi. Teknik ini dimaksudkan agar pembahasan sesuai dengan ruang lingkup pembahasan dapat mengetahui masalah yang dimaksud. Penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode normatif dengan teknik kejar-kejaran (case approach) yang pada intinya melakukan tinjauan terhadap peraturan terutama berdasarkan kasus yang akan dikaji dari segi penerapan hukum dan terkait hingga penulisan tesis ini [6].

Ciri utama penelitian hukum normatif dalam melakukan studi kejahatan terletak pada sumber faktanya. Pasokan utamanya adalah kain hukum, bukan catatan atau statistik sosial, karena faktanya dalam kajian normatif penjara, kain pidana itu terdiri dari aturan-aturan normatif [7]. Informasi yang diterima dan diproses dalam studi penjara adalah jenis catatan sekunder yang dalam tinjauan ini digunakan sebagai bahan hukum primer. zat yang diterima dari aset perpustakaan. Materi-materi kejahatan agar dapat dipelajari atau dijadikan rujukan dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian, yaitu [8]:

1) Bahan hukum primer:

Dalam penulisan tesis ini terdapat bahan hukum nomor satu yang dijadikan sebagai penunjang sentuhan akhir tesis ini berupa pedoman dan kebijakan hukum, antara lain:

a) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Keselamatan anak

b) Peraturan No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

c) pilihan pengadilan No. 16/PID.SUS/2019/PN.Drh

2) Bahan hukum sekunder:

Materi penjara sekunder juga sangat penting sebagai pelengkap penyelesaian studi ini, termasuk beberapa literatur pendukung untuk sentuhan akhir studi ini, yang meliputi program e-book yang ditulis dengan bantuan spesialis kejahatan, literatur dari situs web atau situs web dari internet, dan berbagai buku pendukung.

Setelah pengolahan catatan selesai, evaluasi fakta kualitatif selesai, yaitu evaluasi selesai dengan menggunakan data bangunan dalam bentuk deskripsi kalimat yang disusun secara sistematis sesuai dengan nomor hitungan tantangan di lihat ini, sehingga tidak sulit untuk Anda kenali untuk menarik kesimpulan tentang kerumitan di bawah ini lihatlah. Kemudian dapat ditarik kesimpulan deduktif, yaitu teknik dalam penelitian melalui pemikiran dari hal-hal umum ke hal-hal yang tepat dan penggunaan akal sehat untuk menarik kesimpulan..

Hasil dan Pembahasan

A. Analisa Yuridis Putusan Pengadilan No 16/PID.SUS/2019/PN.Drh

berdasarkan keseluruhan catatan perkara dan replika tepercaya dari berkas seleksi Pengadilan Negeri Dataran Hunipopu tanggal 17 Februari 2019 nomor 16/Pid.Sus/2019/PN Drh. dengan kasus yang dieksekusi dengan menggunakan seorang pendidik (pelatih) bernama Karolina Salawaney alias Kori telah terbukti secara sah dan meyakinkan bertanggung jawab melakukan tindak pidana “Melakukan kekerasan terhadap anak, sebagaimana diatur dan tantangan sanksi penjahat dalam Pasal delapan puluh ayat (1) undang-undang variasi 35 thn 2014

Kronologis kasus pada Selasa 25 September 2018 sekitar pukul 10.30 WIB atau paling lambat tahun 2018 ini, bertempat di 1/3 ruang keanggunan SD Negeri Tihulale di Desa Tihulale, Kecamatan Amalatu, Kabupaten Seram Barat atau sebagai minimal di suatu daerah yang juga dalam wilayah hukum dan kewenangan Pengadilan Negeri Hunipopu untuk mengadili, telah mendedikasikan kekerasan terhadap anak, yaitu anak korban Junnesery Irene Pariama alias Sari yang pada saat kejadian sudah berusia 8 (delapan) tahun lahir. pada tanggal 20 Juni 2010 terutama berdasarkan variasi sertifikat awal: 2711/CS-SBB/X/2013 tanggal 22 Oktober 2013, telah tercapai langkah-langkah tergugat dengan cara sebagai berikut:

pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas, bermula ketika terdakwa sedang memeriksa materi ujian tengah semester di ruang kelas 1/3 SD Negeri Tihulale, kemudian anak korban Junnesery Irene Pariama memukuli temannya, Marcelo, kemudian terdakwa menyebut anak korban Junnesery Irene Pariama dan temannya Marcelo untuk maju ke depan di depan ruang sekolah, tepat di sebelah tempat terdakwa duduk, kemudian terdakwa meminta anak korban Junnesery Irene Pariama "sari kenapa kamu memukul Marcelo?" Bayi korban, Junnesery Irene Pariama, menjawab, "Baterai milik ibuku." Terdakwa kembali menyatakan kepada balita korban, Junnesery Irene Pariama, “Kenapa tidak memberitahu pelatih, lalu terdakwa menampar pipi kiri bayi penderita, Junnesery Irene Pariama, menggunakan tangan kanannya sebanyak tiga ( tiga) kali sekaligus. waktu memberitahukan kepada anak korban Junnesery Irene Pariama “ose (anak penderita) kecil tapi pucat lancang” kemudian terdakwa meminta anak penderita Junnesery Irene Pariama untuk mengangkat masing-masing telapak tangan, setelah itu terdakwa mengambil sepotong bambu yang ada di meja penggunaan tangan kanannya dan memukul tangan tangan kiri dan tangan kanan anak penderita Junnesery Irene Pariama penggunaan bambu tersebut, kemudian terdakwa memerintahkan anak penderita Junnesery Irene Pariama dan temannya Marcelo untuk kembali ke tempat duduk mereka.

Bahwa akibat perbuatan terdakwa, anak dari penderita Junnesery Irene Pariama alias Sari menjadi sakit dan luka-luka terutama berdasarkan Surat Visum Et Repertum dari fasilitas kesehatan Kairatu Care berbagai macam: 21/VR/PK/2018, 25 September 2018, yang kemudian dibuat dan ditandatangani dengan menggunakan dr. Jeanne. P. Andries yang menjelaskan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan klinis pada anak korban Junnesari Irene Pariama alias Sari diketahui bahwa: terdapat kemerahan pada pipi kanan dengan panjang 2 cm, lebar 1 cm. Hal ini sesuai dengan luka akibat benda tumpul.

Berdasarkan seluruhnya hasil putusan pengadilan tinggi yang menyatakan bahwa Terdakwa Karolina Salawaney Alias ​​Kori telah terbukti secara sah dan meyakinkan bertanggung jawab melakukan tindak pidana “melakukan kekerasan terhadap anak-anak”; kemudian menjatuhkan pidana pada Terdakwa Karolina Salawaney Alias ​​Kori dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan dan denda sebesar Rp. 0,0000,-. (5 juta rupiah) dengan ketentuan bahwa apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan; Memerintahkan agar terdakwa tidak mau lagi menjalankan pidananya, selain itu jika dalam takdir ada pilihan putusan yang menentukan lain karena terdakwa melawan hukum lebih awal dari berhentinya masa percobaan 6 (enam) bulan. ; Memutuskan alat bukti berupa 1 (satu) batang bambu yang telah dibelah dengan jangka waktu 29 cm (dua puluh 9 sentimeter) disita untuk dimusnahkan dan akhirnya menuntut Terdakwa untuk membayar biaya sidang sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah);

