Recent Cases
DOI: 10.21070/ijler.v13i0.734

Juridical Analysis of Court Decision Number 275/Pid.Sus/2019/Pn.Sby About the Word Idiot


Analisa Yuridis Putusan Pengadilan Nomor 275/Pid.Sus/2019/Pn.Sby Tentang Kata Idiot

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Ahmad Dhani Juridical Analysis Idiot Judge's Decision

Abstract

This study aims to analyze the legal considerations made by the judge to sentence the defendant in a criminal case of insulting idiots in Ahmaddhaniprast's Instagram vlog. This research is based on the judge's decision which does not pay attention to the juridical facts and only pays attention to the indictment and the demands of the Public Prosecutor. Methods This research uses a normative legal research type that examines primary legal materials and secondary legal materials using the following approaches: legislation approach; and case approach, as well as descriptive qualitative analysis of legal materials. The results of this study indicate that the legal considerations made by the Judge in Decision No. 275/Pid.Sus/2019/Pn.Sby., only paid attention to the Indictment and the demands of the Public Prosecutor and ignored the Defendant's Statements, Witness Statements, Expert Witness Statements and Evidence. in the trial, so that the judge's decision is not in accordance with the legal facts that occurred. The judge was not right in applying the rules in making a decision based on Article 27 paragraph (3) ITE by referring to Articles 310 and 311 of the Criminal Code regarding blasphemy and slandering someone who has committed a certain act, due to the fact that idiotic remarks were not directed or accused at someone. The judge should have enforced the provisions of Article 27 paragraph (3) of the ITE Law by referring to Article 315 of the Criminal Code, because the element of light humiliation (eenvoudige belediging) was fulfilled as stated by witnesses, expert witnesses and the statements of the Defendant.

Pendahuluan

Era digital menyebabkan teknologi telekomunikasi serta informatika menjadi makin terpadu serta menjadi trend. Penggunaan teknologi sebagai media informasi, media sosial serta komunikasi, sudah memberikan perubahan pada budaya warga ataupun peradaban manusia dari segi global. Berkembangnya sosial media yang memiliki basis internet berkembang sangat cepat. Media sosial menjadi sebuah kebutuhan untuk seorang individu guna melakukan interaksi bersama individu lainnya. Pemakaian sosial media, di samping memiliki pengaruh yang positif juga memiliki pengaruh yang negatif. Belum semua masyarakat memahami cara menggunakan media sosial secara bijaksana. Apabila tidak bijaksana ketika memakai media sosial, berakibat hukum bagi orang yang menggunakan media sosial perbuatannya tergolong pada kategori tindak pidana yang bisa dijatuhi hukuman penjara.

Teknologi informasi menjadi pedang dengan mata dua, sebab di samping memberi kontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan, serta peradaban masyarakat, juga menjadi sarana yang efektif terjadinya tindak melanggar hukum. Seperti pelanggaran kesusilaan, melakukan penyebaran akan kebencian, memeras serta mengancam, melakukan penyebaran akan informasi bohong (hoax), dan pencemaran nama baik.

Ketika melakukan interaksi dengan orang lain menggunakan sosial media, memunculkan berbagai permasalahan yang tidak sesuai dengan Perundang -undangan, menurut Pasal 27 ayat (3) Undang Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana yang telah diubah menjadi Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang No 11 Tahun 2008 menjelaskan bahwa tiap individu yang secara sengaja dan tidak ada hak melakukan distribusi dan mentrasmisikan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan pencemaran nama baik.

Dalam perkara Dhani Ahmad Prasetyo (yang lebih dikenal dengan sebutan Ahmad Dhani), yang berawal saat Ahmad Dhani berencana hadir dalam Deklarasi Ganti Presiden di kota Surabaya, Tanggal 26 Agustus tahun 2018. Acara yang penyelenggaraannya di Tugu Pahlawan tersebut mengalami kegagalan, sebab di demo beberapa masyarakat. Ahmad Dhani yang bermalam di Hotel Mojopahit Jalan Tunjungan Surabaya, tidak dapat keluar sebab dicegat oleh pengunjuk rasa yang melakukan penolakan akan acara deklarasi.

Terjebak di dalam hotel, Ahmad Dhani merekam vlog dan memposting di instagram @ahmadhaniprast. Dalam video tersebut terdapat kata-kata “ini idiot, idiot, idiot”. Berdasarkan kata “idiot” yang diucap dalam video tersebut, Ahmad Dhani dilaporkan ke Polda Jawa Timur oleh para saksi yang mengatasnamakan kelompok Koalisi Bela NKRI. Hanya berdasarkan ujaran “idiot” melalui media sosial, Ahmad Dhani ditetapkan sebagai Terdakwa sebab dirasa mencemarkan nama baik dan perkaranya diperiksa di Pengadilan Negeri Surabaya. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, isu hukum yang akan dibahas dalam jurnal ini adalah analisis yuridis terhadap pertimbangan putusan hakim No. 275/Pid.sus/2019/Pn.Sby.

Metode Penelitian

Tipe penelitian ini bersifat yuridis normatif. Menurut ahli Mukti Fajar ND & Achmad Yulianto, Penelitian hukum normatif yakni penelitian hukum yang menempatkan hukum selaku sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksudkan yakni tentang asas-asas, norma, kaidah dari aturan perundangan, keputusan pengadilan, perjanjian dan doktrin (ajaran).[1] Pendekatan Masalah yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Menurut Marzuki, Statute Approach adalah Pendekatan Perundang-Undangan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani dan Case Approach adalah alasan- alasan hukum yang digunakan oleh Hakim untuk sampai kepada putusannya dengan memahami ratio decideni.[2] Dalam penelitian ini terdapat beberapa sumber hukum yaitu, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, dan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bahan Hukum Primer disamping perundang-undangan yang memiliki otoritas adalah putusan pengadilan. Putusan pengadilan merupakan konkretisasi dari perundang-undangan. Putusan pengadilan inilah sebenarnya yang merupakan Law in action yaitu Putusan No. 275/Pid.sus/2019/Pn.Sby.

