This study aims to examine the impact of leverage, sales growth, institutional ownership, and profitability on financial distress in the Retail Trade Subsector Companies listed on the Indonesia Stock Exchange between 2017 and 2021, and to investigate the moderating effect of profitability on these relationships. The study uses quantitative analysis and secondary data from financial statements of 18 purposively sampled companies. The Smart Partial Least Square 3.2.7 program was used for statistical analysis. The results indicate that leverage has a significant impact on financial distress, while sales growth and institutional ownership do not affect financial distress. Profitability was found to moderate the relationship between institutional ownership and financial distress. The study provides important insights into factors that contribute to financial distress in this sector, highlighting the moderating role of profitability in managing financial distress. The findings may have practical implications for managers and investors in the Retail Trade Subsector Companies listed on the Indonesia Stock Exchange.
Highlights:
Perusahaan pada dasarnya memiliki tujuan yakni mendapat laba yang nantinya digunakan untuk memenuhi kebutuhan operasional dan mempertahankan keberlangsungan hidupnya, tetapi hal tersebut tidak selalu berjalan dengan mulus, tidak semua perusahaan berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan direncanakan [1]. Ada kalanya perusahaan menghadapi keadaan kesulitan keuangan atau financial distress, ditandai dengan sejumlah besar kewajiban yang telah jatuh tempo namun tidak sanggup dilunasi perusahaan [2]. Apabila keadaan kesulitan keuangan ini tidak segera diatasi, maka mengakibatkan risiko perusahaan mengalami kebangkrutan [3].
Pada tahun 2017 PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) menutup dua gerai miliknya di Pasaraya Blok M juga Pasaraya Manggarai di Jakarta akibat penjualannya menurun sebesar 27% dari penjualan tahun 2016. Selain itu, PT Nyonya Meneer juga dinyatakan bangkrut pada 2017 [4]. Hal ini terjadi setelah PT Nyonya Meneer tidak sanggup melunasi hutang senilai lebih dari 7,4 miliar rupiah [1]. Pada tahun 2018 fenomena financial distress juga melanda beberapa entitas retail skala besar yang menghadapi degradasi profitability sampai menuju ujung kebangkrutan, perusahaan-perusahaan tersebut yakni Lotus, Seven Eleven, Hero, Debenhams, Central, dan PT Hero Supermarket Tbk (HERO). Pada tahun tersebut, PT Hero Supermarket Tbk (HERO) menutup sejumlah 26 (dua puluh enam) gerai jaringan Giant, dan PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) turut menghentikan enam gerai Hypermart setelah tahun sebelumnya net profitnya minus [5]. Kemudian pada 2021 PT Tozy Sentosa atau Centro departmen store menutup gerai-gerainya dan dikemukakan pailit oleh pengadilan niaga setelah tidak mampu melunasi utang yang dimilikinya [6].
Kesulitan keuangan (financial distress) merupakan sebuah fase ketika perusahaan berada di posisi krisis. Perusahaan kesulitan mengupayakan profit, mengalami kerugian operasional abnormal atau terus-menerus dalam periode tahunan, tidak dapat melunasi kewajibannya, dan berdampak pada menurunnya tingkat kepemilikan modal [7]. Perusahaan juga mengalami penurunan kinerja, serta penurunan jumlah pekerja, juga membuat perusahaan kehilangan sejumlah pihak penting yang membantu perusahaan mencapai tujuannya, seperti para investor yang mengurungkan niat investasinya [8]. Tahap-tahap ini kemudian menyebabkan perusahaan bangkrut atau dilikuidasi [9].
Leverage adalah rasio yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar struktur modal entitas didanai oleh hutang [10]. Leverage yang terlalu tinggi dari asset perusahaan dapat mengakibatkan kesulitan keuangan. Semakin besar leverage pada perusahaan, semakin besar pula risiko perusahaan berkecenderungan berada pada zona financial distress [11]. Penelitian oleh [12] dan penelitian [3] menemukan bahwa leverage berpengaruh signifikan terhadap financial distress sedangkan penelitian [13] menemukan bahwa leverage tidak berpengaruh terhadap financial distress.
