Environmental Law
DOI: 10.21070/ijler.v12i0.726

The Urgence of Strengthening Family Resistance Arrangements


Urgensi Penguatan Pengaturan Ketahanan Keluarga

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Rules Policy Family Resilience Divorce

Abstract

This study aims to determine and examine the urgency of strengthening the regulations governing family resilience in Sidoarjo Regency. The research method used is normative by using the Law approach and the Conceptual approach which is carried out by analyzing various regulations. Data is collected through primary data collection from legislation and secondary data from law books and several legal journals that are related to the topic under study. Divorce can occur due to several things so that it can be a reason for a divorce application to the Court. From this study it can be concluded that in Sidoarjo Regency there are regulations regarding family resilience in the form of regulations under the auspices of the Ministry of Religion which are not mandatory. Furthermore, with the facts listed, Sidoarjo Regency has experienced an increase in the divorce rate every year as a result of not being obliged to follow these rules. So it is very necessary for Sidoarjo Regency to establish rules regarding family resilience by the Regional Government which are mandatory so that there is no increase in the divorce rate every year.

Pendahuluan

Dalam setiap kehidupan manusia pasti ingin hidup bersama pasangan dalam ikatan perkawinan. Manusia yaitu pria dan wanita yang sudah memiliki ikatan perkawinan atas dasar ridho dari Tuhan Yang Maha Esa pasti mendambakan suasana keluarga yang harmonis, bahagia, dan kekal. Hal ini sesuai dengan bunyi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Pasal 1 tentang perkawinan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” [1].

Dalam mencapai suatu keharmonisan rumah tangga ditempuh dengan berbagai upaya sesuai dengan kemampuan masing-masing keluarga. Namun, masih banyak juga yang gagal dalam mempertahankan keharmonisan rumah tangga. Sehingga muncul suatu hal buruk dalam perkawinan yaitu perceraian yang tidak pernah diharapkan dalam suatu perkawinan. Dampak dari perceraian dalam perkawinan selain pecahnya hubungan keluarga antara kedua belah pihak yang terikat dalam suatu perkawinan yang sah, juga berdampak pada anak-anak yang merupakan buah hati dari hasil perkawinan tersebut.

Oleh karena itu dalam perkawinan harus memiliki maksud agar suami dan istri dapat mempertimbangkan berbagai faktor pemicu perceraian agar tidak sampai terjadi dan menimbulkan berbagai dampak terutama bagi buah hati yang mereka miliki sebagai bentuk dari rasa saling menghargai satu sama lain antara suami dan istri. Hal ini juga bertujuan agar tidak terjadinya kawin cerai yang dilakukan berulang kali di masa pandemic.

Coronavirus disease-19 atau Covid-19 atau lebih dikenal dengan virus Corona merupakan virus menular yang tersebar di berbagai negara yang bersifat mematikan. Asal muasal tersebarnya virus corona ini berawal dari seorang pasien di Kota Wuhan China yang didiagnosis menderita Pneumonia yang tidak biasa hingga virus ini menyebar di seluruh dunia hingga menjadi pandemi. Penularan virus corona sangat mudah yaitu melalui pernafasan, kontak fisik dan kontak udara.

Akibat dari mudahnya penyebaran virus adalah banyak karyawan yang di PHK oleh perusahaan-perusahaan. Hal ini membuat semakin banyak angka pengangguran di Indonesia sehingga berdampak pada perekonomian khususnya bagi pasangan yang sudah menikah. Bagi pasangan yang sudah menikah, virus ini telah menjadi suatu penyebab utama pertengkaran akibat masalah perekonomian sebagai pemicu utama timbulnya peningkatan angka perceraian. Berbagai faktor seperti pertengkaran, perbedaan pendapat, perselisihan, dan percekcokan menjadi alasan untuk mengakhiri ikatan perkawinan karena hilangnya rasa cinta dan kasih sayang dalam berkeluarga. Pertengkaran, perselisihan, percekcokan yang terus-menerus menimbulkan rasa benci dan kecurigaan terhadap pasangan yang menjadi pemicu terjadinya perceraian. Perceraian umumnya terjadi pada perkawinan yang dilakukan oleh pasangan dibawah umur yang biasanya belum memiliki kesiapan dalam lika-liku berumah tangga.

