The purpose of this study is to analyze the validity of a transfer of receivables (cessie) and to find out whether there is legal protection against Cessioner II. This research was conducted by reviewing Article 613 of the Civil Code concerning the Transfer of Receivables and Article 1320 of the Engagement. Using the statute approach as the type of research. The conclusion of this study states that the validity of the cessie is valid because there was a previous credit agreement between Bank BTN (cedent) and the debtor involving Cessioners I and II in accordance with the contents of Articles 613 and 1320 of the Civil Code. The existence of this legitimacy makes Cessioner II as the creditor the latest to receive legal protection, in the event of a default from the debtor.
Peran perbankan sangat besar di dalam melaksanakan kegiatan perbankan salah satu kegiatan usahanya adalah menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada warga. Dalam menyalurkan kredit ada risiko kredit yang disalurkan tidak kembali akibat debitur wanprestasi, Bank dalam menyalurkan kredit wajib menerapkan prinsip kehatian-hatian untuk mengantisipasi kredit yang disalurkan bermasalah. Di jelaskan dalam Undang- undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang- Undang No 7 Tahun 1992 tentang perbankan pada pasal 1 ayat 11 menjelaskan bahwa kredit adalah “penyediaan uang atau tagihan yang dapat di persamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan, atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga” [1].
Kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dan debitur akan dituangkan dalam perjanjian kredit. Untuk menjamin pelunasan atas kredit yang disalurkan, Bank dapat meminta barang milik debitur sebagai jaminan pelunasan utangnya. Pemberian obyek jaminan utang oleh debitur dituangkan dalam perjanjian pengikatan jaminan sebagai perjanjian ikutan dari perjanjian kredit sebagai perjanjian pokoknya [2].
Kegagalan bank dalam menyalurkan kredit adalah tidak terbayarnya utang atau debitur wanprestasi. Salah satu cara penyelesaian kredit bermasalah dapat di tempuh dengan dua solusi yaitu dengan penyelamatan kredit, langkahnya dengan melalui suatu perundingan kembali antara bank (kreditur) dengan nasabah yaitu debitur. solusi yang selanjutnya penyelesaian kredit melalui lembaga hukum salah satunya yaitu pengalihan piutang dengan cara cessie. sebagai landasan yuridis terkait cessie ini tercantum dalam pasal 613 KUHPerdata [3]. piutang atas nama yaitu suatu pembayarannya di lakukan oleh pihak dimana namanya tercantum dalam surat piutang tersebut yaitu kreditur lama, dengan adanya pemberitahuan pengalihan piutang atas nama debitur maka akan terjadi suatu ikatan terhadap debitur untuk membayar piutang terhadap kreditur baru [4]. Dalam hal ini bahwa seluruh harta kekayaan si berutang baik yang bergerak ataupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru dikemudin hari akan menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan, dalam arti jika seorang debitur cidera janji maka seluruh atau sebagain hartanya akan di jual dengan cara lelang dan seluruh atau sebagian hasilnya untuk pelunasan piutang kreditnya. Suatu jaminan yang diserahkan debitur oleh kreditur di haruskan memiliki nilai ekonomis dimana arti jaminan tersebut dapat di uangkan oleh kreditur agar dapat di manfaatkan olek kreditur untuk pelunasan pembayaran oleh debitur akibat terjadinya wanprestasi. Di sini kedudukan jaminan sangat penting agar dapat mengurangi resiko kerugian bagi pihak bank selaku kreditur [5].
Sebagaimana kasus yang dialami oleh penulis, pada awalnya Pihak Bank sebagai kreditur awal atau cedent menjual piutang debitur awal kepada Cessioner I. Kemudian Cessioner I melimpahkan piutangnya kembali kepada Cessioner II (penulis) dalam akta otentik atau cessie Nomor 165. Selang beberapa waktu debitur (cessus) merasa hak miliknya telah dikuasai oleh Cessioner II, maka debitur mengajukan gugat ke pengadilan. Berangkat dari permasalahan tersebut penulis mengambil judul “Keabsahan Pengalihan Piutang (Cessie) dari pembeli Cessioner I kepada Pembeli Cessioner II di Tinjau dari KUHPerdata.