Hasil dan Pembahasan

Bermula dari aksi yang dilakukan masyarakat yang mengatasnamakan koalisi Bela NKRI di Hotel Mojopahit Surabaya yang berusaha mencegah kehadiran Ahmad Dhani pada acara deklarasi “2019GantiPresiden” di halaman Kantor DPRD Jatim dan Tugu Pahlawan, akhirnya Ahmad Dhani terpaksa mengurungkan niatnya dan tidak jadi mendatangi kegiatan tersebut. Tidak bisa bergabung dalam deklarasi “2019GantiPresiden”, Calon Anggota Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat yang mendaftar melalui Partai Gerakan Indonesia Raya (yang disingkat GERINDRA) membuat Ahmad Dhani kesal dan marah, pada orang-orang yang menghadangnya, dan kemudian melampiaskan kekesalannya itu dengan mengucapkan kata ”idiot, idiot, idot” dalam vlog yang dibuatnya, saat setelah dia dilarang massa untuk menghadiri deklarasi “2019GantiPresiden” pada 26 Agustus 2018. Ahmad Dhani juga merekam pernyataan tersebut dan mengunggahnya di instagram miliknya @ahmaddhaniprast.

Isi video itu pada intinya, “Assalamualaikum teman-teman di acara deklarasi, saya minta maaf karena belum bisa pergi dari hotel. Sebab di tempat ini ada sekitar 100 an orang yang menghalangi jalan untuk keluar. Pada umumnya demo itu ya kepada Presiden, Menteri, Kapolri, namun anehnya, saat ini musisi yang di demo, padahal tidak punya backing. Pendemo nya lucu ya ?. Ini idiot, idiot, idiot, masa demo pada orang yang tidak punya kuasa. Sudah dua jam aksi ini dibiarkan Polisi, sehingga saya tidak bisa keluar. Saya takut keluar. Teman- teman saya minta maaf ya.”.

Kata “idiot” yang diucapkan Ahmad Dhani menjadi pemicu bagi Ahmad Dhani dilaporkan ke Polisi, oleh orang-orang yang mengaku dari Koalisi Bela NKRI, karena mereka merasa tersinggung dengan ucapan Ahmad Dhani yang dianggap merendahkan kelompoknya. Akibat laporan tersebut, Ahmad Dhani didakwa telah melakukan perbuatan melanggar ketentuan Pasal 45 ayat (3) juncto Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 yang telah dirubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan UU ITE, yang intinya berisi bahwa :

Siapa saja yang tanpa hak dan disengaja mendistribusikan (menyebarluaskan) dan/atau mentranmisikan dan/atau menjadikan bisa diterimanya dokumen elektronik dan/atau informasi elektronik yang terdapat muatan pencemaran nama baik dan/atau penghinaan seperti dimaknakan pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE dapat diberikan hukuman penjara tidak lebih dari 4 tahun dan/atau denda tidak lebih dari Rp 750.000.000,00.

Jaksa Penuntut Umum Rahmad Hari Basuki dari Kejaksaan Tinggi Jatim, mengatakan bahwa ucapan “idiot‘ yang dilakukan Ahmad Dhani dalam vlog yang diunggah di instagram miliknya dinyatakan telah mencukupi unsur-unsur tindak pidana seperti yang diatur di UU ITE Pasal 45 ayat (3) juncto Pasal 27 ayat (3). Jaksa Penuntut Umum dalam memberikan tuntutannya, dengan pertimbangan bahwa Terdakwa tidak mau mengakui kesalahannya dalam perkara tersebut dan bahkan tidak mau menyesali atas perbuatan yang dilakukannya. Ucapan Terdakwa tersebut juga dapat memunculkan terjadinya permusuhan, konflik dan perasaan benci. Oleh karenanya kepada Terdakwa Jaksa Penuntut Umum memberikan tuntutan hukuman pidana penjara 1 tahun 6 bulan. Ancaman pidana dalam 27 ayat (3) UU ITE, paling lama adalah 6 tahun penjara. Akibat perbuatannya tersebut Ahmad Dhani dinyatakan bersalah oleh Hakim PN Surabaya, yang dalam Putusannya No. 275/Pid.Sus/2019/Pn.Sby., Terdakwa dijatuhi vonis hukuman penjara selama 1 tahun. lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Berdasarkan hasil penellitian yang telah dilakukan terhadap unsur penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang dilakukan melalui medsos oleh Terdakwa Dhani Ahmad Prasetyo pada Putusan No.275/Pid.Sus/2019/Pn.Sby., ditemukan persoalan yaitu adanya putusan yang tidak sesuai antara perbuatan dengan pasal yang didakwakan.

Dengan putusan tersebut, Terdakwa Ahmad Dhani, menyatakan tidak terima, dan langsung mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Alasan pengajuan banding, karena Majelis Hakim mengabaikan fakta-fakta persidangan dalam putusannya, yaitu :

  1. Majelis Hakim mengabaikan pembuat UU ITE yang menentukan harus ada subyek hukum yang menjadi korban, orang perorangan, bukan lembaga hukum atau apapun.
  2. Keterangan saksi ahli pidana Dr. Jusuf Jacobus Setiabudhi, S.H., M.S., yang menyatakan ini adalah penghinaan ringan yang diatur dalam Pasal 315 KUHP. Bahwa penghinaan ringan itu berbeda dengan menuduhkan sesuatu.
  3. Pelapor Ahmad Dhani adalah dari Koalisi Bela NKRI sebagai pelaku persekusi.

Hakim Pengadilan Tinggi setelah memeriksa Memori Banding dari Terdakwa, dalam putusannya pada intinya menyebutkan bahwa Dhani Ahmad Prasetyo sebagai Terdakwa dalam perkara tersebut telah terbukti dan meyakinkan secara sah terjadinya perbuatan pidana sehingga dinyatakan bersalah “sengaja dan tak mempunyai hak menyampaikan kepada orang lain dan menjadikan dapatnya diketahui informasi elektronik dan juga dokumen elektronik yang di dalamnya terdapat ungkapan menghina dan mencemarkan nama baik. Oleh karenanya, Hakim Pengadilan Tinggi telah memutuskan, dan memberikan vonis kepada Terdakwa selama 3 bulan pidana penjara. Selama Terdakwa tidak melakukan perbuatan pidana sebelum berakhirnya hukuman percobaan (6 bulan), maka Hakim menetapkan bahwa Terdakwa tidak perlu menjalani hukuman 3 (tiga) bulan pidana penjara.