Adapun jumlah tinginya angka perceraian dari tahun 2016-2017 yang terdaftar di Pengadilan Agama Sidoarjo. Pada tahun 2016 perceraian mencapai angka 3.962 kasus yang terbagi dari 2.771 cerai gugat dan 1.251 cerai talak. Sedangkan pada ta hun 2017 pada kurun waktu dari b ulan Januari sampai September mencapai angka 3.110 kasus yang terbagi dari 2.155 cerai gugat dan 955 cerai talak [2]. Di Jawa Timur, Sidoarj o termasuk dalam 5 (lima) dari k ota yang memiliki jumlah angka perceraian tertinggi. Adapun urutan kota dari yang tertinggi hingga terendah yaitu Surabaya, Banyuwangi, Malang, Jember. Sidoarjo.

Seiring dengan kondisi saat pandemi virus corona ini, angka perceraian semakin meningkat khususnya di Kota Sidoarjo yang menempati urutan ke 5 (lima) se Jawa Timur sebagai kota yang memiliki jumlah angka perceraian tertinggi. Hal ini akan terus terjadi peningkatan apabila tidak dilakukan upaya untuk meminimalisir terjadinya perceraian. Adapun kegiatan bimbingan perkawinan pra nikah bagi calon pengantin yang diselenggarakan di kantor Kemenag Kabupaten Sidoarjo sebagai bekal memasuki kehidupan baru [3].

Bimbingan perkawinan pra nikah tersebut bersifat tidak wajib bagi calon pengantin. Artinya, bagi calon pengantin yang mengikuti bimbingan tersebut nantinya akan mendapat bukti sertifikat bahwa telah mengikuti bimbingan pra nikah. Sebaliknya, untuk calon pengantin yang tidak mengikuti bimbingan perkawinan pra nikah maka tidak mendapat sertifikat. Sertifikat tersebut bukan menjadi tolak ukur calon pengantin boleh menikah atau tidak karena bimbingan perkawinan pra nikah tersebut tidak wajib [4]. Seiring dengan tidak wajibnya bimbingan perkawinan pra nikah tersebut dirasa kurang adanya peraturan yang bersifat mengikat yang bertujuan untuk memberikan bimbingan perkawinan pra nikah pada calon pengantin sebelum melakukan perkawinan guna meminimalisir angka perceraian yang disebabkan karena kurangnya wawasan untuk menghindari perceraian.

Ditinjau dari Undang-Undang No, 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga terdapat beberapa Pasal yang belum diterapkan di wilayah Pemerintahan Daerah khususnya daerah Kabupaten Sidoarjo. Beberapa pasal tersebut antara lain Pasal 5 poin H terdapat penjelasan ba hwa dalam penyelenggaraan pada undang-u ndang ini setiap penduduk memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan, untuk mempertahankan keutuhan, ketahanan, dan kesejahteraan keluarga sedangkan di Sidoarjo sendiri angka perceraian terus meningkat. Adapun pada Pasal 6 yang berisi tentang kewajiban penduduk yang wajib mengembangkan kualitas diri atas p eningkatan kesehatan, pendidikan, dan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo telah menyelenggarakan bimbingan pranikah di kantor Kemenag Sidoarjo namun tidak bersifat wajib sehingga masih banyak masyarakat yang dinilai kurang memiliki wawasan tentang kehidupan setelah menikah yang mengakibatkan maraknya perceraian [5].