Sales growth merupakan cerminan tingkat penjualan dinilai dari perbandingan penjualan tahun ini terhadap tahun sebelumnya [10]. Sales growth perusahaan yang tinggi menunjukkan perusahaan mampu bertahan dengan strategi yang dibuat dalam menjaga kelangsungan operasional perusahaan sehingga menghindarkan perusahaan dari risiko financial distress [2]. Penelitian oleh [12] menemukan bahwa sales growth berpengaruh signifikan terhadap financial distress sedangkan penelitian [14] menemukan bahwa sales growth tidak berpengaruh signifikan terhadap financial distress, hal ini dapat terjadi akibat perusahaan dengan tingkat penjualan yang relatif stabil memiliki tingkat kemudahan lebih besar dalam mendapatkan pinjaman sehingga mampu menanggung beban jika penjualan sedang kurang stabil.
Corporate governance merupakan istilah yang menggambarkan proses, kebiasaan, kebijakan, hukum dan lembaga yang mengarahkan perusahaan mengenai cara mereka bertindak, mengelola, dan mengendalikan operasi mereka [15].Terdapat dua jenis corporate governance mechanism yaitu internal dan eksternal. Mekanisme internal merupakan cara pengendalian perusahaan melalui struktur serta proses internal seperti dewan kepemilikan institusional, kepemilikan manajemen, dan komisaris independen. Sedangkan mekanisme eksternal merupakan pengendalian perusahaan selain dari penggunaan mekanisme internal, seperti kualitas audit [16]. Mekanisme corporate governance penting bagi perusahaan, sebab dengan adanya pengendalian dan pengawasan kinerja, dapat mengurangi risiko terjadinya financial distress [17]. Pada penelitian ini, financial distress diteliti dengan indikator mekanisme corporate governance internal yaitu kepemilikan institusional. Kepemilikan institusional merupakan bagian dari saham perusahaan yang dipegang oleh investor institusi [15]. Kepemilikan institusional mampu menekan financial distress sebab pemegang saham mayoritas memonitor dengan efektif kebijakan yang dibuat manajemen, maka aspek ini dipilih mampu meningkatkan nilai perusahaan [8].Hasil penelitian [18] dan [19] menemukan bahwa institutional ownership berpengaruh signifikan terhadap financial distress, sedangkan penelitian [15] menemukan bahwa corporate governance mechanism tidak berpengaruh signifikan terhadap financial distress.
Profitability berkontribusi menjadi dana yang siap dimanfaatkan sesuai kebutuhan, sedangkan apabila perusahaan tidak memiliki profitability yang cukup maka terpaksa menggunakan aktiva yang ada untuk melunasi kewajiban perusahaan [1]. Profitability sebagai variabel moderasi memberikan pengaruh kepada keputusan manajemen dalam menjalankan aktivitas operasional perusahaan, sehingga perusahaan dapat memprediksi seberapa mudah perusahaan dalam mendapat laba dari pasar modal. Pendapat ini diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh [20] menyatakan profitability mampu memoderasi pengaruh leverage terhadap financial distress, sedangkan penelitian oleh [21] menyatakan bahwa profitability tidak mampu memoderasi pengaruh leverage terhadap financial distress. Penelitian yang dilakukan oleh [20] menyatakan profitability tidak mampu memoderasi sales growth terhadap financial distress sedangkan penelitian oleh [1] menyatakan bahwa profitability mampu memoderasi sales growth terhadap financial distress. Penelitian yang dilakukan oleh [22] menyatakan profitability tidak mampu memoderasi institutional ownership terhadap financial distress.