Metode penelitian ini berjenis yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan statute approach. Pendekatan melalui kajian pasal-pasal KUHPerdata pasal 613 mengenai pengalihan piutang dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 jo UU 10 Tahun 1998 terkait perbankan sebagai bahan hukum primernya. Sedangkan, bahan hukum sekundernya berupa beberapa jurnal ilmiah yang disesuaikan dengan kasusnya [6].
A. Keabsahan Pengalihan Piutang (Cessie) Terhadap Cessioner I Kepada Cessioner II di Tinjau dari KUHPerdata
Pengalihan piutang (cessie) dengan pembeli Cessioner I ke pembeli Cessioner II dapat dilihat pada skema pengalihan piutang (cessie) dibawah ini:
Gambar 1. Skema pengalihan piutang (cessie)
Pengalihan piutang karena adanya perjanjian kredit antara Lies Setyowati sebagai debitur dengan pihak Bank BTN untuk pembelian rumah dengan jaminan sertifikat rumah tersebut. Akan tetapi pembayaran Lies Setyowati mengalami kemacetan hingga batas yang ditentukan. Bank BTN memiliki wewenang mengalihkan piutang (cessie) dengan menjualnya kepada Cessioner I (Nurul Huda) kemudian dijual kembali oleh Cessioner I ke Cessioner II (Nigsriati). Kemudian Lies Setyowati melakukan pelaporan kepada para Cessioner mengenai hak kepemilikan atas rumah yang menjadi tanggungan hutangnya kepada Bank BTN, akan tetapi Cessioner I (Nurul Huda) melimpahkan perkara gugatan cessie ini hanya yang kepada Cessioner II (Nigsriati).
1. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur Nomor Perkara 97/PDT/2017/PT SBY
Penggugat (debitur) menggugat Tergugat I (Lembaga keuangan/pemberi kredit) dan Tergugat II (penerima pengalihan piutang/cessie dari Tergugat I). Penggugat merupakan seorang kreditur yang mengalami kemacetan dalam pembayaran kreditnya hingga batas tempo dalam perjanjiannya dengan Tergugat I. Maka dari itiu, Tergugat I memberikan piutang kreditnya kepada Tergugat II dan perkara sengketa pengalihan piutang ini pada 15 Maret 2016 telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sidoarjo dengan Nomor 55/Pdt.G/2016/PN.Sda dalam pokok perkara menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima, akhirnya debitur melakukan banding ke Panitera Pengadilan Tinggi Jatim Nomor Perkara 97/PDT/2017/PT SBY tanggal 6 Maret 2017.
Duduk Perkara
Pengalihan piutang terjadi disebabkan dari adanya hubungan hukum pinjam meminjam antara debitur dengan pihak Bank BTN. Seperti adanya Akta Perjanjian Kredit Nomor 000201-01-012017-9 yang telah dilegalisir pada tanggal 26 Juni 2002 yang berisi perjanjian Bank BTN memberikan fasilitas Kredit sebesar Rp. 27.890.000,- (dua puluh tujuh juta delapan ratus sembilan puluh ribu rupiah) dan bersuku bunga 19.50% per tahun dengan angsuran sebesar Rp 486.900,- (empat ratus delapan puluh enam sembilan ratus rupiah) setiap bulan. Kredit tersebut ditentukan selama 180 bulan dan jatuh tempo pada tanggal 26 Juni 2017 yang digunakan untuk membeli rumah. Akan tetapi, Lies Setyowati juga sebagai kreditur melakukan penunggakan pembayaran menjadikan kolektibilitas macet dengan jaminan agar membayar kembali pokok kredit, bunga, dan denda kepada Bank BTN berupa tanah beserta bangunan rumah yang terletak di Perumahan Mutiara Citra Raya C2-12 sesuai Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 1247 yang diterbitkan pada 16 Juni 2003 dengan luas 85 m2.
Akibat keterlambatannya, pihak Bank BTN juga mengirimi Surat Peringatan I tanggal 28 Oktober 2015, Surat Peringatan II tanggal 16 November 2015, dan Surat Peringatan III tanggal 20 Nomber 2015 yang berisi mengenai rincian Kewajiban Hutang sejumlah Rp 20.868.893,- (dua puluh juta delapan ratus enam puluh delapan ribu delapan ratus sembilan puluh tiga rupiah), serta Surat Pemberitahuan Pengalihan Piutang (Cessie) untuk menyelesaikan pembayaran sampai dengan 12 Desember 2015 dengan jumlah terbilang pada surat peringatan. Sehingga pihak Bank BTN mengalihkan piutang (cessie) tersebut ke Nurul Huda sebagai Cessioner I lalu dan diberikan ke Nigsriati sebagai Cessioner II, sedangkan Nurul Huda sebagai Cessioner I, melimpahkan perkara gugatan cessie yang kepada Nigsriati sebagai Cessioner II. Sehingga Lies Setyowati sebagai debitur lama melakukan wanprestasi ke Nigsriati sebagai kreditur baru karena menggantikan posisinya [7].
