Recent Cases
DOI: 10.21070/ijler.v15i0.764

Legal Protection for Victims of Trafficking in Persons From a Human Rights Perspective


Perlindungan Hukum bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Legal Protection Criminal act of people-trafficking Human rights

Abstract

This study aims to determine the legal protection for victims of trafficking in persons in terms of human rights perspective. This research is based on the fact that there are still cases of trafficking in persons and the protection of victims is still not effective. Victims are entitled to protection according to human rights guidelines. The author conducted this research using a normative research method using a statutory approach related to the object under study and also using a conceptual approach. The data collection technique used is secondary data consisting of primary legal materials, namely legislation and secondary legal materials in the form of books, scientific papers and data obtained. This study explains that a person who is a victim of trafficking in persons is entitled to protection in accordance with the provisions of the legislation as well as the provision of compensation rights to victims of trafficking in persons according to the human rights inherent in him. And this study also discusses the role of the government and the community in an effort to provide protection for victims of trafficking in persons to uphold human rights.

Pendahuluan

Hak Asasi Manusia ialah suatu hak yang menempel dalam diri manusia yang berasal dari anugrah Tuhan, meliputi hak untuk hidup aman dan bebas dari diskriminasi. Perlindungan hukum merupakan suatu gambaran dari kinerja fungsi hukum itu sendiri untuk melaksanakan tujuan dari hukum mulai dari keadilan hukum, manfaat hukum, hingga terwujudnya kepastian hukum yang di laksanakan baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Setiap manusia berhak mendapatkan perlindungan hak asasi nya. Perlindungan tersebut tidak hanya diperoleh dari pemerintah melainkan juga dari masyarakat.[1] Akhir ini banyak terjadi kejahatan yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, korban ialah seseorang yang mengalami sebuah penderitaan baik penderitaan secara fisik dan mental akibat kejahatan yang dilakukan orang lain sehingga menyebabkan kerugian untuk orang tersebut maupun keluarganya. Penderitaan tersebut berasal dari penyiksaan, tekanan, paksaan, ancaman, yang dapat membahayakan nyawa orang maupun hingga orang itu meninggal. Perdagangan orang dilakukan dengan berbagai macam cara. Perdagangan orang merupakan sebuah transaksi jual beli dimana barang yang di perjualbelikan disini adalah manusia. Perdagangan orang ini dilakukan dengan maksud memanfaatkan seseorang untuk memperoleh keuntungan tersendiri bagi pelaku. Modus perdagangan orang biasanya mulai dari perekrutan tenaga kerja ilegal, kerja paksa, pelacuran, hingga perdagangan organ tubuh manusia. Apabila dilihat dari segi hukum, perdagangan orang suatu kejahatan pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia yang dilakukan secara terorganisir. Perdagangan orang dilakukan dengan cara merekrut orang yang awam dan berpendidikan rendah disertai ancaman, penipuan, maupun pemerasan terhadap korban yang terlilit hutang dan masih banyak lagi dengan memanfaatkan ketidakberdayaan korban.[2]

Hak Asasi Manusia (HAM) terkait tindak pidana perdagangan orang, berhubungan dengan hak asasi setiap manusia, terutama dalam perlindungan terhadap korban. Korban tindak pidana perdagangan orang patut dilindungi sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 menjelaskan bahwa setiap orang memiliki harkat serta martabat yang dijunjung dan dilindungi dalam masyarakat dan bernegara, mendapatkan perlakuan yang sama adil tidak memihak dimata hukum, Pasal 4 menjelaskan tentang hak setiap orang untuk hidup bebas tanpa paksaan dan tanpa perbudakan oleh orang lain, setiap orang mempunyai hak tanpa diskriminasi oleh orang lain, mendapat perlindungan hukum yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan Pasal 20 menjelaskan setiap orang dilarang untuk diperbudak atau di perhamba dengan tujuan tertentu yang melanggar Hak Asasi Manusia. Menurut catatan International Organization For Migration (IOM) di Indonesia pada tahun 2020 mencatat adanya kasus perdagangan orang meningkat sebanyak 154 kasus. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak mencatat kasus perdagangan orang di Indonesia ada 213 kasus yang terjadi di tahun 2019, dan mengalami peningkatan ditahun 2020 sebanyak 400 kasus. Dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM ) diperoleh pada tahun 2021 kasus tindak pidanan perdagangan orang mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya dari 213 menjadi 255 kasus.[3]