Perusahaan Sub Sektor Perdagangan Eceran yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) menjadi subjek dalam penelitian ini. Sektor ini juga disebut dengan bisnis ritel, yakni kegiatan bisnis dengan cakupannya berdagang barang ataupun jasa langsung pada konsumen akhir. Unit usaha ini memiliki prospek besar bagi Indonesia serta terus berkembang dari tahun ke tahun dimana masyarakat banyak yang berpenghasilan dari berjualan barang eceran [23]. Peneliti memilih perusahaan sub sektor perdagangan eceran sebab perusahaan ini cenderung mengalami krisis keuangan bahkan bangkrut ditunjukkan oleh penurunan pertumbuhan penjualan rata-rata yang mencapai 11 persen [24], fenomena tren penutupan gerai department store dan hypermarket sepanjang tahun 2017-2021 sebab teknologi berkembang semakin canggih dengan kemunculan bisnis ecommerce yang lebih banyak peminat. Selain itu, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia telah memperkirakan keadaan kontraksi pada sektor perdagangan eceran dalam periode penelitian ini [25].
Jenis penelitian ini merupakan penelitian dengan metode kuantitatif, penelitian ini dilaksanakan pada perusahaan Sub Sektor Perdagangan Eceran yang terdaftar di BEI pada tahun 2017-2021.
Penentuan populasi dan sampel
Data penelitian ini diperoleh dari situs resmi BEI yaitu (www.idx.co.id) yang terdiri dari laporan keuangan dan annual report tahun 2017-2021 yang dikumpulkan dengan metode dokumentasi. Digunakan teknik purposive sampling untuk pengambilan sampel dengan kriteria berikut:
Dari kriteria tersebut didapat 18 perusahaan sample dari populasi 25 perusahaan sekitar 2017-2021, sehingga didapat 90 data observasi. Penelitian ini mengoperasikan smartPLS 3.2.7 untuk analisis model pengukuran, model struktural, serta uji hipotesis.
Pengukuran Variabel
Menurut [26] variabel dependen (terikat) merupakan variabel yang mendapat sebuah akibat atau mendapat pengaruh oleh variabel independen (bebas). Variabel dependen pada penelitian ini yaitu financial distress. Tahap akhir dimana kondisi keuangan perusahaan mengalami penurunan sebelum terjadinya kebangkrutan disebut financial distress[13]. Financial distress diproksikan dengan metode Altman Z Score yang telah dimodifikasi. Metode Altman Z score merupakan formula untuk menjumlah nilai bobot tertentu dari beberapa rasio keuangan [17]. Model z-score modifikasi tersebut yakni:
(1)
Keterangan:
Z’’ = Bankruptcy Index
X1 = Working Capital/Total Assets
X2 = Retained Earnings/Total Assets
X3 = Earning before interest and taxes/Total Assets
X4 = Boof value of equity/Book value of total debt
Kategori dari perusahaan sehat serta bangkrut berdasar model Z- Score Altman modifikasi, yakni[1]: (i) Skor Z” < 1,10 diklasifikasikan sebagai perusahaan dengan potensi mengalami kebangkrutan. (ii) Skor 1,10 < Z” < 2,60 diklasifikasikan sebagai area abu-abu (pengklasifikasian perusahaan tidak bisa ditentukan). (iii) Skor Z” > 2,60 diklasifikasikan sebagai perusahaan sehat.
Variabel independen (bebas) merupakan variabel yang menjadi penyebab atau memberi pengaruh terhadap variabel dependen (terikat) [26]. Ada tiga variabel independen atau variabel bebas dalam penelitian ini, yakni leverage, sales growth, dan institutional ownership.
Leverage diproksikan dengan Debt to Total Asset Ratio (DAR). DAR merupakan rasio yang menampakkan nilai sisi aktiva yang digunakan untuk menjamin kewajiban [21].