Dalam bab pembangunan k eluarga sudah diatur dalam Undang-Undang nomor 52 Tahun 2009 ini yang terletak pada Pasal 47. Pada pa sal tersebut menjelaskan bahwa pemerintah dan pemerintahan d aerah menetapkan kebijakan pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Salah satu pembinaan dalam mensejahterakan ketahanan keluarga dapat dilalui dengan program bimbingan pra nikah bagi masyarakat khususnya bagi calon pengantin demi masa mendatang. Namun, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo kurang menekankan kewajiban bagi masyarakat dalam mengikuti program tersebut.

Berdasarkan beberapa pasal dari Undang-Undang nomor 52 Tahun 2009 tersebut yang dirasa kurang diterapkan di Kabupaten Sidoarjo sehingga diharapkan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dapat menekankan kewajiban kepada calon pengantin untuk mengikuti program bimbingan pra nikah yang diselenggarakan di Kemenag Sidoarjo dengan kebijakan atau aturan baru.     

Berdasarkan latar belakang yang penulis paparkan diatas, maka penulis memiliki tujuan untuk mengetahui dan mengkaji urgensi penguatan pengaturan yang mengatur terkait ketahanan keluarga di Kabupaten Sidoarjo.

Metode Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach) dan Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach) dimana dalam penelitian ini, penulis menggunakan bahan hukum berupa Peraturan Perundang-Undangan dan sudut pandang analisa dalam penyelesaian suatu permasalahan yang dilihat dari konsep hukum yang melatarbelakanginya. Pada penelitian ini penulis menggunakan penalaran deduktif dalam menganalisis data. Dimana penalaran deduktif ini menjelaskan suatu yang bersifat umum, lalu ditarik kesimpulan menjadi suatu yang bersifat khusus.

Bahan hukum yang digunakan penulis pada artikel ilmiah ini menggunakan bahan hukum primer yang terdiri dari Undang-Undang dan dokumen-dokumen resmi. Antara lain sebagai berikut :

  1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Jo Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan;
  2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan;
  3. Undang-Undang nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga;
  4. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
  5. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah;
  6. Permendagri No. 80 Tahun 2015 Jo Permendagri No. 120 Tahun 2018 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah;
  7. Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor:DJ.II/542 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah;
  8. Perda No. 18 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.

Penulis juga menggunakan bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, dan artikel ilmiah yang memiliki topik yang sama dengan artikel penulis.

Hasil dan Pembahasan

A. Posisi Perda dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Perda berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa Perda terdiri dari Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota dimana dalam masing-masing Perda tersebut harus atas persetujuan oleh Pemimpin Daerah tersebut, Perda Provinsi dibentuk oleh DPRD Provinsi dengan persetujuan Gubernur sedangkan Perda Kabupaten/Kota dibentuk oleh DPRD Kabupaten/Kota dengan persetujuan Bupati/Walikota [6].

Dalam pembentukan suatu Perda, dibutuhkan Program Legislasi Daerah sebagai instrumen perencanaan program pembentukan Perda Provinsi maupun Perda Kabupaten/Kota yang dalam penyusunannya harus disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Dalam penyusunan suatu Perda, diperlukan juga Naskah Akademik sebagai bentuk dari hasil penelitian terhadap suatu masalah yang timbul di daerah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah yang akan diatur tersebut dalam suatu pembentukan RUU, Raperda Provinsi, dan Raperda Kabupaten/Kota sebagai solusi dari permasalahan hukum dan kebutuhan masyarakat. Adapun jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara umum diatur dalam Pasal 7 dan 8 yang sampai saat ini masih dijadikan pedoman.