Perdagangan orang yang semacam ini sudah ada sejak lama dengan bermacam modus kejahatannya dan masih sering terjadi hingga saat ini. Contohnya, Perdagangan orang dengan modus rekruitmen kerja yang sangat sulit sekali di deteksi. Perdagangan orang dengan modus rekruitmen kerja ini merupakan model rekruitmen yang dilakukan oleh penyalur kerja illegal dengan mengiming-iming korban dengan gaji tinggi namun yang terjadi malah sebaliknya korban tidak hanya dipaksa bekerja namun juga diancam hingga diasingkan bahkan terlantar.[4] Berdasar permasalahan, penulis memberi contoh kasus tindak pidana perdagangan orang dengan modus rekruitmen kerja dari sebuah berita, di Jawa Timur tepatnya di Kota Madura. Terjadi di Selong Permai, Kelurahan Gunung Sekar, Sampang, Madura, Rabu 15 januari 2020, seorang warga yang bernama Rusmiyati berusia 40 tahun melakukan tindak pidana perdagangan orang. Dalam kasus ini, tersangka bekerjasama dengan seseorang di Malaysia merekrut beberapa orang untuk diperkerjakan di Malaysia secara illegal dengan iming-iming gaji yang besar. Ternyata korban di Malaysia tidak sesuai yang dijanjikan. Korban dari Batam naik perahu untuk menyeberang ke Malaysia. Korban yang berangkat ke Malaysia diantaranya 4 korban pasangan suami istri. 3 pasangan korban berhasil diselamatkan dan 1 orang merupakan seorang istri korban masih tertahan di sana, sampai sekarang tidak tahu kondisinya seperti apa. Keluarga korban melaporkan hal tersebut kepada pihak berwajib. Atas dasar itulah kemudian Rusmiyati ditahan dan dimintai pertanggungjawaban oleh pihak Kepolisian karena melakukan perekrutan kerja ilegal dengan modus iming-iming gaji yang besar namun ternyata tidak sesuai yang dijanjikan bahkan membuat korban cenderung terlantar.[5]

Melalui penelitiannya Yohanes.S, menyatakan bahwa secara yuridis mengenai perdagangan orang dari perspektif Hak Asasi Manusia baik terhadap perempuan maupun anak dikarenakan lemahnya (Law Enforcement), kurangnya sosialisasi, dan kurangnya kesadaran masyarakat.[6] Kemudian penelitian oleh Agus menyatakan bahwa perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang (Human Trafficking) dalam perspektif Hak Asasi Manusia yang terjadi di Pengadilan Negeri Cibadak Kabupaten Sukabumi terkait dengan penegakkan hukum bagi tersangka dalam pemberian restitusi bagi korban.[7] Lalu penelitian yang dilakukan Emmy Suryana Lubis yang menganalisa implementasi kebijakan pemerintah provinsi Sumatra Utara dalam pencegahan dan penanggulangan perdagangan orang (Human Trafficking) perempuan dan anak serta angka tingginya kasus perdagangan orang di Sumatera Utara menciptakan efetifitas sistem kelembagaan dan sistem koordinasi yang dibangun oleh pemerintah Sumatera Utara untuk menerapkan baik pencegahan maupun penanggulangan perdagangan orang di Sumatera Utara.[8] Dan begitu pula penelitian dari Abdul Rahman Prakoso yang menyatakan bahwa kebijakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang terhadap pencegahan menyeluruh perdagangan orang dengan melibatkan peran pemangku jabatan sekaligus penegak hukum dalam penindakan maupun perlindungan atas perdagangan orang.[9]

Contoh kasus diatas hanyalah salah satu contoh dan masih banyak contoh kasus lain dengan modus yang berbeda, namun kepada intinya sudah jelas perdagangan orang termasuk sebagai kejahatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pelaku tidak hanya menipu korban tetapi juga melantarkannya hingga tidak diketahui kondisinya seperti apa. Korban tidak hanya mengalami penderitaan, namun juga kerugian materi fisik hingga mental. Hak-hak korban yang melekat sebagai manusia yang bebas telah dirampas atau dicabut oleh pelaku. Melihat adanya korban yang cenderung terlantar serta tidak tahu kondisinya seperti apa, sudah jelas peran perlindungan pemerintah masih dipertanyakan juga dibutuhkan, karena kasus ini berhubungan dengan warga negaranya yang seharusnya dilindungi harkat dan martabat nya sesuai dengan Hak Asasi Manusia. Selain itu, kurang nya kesadaran masyarakat karna kultur budaya saat ini membuat sebagian masyarakat enggan mencampuri masalah orang lain sehingga kasus seperti ini masih sering terjadi juga lepas pengawasan lingkungan sekitar. Berdasarkan hal tersebut maka penulis memiliki tujuan dalam pembahasan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum bagi korban tindak pidana perdagangan orang ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia dan juga untuk mengetahui apa saja peran pemerintah dan masyarakat dalam perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang.