(2)
Sales growth merupakan rasio untuk menghitung tingkat bertumbuhnya sebuah entitas [2]. Sales growth yang tinggi menandakan perusahaan dapat mengupayakan kondisi ekonominya untuk tetap baik. Rumus untuk menghitung variabel sales growth adalah sebagai berikut:
(3)
Institutional ownership yakni kepemilikan saham atas institusi atau kelembagaan [19]. Dengan adanya kepemilikan institusional dapat mengurangi peluang crash antar agen pengelola perusahaan. Rumus untuk menghitung variabel Institutional ownership adalah sebagai berikut:
(4)
Variabel moderating yakni variabel yang dapat memberi pengaruh (menguatkan atau melemahkan) relasi antar variabel independen dengan variabel dependen [26]. Variabel moderating yang digunakan dalam penelitian ini adalah profitability. Menurut [20] profitabiltas adalah laba bersih entitas dibanding kepemilikan total aktiva. Profitability digunakan untuk menilai sudah efektifkah perusahaan dalam menghasilkan profit atas penggunaan kepemilikan aktivanya. Rumus untuk menghitung variabel Profitability adalah sebagai berikut:
(5)
Penelitian ini menjelaskan pengaruh antara empat variabel laten, yaitu leverage, sales growth, institutional ownership, dan profitability terhadap financial distress, sehingga didapat hipotesis yang menyatakan bahwa profitability memoderasi pengaruh leverage, sales growth, institutional ownership, dan profitability terhadap financial distress.
Evaluasi model pengukuran merupakan evaluasi atas relasi antara konstruk dengan indikatornya. Model evaluasi pengukuran PLS didasarkan atas pengukuran prediksi yang bersifat non-parametrik. Model pengukuran atau outer model dengan refleksi indikator dievaluasi melalui tiga langkah uji, yakni (i) uji validitas konvergen, (ii) uji validitas diskriminan dari indikatornya, dan (iii) uji komposit reliabilitas untuk blok indikator. Evaluasi outer model dilangsungkan guna menilai tingkat validitas dan reliabilitas alat pengukur data [27].
No | Indikator | Loading | Average Variance Extracted | Keterangan |
1 | Efek Moderasi 1 | 5004 | 1.000 | Valid |
2 | Efek Moderasi 2 | 1460 | 1.000 | Valid |
3 | Efek Moderasi 3 | 0983 | 1.000 | Valid |
4 | Leverage | 1000 | 1.000 | Valid |
5 | Sales growth | 1000 | 1.000 | Valid |
6 | Institutional Ownership | 1000 | 1.000 | Valid |
7 | Financial distress | 1000 | 1.000 | Valid |
8 | Profitability | 1000 | 1.000 | Valid |
Dari uji validitas konvergen, tabel output loading factor menyatakan seluruh indikator memiliki nilai lebih besar dari 0.5, sehingga dapat diartikan bahwa seluruh indikator telah memenuhi syarat rule of thumb dan valid. Validitas tiap-tiap nilai konstruk juga dapat diuji dengan Average Variance Extracted (AVE). Hasil olah data menunjukkan masing-masing konstruk memiliki nilai AVE sebesar 1.000, maka dapat diketahui bahwa seluruh konstruk sudah memenuhi persyaratan rule of thumb, sebab tiap-tiap konstruk memiliki nilai AVE lebih dari 0.5.
Leverage | Sales growth | Institu- tional Ownership | Profit-ability | Financial distress | Efek Moderasi 1 | Efek Moderasi 2 | Efek Moderasi 3 | |
Leverage | 1.000 | -0.178 | 0.208 | -0.985 | -0.997 | -0.986 | 0.609 | -0.938 |
Sales growth | -0.178 | 1.000 | 0.053 | 0.181 | 0.169 | 0.178 | -0.162 | 0.168 |
Institutional Ownership | 0.208 | 0.053 | 1.000 | -0.241 | -0.216 | -0.184 | 0.113 | 0.064 |
Profitability | -0.985 | 0.181 | -0.241 | 1.000 | 0.992 | 0.980 | -0.570 | 0.925 |
Financial distress | -0.997 | 0.169 | -0.216 | 0.992 | 1.000 | 0.982 | -0.575 | 0.942 |
Efek Moderasi 1 | -0.986 | 0.178 | -0.184 | 0.980 | 0.982 | 1.000 | -0.645 | 0.941 |
Efek Moderasi 2 | 0.609 | -0.162 | 0.113 | -0.570 | -0.575 | -0.645 | 1.000 | -0.545 |
Efek Moderasi 3 | -0.938 | 0.168 | 0.064 | 0.925 | 0.942 | 0.941 | -0.545 | 1.000 |
Dari uji validitas diskriminan, loading indicator pada masing-masing item terhadap konstruknya menunjukkan nilai lebih dari 0.7 serta nilai loading indicator terhadap konstruk yang diukur lebih besar dari cross loading ke konstruk lain, oleh karenanya model ini sudah memenuhi syarat discriminant validity.