B. Ketahanan Keluarga Dalam Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga

Ketahanan Keluarga menurut Undang-Undang nomor 52 Tahun 2009 merupakan suatu kondisi keluarga dimana dalam kondisi tersebut memiliki ketangguhan dan mengandung kemampuan fisik-materil yang berguna dalam hidup mandiri dalam mengembangkan diri dan keluarganya demi tercapainya hidup yang harmonis dalam upaya meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin. Undang-Undang ini telah digunakan sebagai pedoman dalam membuat Peraturan Perundang-Undangan yang berada dibawahnya dimana Perda Kabupaten/Kota merupakan salah satunya. Undang-Undang ini banyak digunakan sebagai pedoman membuat Peraturan Daerah yang mengatur tentang ketahanan keluarga. Namun, Pada beberapa pasal yang tertera didalam Undang-Undang ini terdapat aturan yang belum terlaksana dengan baik di Kabupaten Sidoarjo. Sidoarjo memiliki aturan yang mengatur tentang ketahanan keluarga dengan cara memberikan bimbingan perkawinan dan kursus bagi calon pengantin melalui aturan berupa Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam nomor : DJ.II/542 Tahun 2013.

Dalam Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 ini terdapat beberapa pasal terkait penyelenggaraan ketahanan keluarga yang perlu dianalisis. Pasal pertama yaitu Pasal 5 Poin H dimana terdapat penjelasan bahwa dalam penyelenggaraan dari Undang-Undang ini penduduk memiliki hak dalam mendapatkan sebuah perlindungan untuk mempertahankan kesejahteraan keluarga. Pasal kedua yaitu Pasal 6 yang menjelaskan bahwa penduduk memiliki kewajiban dalam mengembangkan kualitas diri melalui peningkatan kesehatan, pendidikan, ketahanan, dan kesejahteraan keluarga. Pasal ketiga yaitu Pasal 47 yang menjelaskan mengenai pembangunan keluarga bahwa dalam suatu kebijakan pembangunan keluarga merupakan tugas Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam menetapkannya. Kebijakan dalam pembangunan keluarga tersebut dapat diterapkan melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Pada Pasal 47 juga menjelaskan bahwa kebijakan yang ditetapkan tersebut berguna untuk mendukung keluarga agar dapat melaksanakan fungsi keluarga secara optimal.

C. Pembentukan Produk Hukum Daerah Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 Permendagri Nomor 120 Tahun 2018 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah

Dalam penyusunan suatu aturan di daerah sebagai bentuk dari produk hukum daerah, harus sesuai dengan aturan yang berlaku yakni diatur dalam Permendagri Nomor 120 Tahun 2018. Dalam Permendagri ini disebutkan bahwa daerah yang dimaksud adalah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh Gubernur untuk Provinsi dan Bupati/Walikota untuk Kabupaten/Kota. Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota merupakan Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. Adapun Peraturan Kepala Daerah/Perkada adalah Pergub dan Perbup/Wali kota dan keputusan oleh Kepala Daerah merupakan ketetapan yang bersifat konkrit, individual, dan final [7].

Dalam pembentukan Produk Hukum Daerah, dibutuhkan Program Pembentukan Perda sebagai suatu instrumen perencanaan dalam Program Pembentukan Perda baik di tingkat Provinsi ataupun Kabupaten/Kota. Program tersebut harus disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Tahapan dalam pembentukan Perda harus mencakup mulai dari tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, pengundangan, hingga penyebarluasan. Perda, Perkada, Peraturan DPRD dan berbentuk keputusan yang meliputi keputusan dari Kepala Daerah, Keputusan DPRD, Keputusan Pimpinan DPRD dan Keputusan Badan Kehormatan DPRD merupakan bentuk dari Produk Hukum Daerah.

Produk Hukum Daerah berbentuk Peraturan dan Penetapan yang terdiri atas Perda, Perkada, dan Peraturan DPRD. Perda yang dimaksudkan disini adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota yang memuat beberapa materi diantaranya yakni penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan, serta penjabaran lebih lanjut mengenai ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi.

Pembuatan Perda pada Permendagri ini dapat dicantumkan sanksi berupa ancaman pidana kurungan maupun denda. Sanksi yang dapat dicantumkan tersebut dengan ketentuan sanksi pidana kurungan tidak boleh melebihi 6 (enam) dan sanksi pidana denda dengan ketentuan tidak boleh lebih dari Rp. 50.000.000.00,- (lima puluh juta rupiah) dimana hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertera pada Peraturan Perundang-Undangan. Perda juga dapat memuat sanksi berupa pengembalian keadaan atau dengan sanksi administratif yang isinya meliputi teguran lisan, teguran tertulis, penghentian sementara kegiatan, penghentian tetap kegiatan, pencabutan izin sementara, pencabutan izin tetap, denda administratif, serta sanksi administratif lainnya yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.