Argumentasi dan Pertimbangan Hakim
Sebelum memutuskan perkara pengalihan piutang (cessie), Majelis Hakim Pengadilan Tinggi menimbang hasil ekspesi dari Penggugat dan Tergugat I terlebih dahulu, dimana Penggugat menyatakan bahwa Tergugat I telah mengingkari kesepakatan perjanjian kredit karena mengalihan hutang Penggugat kepada Tergugat II, sehingga Penggugat diharuskan mengosongan jaminan dan apabila ingin membeli rumah tersebut, harus membayar lunas sebesar Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) kepada Tergugat II.
Kemudian Majelis Hakim Pengadilan Tinggi juga mendengarkan pernyataan dari Tergugat I yang menjelaskan bahwa sebelum dilakukan pengalihan piutang kepada Cessioner II sebagai Tergugat II, antara Penggugat dan Tergugat I terikat dalam hubungan hukum pinjam meminjam berupa Akta Perjanjian Kredit Nomor 000201-01-012017-9 pada tanggal 26 Juni 2002 dengan jaminan bangunan rumah, akan tetapi mengalami kemacetan pembayaran kredit karena kemunduran pendapatan usahanya. Pernyatan tersebut dibuktikan oleh Tergugat I dengan pasal 1234 KUHPerdata dalam perjanjian kredit adalah “Perikatan diberikan atas persetujuan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak bebuat sesuatu” Jika tidak terpenuhi akan menimbulkan kerugian bagi orang lain karena harus ada yang wajib membayar utang itu. Lalu disandingkan dengan pasal 1238 KUHPerdata “Si berutang dianggap telah lalai, karena sudah surat perintah atau akta sejenis itu, tetapi melewatkan waktu yang telah disepakati”. Sebab, Tergugat I sebagai kreditur juga berwenang untuk menyelesaikan kredit dengan bentuk eksekusi Hak Tanggungan atau Cessie. Selain itu, pelaksanaan cessie ini tidak mempengaruhi sama sekali kewajiban Penggugat sebagai debitur, karena yang beralih hanya kreditornya saja.
Hubungan pinjam meminjam Penggugat dengan Tergugat I menimbulkan hubungan kedua belah yang mengikat (azas pacta sunt servanda), dimana pasal 8 Perjanjian Kredit yaitu Penggugat sebagai debitur berkewajiban melunasi pembayaran kembali kredit hingga tuntas. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi menunjukkan fakta hukum apabila Penggutan terjadi perlawanan (verzet) [8], bantahan dan banding dari Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 55/Pdt/G/2016/PN.Sda pada tanggal 14 November 2016 yang tidak diterima pada putusan Hakim Tingkat Pertama dan permohonan bandingnya yaitu Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur Nomor Perkara 97/PDT2017/PT SBY tersebut secara formal dapat diterima.
Analisis Pertimbangan Pengalihan Piutang ( Cessie ) Terhadap Cessioner I Kepada Cessioner II Berdasarkan KUHPerdata
Jika ditinjau dari aspek pertimbangan yang ditinjau dari segi dasar hukum, ini telah menunjukkan adanya sengketa terkait pengalihan piutang (cessie) yang menjadi jalan hukum bagi Manjelis Hakim, mengingat duduk perkara disebabkan dari Penggugat tidak dapat menggugat ke Tergugat I karena Tergugat I telah mengalihkan piutang (cessie) kepada Tergugat II terhadap perjanjian kredit yang dilanggar oleh Penggugat dengan berdasarkan pasal (584, 613, 6,16, 620, 1233, 1234, 1238, 1243, 1320, 1491, dan 1514) KUHPerdata. Sehingga Majelis Hakim menerima permohonan banding Penggugat/Pembanding dengan Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur Nomor Perkara 97/PDT2017/PT SBY.