Metode Penelitian

Dalam tipe penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif. Oleh karena itu, penelitian difokuskan kepada penelitian hukum kepustakaan dengan cara mengkaji bahan hukum. Sumber dan jenis bahan hukum yang digunakan oleh penulis ialah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan yaitu menggunakan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Kemudian bahan hukum sekunder yang dipakai dalam penelitian adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang diperoleh dari studi kepustakaan yang berkaitan dengan bahan hukum sekunder diantaranya adalah buku, jurnal, yang berhubungan dengan perlindungan hukum bagi korban tindak pidana perdagangan orang ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia. Analisis bahan hukum memakai analisis metode deduktif baik kepada rumusan permasalahan yang pertama maupun rumusan masalah yang kedua dengan menganalisa secara umum problematika yang terjadi maupun berkembang di masyarakat, kemudian menyimpulkannya menjadi sebuah fakta yang realistis mengenai perlindungan hukum bagi korban tindak pidana perdagangan ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia.

Hasil dan Pembahasan

A. Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia

1. Ketentuan Mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28D ayat (2) dan 28I ayat (2) menguraikan bahwa setiap orang memperolah jaminan dari negara untuk mendapatkan setiap hak-hak nya, tidak memperoleh diskriminasi dari manapun, dan setara dimata hukum. Hal tersebut sama dengan pedoman Hak Asasi Manusia yang menjamin setiap orang berhak untuk dilindungi dan setiap orang mempunyai Hak kebebasan hidup yang tidak boleh dirampas. Begitu dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Pasal 5 menjelaskan Perlindungan Saksi dan Korban menguraikan bahwa korban berhak memperoleh perlindungan atas keamanan dirinya tanpa tekanan apapun dan berhak mendapatkan perkembangan informasi perkembangan kasus yang dijalaninya. Dalam proses pengadilan setiap korban berhak memperoleh seorang penerjemah untuk mendampinginya dan menerjemahkan setiap keputusan beserta informasi tentang kasus yang dialaminya.[10]

Untuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak membahas jelas mengenai perlindungan korban perdagangan orang tetapi disitu terdapat Pasal 14A - 14C menguraikan bahwa hakim telah memutuskan dan menjatuhkan pembayaran ganti rugi oleh terpidana atas kejahatan yang disebabkan terhadap korban. Namun, hal tersebut masih bersifat abstrak (tidak langsung) dan fakultatif hanya bergantung kepada keputusan hakim (tidak mutlak). Korban berhak untuk memperoleh semua yang menjadi hak-hak nya atas kerugian yang dialaminya berdasarkan peraturan Hak Asasi Manusia. KUHP masih belum lengkap mengatur tentang perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang. Sedikitnya ketentuan yang memuat perlindungan korban dalam KUHP menyebabkan sering terabainya perolehan hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh korban. Dalam KUHAP Pasal 80 menguraikan bahwa korban diberikan hak untuk mengutarakan keberatannya apabila proses penyidikan kasus nya disudahi sebagai pihak ketiga di pra-peradilan. KUHAP Pasal 98 - 101 menguraikan bahwa korban berhak untuk meminta ganti rugi atas kerugian yang telah dialaminya dan berhak menghadiri proses pemeriksaan atas masalahnya baik sebagai saksi maupun sebagai korban yang menuntut ganti rugi. Hal itu semata untuk memberi perlindungan kepada korban dengan melindungi hak-hak korban sesuai prinsip Hak Asasi Manusia. Tidak banyak pasal mengatur tentang perlindungan korban secara detail dalam KUHAP karena juga bersifat abstrak.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 44 menegaskan bahwa setiap orang yang menjadi korban dari kejahatan perdagangan orang berhak untuk dilindungi dari segala ancaman orang lain, baik korban hingga keluarga dipastikan aman. Pasal 45 menguraikan bahwa setiap orang yang menjadi korban dari tindak pidana perdagangan orang berhak memperoleh perlindungan dengan cara membuat ruangan khusus untuk melayani korban tindak pidana perdagangan orang dan melaksanakan proses penyidikan oleh Kepolisian setempat. Pasal 46, memberikan penjelasan bahwa setiap orang yang menjadi korban dari tindak pidana kejahatan perdagangan orang berhak untuk dilindungi dengan membentuk sebuah pelayanan terpadu di setiap daerah guna mempermudah korban memperoleh perlindungan. Pasal 54 menyebutkan bahwa setiap orang yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang dan sedang berada di luar negeri, pemerintah berkewajiban untuk memulangkannya kembali ke negara (Indonesia) dengan biaya ditanggung oleh negara atau pemerintah.