Pada Permendagri ini tertera bunyi pasal yang menjelaskan bahwasannya dalam keadaan tertentu, DPRD Kabupaten/Kota atau Bupati/Walikota dapat mengajukan rancangan Perda diluar Propemperda karena beberapa alasan. Raperda tersebut dapat diajukan dengan alasan mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, ataupun bencana alam, menindaklanjuti dengan daerah lain dalam hal kerjasama, mengatasi keadaan tertentu yang memastikan adanya urgensi atas Raperda yang dapat disetujui bersama perangkat daerah lainnya yang menangani bidang pembentukan Perda yang menangani bidang hukum di Pemerintahan daerah, dan juga karena perintah dari ketentuan yang terdapat pada Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi setelah Propemperda ditetapkan. Berdasarkan yang telah dijelaskan sebelumnya, hal ini berlaku juga pada Perencanaan penyusunan Perkada. Peraturan berupa Perda atau dengan nama lainnya dilakukan berdasarkan Propemperda sebagai bentuk dalam penyusunan produk hukum daerah. Penyusunan Raperda dapat berasal dari DPRD ataupun Kepala Daerah.

D. Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat islam Nomor: DJ.II/542 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah

Dalam urusan bimbingan perkawinan bagi calon pengantin yang hendak menikah, Kabupaten Sidoarjo telah memiliki aturan yang dikeluarkan oleh Kantor Kementerian Agama Sidoarjo. Peraturan yang dikeluarkan di Kantor Kementerian Agama yang menjadi pedoman dalam agenda tahunan bimbingan perkawinan berupa Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat islam di Kantor Kementerian Agama Sidoarjo ini dibuat oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama. Peraturan ini dibentuk dengan sasaran kursusnya adalah remaja yang hendak melangsungkan perkawinan. Dalam penyelenggaraannya, bimbingan pranikah ini dilaksanakan oleh Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) yang telah memiliki akreditasi yang dapat bekerjasama dengan lembaga lainnya yang telah terakreditasi dari Kementerian Agama [8]. Dalam pedoman penyelenggaraan kursus pra nikah ini dimaksudkan kepada pejabat teknis di lingkungan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam di tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dan sebagainya dimana itu artinya berlaku juga di Sidoarjo sebagai tingkat Kabupaten/Kota.

E. Praktik Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan Pada Perda Kabupaten Sidoarjo No. 18 Tahun 2006

Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 18 Tahun 2006 mengatur tentang penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. Dimana dalam perda ini dijelaskan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo beserta Perangkat Daerah yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan tersebut. Kekerasan yang dimaksud disini berupa kekerasan fisik, ekonomi, seksual, dan psikis yang dilakukan berdasarkan perbedaan jenis kelamin kepada perempuan dan anak [9].

Perlindungan yang dimaksud dalam Perda ini adalah suatu kegiatan dimana dilakukan untuk memberikan rasa aman dan menjamin untuk melindungi hak-hak anak dan perempuan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan, ataupun lembaga lain. Adapun Pusat Pelayanan Terpadu dan Komisi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai lembaga penyedia pelayanan terhadap korban kekerasan. Penyelenggaraan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap perempuan yang berbasis gender dan kepentingan terbaik bagi anak.

Setiap perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan berhak mendapat perlindungan. Perlindungan ini dilakukan terhadap penduduk Kabupaten Sidoarjo yang dilakukan di Sidoarjo maupun di luar Sidoarjo. Bentuk perlindungan tersebut berupa perlindungan dari medis, hukum, kedokteran forensik, ekonomi, dan psikologis.