Cronbach’s Alpha | Composite Reliability | Keterangan | |
Leverage | 1.000 | 1.000 | Reliabel |
Sales growth | 1.000 | 1.000 | Reliabel |
Institutional Ownership | 1.000 | 1.000 | Reliabel |
Financial distress | 1.000 | 1.000 | Reliabel |
Profitability | 1.000 | 1.000 | Reliabel |
Efek Moderasi 1 | 1.000 | 1.000 | Reliabel |
Efek Moderasi 2 | 1.000 | 1.000 | Reliabel |
Efek Moderasi 3 | 1.000 | 1.000 | Reliabel |
Pada uji komposit reliabilitas, nilai yang terdapat pada tabel Cronbach’s Alpha dan Composite Reliability menunjukkan bahwa seluruh konstruk eksogen dan endogen sudah reliable sebab keseluruhannya menunjukkan nilai lebih dari 0.7, maka leverage, sales growth, institutional ownership, financial distress, dan profitability mempunyai reliabilitas yang baik.
Setelah pemeriksaan model uji untuk outer model telah memenuhi syarat, langkah berikutnya yaitu menguji nilai inner model atau model strukturalnya. Evaluasi model struktural dilakukan untuk mengetahui presentase varian yang dijelaskan, yakni melalui analisis nilai yang dihasilkan pada tabel R Square terhadap konstruk laten dependen.
R Square | |
Financial distress | 0.999 |
Nilai R Square sebesar 0.99 terkategori sebagai nilai yang kuat. R Square tersebut bermakna validitas konstruk laten dependen financial distress yang dapat dijelaskan oleh konstruk leverage, sales growth, dan institutional ownership dan interaksinya sebesar 99,9 % sedangkan 0,1% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini.
Sample Asli | Sample Mean | Standar Deviasi | T Statistic | P Value | |
Leverage -> Financial distress | -0.720 | -0.903 | 0.236 | 3.051 | 0.002 |
Sales growth -> Financial distress | -0.007 | -0.004 | 0.012 | 0.613 | 0.540 |
Institutional Ownership-> Financial distress | -0.027 | -0.019 | 0.015 | 1.728 | 0.085 |
Profitability -> Financial distress | 0.330 | 0.155 | 0.104 | 3.160 | 0.002 |
Efek Moderasi 1 -> Financial distress | -0.033 | -0.031 | 0.059 | 0.562 | 0.574 |
Efek Moderasi 2 -> Financial distress | 0.012 | 0.007 | 0.053 | 0.224 | 0.823 |
Efek Moderasi 3 -> Financial distress | 0.133 | 0.059 | 0.048 | 2.756 | 0.006 |
Pengujian pada nilai T-statistic harus lebih besar dari 1,96 sebab penelitian ini menggunakan hipotesis two tailed, serta uji signifikansi atau nilai P-Value dimana hipotesis dapat diterima jika nilai yang ditunjukkan <5%.
Hasil uji hipotesis untuk mengetahui adanya pengaruh leverage terhadap financial distress memberikan nilai T Statistic sebesar 3.051 serta memberikan nilai P-Value sebesar 0.002, Hal ini bermakna bahwa leverage berpengaruh terhadap financial distress. Hasil uji hipotesis untuk mengetahui adanya pengaruh sales growth terhadap financial distress memberikan nilai T Statistic sebesar 0.613 serta memberikan nilai P-Value sebesar 0.540, hal ini bermakna bahwa sales growth tidak berpengaruh terhadap financial distress. Hasil uji hipotesis untuk mengetahui adanya pengaruh institutional ownership terhadap financial distress memberikan nilai T Statistic sebesar 1.728 serta memberikan nilai P Value sebesar 0.085, hal ini bermakna bahwa institutional ownership tidak berpengaruh terhadap financial distress.