2. Pemberian Ganti Rugi Kepada Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 19 Ayat (2) menjelaskan bahwa pelaku tindak pidana berhak untuk membayar kerugian kepada korban atas pelanggaran atau kejahatan yang dilakukannya.Pelaku membayar sesuai kemampuan pelaku dan dilarang untuk perampasan seluruh harta milik yang bersalah. Atas ketidakmampuan pembayaran hutang terhadap korban terlepas dari pidana penjara maupun kurungan. Disamping memperoleh perlindungan dari segi hukum dan Hak Asasi Manusia, korban memperoleh perlindungan atas hak-hak nya berupa pemberian kompensasi, restitusi, maupun rehabilitasi. Hal tersebut dimaksudkan untuk membayar kerugian yang di alami korban baik materil maupun non-materil.

Hak-hak yang dapat di peroleh korban perdagangan orang yakni Kompensasi, dalam hal kompensasi korban tindak pidana perdagangan orang yang mengalami kerugian dari segi materi oleh pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia tersebut. Pelaku tidak hanya memaksa korban melainkan juga merampas harta benda milik korban. Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 36 Ayat (2) menjelaskan bahwa setiap orang dilarang untuk merampas hak milik orang lain dengan semena-mena maupun dengan perbuatan yang melawan hukum. Oleh karena itu, untuk memberikan keadilan bagi korban tindak pidana perdagangan orang pelaku harus membayar ganti rugi.[11] Kompensasi merupakan suatu bentuk ganti rugi. Kompensasi merupakan suatu bentuk ganti rugi. Proses pemberian kompensasi di ajukan korban maupun keluarga korban secara tertulis bermaterai melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di pengadilan setempat dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban melakukan pemeriksaan persyaratan selama 7 hari dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menyampaikannya ke pengadilan Hak Asasi Manusia dan pengadilan memeriksa selambatnya 30 hari sejak permohonan diterima. Keputusan pengadilan Hak Asasi Manusia disampaikan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban selambatnya 7 hari.[12]

Restitusi, dalam hal restitusi pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sudah menyebabkan kerugian bagi korban berhak untuk membayar setiap kerugian yang diderita oleh korban dengan hak milik atau benda milik pelaku untuk pembayaran ganti rugi, sesuai dengan putusan hakim berdasarkan ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku. Maksud restitusi disini, merupakan sebuah pembayaran biaya ganti rugi oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang terhadap korban atau ahli waris korban. Secara implementasi dalam peradilan pidana di Indonesia mengenai tindak pidana perdagangan orang, pemberian sanksi berupa restitusi oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang terhadap korbannya masih belum banyak diterapkan. Peraturan dalam pemberian restitusi menurut Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang Nomor 21 Tahun 2007 restitusi diberikan sejak jatuhnya amar putusan pengadilan tingkat pertama dan dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara kasus ini ditangani. Restitusi dilakukan dalam 14 hari terhitung terbitnya putusan hukum tetap. Apabila pelaku diputus bebas oleh hakim maka uang restitusi yang dititipkan di pengadilan akan dikembalikan kepada yang bersangkutan. Serta Rehabilitasi Selain kompensasi dan restitusi diatas, terdapat pula rehabilitasi untuk memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan orang. Rehabilitasi merupakan upaya pemulihan korban baik keadaan hingga nama baik korban supaya menjadi manusia yang bermanfaat serta mempunyai tempat dalam lingkungan di masyarakat.[13]

Untuk perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang untuk memenuhi semua hak-hak dari korban, pelaku harus membayar semua kerugian yang dialami oleh korban terutama ganti rugi materil berupa pembayaran restitusi dan kompensasi hingga ganti rugi fisik mental psikis korban dengan proses rehabilitasi. Pelaku harus membayar semua ganti rugi yang diderita korban menggunakan harta yang dimiliki pelaku untuk menutupi pembayaran ganti rugi terhadap korban terlepas dari pidana penjara maupun pidana kurungan, dan atas ketidakmampuan pelaku untuk membayarkan ganti rugi atau hutangnya. Apabila pelaku mengalami ketidakmampuan dalam membayar ganti rugi terhadap korban, pelaku bisa bernegosiasi dengan korban untuk membayar ganti ruginya dengan angsuran atau cicilan, sehingga proses pemberian ganti rugi terhadap korban bisa terlaksana sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.