Adapun beberapa materi yang dapat dicantumkan pada Perda yang akan dibentuk berupa kursus pranikah yang didalamnya berisi tentang materi :

  1. Kriteria Memilih Pasangan, yakni memilih calon pasangan yang sesuai dengan perintah agama;
  2. Materi Tentang Pernikahan, yakni proses yang akan dilakukan calon pasangan untuk menjadikannya keluarga yang bahagia melalui : ta’aruf, khitbah, akad nikah, mahar dan walimah;
  3. Materi Hubungan Suami Istri dan Konsep Pembinaan Keluarga yang Sakinah, yakni dimana keluarga yang didalamnya terdapat kebahagian, keharmonisan dan tidak ada kekerasan;
  4. Materi Hak dan Kewajiban Serta Tanggung Jawab, yakni jika sudah melakukan akad dan dinyatakan sah serta memenuhi syarat rukunnya maka akan timbul adanya akibat hukum yang akan melahirkan hak dan kewajiban antara dari kedua belah pihak. Kehidupan berkeluarga akan langgeng jika suami dan istri melakukan tanggung jawabnya dengan baik;
  5. Materi Hubungan Antara Suami Istri Dengan Keluarga, yakni perlu adanya bimbingan kepada anak tenang tauhid yang benar, mengajarkan ketaatan kepada orang tua sesuai batas ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai generasi penerus bangsa;
  6. Materi Tentang Kesehatan Reproduksi, yakni Perlunya menjaga kesehatan reproduksi merupakan hal utaa demi mewujudkan keturunan yang sehat dari pasangan suami istri karena dari situlah akan lahirlah keturunan;
  7. Materi Tentang Undang-Undang Perkawinan.

F. Efisiensi Bentuk Pengaturan Dalam Ketahanan Keluarga

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 Jo Permendagri Nomor 120 Tahun 2018 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah terdapat Produk Hukum Daerah berupa Perda dan Perkada. Dari kedua Produk Hukum Daerah tersebut tentunya memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut yakni Perda dibentuk oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama persetujuan Bupati sedangkan Perkada dibentuk oleh Bupati tanpa bantuan dari DPRD Kabupaten/Kota. Jika Perda diundangkan dalam lembaran daerah sedangkan Perkada diundangkan dalam berita daerah. Di dalam Perda terdapat sanksi dimana sanksi berguna untuk menertibkan aturan supaya memberi efek jera kepada yang melanggar aturan sedangkan Perkada tidak terdapat sanksi.

Dibentuknya suatu perda disebabkan karena adanya penjabaran dari Peraturan Perundang-Undangan yang memiliki tingkat lebih tinggi. Selain itu, Perda dibentuk sebagai suatu kebijakan daerah yang berguna untuk mengatur daerah otonom. Pembentukan Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan Peraturan Perundang-Undangan yang berada diatasnya. Dalam Perda juga dapat mendelegasikan Perkada sebagai Peraturan Pelaksana dari Perda tersebut selama di dalam Perda tersebut memuat teknis pelaksanaan yang akan dituangkan dalam Perkada yang akan dibuat [10].

Dalam kelompok norma hukum terdapat peraturan pelaksana dan peraturan otonom yang letaknya dibawah Undang-Undang. Peraturan pelaksana bersumber dari kewenangan delegasi sedangkan untuk peraturan otonom bersumber dari kewenangan atribusi. Kedua peraturan ini ada, karena diperintahkan oleh peraturan yang tingkatannya lebih tinggi dan bersumber dari kewenangan delegasi dan kewenangan atribusi.

Atribusi Kewenangan merupakan pemberian kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan UUD atau Undang-Undang kepada suatu lembaga pemerintahan dan bersifat terus-menerus dan sesuai dengan batas-batas yang diatur. Sedangkan Delegasi Kewenangan merupakan suatu pelimpahan kewenangan untuk membentuk Peraturan Perundang-Undangan dari Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi kepada Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah. Pelimpahan ini berlaku baik dinyatakan secara tegas maupun tidak dan bersifat sementara dimana pelimpahan ini dapat diselenggarakan selama pelimpahan tersebut masih ada.