A. Unsur-unsur Tindak Pidana Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik

Perbuatan khusus yang merupakan bagian dari perbuatan melawan hukum salah satunya adalah perbuatan mencemarkan nama baik. Kata yang dapat mewakili dan dapat menggantikan jenis perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang, ada yang menyebutnya dengan padanan mencemarkan nama baik, tetapi terdapat juga yang menyebutkan dengan penghinaan. Sebetulnya suatu perbuatan bisa diklasifikasikan sebagai suatu perbuatan yang mencemarkan nama baik orang lain, masih belum terdapat ukuran yang jelas, hal ini disebabkan berbagai alasan yang harus dianalisa lagi. Meskipun orang tersebut sudah melakukan perbuatan jahat bahkan perbuatan kejahatan yang berat sekalipun, sebenarnya yang akan dilindungi dari perbuatan melakukan pencemaran nama baik dan/atau penghinaan kepada orang lain, yaitu kewajiban menghormati hak orang lain dari setiap orang, akan kehormatan dan nama baiknya dirinya.

Rasa hormat kepada seseorang dan menilai apakah suatu perbuatan itu menjatuhkan kehormatan orang lain, sangat ditentukan oleh penilaian dan kebiasaan yang berlaku di masyarkat dimana perbuatan tersebut terjadi. Nama baik adalah sebuah penilaian tentang sesuatu yang baik berdasarkan pandangan secara umum dari masyarakat tentang perbuatan dan perilaku seseorang tentang kepribadiannya dilihat secara moral.

Menyerang kehormatan diartikan sebagai suatu tindakan yang menurut pandangan umum dianggap menjatuhkan kehormatan seseorang. Nama baik diartikan adanya suatu nilai yang baik bagi seseorang berdasarkan pandangan umum, berkaitan dengan tingkah laku baik menurut anggapan umum tentang perilaku dan karakter setiap orang. Yang memberikan penilaian terhadap nama baik seseorang, pasti berasal dari luar orang tersebut dengan berpedoman pada nilai-nilai moral. Oleh karenanya yang menjadi pedoman dalam memberikan penilaian terhadap nilai-nilai moral tersebut juga sangat tergantung pada penilaian masyarakat. Bisa jadi suatu ucapan yang dinyatakan menyerang nama baik seseorang pada suatu tenpat tertentu, belum tentu dianggap sebagai suatu perbuatan yang menyerang nama baik di tempat lain, sehingga penilaiannya sangat tergantung pada masyarakat dimana perbuatan itu dilakukan.

Undang Undang telah menetapkan bahwa perbuatan menghina orang lain merupakan bentuk tindak pidana penghinaan (beleediging), yang merupakan penghinaan umum ataupun penghinaan khusus dan juga digunakan untuk melindungani kepentingan hukum terkait penhinaan ini. Dalam Buku II Bab XVI KUHP tentang Penghinaan, belum memberikan penjelasan terkait pengertian penghinaan (beleediging) sebagai kualifikasi kejahatan. Demikian pula terhadap objek hukum yang ditetapkan sebagai kejahatan, yaitu eer (kehormatan) dan goeden naam (nama baik). Model tindak kejahatan ini seharusnya dinamakan penghinaan, sebab makna kata penghinaan mempunyai arti lebih luas jika dibandingkan dengan makna kata kehormatan, walaupun beberapa ahli hukum juga sering memakai kata kehormatan, sebab salah satu obyek penghinaan adalah menyerang kehormatan.

Dengan berlakunya UU No. 19 Tahun 2016, perbuatan pencemaran nama baik yang terdapat di Pasal 27 ayat

(3) menyebutkan “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Selanjutnya dalam Pasal 45 UU ITE, yang intinya menyebutkan bahwa siapa saja yang telah melakukan perbuatan sesuai dengan unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 27 ayat (1), (2), (3), atau (4) dapat dihukum penjara maksimal 6 tahun dan atau denda maksimal satu miliar rupiah.

Unsur-unsur tindak pidana penghinaan khusus yang terdapat pada Pasal 27 ayat (3) , apabila diperinci.

Unsur obyektif nya terbagi menjadi :

  1. Perbuatan : mendistribusikan, menstranmisikan, dan membuat dapat diaksesnya;
  2. Melawan hukum : tanpa hak; dan
  3. Objeknya : informasi elektronik, dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan, dan/atau pencemaran nama baik.

Media untuk bermedia sosial adalah media elektronik. Media Sosial atau lebih dikenal dengan singkatan Medsos adalah sarana yang digunakan oleh setiap orang untuk dapat bersosialisasi dengan orang lainnya dan dilaksanakan secara daring (dalam jaringan), sehingga siapapun secara bebas tanpa batasan waktu dan ruangan, dapat saling mengakses informasi dan dapat berkonumikasi satu dengan yang lainnya. Namun demikian, tidak setiap manusia sebagai pengguna media sosial, dapat menggunakannya secara bijak dan baik, bahkan sering menyalahgunakan media tersebut. Tidak jarang media sosial menjadi ajang untuk membuly, menghina, mengancam dan menjatuhkah harga diri atau kehormatan orang lain. Banyak dijumpai di kehidupan masyarakat cyberbulying, mengancam, menghina orang lain, yang membuat korban tersinggung dan bahkan sampai menjadi depresi atau terganggu psikisnya, karena tidak bisa menahan rasa malu.