B. Peran Pemerintah Dan Masyarakat Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

1. Peran Pemerintah Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Peran pemerintah dalam memberikan perlindungan bagi korban tindak pidana perdagangan orang bila dikaitkan dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 71 – 72, menjelaskan bahwa suatu kewajiban pemerintah untuk melindungi negaranya dalam segala aspek untuk menegakkan Hak Asasi Manusia secara nasional maupun internasional. Peran Pemerintah Untuk Melindungi Korban Perdagangan Orang Yang Berada Di Luar Negeri dengan melakukan Kerjasama Internasional yang dilaksanakan oleh dua orang atau lebih yang cakap untuk menjalin kesepakatan atas hal tertentu karena suatu sebab yang halal. Kerjasama didasari oleh hukum atau di sahkan oleh hukum atas suatu tujuan tertentu dilakukan tanpa paksaan dengan dibubuhi tanda tangan diatas sebuah dokumen. Terkait Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 89 Ayat (2) menjelaskan fungsi Komnas Hak Asasi Manusia, Komnas Hak Asasi Manusia bertugas menjalin kerjasama secara nasional maupun internasional untuk menegakkan Hak Asasi Manusia baik yang terjadi di dalam negara ataupun di luar lintas negara Indonesia. Maksud kerjasama internasional disini merupakan kerjasama yang dilakukan oleh 2 negara atau lebih untuk tujuan memperoleh keamanan serta perdamaian sebuah negara. Jika suatu hari timbul konflik ataupun sebuah ketidakcocokan yang tidak dapat dihindari, dapat ditekan jika kedua belah pihak saling bekerjasama dalam kepentingan.

Dalam hal memberi bantuan kesehatan di Luar negeri pemerintah harus memberikan bantuan kesehatan terhadap korban tindak pidana perdagangan orang yang berada di luar negeri untuk pemulihan kesehatan korban baik fisik mental maupun psikis korban. Demikian dengan memberi bantuan hukum dan social pemerintah harus memberikan bantuan hukum atas segala proses hukum yang dilalui oleh korban tindak pidana perdagangan orang yang berada di luar negeri untuk memperjuangkan keadilannya dan memberikan bantuan sosial berupa pemenuhan kebutuhan korban selama di sana. Serta untuk memulangkan korban pemerintah harus memberikan fasilitas perlindungan disana dengan memulangkan korban kembali ke Indonesia dengan biaya ditanggung oleh negara ataupun pemerintah. Selain itu oemerintah juga harus membentuk sebuah badan perlindungan dimana fungsi badan tersebut tidak hanya melindungi korban tindak pidana perdagangan orang tetapi sekaligus melindungi setiap tenaga kerja yang berada ada di luar negeri. Badan tersebut harus berlokasi di setiap daerah di luar negeri supaya pemerintah mudah memantau (memonitoring) sekaligus mudah untuk ditemukan oleh korban dalam proses pelayanan setiap pengaduan.[14]

Untuk peran pemerintah melindungi korban perdagangan orang yang berada di Dalam Negeri, Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 67 - 68 menjelaskan bahwa setiap orang yang mendiami atau bertempat tinggal di negara Indonesia wajib mematuhi peraturan Perundang-Undangan, peraturan mengenai hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis untuk perlindungan atas dasar Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 29 – 30 menjelaskan bahwa setiap individu bisa memperoleh perlindungan atas dirinya, keluarganya, harta kekayaannya dari kejahatan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan memperoleh rasa aman, kesetaraan dimata hukum yang ada di Indonesia. Dalam proses penanganan korban yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah dengan melaksanakan proses identifikasi korban dengan pendataan secara lengkap terhadap korban dengan maksud melindungi korban berdasar Hak Asasi Manusia. Tidak hanya itu pemerintah juga harus memberikan Rehabilitasi kesehatan untuk melindungi korban baik non-kritis, semi kritis, kritis, serta (medikolegal) dengan maksud memperoleh laporan rekam medis mengenai kesehatan kondisi korban. Laporan itu akan digunakan dalam pemeriksaan di pengadilan. Selain itu, pemerintah harus memberikan pelayanan konseling untuk pemulihan psikis korban maupun mental korban sesuai Hak Asasi Manusia karena korban berhak untuk dilindungi dari segi psikis dan mentalnya. Proses pemberian konseling tentunya dengan persetujuan dari korban yang bersangkutan terlebih dahulu dengan dukungan keluarga serta lingkungan di sekitar.

Pemerintah harus menyediakan bantuan pendidikan dan untuk memberikan bantuan pendidikan bekal ilmu pengetahuan yang cukup kepada korban maupun masyarakat yang tidak bersekolah maupun yang tidak tamat sekolah. Sedangkan untuk kasus hukum yang di alami oleh para korban perdagangan orang pemerintah harus menyediakan bantuan hukum karena korban memiliki hak untuk dilindungi setara dimata hukum. Memberikan bantuan hukum kepada korban baik saksi maupun korban dengan mengawal semua proses hukum mulai dari penyidikan penyelidikan di Kepolisian hingga proses persidangan sampai terbitnya putusan di pengadilan untuk memperoleh hak-hak atas kerugian yang dialami korban. Serta mempersatukan kembali dengan keluarga dan masyarakat. Memberikan pembekalan keterampilan supaya suatu hari bisa bermanfaat bagi korban dan bisa memperbaiki kehidupan korban.[15]