Hasil evaluasi untuk mengetahui kemampuan profitability dalam memoderasi pengaruh leverage terhadap financial distress menunjukkan α > 0.05, yakni sebesar 0.574, kemudian pada nilai T-Statistic didapatkan nilai sebesar 0.562 < 1.96. Hal ini menunjukkan bahwa profitability tidak mampu memoderasi pengaruh leverage terhadap financial distress. Hasil evaluasi untuk mengetahui kemampuan profitability dalam memoderasi pengaruh sales growth terhadap financial distress menunjukkan α > 0.05, yakni sebesar 0.823, kemudian pada nilai T-Statistic didapatkan nilai sebesar 0.224 < 1.96. Hal ini menunjukkan bahwa profitability tidak mampu memoderasi pengaruh sales growth terhadap financial distress. Hasil evaluasi untuk mengetahui kemampuan profitability dalam memoderasi pengaruh institutional ownership terhadap financial distress menunjukkan α < 0.05, yakni sebesar 0.006, kemudian pada nilai T-Statistic didapatkan nilai sebesar 2.756 > 1.96. Hal ini menunjukkan bahwa profitability mampu memoderasi pengaruh institutional ownership terhadap financial distress.
Pembahasan
Hasil uji hipotesis untuk mengetahui adanya pengaruh leverage terhadap financial distress memberikan nilai T Statistic sebesar 3.051 serta memberikan nilai P Value sebesar 0.002, sehingga T Statistic > T Tabel (3.051 > 1.96) dan P Value < Sig (0.002 < 0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa leverage berpengaruh terhadap financial distress. Leverage merupakan rasio yang berfungsi menghitung seberapa besar operasional perusahaan didanai dengan utang, sehingga perusahaan memiliki lebih banyak dana yang tersedia untuk digunakan dalam aktivitas operasionalnya [7]. Leverage memunculkan beban untuk membayar bunga yang menekan perolehan pendapatan perusahaan. Jika leverage tidak diiringi dengan peningkatan pendapatan yang stabil, maka dapat meningkatkan risiko perusahaan kesulitan dalam membayar pokok utang beserta bunganya secara tepat waktu. Hal ini merujuk pada keadaan perusahaan yang tidak sehat. Apabila kondisi ini tidak kunjung ditangani, maka dapat meningkatkan risiko gagal bayar di masa depan sehingga kemungkinan perusahaan mengalami kesulitan keuangan atau financial distress juga akan semakin besar. Berdasarkan hal tersebut, maka semakin tinggi leverage yang dimiliki, semakin tinggi pula risiko perusahaan mengalami financial distress.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian [7], [3], serta [17]yang menyatakan bahwa leverage berpengaruh terhadap financial distress.
Hasil uji hipotesis untuk mengetahui adanya pengaruh sales growth terhadap financial distress memberikan nilai T Statistic sebesar 0.613 serta memberikan nilai P Value sebesar 0.540, sehingga T Statistic > T Tabel (0.613 < 1.96) dan P Value < Sig (0.540 > 0.05). Hasil tersebut menyatakan bahwa sales growth tidak berpengaruh terhadap financial distress. Sales growth merupakan indikator pertumbuhan penjualan suatu perusahaan dari waktu ke waktu dimana angka ini menunjukkan apakah perusahaan berhasil atau tidak dalam meningkatkan volume transaksinya. Perusahaan mampu meningkatkan pertumbuhan penjualannya dari tahun ke tahun, namun setelah penjualan dikurangi harga pokok penjualan terdapat beban seperti beban administrasi dan beban bunga dengan nilai tinggi yang membuat perusahaan tidak dapat mencapai laba secara maksimal atau bahkan perusahaan menanggung kerugian sehingga mengakibatkan perusahaan mengalami financial distress. Begitu pula sebaliknya, meskipun sales growth perusahaan bernilai rendah, terdapat beban bernilai rendah pula yang menyertai penjualan, sehingga perusahaan mampu mencapai laba secara maksimal untuk mendukung keadaan keuangan perusahaan untuk berasa di posisi sehat. Berdasarkan hal tersebut, sales growth pada perusahaan tidak dapat mensinyalkan apakah perusahaan mengalami financial distress atau tidak.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian[14], [28], dan [2] yang menyatakan bahwa sales growth tidakberpengaruh terhadap financial distress.