Dengan menafsirkan KUHP sebagai ketentuan umum secara sistematis, maka jelaslah Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak memperbolehkan adanya kegiatan yang bertentangan dengan norma penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dengan sarana media elektronik. Dalam ketentuan tersebut, maksudnya adalah :

  1. “Mendistribusikan” yaitu menyebarluaskan berita melalui media elektronik dan/atau dokumen dalam bentuk elektronik ke kalayak umum dengan menggunakan sistem digital;
  2. “Mentransmisikan” yaittu memberikan informasi melalui media elektronik dan/atau memberikan dokumen dalam bentuk elektronik pada orang lain dengan sistem digital;
  3. “Membuat dapat diakses” yaitu apabila semua kegiatan dan tindakan yang dilakukan seseorang melalui media sosial dapat dilihat orang banyak atau public;
  4. Memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; dan
  5. Makna penghinaan dapat dilihat pada penafsiran Pasal 310 ayat (1) KUHP , seperti disampaikan E. Utrecht, van Bemmelen, Moeljatno, Roeslan Saleh, Adami Chazawi, yang dirangkum oleh Ahmad Sofian [3], pada unsur kedua sebagai berikut : “Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain”. Tindakan menyerang (aanranden), tidak merupakan perbuatan yang bertujuan menyerang secara fisik seseorang, tetapi yang diserang (objeknya) adalah secara psikis, perasaan seseorang tentang kehormatannya dan perasaan seseorang tentang nama baiknya. Jadi jelaslah sasaran utama dari perbuatan pelaku yaitu terkait dengan kehormatan (eer), dan harga diri atau nama baik (goedennaam).

Dengan berpatokan pada UU ITE yang terdapat pada Pasal 27 ayat (3), maka tindakan seseorang mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dengan unsur kesengajaan dengan tak mempunyai hak termasuk perbuatan yang dapat dikelompokkan sudah melaksanakan tindakan pidana, oleh karenanya pelaku harus mempertanggung-jawabkan tindakan pidananya tersebut berdasarkan ketentuan hukum pidana.

Bahwa perbuatan yang dilakukan Terdakwa Ahmad Dhani dengan membuat vlog dan menguploadnya di instagram miliknya @ahmaddhaniprast, telah memenuhi unsur yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3), dimana dapat diaksesnya informasi tersebut oleh orang lain atau publik. Sedangkan kata-kata idiot yang terdapat dalam vlog, sudah memenuhi makna yang ada dalam pengertian pencemaran nama baik atau penghinaan.

Penghinaan dapat dibedakan menjadi 6 bentuk, seperti yang disampaikan oleh R. Soesilo [4] yaitu :

  1. Menista (smaad);
  2. Menista dengan surat (smaadachrift);
  3. Memfitnah (laster);
  4. Penghinaan ringan (een voudigebelediging);
  5. Mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht); dan
  6. Tuduhan secara memfitnah (lasterajkeverdarhmaking).

Dalam kasus penggunaan kata idiot yang diucapkan Ahmad Dhani, menurut saksi ahli hukum pidana Jusuf Jacobus Setiabudhi, yang dihadirkan dalam persidangan, mengatakana bahwa : memang merupakan penghinaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 315 KUHP yang masuk kategori sebagai penghinaan ringan (een voudige belediging), yaitu yang pada intinya menyebutkan :

“Tindakan penghinaan yang dilakukan secara sengaja dan tidak menista atau menista menggunakan tulisan, yang ditujukan untuk orang lain di wilayah publik secara lisan atau tulisan, ataupun di depan orang itu secara lisan atau dengan tindakan, ataupun menggunakan tulisan dan ditujukan kepada orang tersebut, dapat dihukum dengan pidana penjara maksimal empat bulan dua minggu atau maksimal denga Rp 4.500.-, karena telah melakukan penghinaan ringan”.

Secara khusus Pasal 310 dan 311 KUHP yang mengatur penghinaan atau pencemaran nama baik, menjadi dasar acuan bagi Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang menegaskan bahwa penghinaan adalah delik aduan. Ketika UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 belum dirubah, memang pada Pasal 27 ayat (3) tersebut belum menyebutkan secara tegas sebagai delik aduan, tetapi sesudah dilakukan perubahan menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016, 27 ayat (3) dikategorikan delik aduan. Sebenarnya sebelum adanya perubahan Undang Undang tersebut, dalam Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008 disebutkan “penghinaan atau pencemaran nama baik lewat media elektronik merupakan delik aduan”.[5] Sebagaimana tercantum dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi Butir 3.17.1., dijelaskan: “Meskipun tidak mendasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, bahwa interpretasi dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus mendasarkan pada Pasal 310 dan 311 KUHP sebagai genus delict, dimana mengharuskan dilakukan pengaduan (klacht) terlebih dahulu sebelum di proses secara hukum. Jadi, Pasal 27 ayat (3) a quo harus dipersamakan interpretasinya sebagai delik pengaduan (klacht) supaya bisa diproses melalui jalur litigasi.

Delik aduan yakni tindak pidana yang proses menuntutnya hanyalah dilaksanakan apabila terdapat pengaduan dari pihak yang terkena ataupun mengalami kerugian. Dalam kasus penghinaan oleh Ahmad Dhani melalui media sosialnya, instagram @ahmaddhaniprast, bahwa Ahmad Dhani telah dilaporkan/diadukan oleh seseorang dari Koalisi Bella NKRI. Delik aduan dalam kasus ini adalah delik aduan absolut, yakni delik yang mensyaratkan dengan absolut terdapatnya pengaduan agar dapat menuntut seseorang, misalnya tindakan mencemarkan nama baik yang pengaturannya pada Pasal 310 KUHP dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Obyek dari perbuatan pidana pencemaran dan penghinaan, harus perseorangan, bukan organisasi, pengurus suatu perkumpulan.. Kenyataannya yang menjadi korban dan melaporkan, karena tersinggung dengan ucapan Ahmad Dhani melalui vlog nya dengan kata-kata “idiot” adalah dari Koalisi Bela NKRI.

B. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan No.275/Pid.Sus/2019/Pn.Sby.