Pemerintah juga bekerja sama dengan lembaga-lembaga untuk membantu proses penanganan perlindungan korban. Berikut peran dari lembaga-lembaga tersebut untuk memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan orang seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) yang berpegang kepada Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 31 Tahun 2014, menjelaskan wewenang untuk melindungi saksi atau koban tindak pidana atau kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia. Korban berhak memperolah keamanan atas dirinya beserta keluarganya dalam bersaksi di Pengadilan tanpa paksaan. Korban harus memperoleh informasi terkait perkembangan dari kasus yang di alaminya dengan memperolah bantuan hukum. Lembaga ini juga berwenang dan memastikan agar korban memperoleh hak-haknya seperti restitusi, kompensasi, hingga rehabilitasi dengan baik.

Pemerintah bekerja sama dengan lembaga penegak hukum seperti Kepolisian,Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia Pasal 5-15, menjelaskan bahwa Kepolisian atau aparat penegak hukum mempunyai wewenang untuk mencegah tindak pidana kejahatan yang ada di Indonesia. Mereka bertugas untuk memberikan pelayanan kepada korban dan masyarakat dengan memastikan keamanan perlindungan hukum yang seadil-adilnya atas Hak Asasi Manusia. Melakukan proses penyidikan serta penyelidikan atas kejahatan yang terjadi. Untuk perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang sampai sekarang para penegak hukum seperti kepolisian hanya berdasar atas laporan dari korban, jika korban tidak melaporkan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia atau kejahatan yang dialami, pihak Kepolisian masih kesulitan untuk memberantas kasus ini.

Dalam lembaga peradilan hukum pemerintah bekerjasama dengan,Kejaksaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Pasal 8 dan Pasal 30, menjelaskan bahwa kejaksaan memiliki wewenang untuk melakukan penuntutan demi melindungi korban tindak pidana perdagangan orang dari kejahatan tersangka serta berupaya membantu korban memperjuangkan haknya sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia untuk memperoleh ganti rugi dan menjunjung tinggi harkat martabat manusia.HakimUndang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menjelaskan hakim melindungi korban dan membantu korban memperoleh hak nya berdasarkan penyampaian bukti-bukti dan keterangan dari para saksi yang membuktikan adanya kasus perdagangan orang pelanggaran Hak Asasi Manusia. Untuk korban yang ingin memperoleh keadilan dari hakim maka korban harus punya kesadaran tersendiri untuk melaporkan ketidakadilan yang dialaminya. Karena baik hakim maupun penegak hukum tidak akan tahu apa yang dialami oleh korban tindak pidana perdagangan orang jika korban tidak melaporkan kejahatan yang dialami. Hakim tidak hanya akan memutuskan dan memberikan keadilan bagi korban namun juga memberikan hak-hak korban serta memulihkan nama baik korban. Advokat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, menjelaskan peran advokat memberi pendampingan dan bantuan hukum kepada para korban dalam menjalani kasusnya di jalan persidangan. Berkewajiban untuk menjunjung tinggi hak asasi korban dan mendampingi korban untuk mengajukan gugatan maupun pengajuan ganti rugi serta memperjuangkan hak-hak dan keadilan bagi korban supaya korban memperoleh keadilan yang sama dimata hukum dan pengadilan.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memiliki peran melindungi korban terkait Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 76 menjelaskan bahwa setiap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berwenang untuk melindungi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia dengan cara mengkaji setiap masalah yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia dengan bekerjasama melibatkan pihak terkait secara nasional maupun internasional. Komnas HAM melakukan upaya pemeriksaan serta pemanggilan kepada para saksi dan korban untuk proses penyelesaian perkara pidana yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia, dengan jalan untuk bernegosiasi maupun penyelesaian perkara melalui mediasi antara kedua belah pihak. Begitu pula Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan)Memiliki peran untuk melindungi korban terutama perempuan dari tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan orang lain. Komnas Perempuan menjunjung tinggi hak-hak perempuan yang tertindas yang tidak memperoleh perlindungan keadilan. Dengan adanya Komnas Perempuan, korban bisa memperoleh hak-hak nya dan mendapat perlindungan dari negara berdasar kemanusiaan Hak Asasi Manusia, solidaritas, dan persamaan gender. Komnas perempuan memiliki tugas yang hampir sama dengan lembaga-lembaga perlindungan korban lainnya yakni ingin membebaskan korban terutama seorang perempuan dari tindak pidana kekerasan dan kejahatan yang bersifat diskriminatif.[16]