Hasil uji hipotesis untuk mengetahui adanya pengaruh institutional ownership terhadap financial distress memberikan nilai T Statistic sebesar 1.728 serta memberikan nilai P Value sebesar 0.085, sehingga T Statistic < T Tabel (1.7728 < 1.96) dan P Value > Sig (0.085 > 0.05). Hasil tersebut menyatakan bahwa institutional ownership tidak berpengaruh terhadap financial distress.
Institutional ownership adalah bagian saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi dari total saham yang beredar [18]. Perusahaan dalam penelitian ini memiliki struktur kepemilikan saham dengan tingkat terkonsentrasi atau rata-rata investor institusi memiliki >50% saham perusahaan [29]. Meskipun begitu, investor institusi tidak melakukan pengawasan yang ketat dan efektif, sehingga kehadiran investor institusi hanya bersifat pasif, dimana sifat pasif ini muncul karena investor institusi tidak memiliki inisiatif atau otoritas yang memadai untuk melakukan pengendalian atau memberi pengaruh secara aktif terhadap manajemen dalam mengelola perusahaan. Minimnya pengawasan oleh investor institusi ini memungkinkan manajemen perusahaan melakukan pengambilan keputusan tanpa mempertimbangkan tingkat institutional ownership pada perusahaan, atau tanpa intervensi pihak lain. Sehingga apabila terjadi financial distress pada perusahaan, hal tersebut bukan merupakan akibat dari intervensi pihak pemegang saham institusi [30].
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian [22], dan [18] yang menyatakan bahwa institutional ownership tidak berpengaruh terhadap financial distress.
Hasil evaluasi untuk mengetahui kemampuan profitability dalam memoderasi pengaruh leverage terhadap financial distress menunjukkan nilai signifikansi lebih besar dari α = 0.05, yakni sebesar 0.574, kemudian pada nilai T-Statistic didapatkan nilai sebesar 0.562 < T-Tabel sebesar 1.96, hal ini bermakna bahwa profitability tidakmampu memoderasi pengaruh leverage terhadap financial distress. Variabel profitability berpengaruh terhadap variabel financial distress namun variabel efek moderasi 1 tidak signifikan terhadap financial distress, artinyavariabel efek moderasi 1 dalam penelitian ini bukan tergolong variabel moderator, melainkan variabel tersebut merupakan suatu variabel independen, dan atau bisa saja merupakan variabel intervening, eksogenus, ateseden, atau prediktor, [31].
Profitability tidak dapat memoderasi pengaruh leverage terhadap financial distress artinya profitability tidak memiliki kekuatan, tidak mampu mengendalikan, menambah atau mengurangi pengaruh dari leverage terhadap financial distress. Hal ini disebabkan oleh profityang dihasilkan tidak selalu digunakan untuk melunasi leverage perusahaan. Perusahaan menggunakan profituntuk hal-hal seperti memenuhi kebutuhan dana pada aktivitas operasional rutin perusahaan. Meskipun nilai leverage perusahaan tinggi, perusahaan tetap tidak menggunakan proft untuk melunasi leverage yang ada, hal ini mengakibatkan perusahaan rentan mengalami financial distress[32].
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian [8], dan [21] yang menyatakan bahwa profitability tidakmampu memoderasi pengaruh leverage terhadap financial distress.
Hasil evaluasi untuk mengetahui kemampuan profitability dalam memoderasi pengaruh sales growth terhadap financial distress menunjukkan nilai signifikansi lebih besar dari α = 0.05, yakni sebesar 0.823, kemudian pada nilai T-Statistic didapatkan nilai sebesar 0.224 < T-Tabel sebesar 1.96. Hal ini menunjukkan bahwa profitability tidakmampu memoderasi pengaruh sales growth terhadap financial distress. Variabel profitability berpengaruh terhadap variabel financial distress namun variabel efek moderasi 2 tidak signifikan terhadap financial distress, artinyavariabel efek moderasi 2 dalam penelitian ini bukan tergolong variabel moderator, melainkan variabel tersebut merupakan suatu variabel independen, dan atau bisa saja merupakan variabel intervening, eksogenus, ateseden, atau prediktor [31].