berdasarkan pilihan Majelis Hakim yang melampaui tergugat, penulis tidak terima lagi dengan putusan Pengadilan Negeri Dataran Hunipopu nomor enam belas/Pid.Sus/2019/PN Drh. pada hari Selasa, 14 Mei 2019 yang menyatakan bahwa Terdakwa Karolina Salawaney Alias ​​Kori telah secara sah dan meyakinkan dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan kekerasan terhadap anak”; kemudian menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa Karolina Salawaney Alias ​​Kori dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan dan tingkat pertama sebesar Rp. 5.000.000,- (5 juta rupiah) dengan ketentuan apabila barang tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan; Memerintahkan agar terdakwa tidak mau menjalankan pidananya, kecuali jika di kemudian hari dapat terjadi pilihan yang menentukan lain karena terdakwa telah melakukan tindak pidana sebelum menyerahkan masa percobaan 6 (enam) bulan.

Seorang pendidik (pendidik) bernama Karolina Salawaney Alias ​​Kori telah terbukti secara sah dan meyakinkan bertanggung jawab melakukan tindak pidana korupsi “Melakukan kekerasan terhadap anak, sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 80 ayat (1) undang-undang nomor 35 tahun 2014 dan Hukuman akibatnya terdakwa Karolina Salawaney Alias ​​Kori dipidana dengan pidana penjara 1 (satu) bulan dan pengecualian Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) dengan ketentuan apabila barang tersebut tidak dibayar, harus diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan dan barang bukti berupa 1 (satu) batang bambu yang telah dipotong. sampai dengan panjang 29 cm (dua puluh 9 sentimeter), disita untuk dimusnahkan. biaya terdakwa untuk membayar biaya ruang sidang sebesar Rp2.000 (ribuan rupiah).

Menurut penulis, cara penuntutan dan kemudian penerapan hukum melalui Majelis Hakim di ruang sidang Dataran Hunipopu yang tidak proporsional telah menimbulkan kerugian dan krisis melampaui batas-batas peraturan bajingan (The crisis of Overrecht of Hukum pidana) yang dianggap tidak beralasan dan putusannya tidak mampu menentramkan masyarakat. , bukankah tanggung jawab hakim untuk menggali nilai-nilai yang ada di masyarakat, tidak hanya untuk memposisikan diri di depan standar penjara yang futuristik dan modern yang meluncur di langit tetapi tidak lagi menawarkan kesejukan bagi para pencari keadilan di bumi [9].

Putusan yang dinilai sangat ringan dan tidak proporsional dalam mengadili terdakwa dengan dalil Majelis Hakim menjalankan pemikiran yang Motovative, Futuristik, kekinian dan Humanis karena Majelis Hakim di ruang sidang Pengadilan Negeri Batulicin tidak mengingat gerak-gerik terdakwa sebagai guru yang seharusnya mendidik dan memberikan contoh yang luar biasa bagi murid-muridnya dan masyarakat sekitarnya sungguh-sungguh melakukan tindakan kekerasan terhadap korban

Dari hasil pemilihan tersebut, penulis menganalisis pilihan berkas perkara pengadilan biasa Hunipopu variasi 16/Pid.Sus/2019/PN Drh. Selasa, 14 Mei 2019 juga tidak selalu sesuai dengan motif hukum dan tidak lagi mencerminkan sila Keadilan Proporsional dan sila realitas penjara bagi masyarakat.

B. Dasar hukum yang dipergunakan hakim dalam menyusun amar putusan dan menjatuhkan Putusan Pengadilan No 16/PID.SUS/2019/PN.Drh