Lembaga Gugus Tugas Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang Nomor 21 Tahun 2007, menjelaskan bahwa pemerintah membentuk Lembaga Gugus Tugas yang beranggotakan dari Wakil Pemerintah hingga penegak hukum dan para peneliti untuk berperan melindungi korban tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan hak asasi yang melekat pada setiap orang. Lembaga Gugus Tugas ini bertugas untuk menangani serta mencegah adanya kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia. Lembaga Gugus Tugas melakukan upaya pencegahan dan upaya advokasi sosialisasi terhadap korban agar korban tidak mengalami hal serupa untuk kedua kalinya. Lembaga Gugus Tugas berkewajiban untuk memantau proses pelaksanaan dari pemberian rehabilitasi serta upaya perlindungan yang setara dimata hukum. Gugus Tugas juga turut membantu proses pemulangan korban yang berada di luar negeri. Proses pemulangan korban sepenuhnya ditanggung oleh biaya negara atau pemerintan. Tidak hanya pemantauan pemulangan korban, Lembaga Gugus Tugas juga mengawasi proses evaluasi dan pelaporan korban.

2. Peran Masyarakat Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 mengenai Organisasi Kemasyarakatan. Organisasi yang dibentuk oleh masyarakat untuk berpartisipasi membantu pemerintah Indonesia mencapai tujuan kesejahteraan umum berasas Pancasila berdasar Undang-Undang yang berlaku. Peran masyarakat juga diperlukan untuk membantu proses pemulihan korban agar korban cepat membaik melanjutkan hidup dan fokus akan pengembangan dirinya, terkait Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 15, menjelaskan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan hak-hak serta kehormatannya untuk pengembangan dirinya yang lebih baik. Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 33 Ayat (1) dan (2), menjelaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan kebebasan yang mutlak sesuai dengan kodrat nya. Setiap orang harus terhindar dari perbuatan atau kejahatan yang tidak manusiawi yang bisa membahayakan nyawanya. Tidak seorangpun bisa menyiksa secara tidak manusiawi dan tidak seorangpun bebas untuk merendahkan derajat kehormatan seseorang. Selain memberikan perlindungan terhadap korban perdagangan orang, masyarakat juga mempunyai peran untuk mencegah kejahatan tersebut agar tidak terjadi dan tidak terpancing kedalam kasus perdagangan orang ini.[17]

Peran masyarakat untuk melindungi korban perdagangan orang dengan membantu proses pemulihan korban memberi perlindungan kepada korban di lingkungan masyarakat serta mendukung proses pemulihan korban, seperti membantu memberikan konseling atau masukan positif sekaligus memberikan pemantauan kesehatan oleh dokter yang berada di desa misal bidan desa, hingga korban sehat kembali seperti semula. Masyarakat harus memberi dorongan semangat dan kepercayaan diri kepada korban kepada korban karena setiap orang yang menjadi korban dari tindak pidana perdagangan orang pasti mengalami turunnya semangat untuk melanjutkan hidup sebab mengalami hal yang tidak biasa dalam perjalanan hidupnya dan membuat mental korban turun. Jadi, sudah kewajiban masyarakat untuk memberikan dorongan semangat kepada korban serta menyadarkan korban bahwa hidup masih terus berlanjut. Menanamkan prinsip hidup kepada korban bahwa kejadian buruk yang sudah terjadi tidak boleh terulang kembali di masa yang akan datang. Korban memiliki hak bebas dari tekanan. Untuk melindungi korban, maka harus dipastikan korban tidak menerima gunjingan atau tekanan dari masyarakat sekitar yang ingin tahu kondisi korban. Masyarakat dan pemerintah harus membantu korban dalam memperjuangkan hak-haknya secara hukum dan sosial. Korban berhak untuk dijunjung tinggi hak harkat dan martabatnya. Peran masyarakat disini, dengan membantu korban dalam memperjuangkan hak-hak nya untuk memperoleh ganti rugi dari pelaku perdagangan orang, misalnya dengan mencarikan bantuan hukum secara sukarela serta menemani korban di dalam proses pengadilan untuk membantu korban mendapat keadilan.[18]

Peran masyarakat untuk mencegah perdagangan orang dengan memberitahu khalayak umum akan bahaya perdagangan orang, agar semua bisa tahu sekaligus waspada bahaya di sekitar yang sedang mengintai dan tidak mudah terpancing serta berpartisipasi memperjuangkan hak-hak dari korban sesuai dengan Hak Asasi Manusia yakni korban berhak memperoleh kebebasan, perawatan, serta bantuan sosial masyarakat. Selain itu masyarakat harus memberi peringatan kepada korban ataupun masyarakat lainnya untuk selalu awas diri saat ingin berpergian. Selayaknya mencari tahu terlebih dahulu tempat yang akan di kunjungi aman atau tidak ramai atau sepi dari orang. Untuk pencegahan perdagangan orang, masyarakat juga harus mendapatkan ilmu pengetahuan bahaya perdagangan orang. Dengan ilmu pengetahuan orang bisa tahu mana yang baik dan mana yang tidak bagi dirinya. Masyarakat maupun korban akan lebih pintar menyaring informasi baik yang berada di dunia nyata maupun di sosial media karena pada jaman sekarang internet mudah sekali dijangkau baik dari kalangan anak-anak hingga orang dewasa. Jadilah pengguna sosial media yang bijak dan gunakan internet untuk hal-hal yang positif dan bermanfaat.[19]