Penyelesaian secara imparsial oleh intitusi khusus sangat membantu bagi para pihak yang tidak dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahannya secara pribadi. Penyelesaianharus dilakukan secara obyektif dengan mendasarkan pada tatanan-tatanan yang sudah ada. Institusi yang menjalankan fungsi penyelesaian tersebut dinamakan peradilan, yang dalam tugasnya diberikan kekuasaan untuk memeriksa, memberikan penilaian dan memutus konflik yang terjadi. Dalam praktiknya wewenang kekuasaan kehakiman itu dilaksanakan oleh hakim. [6] Hukum bertujuan untuk mewujudkan adanya kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Menurut Abintoro Prakoso, untuk dapat mewujudkan keinginan tersebut dalam menyelesaikan masalah atau konflik diharapkan bersifat obyektif dan penyelesaian secara adil menurut ketentuan hukum. Oleh karena itu saat hakim harus mengambil keputusan, harus bebas dari pengaruh siapapun bahkan pemerintah sekalipun, dan harus bersifat mandiri. Keputusan yang diambil hakim terikat pada penemuan fakta hukum yang sesuai dengan norma-norma hukum sebagai dasar yuridis dalam mengambil keputusan.[7]

Berdasarkan pendapat tersebut, tentu saja dapat dipastikan bahwa hakim dalam menangani perkara yang diserahkan kepadanya, mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Oleh karena itu hakim mempunyai tanggungjawab yang sangat besar saat mengemban amanah sebagai seorang hakim yang tugasnya memeriksa dan memutus perkara yang disidangkannya, karena akibat keputusan hakim bisa memberikan dampak pada kelanjutan kehidupan para pencari keadilan serta pihak lain yang terkait dengan putusan yang dijatuhkannya. Jika hakim bersifat tidak obyektif dan memihak, pasti dapat menimbulkan kesengsaraan baik lahir maupun bathin yang akan melekat dalam sanubari pencari keadilan sepanjang hidupnya. Hakim dalam menjatuhkan keputusan terhadap masalah yang dihadapkan kepadanya tidak boleh ada pengaruh-pengaruh yang datang dari luar.

Dalam Undang Undang Pokok Kekuasan Kehakiman, mengatur tentang kewajiban hakim. Dalam Pasal 4 mengatur tentang tanggungjawab hakim, yaitu : bahwa pencari keadilan datang kepadanya memohon keadilan. Jika tidak menemukan hukumnya atau hukumnya tidak jelas untuk mengadili perkara tersebut, maka hakim harus mencari dan menggali pada ketentuan-ketentuan di luar undang-undang sebagai dasar hukum untuk menjatuhkan putusan pada perkara yang sedang ditanganinya, sehingga putusannya dapat dipertanggung-jawabkan kepada Allah, diri sendiri, bangsa dan Negara dengan putusan yang adil dan bijaksana.

Berdasarkan hal tersebut, maka putusan hakim pada perkara yang disidangkan di pengadilan, tidak semata- mata hanya mendasarkan pada materi yang tercantum dalam undang-undang saja, tetapi hakim mempunyai kewajiban untuk mengapresiasi kebiasaan-kebiasaan dan kaidah-kaidah sosial lainnya yang berlaku di masyarakat, kepatutan, nilai-nilai keadilan, sehingga keputusannya dapat memberikan rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Sebelum memutuskan suatu perkara, hakim wajib memperinci berbagai alasan-alasan yang akan digunakan untuk merumuskan pertimbangan hakim sebelum menjatuhkan putusan pada terdakwa yang sedang diadili olehnya. Wujud peningkatan kualitas putusan hakim dan profesionalisme lembaga peradilan, apabila hakim dalam memutuskan perkara mampu menerapkan tiga hal paling esensial, yakni keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

Menurut Abdul Manan, apabila keputusan hakim sudah dilaksanakan dengan mendasarkan pada prinsip yang esensial : keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, maka hakim sudah dapat dikatakan mampu menjalankan tugas secara professional dan mampu meningkatan mutu putusan.[8] Senada dengan yang disampaikan Abdul Manan, Margono yang pada intinya menyebutkan bahwa : Pengadilan adalah suatu lembaga yang menjadi tujuan akhir bagi setiap orang yang ingin mendapatkan keadilan. Oleh karena itu hakim yang mengeluarkan produk pengadilan berupa putusan, harus berusaha semaksimal mungkin mewujudkan keinginan pencari keadilan dalam putusannya dengan mendasarkan pada komponen utama, yaitu kemanfaatn, keadilan dan kepastian hukum. [9]

Hakim dalam memutus perkara yang sedang ditangani harus menerapkan aturan hukum pada fakta yang sebenarnya, oleh sebab itu jika peraturannya kurang jelas atau tidak sesuai, hakim diberikan kewajiban untuk melakukan interpretasi terhadap undang-undang dan hukum yang berada di masyarakat berdasarkan tata cara interpretasi. Hakim juga dapat melakukan kontruksi hukum atau penalaran logis dalam menerapkan hukum terhadap perkara yang ditangani secara menyeluruh, obyektif dan bijaksana, agar dapat mengembangkan suatu ketentuan hukum tidak hanya berpatokan pada bunyi pasalnya, namun harus selalu mengindahkan hukum sebagai suatu sistem, sehingga Hakim akan dapat menghasilkan putusan yang memenuhi unur-unsur tujuan hukum dan berkontribusi dalam pengembangan pengetahuan hukum. Putusan hakim yang sudah inkracht merupakan produk lembaga peradilan yang akan menjadi pedoman bagi warga negara.

Unsur-unsur yang harus ada dalam putusan hakim yang memenuhi tujuan hukum, yaitu :

  1. Menggambarkan kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang dapat digunakan untuk controlsosial;
  2. Mengungkapkan perwujudan dari aturan hukum yang ada yang bermanfaat bagi seseorang, masyarakat dan Negara;
  3. Memberikan putusan yang berimbang antara fakta yang terjadi dengan aturan hukum yang berlaku;
  4. Mendiskripsikan kesadaran yang baik bagi aturan hukum dengan perubahan sosial;
  5. Berguna untuk para pihak yang sedang mencari penyelesaian perkaranya;
  6. Harus menyelesaikan masalah atau perkara yang ditangani secara tuntas bagi semua pihak.

Prinsip atau asas menjadi pedoman bagi hakim saat memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Hakim boleh menggunakan lebih dari satu asas saat menangani perkara di persidangan di pengadilan, bahkan untuk perkara tertentu hakim dapat berganti-ganti prinsip/asas, tanpa harus meninggalkan asas yang utama, sepanjang masih sesuai dengan pertimbangan hukum yang akan diberikannya, dengan cara berpikir yang logis, sehingga akan menghasilkan putusan yang imparsial yang bermutu karena pertimbangan hukumnya dalam perkara tersebut mempunyai nilai yang baik.

Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya dalam Putusan Perkara No. 275/Pid.Sus/2019/Pn.Sby, yang diketuai R. Anton Widyopriono, didasarkan :

1.  Surat Dakwaan

Di dalam Pasal 143 ayat (1) KUHAP, dinyatakan bahwa Penuntut Umum menyerahkan perkaranya ke Pengadilan Negeri disertai dengan Surat Dakwaan dengan harapan untuk segera diadili Terdakwa dalam perkara tersebut. Surat dakwaan merupakan akta tetulis yang berisi rincian perbuatan pidana yang didakwakan kepada Pelaku perbuatan, yang dibuat berdasarkan hasil penyidikan oleh penyidik yang dikaitkan dengan pasal- pasal yang terdapat dalam peraturan yang dilanggar Pelaku atau Terdakwa, yang nantinya akan dijadikan sebagai bahan oleh hakim memeriksa di Pengadilan. Jika tidak ada dakwaan yang dibuat Jaksa Penuntut Umum, maka hasil penyidikan yang sudah dilakukan oleh penyidik, tentu saja tidak dapat dilanjutkan pemeriksaannya di

tingkat di pengadilan, sehingga tidak akan mendapatkan keputusan oleh hakim terhadap tindakan yang dituduhkan kepada Terdakwa. Dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a dan huruf b, KUHAP menetapkan suatu surat dakwaan harus terpenuhinya syarat formil dan syarat materiil.

Adapun fungsi dari Surat Dakwaan adalah :

Bagi Penuntut Umum.

Menjadi bahan untuk beragumentasi dengan Hakim dan Terdakwa pada saat dilakukan pemeriksaan di pengadilan, untuk mendapatkan kebenaran dan menyimpulkan terbukti atau tidak terbukti.

Bagi Hakim

Dapat dijadikan materi dan pedoman pada saat memeriksa perkaranya yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara.

Bagi Terdakwa

Digunakan sebagai sarana untuk memperoleh hak nya sebagai Terdakwa di persidangan.

Surat dakwaan Penuntut Umum dalam perkara Ahmad Dhani, Terdakwa didakwa melakukan perbuatan sebagaimana Pasal 45 (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik bersama dengan Pasal 27 (3). Berdasarkan dakwaan, Terdakwa didakwa oleh Jaksa dan dijatuhi hukuman 1 tahun 6 bulan penjara dan menentukan bahwa bukti yang tersebut dalam Putusan ini dihancurkan.

2. Keterangan Terdakwa  Dalam Persidangan

Yang dimaksud dengan keterangan terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 189 ayat (1) KUHAP, yaitu : sesuatu yang diucapkan, dungkapkan mengenai tindakan yang dilakukannya sendiri, dilihatnya, dan dialaminya, yang disampaikan di sidang pengadilan.

Hakim dalam menjalankan tugasnya dalam memeriksa dan memutus suatu perkara di pengadilan, menjadilan keterangan terdakwa sebagai alat bukti. Hakim tidak harus mengikuti apa yang disampaikan terdakwa di persidangan, karena keterangan terdakwa bukan merupakan satu satunya alat bukti, namun masih harus ditambah dengan alat bukti lain yang sah menurut ketentuan undang-undang. Pengakuan terdakwa tentang perbuatan dan kesalahan yang dilakukannya saja tidak cukup bagi hakim untuk menjatuhkan putusan, tetap harus ada alat bukti tambahan. Selain setidaknya ada dua alat bukti yang harus tersedia di persidangan, juga harus terdapat keyakinan hakim bahwa Terdakwa telah melakukan perbuatan pidana dan dinyatakan terbukti bersalah.

3. Keterangan Saksi

Pasal 1 butir (27) KUHAP mengatur bahwa keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti dalam persidangan perkara pidana oleh pengadilan. Keterangan saksi adalah apa yang dikatakan tentang terjadinya perbuatan pidana yang dilihatnya, yang diketahuinya, didengarnya, atau bahkan yang dialaminya. Ada ungkapan satu saksi bukan saksi, hal ini karena apabila Penuntut Umum hanya mengajukan satu saksi saja, “kesaksian tunggal” itu tidak dapat dianggap sebagai bukti yang cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah atas tuduhan yang ditunjukan kepadanya.

Sumpah atau janji menurut kepercayaan dan agamanya harus dilakukan sebelum mereka menyampaikan keterangannya. Saksi harus memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak bohong. Setelah bersumpah di hadapam sidang pengadilan, saksi yang dihadirkan yaitu : Ivan Yunus, Reza Adriansyah Halid, Suhadak, Rahmat Karyawan, David Triyo Parsojo, Rudi Rosadi, menyampaikan bahwa dalam video tersebut Ahmad Dhani memang mengucapkan kata idiot, idiot, idiot, namun Terdakwa tidak menyebut nama perseorangan atau nama tertentu dari nama-nama saksi pelapor dalam video tersebut, juga tidak menyebut kelompok tertentu dan juga tidak menyebut pendemo idiot.

Rudi Rosadi sebagai saksi yang mewakili Bela NKRI, hanya mengaku tersinggung dengan vlog Ahmad Dhani yang memuat kata kasar. Sementara saksi Reza, Manajer Duty Hotel Mojopahit, mengatakan tidak tau sendiri bila Ahmad Dhani membuat vlog video, karena posisinya keluar masuk hotel untuk memantau situasi karena untuk kenyamanan dari para tamu, dan mengetahui vlog itu dari youtube 2 hari setelah kejadian dan setelah ramai-ramai jadi perbincangan. Suhadak yang semula bersikeras jika Terdakwa melontarkan kata-kata idiot kepada pengunjuk rasa dan Banser pada tayangan vlog yang beredar. Namun, suhadak mengakui jika Terdakwa tidak melontarkan hinaan kepada pengunjuk rasa.

4. Keterangan Ahli

Penjelasan yang disampaikan oleh seseorang yang mempunyai kompetensi tertentu terkait dengan beberapa materi yang dibutuhkan agar suatu perkara pidana menjadi jelas untuk digunakan dalam pemeriksaan, disebut sebagai keterangan ahli sebagaimana diatur dalam KUHAP Pasal 1 butir (28). Dalam Pasal 186 dinyatakan bahwa apa yang disampaikan ahli yang berkompeten di bidangnya di persidangan disebut keterangan ahli. Untuk mendapatkan keterangan ahli yang sah harus ada permintaan dari penyidik pada tahap penyidikan dan ada permintaan untuk memberikan keterangan di Pengadilan.