Profitability merupakan laba bersih entitas dibanding kepemilikan total aktiva, digunakan untuk menilai sudah efektifkah perusahaan dalam menghasilkan profit atas penggunaan kepemilikan aktivanya [20]. Profitability tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan atau mengurangi dampak dari sales growth terhadap financial distress, sebab hanya ada sedikit profit atau laba yang dihasilkan akibat tingginya beban yang mengiringi penjualan setelah dikurangi dengan harga pokok penjualan [1]. Selain itu, profit yang dihasilkan tidak digunakan untuk meningkatkan sales growth, melainkan digunakan untuk hal lain seperti untuk mendanai aktifitas operasional, serta menambah saldo atau sebagai laba ditahan [32]. Hal ini mengakibatkan profitability tidak mampu memoderasi pengaruh sales growth terhadap financial distress.
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian [20], dan [1] yang menyatakan bahwa profitability tidakmampu memoderasi pengaruh sales growth terhadap financial distress.
Hasil evaluasi untuk mengetahui kemampuan profitability dalam memoderasi pengaruh institutional ownership terhadap financial distress menunjukkan nilai signifikansi lebih kecil dari α = 0.05, yakni sebesar 0.006, kemudian pada nilai T-Statistic didapatkan nilai sebesar 2.756> T-Tabel sebesar 1.96. Hal ini menunjukkan bahwa profitability mampu memoderasi pengaruh institutional terhadap financial distress. Variabel efek moderasi 3 dalam penelitian ini tergolong variabel moderasi quasi (quasi moderator) sebab variabel profitability berpengaruh significant terhadap financial distress dan variabel efek moderasi berpengaruh dan significant terhadap financial distress [31].
Profitability merupakan laba bersih entitas dibanding kepemilikan total aktiva, digunakan untuk menilai sudah efektifkah perusahaan dalam menghasilkan profit atas penggunaan kepemilikan aktivanya [20]. Profitability yang tinggi mampu menarik investor sebab investor menganggap profitability yang tinggi mensinyalkan bahwa perusahaan sudah efektif dalam menghasilkan profit atas penggunaan kepemilikan aktivanya, hal ini mampu mendorong investor institusi untuk menambah kepemilikan saham dalam perusahaan. Kemudian dengan adanya kepemilikan institusi yang tinggi oleh investor institusi akan membuat investor institusi memiliki kekuatan untuk melakukan monitoring terhadap kinerja manajemen perusahaan dengan harapan perusahaan terhindar dari financial distress serta membuat investor institusi mendapat keuntungan yang tinggi atas kepemilikan saham dari profit yang dihasilkan perusahaan. Dengan demikian, profitability dapat memoderasi pengaruh institutional ownership terhadap financial distress suatu perusahaan. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian [33] yang menyatakan bahwa profitability mampu memoderasi pengaruh institutional ownership terhadap financial distress.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa leverage memengaruhi financial distress, sementara sales growth dan institutional ownership tidak mmengaruhi financial distress. Profitability tidak dapat memoderasi keterkaitan antara leverage dan sales growth terhadap financial distress. Namun, hubungan institutional ownership terhadap financial distress dapat dimoderasi oleh profitability.
Penelitian ini terbatas pada data pengamatan 2017-2021, oleh sebab itu diharap adanya pengembangan dalam periode pengamatan pada penelitian berikutnya. Penggunaan sampel dalam studi ini juga terbatas pada perusahaan subsektor perdagangan eceran, masih terdapat berbagai subsektor pada sektor perdagangan, jasa dan investasi yang dapat digunakan di penelitian selanjutnya supaya mendapat perolehan yang lebih.