Kesimpulan

Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang terkait Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM bahwa setiap korban memiliki hak hidup yang harus dilindungi serta bebas dari diskriminasi dan perbuatan pelanggaran HAM. Korban berhak memperoleh keadilan dan ganti rugi berupa kompensasi, restitusi, rehabilitasi sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. HAM sangat melarang adanya perbudakan dan perhambaan yang bertentangan dengan asasi kemanusiaan. Korban harus memperoleh perlindungan atas hak-hak nya untuk memperoleh keadilan dan kesetaraan di mata hukum.

Peran pemerintah menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 terkait HAM, pemerintah berkewajiban melindungi hak asasi yang di miliki oleh rakyatnya. Peran pemerintah disini ialah dengan memberikan pelayanan perlindungan terhadap korban baik di luar negeri maupun di dalam negeri dengan bantuan dari lembaga-lembaga terkait untuk membantu melindungi korban perdagangan orang serta memastikan korban memperoleh hak-hak nya sesuai dengan pedoman Hak Asasi Manusia. Selain peran pemerintah adapun peran masyarakat yang turut andil memberikan pelayanan perlindungan terhadap korban juga melakukan pencegahan agar kasus perdagangan orang tidak kembali terjadi di lingkungan masyarakat.

References

  1. Nur Iman. (2010) “Trafficking in Human Beings dalam Angka dan Perdebatan”. Jurnal Perempuan, No. 68.
  2. Abidin Said Zainal. (2001) “Kebijakan Publik. Edisi Revisi”, Jakarta: Yayasan Pancur Siwak.
  3. https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/data-dan-fakta-perdagangan-orang-di-indonesia Diakses pada tanggal 7 Juni 2021.
  4. NN. (1999) “Aliansi Global Menentang Perdagangan Perempuan: Standar HAM untuk Perlakuan terhadap Orang yang Diperdagangkan”, Jakarta: Gravta.
  5. www.Koranmadura.com/2020/01/jalani-sidang-pelaku-human-trafficking-sampangmadura Diakses pada tanggal 8 Juli 2020.
  6. Yohanes.S. (2008) “Tinjauan Yuridis Mengenai Perdagangan Orang Dari Perspektif Hak Asasi Manusia”, Jurnal Hukum, Volume 20, No. 3.
  7. Agus et al., (2018) “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Human Trafficking Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, Jurnal Hukum Ius Quaia Iustum, Volume 25, No. 2.
  8. Emmy Suryana Lubis. (2012) “Implementasi Kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatra Utara Dalam Pencegahan Dan Penanggulangan Perdagangan Orang ( Trafficking ) Perempuan Dan Anak”, Jurnal Hukum, Volume 1.
  9. Abdul Rahman Prakoso et al., (2018) “Kebijakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang”, Jurnal Fakultas Hukum UNNES, Volume 4, No. 1.
  10. Ruswiati Suryasaputra. (2002) “Hak Asasi Manusia dan Penanggulangan Kemiskinan”, Jurnal HAM tentang Kemiskinan. diterbitkan oleh Dit.Jen. Perlindungan HAM. Dept. Kehakiman dan HAM.
  11. Saifullah. (2001) “Efektivitas penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dikota makasar”, Jurnal Program Pascasarjana Universitas Hasanudin.
  12. Iman Soepomo. (2001) “Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja”, Jakarta: Djambatan.
  13. Anis Hamim. (2003) “Trafficking of Women and Children in Indonesia”, Jakarta: ICMC.
  14. Anhar Gonggong. (1995) “Sejarah Pemikiran Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jakarta: CV. Dwi Jaya Karya”.
  15. Ikhsan Muchamad. (2008) “Hukum Perlindungan Saksi dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
  16. John Kenedi. (2020) “Perlindungan Saksi dan Korban ( Study Perlindungan Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan di Indonesia”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  17. Rozali Abdullah. (2001) “Perkembangan HAM dan keberadaan Peradilan HAM di Indonesia”, Jakarta: Ghalia Indonesia.
  18. Indrasari Tjandraningsih. (1995) “Pemberdayaan Pekerja Anak, Studi Mengenai Pendampingan Pekerja Anak”, Bandung: Yayasan Akatiga.
  19. Zuliah Azmiati. (2015) “Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidan Perdagangan Orang”, Bandung: Refika Aditama.