Dasar penjara yang digunakan hakim dalam menyusun putusan dan melaksanakan putusan pidana dalam pilihan antara lain peraturan tentang guru dan sivitas akademika nomor 14 tahun 2015 pasal 2 ayat (4) dan (5) bahwa pengajar adalah pendidik ahli dengan misi pokok mengajar. , mengajar, membimbing, mengarahkan, menyekolahkan, menilai, dan mengevaluasi siswa, maka seorang pengajar yang melakukan kekerasan atau penganiayaan terhadap mahasiswa tidak selalu dalam konteks mendidik atau mendisiplinkan, demikian pula pengajar menghadirkan pengarah, mengarahkan agar apa yang disampaikan oleh Guru mungkin biasa jadi instruktur tidak paling efektif mengalihkan pengetahuan kepada siswa tetapi bagaimana guru dapat menjadi teladan bagi siswa, bahwa seorang pelatih ketika ia menemukan siswanya melakukan kesalahan atau pelanggaran mata pelajaran perlu memberikan hukuman yang bersifat instruksional sifatnya tidak dibenarkan untuk mencurahkan kekerasan atau penganiayaan terhadap mahasiswa, maka Pasal 39 Indonesia n undang-undang nomor 19 tahun 2017 tentang pengajar dan tujuan agar mahasiswanya tumbuh menjadi anak-anak yang layak bukanlah tindak pidana maka pelatih dan tujuannya agar murid-muridnya menjadi anak-anak muda yang unggul bukanlah tindakan penjahat karena sifat melawan hukum hilang [10], merupakan suatu dalil yang tidak tepat karena pemilihan dari Pengadilan Negeri belum berkembang menjadi putusan yang ditaati oleh hakim yang berbeda dalam memilih perkara yang sejenis dan norma pidana tidak lagi tercatat dengan bantuan ruang sidang pamungkas untuk digunakan sebagai yurisprudensi abadi. oleh karena itu, argumen untuk perlindungan penasihat penjara tidak mendasar dan karenanya layak untuk dipisahkan

Hal itu secara tegas dinyatakan dalam Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 yang cara lengkapnya berbunyi “setiap bayi berhak atas kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pengaturan hak anak tertuang dalam peraturan RI no. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Keselamatan Balita dan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Keselamatan Bayi yang telah ditetapkan sebagai peraturan no. 17 Tahun 2016, sebagai bentuk aksi kepresidenan untuk memerangi pelaku kekerasan terhadap anak dan pelecehan seksual. Oleh karena itu, ruang lingkup Perpu No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Keselamatan Bayi yang telah ditetapkan menjadi Peraturan No. 17 Tahun 2016 mengatur tambahan hukuman bagi koruptor dengan maksud memberikan ruang bagi hakim untuk memberikan hukuman terbanyak dan menciptakan efek jera bagi pelaku.

Kemudian dalam Pasal 80 jo. Pasal 76C PP 35/2014 juga menyatakan bahwa (1) kita semua yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau paling lama terbaik sebesar Rp72.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (100 juta rupiah). (tiga) dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (3 miliar rupiah). (4) Hukuman diberikan dengan bantuan salah satu 0,33 dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) jika orang tua yang melakukan pencabulan

Namun Majelis Hakim Pengadilan Negeri Dataran Hunipopu dalam memberikan pilihan yang memuat hukuman (straftmacht) bagi terdakwa, menjadi sangat jauh dari tujuan pemidanaan sebagai efek jera terhadap terdakwa dan misalnya pembelajaran bagi ibu dan bapak. , pendidik dan manusia yang berbeda dalam masyarakat luas agar tidak mencurahkan tindakan cabul terhadap anak-anak. dan bisa berdampak langsung pada Penegakan regulasi nasional yang sedang gencar-gencarnya memberantas pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak yang sudah sangat masif di Indonesia, akibatnya pilihannya sudah tidak lagi menyentuh rasa keadilan bagi jaringan, khususnya di jalan. menegakkan asas kebenaran kejahatan dan asas peradilan pidana secara kerakyatan. seluas-luasnya untuk kepentingan masyarakat.