Dalam pemeriksaan Terdakwa Ahmad Dhani, di persidangan dihadirkan para saksi ahli, yaitu : untuk ahli pidana hadir Dr. Jusup Jacobus Setiabudhi, S.H., M.S., dan Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. Untuk bahasa dihadirkan Andik Yulianto dan Dr. Endang Sholihatin, S.Pd., M.Pd., sedangkan dari ahli ITE dihadirkan Teguh Arifyadi, S.H., M.H., CEH., CHFI. Dalam penjelasannya mereka menyampaikan kalau kata idiot merupakan konotasi dari kecerdasan intelektual yang rendah. Hal inilah yang menyebabkan para saksi menjadi tersinggung. Keterangan ahli, pakar linguistic forensic Endang Solihatin menyebutkan jika ungkapan idiot, idiot dalam vlog “ini” ditujukan untuk orang-orang yang beraksi dan menghadang yang tempatnya dekat dengan Terdakwa, yaitu mereka yang melaporkan Ahmad Dhani pada perkara ini.

Teguh menjelaskan, inti UU ITE merujuk pada KUHP. Kemudian UU ITE Pasal 27 ayat (3) harus menyebut nama orang per orang. Sebab isinya sangat terikat dan harus merujuk pada Pasal 310 dan 311 KUHP. Tidak ada beda tafsir. Jadi secara gramatikal tergolong mencela. Bukan menuduhkan perbuatan kepada seseorang. Pasal 27 ayat (3) atau Pasal 310 dan 311 KUHP tidak mengkategorikan kata idiot sebagai pencemaran nama baik, lebih tepatnya perbuatan mencela.

5. Barang Bukti

Corpus delicti atau dikenal dengan sebutan barang bukti yaitu benda atau obyek yang dijadikan sebagai bukti dalam kejahatan. Dalam KUHAP Pasal 181, disebutkan semua barang bukti yang tersedia di persidangan wajib ditunjukkan kepada Terdakwa oleh Majelis Hakim, dan ditanyakan kepada Terdakwa, kenal atau tidak terhadap benda yang menjadi bukti tersebut. Penyidik dapat mengambil dan mengamankan benda yang digunakan sebagai alat bukti untuk melakukan tindak pidana atau hasil dari suatu tindak pidana sebagai barang bukti di pengadilan.

Barang bukti tersebut yang tertuang dalam Putusan Hakim Pengadilan Negeri Surabaya No. 275/Pid.Sus/2019/Pn.Sby., dalam perkara vlog video idiot Ahmad Dhani adalah : Handphone Merk iPhone 7 Plus warna hitam, IMEI 359176071298132 sebanyak 1 unit; akun isntagram “ahmaddhaniprast”; akun email instagram print out riwayat bill, print out riwayat kehadiran, print out riwayat quest list dari hotel Majapahit Surabaya Company AHMAD DHANI School of ROCK; juga Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008; pendapat hukum dari Teguh Arifiyadi, S.H., M.H., CEH, CHFL, pakar ITE; dan pendapat hukum dari Dr. Abdul Kahir Ramadhan, S.H., M.H., ahli hukum pidana.

Faktor-faktor penting yang memberatkan dan meringankan Terdakwa, juga dijadikan hakim sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil putusan, yaitu : Terdakwa tidak mau mengakui kesalahannya; Tindakan terdakwa merugikan saksi pelapor; Terdakwa pada saat yang bersamaan sedang diperiksa untuk kasus yang lain; dan Terdakwa sebagai orang yang sedang mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sudah selayaknya harus menjaga tutur katanya. Satu-satunya yang dapat meringankan Terdakwa, hanyalah berlaku sopan santun dan kooperatif.

Berdasarkan fakta-fakta dan pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim dalam putusanannya memutuskan bahwa mendistribusikan, menstranmisikan atau menghasilkan unsur informasi elektronik dan data elektronik yang mengandung ungkapan penghinaan dan pencemaran nama baik sudah dipenuhi, sebagaimana tuduhan Jaksa Penuntut Umum. Oleh karenanya Ahmad Dhani divonis hukuman pidana penjara selama 1 tahun dalam kasus vlog idiot yang menimpanya. Hukuman tersebut lebih ringan dari tuntutan Jaksa yaitu 1 tahun 6 bulan. Meskipun vonis hakim lebih ringan dari tuntutan Jaksa, namun pertimbangan hukum yang diberikan hakim dalam Putusan No. 275/Pid.Sus/2019/Pn. Sby., hanya berpedoman dan mengacu pada surat dakwaan serta tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum. Keterangan yang diutarakan Terdakwa, keterangan saksi, keterangan saksi ahli, barang bukti yang ada, diabaikan oleh Hakim. Majelis Hakim juga tidak memperhatikan keterangan Terdakwa bahwa, ucapan idiot yang dibuat dalam vlog nya dan diunggah dalam instagram miliknya “ahmaddhaniprast” dibuat dalam keadaan dirinya jengkel, terintimidasi oleh ulah para pendemo di hotel Majapahit Jalan Tunjungan Surabaya yang berjumlah kurang lebih 100 orang, yang menghalangi Terdakwa agar tidak dapat menghadiri deklarasi “2019GantiPresiden”. Oleh karenanya putusan Hakim Pengadilan Negeri tersebut tidak bersifat obyektif dan menimbulkan pro dan kontra.

Crisdinata Refta Anggraini dan Emmilia Rusdiana, menyebutkan bahwa dalam perkara tersebut, Hakim hanya berfokus pada dakwaan penuntut umum, pasal-pasal yang terkait dengan tindak pidana terdakwa sedangkan berdasarkan pertimbangan non yuridis hakim tidak mempertimbangkan latar belakang perbuatan terdakwa dan kondisi terdakwa. Selain hal tersebut hakim juga belum menerapkan independensial praktis nyata dalam membuat putusan, dikarenakan adanya pengaruh pihak lain dalam penyelesaian perkara tersebut.[10]

Dengan memperhatikan ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai pada putusannya, nampak bahwa Hakim tidak memperhatikan fakta materiil yang ada. Hakim tidak memperhatikan fakta materiil yang berupa orang, tempat, waktu dan segala hal yang menyertainya, karena dengan memperhatikan fakta materiil maka hakim akan mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut. Hal inilah yang diabaikan oleh Hakim dalam menangani perkara Ahmad Dhani, sehingga keputusan yang dijatuhkan hakim tidak sesuai antara aturan hukum dengan fakta materil.