Jika Perda memberikan pendelegasian kewenangan kepada Perkada, maka materi muatan yang dimuat di dalam Perda harus disebutkan secara jelas sehingga materi muatan yang dituangkan kepada Perkada menjadi jelas.

Keberadaan Perda karena diperintah oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi. Perda bisa disebut juga sebagai Peraturan Pelaksana dari Peraturan yang tingkatannya lebih tinggi. Sedangkan keberadaan Perkada karena adanya pendelegasian dari Perda. Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga telah dijelaskan bahwa keberadaan Perkada sebagai Peraturan Pelaksana dari Perda. Ini dikarenakan Perkada dapat dibentuk apabila adanya pendelegasian kewenangan dari Perda. Ruang lingkup dan materi muatan dalam Perkada harus sinkron dengan apa yang didelegasikan oleh Perda. Hubungan Perda dan Perkada adalah saling keterkaitan. Dimana Perda tanpa Perkada mengakibatkan ketidakpastian dalam penegakan dari Perda. Sedangkan Perkada tidak akan ada apabila tidak didelegasikan dari Perda.

Kesimpulan

Dalam penyelenggaraan ketahanan keluarga, Kabupaten Sidoarjo telah melaksanakan dalam bentuk bimbingan perkawinan atas perintah dari aturan yang dikeluarkan oleh Kantor Kementerian Agama Sidoarjo berupa Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Peraturan tersebut dibuat oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama yang merupakan unit dari satuan kerja tingkat I di lingkup Departemen Agama Pusat yang diatur dalam Peraturan Menteri Agama dimana Peraturan Menteri termasuk dalam Peraturan Perundang-Undangan yang memiliki kekuatan hukum. dengan memiliki kekuatan hukum ini berarti Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam ini dapat dilaksanakan dan dapat dipertanggung jawabkan. Namun, pada peraturan ini dalam pelaksanaannya bimbingan perkawinannya bersifat tidak wajib. Sehingga hal ini, di Sidoarjo tetap diperlukannya Urgensi terkait Kebijakan berupa Perda yang mengatur tentang Ketahanan Keluarga sebagai sebuah aturan yang mengikat di sebuah daerah yang disusun, dibentuk, dan disahkan oleh unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yakni Bupati dan DPRD.

Diperlukan adanya Perda Ketahanan Keluarga ini dikarenakan pada penerapan Perda Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan belum mencukupi dalam melindungi hak-hak perempuan dan anak korban kekerasan. Dengan penyusunan Kebijakan Perda ini diharapkan nantinya jumlah angka perceraian di Sidoarjo akan menurun agar tujuan dari perkawinan dapat terwujudkan.

References

  1. Matondang, Armansyah. 2014. “Faktor-faktor yang Mengakibatkan Perceraian dalam Perkawinan” Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik Universitas Medan Area, Indonesia
  2. Mediawati, Noor Fatimah, Dkk. Laporan Akhir Skema Penelitian, “Pengaruh Bekwaamheid dalam Sebaran Jumlah Kasus Perceraian di Sidoarjo, UMSIDA, 2020
  3. https://Jatim.kemenag.go.id/berita/501890/ka-kankemenag-sidoarjo-berikan-bimbingan-pranikah-catin
  4. https://nasional.kompas.com/read/2019/11/20/09040331/penjelasan-kemenko-pmk-soal-bimbingan-pranikah-sebagai-syarat-pernikahan?page=1
  5. Undang-Undang nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
  6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
  7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 Jo Permendagri Nomor 120 Tahun 2018 Tentang Pembentukan Produk Hukum daerah
  8. Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor : DJ.II/542 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah
  9. Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 18 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
  10. Aryani, Sylvia. Eksistensi Peraturan Kepala Daerah Sebagai Peraturan Pelaksana Peraturan Daerah. Bagian Hukum & Perundang-Undangan Setda Kota Banjarbaru