Berdasarkan pilihan tersebut, penulis mengetahui dan menyadari sepenuhnya bahwa penjatuhan pidana penjara terhadap terdakwa bukanlah suatu balas dendam melainkan ambisi untuk membina para pelaku kejahatan, akan tetapi hal ini juga penting dalam pemilihan Majelis Hakim. Menghakimi unsur moralitas, psikologi dan unsur sosial saksi korban dan keluarganya sendiri serta keadilan jaringan. menjadi bahan pertimbangan dan perenungan yang mendalam untuk mendasarkan pemidanaan terhadap terdakwa karena dengan pertimbangan bahwa biaya pidana tersebut sepenuhnya demi tegaknya sila aktualitas hukum dan sila keadilan hukum seluas-luasnya untuk kepentingan masyarakat. dan mendukung program pihak berwenang dalam upaya menyelamatkan Anda dan mengurangi jumlah tindak pidana kekerasan dan pelecehan seksual. terhadap anak-anak yang sedang tumbuh.

Dalam pasal 54 dan pasal tujuh puluh dua peraturan 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, telah ditentukan bahwa anak-anak dilindungi dari kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan acara di sekolah, dan dalam contoh ini orang-orang yang menjaga anak dari kekerasan di sekolah adalah kelompok akademis itu sendiri. Namun kenyataannya di masyarakat dan lembaga pendidikan masih banyak anak muda yang menikmati kekerasan fisik dan mental. Berdasarkan Pasal 72 Peraturan Daerah 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, apabila dapat terjadi tindakan kekerasan berupa kekerasan verbal, fisik, intelektual atau seksual terhadap anak di lingkungan sekolah, tidak hanya sepengetahuan pihak-pihak yang bersangkutan. penderita dan pelaku tetapi juga wajib meneliti pihak fakultas, apabila ternyata ada kelalaian pihak perguruan tinggi dalam menjalankan tugasnya atau pembiaran terhadap tindak kekerasan terhadap anak, pihak perguruan tinggi dapat dikenakan sanksi, khususnya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Kode penjahat

Implementasi yang dituangkan dalam upaya keselamatan balita memiliki cakupan yang luas, mengingat kesejahteraan bayi tidak lagi memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi, tetapi juga unsur-unsur lain, terutama hal pelatihan.

Pertanyaan ini memang sejalan dengan persepsi perlindungan balita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Keselamatan Bayi, yang mengatakan bahwa perlindungan balita adalah: Segala olahraga untuk menjamin dan menjaga anak dan hak-haknya sehingga kita dapat hidup, tumbuh dan berkembang. , meningkatkan dan mengambil bagian secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat manusia, memperoleh keselamatan dari kekerasan dan diskriminasi.

Sebuah hukuman mungkin kuat dan mungkin memiliki dampak yang fantastis pada perilaku siswa, jika penerapannya terus-menerus memperhatikan faktor situasional dan kondisional, serta faktor mental mahasiswa. Implikasi dari faktorHal-hal tersebut dapat dirumuskan, Pertama: Hukuman yang dimaksudkan untuk diterapkan kepada mahasiswa harus tidak pandang bulu, bahwa mahasiswa sama dihadapan peraturan, dan kesalahan sekecil apapun berdampak pada mahasiswa.hukuman. kedua: dalam menerapkan hukuman di perguruan tinggi, hukuman fisik atau fisik harus dihindari, karena paling sederhana menciptakan kemungkinan yang buruk, terdiri dari balas dendam murid terhadap guru yangmemberikan hukuman. Oleh karena itu, mengutamakan teknik welas asih dalam menghukum, akan melahirkan kesadaran diri mahasiswa untuk tidak meniru kesalahan sekecil apapun..

Kekuasaan hakim dalam mengidentifikasi suatu perkara memang “longgar dan tidak memihak”, namun dalam menjalankan kekuatan tersebut tidak berarti tidak mengekang dan lepas sama sekali dari tujuan penegakan hukum dan keadilan, yaitu sebagaimana ditentukan dengan menggunakan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “listrik peradilan merupakan kekuatan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan jika ingin menegakkan hukum dan keadilan”. adalah negara hukum sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 1 ayat (tiga) UUD 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah kerajaan peraturan” dalam pengalaman bahwa penyelenggaraan kepresidenan untuk eksekutif, legislatif dan yudikatif dilindungi di dalam Masalah pembebanan melawan hukum harus didasarkan sepenuhnya pada hukum sebagai negara hukum (Recht Staat) sekarang bukan karena kekuatan belaka (Macht Staat).