Dengan fakta materiil yang ada, hakim akan menilai argumentasi masing-masing pihak dan alat bukti dan barang bukti yang ada. Dalam menangani perkara ini, ternyata hakim menganggap argumentasi yang diajukan oleh penasehat hukum tidak logis dan kesaksian orang yang melihat peristiwa tersebut tidak dipercaya oleh hakim. Hakim juga tidak mau mendengarkan keterangan terdakwa dan saksi ahli. Hakim hanya menganggap argumentasi yang dibangun oleh Jaksalah yang dianggap logis, dan mempercayai keterangan saksi pelapor. Sehingga hakim menjatuhkan putusan yang salah terhadap Terdakwa Ahmad Dhani. Seharusnya hakim memberikan putusan yang berimbang antara fakta yang terjadi dengan aturan hukum yang berlaku.

Terhadap perbuatan yang dikakukan Ahmad Dhani dengan mengucapkan kata idiot, idiot, idiot, yang diunggah dalam vlognya, sesuai dengan fakta materiil, seharusnya hakim memberlakukan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan merujuk pada Pasal 315 KUHP, karena terpenuhi unsur penghinaan ringan (eenvoudige belediging) sebagaimana keterangan saksi, saksi ahli dan keterangan terdakwa. Oleh karenanya tidak tepat jika Hakim dalam perkara ini menerapkan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan merujuk pada Pasal 310 dan 311 KUHP tentang menista dan memfitnah seseorang telah melakukan perbuatan tertentu, karena faktanya ucapan idiot itu tidak ditujukan atau dituduhkan kepada seseorang.

Hakim pada Pengadilan Tinggi "Menetapkan bahwa Terdakwa dinyatakan secara sah terbukti bersalah sebagai pelaku tindak pidana “yang dengan sengaja dan tanpa mempunyai hak melakukan distribusi dan menjadikan bisa diterimanya informasi secara elektronik dan dokumen dalam bentuk elektronik yang terdapat pernyataan menghina dan mencemarkan nama baik seseorang. Oleh karenanya Hakim memberikan hukuman berupa pidana penjara selama 3 bulan kepada Terdakwa, dan hukuman tersebut tidak harus dijalani, apabila selama masa percobaan dalam kurun waktu 6 bulan, Terpidana tidak melakukan kesalahan atau perbuatan pidana. Putusan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 315 KUHP, dimana kata-kata idiot itu merupakan penghinaan ringan yang ancaman hukumannya pidana penjara empat bulan dua minggu.

Kesimpulan

Terpenuhinya unsur mendistribusikan, menstranmisikan atau menghasilkan unsur informasi elektronik dan file elektronik yang mengandung ungkapan penghinaan dan pencemaran nama baik. Kata-kata idiot yang diunggah melalui video vlog Ahmad Dhani termasuk bentuk penghinaan ringan yang ditentukan oleh KUHPidana Pasal 315 dengan ancaman hukuman pidana penjara empat tahun dua minggu, dan tidak ada kaitannya dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUH Pidana. Pertimbangan hukum yang diberikan pada Putusan Pengadilan Negeri No.275/Pid.Sus/2019/Pn.Sby., oleh Majelis hakim kurang tepat, karena hanya mendasarkan pada Surat Dakwaan dan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Pertimbangan hukum hakim tidak memperhatikan peraturan perundang- undangan sebagai dasar tuntutan dan fakta hukum yang sebenarnya; Hakim tidak mendengarkan penjelasan yang disampaikan terdakwa, penjelasan yang diberikan oleh saksi, maupun keterangan saksi ahli serta barang bukti yang ada, sehingga keputusan Hakim dalam menjatuhkan pidana, ada ketidaksesuaian antara fakta hukum dengan pasal yang dijadikan dasar pemidanaan.

Hakim dalam memberikan pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan seharusnya memperhatikan fakta-fakta hukum yang terjadi dan tidak hanya mendasarkan pada Surat Dakwaan dan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Agar Pertimbanga hakim obyektif dan indepensi hakim terwujud. Hakim juga harus memperhatikan pertimbangan dari sisi hukum dan pertimbangan dari sisi non hukumnya.

References

  1. Achmad Yulianto dan Mukti Fajar ND. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, h. 34.
  2. Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum, Cetakan ke 8. Jakarta: Prenada Media, 2013, h. 158.
  3. Ahmad Sofian, “Tafsir Pasal Pencemaran Nama Baik”, Desember 2017. [Online] Available: https://business-law.binus.ac.id/2017/12/28/tafsir-pasal-pencemaran-nama-baik/ [Diakses 02 Mei 2021]
  4. R. Soesilo, Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Jakarta : Politeia, 1995, h. 225.
  5. Josua Sitompul, “Pencemaran Nama Baik di Media Sosial, Delik Biasa atau Aduan”, Juli 2018. Available: https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt520aa5d4cedab/pencemaran-nama-baik-di-media-sosial--delik-biasa-atau-aduan/ [Diakses 01 Mei 2021]
  6. Suhrawardi K. Lubis. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2012, h. 25.
  7. Abintoro Prakoso. Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak. Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2013, h. 169
  8. Abdul Manan. Penerapan Hukum Acara Perdata di Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2012, h. 291.
  9. Margono. Asas Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum dalam Putusan Hakim. Jakarta: Sinar Grafika, 2012. h. 37.
  10. Crisdinata Refta Anggraini dan Emmilia Rusdiana, Kajian Yuridis Pada Putusan No,275/Pid.No/Pid.Sus/ 2019/PN.sby., Tentang Penghinaan Dan/atau Pencemaran Nama Baik di Media Sosial, Jurnal Novum, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial Dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya, 2019, h. 1.