Berdasarkan keabsahan pengalihan piutang ditinjau dari Pasal 613 KUHPerdata yang menganalisis cessie atau cara pengalihan piutang atas nama beserta barang-barang hak tanggunan dengan bukti akta autentik yang melimpahkan hak-hak atas barang tersebut [9]. Penerapan pada kasus kali ini yaitu, Cessioner I melimpahkan piutangnya dengan cessie Nomor 165 kepada Cessioner II. Sedangkan Pasal 1313 KUHPerdata Tentang Perikatan, berkaitan dengan Pasal 1320 yang tujuannya mendapat persetujuan dari perjanjian yang sah dengan memenuhi empat prinsipnya (Subekti, 1981:15) [10]. Sehingga pasal ini mengatur perjanjian kredit secara sah antara Pihak Bank (cedent) dengan debitur lama. Sehingga pasal ini mengatur perjanjian kredit secara sah antara Pihak Bank (cedent) dengan debitur lama. Dimana kedua belah pihak telah melakukan beberapa prinsipnya, sebagai berikut :
Hubungan hukum disebabkan dari perjanjian kredit sah yang dilakukan secara konvensional yang menimbulkan adanya proses pengaliihan piutang. Dimana hubungan tersebut mengakibatkan terciptanya suatu hak dan kewajiban antara pihak yang terlibat, yaitu debitur lama, Bank BTN, dan Cessioner I, serta Cessioner II. Perjanjian tersebut telah dilindungi oleh UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo UU 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang Nomor Tentang Perbankan yang disandingkan dengan pasal 1313 dan 1320 KHUPerdata mengenai Perikatan dan beberapa pasal KHUPerdata lainnya. Aturan-aturan tersebut telah mengatur apa saja hak dan kewajiban yang dimiliki oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian pengalihan piutang, antara lain :
B. Perlindungan Hukum Cessioner II Terhadap Tuntutan Debitur ( Cessus )
C. Pembuktian dalam Perkara Pengalihan Piutang ( Cessie )
Pembuktian adalah upaya meyakinkan Hakim yang dilakukan oleh para pihak akan kebenaran fenomena dengan berbagai ekspesi atau argumen dari berbagai pihak yang bersengketa. Dalam perkara pesengketaan yang disebabkan oleh terjadinya pengalihan piutang ke Cessioner I ke Cessioner II dalam lingkup kewenangan Pengadilan Negeri, maka pembuktiannya dilakukan berdasarkan ketentuan secara khusus dalam Undang- undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang- Undang No 7 Tahun 1992 tentang perbankan pasal 1 ayat 11 dengan Pasal 613 KHUPerdata menjelaskan bahwa perjanjian kredit bisa terjadi pengalihan piutang (cessie), jika adanya ketidaksesuaian dalam perjanjian kredit tersebut. Sehingga Pengadilan Negara dapat diterima, jika penyebab persengketan dapat dijelaskan dengan pembuktian hukumnya. Terdapat 3 (tiga) poin untuk dapat dikabulkannya suatu gugatan sengketa pengalihan piutang antara Cessioner II dengan Debitur lama, yakni :
Namun pada fakta yang ditemukan dalam Putusan Pengadilan Negeri dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi melakukan pembuktian yang disandarkan pada keterangan pada ketentuan hukum yang terkait. Sebagaimana salah satu syarat materiil adalah hubungan pinjam meminjam antara debitur dengan kreditur lama (Bank) tetap ada perjanjian kredit untuk menyelesaikan hutangnya dan peralihan hutang (cessie) dari Cessoner I ke Cessoner II hanya beralih kreditornya. Maka dari itu, Majelis Hakim diharapkan dapat bertindak seadil-adilnya terkait perkara pengalihan piutang (cessie).
Berdasarkan hasil pembahasan, maka perjanjian pengalihan piutang ini sudah memenuhi unsur-unsur di pasal 613 dan 1320 KHUPerdata, sehingga perjanjian ini adalah sah bagi para pihak yang terlibat dalam pengalihan piutang. Demikian pula, Cessioner II telah mendapatkan perlindungan hukum karena telah menguasai terkait pengalihan cessie berikut dengan jaminan dari Akta Pengalihan Piutang (Cessie) Nomor 165 yang berasal dari perjanjian kreditnya.