Alasan instruktur melakukan tindakan kekerasan adalah karena instruktur menganggap bahwa kekerasan diperlukan untuk siswa lapangan. Jika guru berpikir seperti itu, akan selalu ada penderita kekerasan di perguruan tinggi dan sulit untuk memutus rantai kekerasan di perguruan tinggi. Perilaku guru yang mencurahkan tindakan kekerasan tidak meniru kemampuan karakter sehingga guru meragukan. Kompetensi persona instruktur memiliki indikator yang meliputi karakter yang kuat dan perasaan yang stabil. Ia menjelaskan, pemberian sanksi kepada mahasiswa harus bersifat mendidik, bukan kekerasan. mahasiswa yang dianggap tidak tertib harus dibina dan diberikan sanksi berupa disiplin yang bermutu

Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan, dapat disimpulkan beberapa hal, seperti:

1. Analisis yuridis pilihan pengadilan Nomor enam belas/PID.SUS/2019/PN.Drh tentang Sanksi Penjahat Bagi Guru Yang Melakukan Kekerasan terhadap Mahasiswa tidak sesuai dengan pedoman dan pedoman hukum yang berlaku. Putusan putusan dalam menganalisis dan mengadili kasus kekerasan terhadap bayi yang dilakukan dengan menggunakan Karolina Salawaney Alias ​​Kori tersebut menjadi menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa Karolina Salawaney Alias ​​Kori dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan dengan dan luar biasa Rp. 5.000.000,- (5 juta rupiah). ) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka harus diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan yang menurut Pasal 80 PP 35/2014 ayat 1 adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 ( enam) bulan dan/atau paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

2. Landasan pidana yang digunakan hakim dalam menyusun seleksi dan melaksanakan putusan pemidanaan dalam seleksi tersebut antara lain undang-undang tentang pengajar dan guru jumlah 14 Tahun 2015 Pasal 2 ayat (empat) dan (lima), kemudian Pasal 39 undang-undang pemerintah Republik Rentang Indonesia 19 tahun 2015 2017 tentang guru dan tujuannya agar anak didiknya menjadi anak yang benar bukanlah perbuatan bajingan

References

  1. Djamarah, Syaiful Bahri, 2010. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif: Suatu Pendekatan Teoretis Psikologis, Jakarta: Rineka Cipta
  2. Hasyim, M, (2014) “Penerapan Fungsi Guru Dalam Proses Pembelajaran,” Auladuna 1, No. 2 269.
  3. Saraswati Rika. 2014. Hukum Perlindungan Anak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
  4. Rostiyah Nk, 2012. Masalah-masalah Ilmu Keguruan. Jakarta: Bina Aksara
  5. Martono, Nanang, 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan, Penerbit PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta
  6. Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatiif dan RnD. Alfabeta. Bandung
  7. Andrisman, Tri, 2009. Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung, Unila
  8. Nasution, Bahder Johan. 2008, Metode Penelitian Hukum, Bandung, Mandar Maju
  9. Hilmy, Umu. 2010. Metodologi Penelitian dari Konsep ke Metode: Sebuah Pedoman Praktis Menyusun Proposal dan Laporan Penelitian, Malang: Fakultas Hukum Brawijaya
  10. Santoso, Topo, 2012. Kriminologi, Grafindo Persada, Jakarta
  11. Chazawi, Adami, 2011. Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta, Raja Grafindo Persada
  12. Malik,Abdul, 2014. “Fungsi Komunikasi Antara Guru Dan Siswa Dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan (Studi Kasus Proses Belajar Mengajar Pada SMP Negeri 3 Sindue),” Jurnal Interaksi 3, no. 2