Abstract

The homeless phenomenon is very disturbing for the community. Moreover, homeless people have carried out land tenure unilaterally and against the law of someone's land. Furthermore, the purpose of this study is to measure the legal wisdom that can be done by land owners controlled by the Homeless. This research is a normative legal research using a statute approach. By using deductive analysis techniques using legal material processing methods in general. So that it can be analyzed legal problems based on facts in the field or in the community. The results of the study can be denied that the law enforcement of land tenure against the law by homeless people. Can be done in litigation or non-litigation. Litigation measures can be made in criminal and civil cases. The criminal mechanism is carried out by reporting to the police regarding the criminal law stipulated in Article 167 and Article 385 of the Criminal Code. A civil mechanism, the ruler of land and / or buildings thereon can be sued on the basis of an unlawful act along with an application for vacant land Non-litigation legal remedies can be made through complaints to the Satpol PP in the jurisdiction (locus) of the owner of the land rights. Satpol PP is an extension of the Ministry of Social Affairs and Provincial, Regency or City Government.

Pendahuluan

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa keberhasilan dan kelancaran dalam pembangunan nasional, menjadikan tanah faktor sebagai salah satu faktor. Karena begitu pentingnya arti tanah dalam penunjang pembangunan nasional diberbagai segi maka pemerintah dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Melalui hak menguasai dari Negara inilah maka Negara selaku badan penguasa akan dapat senantiasa mengendalikan atau mengarahkan pengelolaan fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sesuai dengan peraturan dan kebijakan yang ada, yaitu dalam lingkup penguasaan secara yuridis yang beraspek publik.[1] Pasal 28 (H) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan.”Akan tetapi dalam proses pemenuhan hak tersebut seseorang harus memiliki hak milik sebagai tanda kepemilikan akan benda tak bergerak (tanah dan rumah yang melekat diatasnya) tersebut.

Perolehan hak atas tanah dapat melalui beberapa cara diantaranya melalui hukum adat dimana dapat diperoleh melalui timbulnya aanlibbing (lidah tanah ), atau pembukaan tanah, pemberian hak atas tanah negara dimana melalui prosedur permohonan atas tanah negara, hal ini dilakukan melalui prosedur kepada BPN RI (Badan Perdatanahan Nasional Republik Indonesia). Hak atas tanah selanjutnya tersebut dimintakan penetapan oleh pemerintah. Selanjutnya adalah perolehan hak atas tanah melalui penegasan konversi, dimana seseorang atau badan hukum memintakan konversi (perubahan hak atas tanah) dari status hak atas tanah menurut aturan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), diubah menjadi hak atas tanah menurut UUPA, hak atas tanah yang beralih bagi seseorang atau badan hukum dapat melalui pewarisan dari pewaris, atau melalui mekanisme jual beli, tukar-menukar,Nhibah, pemasukan dalam modal perusahaan, Natau lelang, perjanjian penggunaan tanahNyang mana badan hukum atau seseorang memperoleh hak atas tanah, hak guna bangunan, atau hak pakai melalui perjanjian penggunaan tanah dengan pemegang hak pengelolaan. Cara memperoleh Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dapat melalui penetapan pemerintah oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, dan dengan mekanisme perubahan hak dimana perubahan hak dapat berupa penurunan hak atas tanah, atau peningkatan hak atas tanah. Peningkatan hak atas tanah disebut juga perubahan status hak atas tanah yang semula Hak Guna Bangunan berbuah menjadi Hak Milik. Sebaliknya, Penurunan hak atas tanah adalah dilaluinya perubahan status hak atas tanah dari hak milik menjadi Hak Guna Bangunan.

Setiap perolehan hak atas tanah tersebut pada dasarnya diberikan kepada setiap Warga Negara Indonesia, dan tanah-tanah tersebut dapat didirikan bangunan-bangunan sesuai peruntukannya. Warga Negara Republik Indonesia berhak untuk menghuni Rumah atau bertempat tinggal. Penghunian Rumah dapat berupa:

  1. cara bukan sewa menyewa;
  2. cara sewa menyewa; atau
  3. Hak milik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [2]

Mekanisme sewa menyewa atau dengan cara bukan sewa menyewa sebagai upaya penghunian rumah, hanya sah apabila dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemilik dan penyewa dan ada persetujuan atau izin pemilik rumah. Menurut Urip Santoso, penghunian rumah oleh bukan pemilik rumah melalui mekanisme bukan sewa menyewa dapat terjadi pada rumah milik seseorang yang ditinggalkan oleh pemiliknya karena suatu keperluan. Selama jangka waktu tersebut, pemilik rumah memperkenankan orang lain untuk menghuni rumahnya tanpa membayar uang sewa. Sebagai contoh dimisalkan pemilik rumah bepergian keluar negeri untuk waktu tertentu sebagai pekerja atau tugas belajar di luar kota. [3] Setiap orang yang telah memiliki hak milik atas tanah dan rumah yang melekat diatasnya tidak serta merta terbebas dari permasalahan-permasalahan. Salah satu permasalahan yang sering muncul adalah ketika seseorang yang memiliki hak milik atas suatu tanah (benda tak bergerak) tidak menempati tanah tersebut. Tetapi pada waktu-waktu tertentu tanah tersebut ditempati oleh orang lain tanpa seizin pemilik pemilik hak.

Fenomena tersebut sering ditemui dimana banyak tunawisma atau gelandangan atau pengemis mendiami suatu tanah yang bukan miliknya dan membangun bangunan semi permanen guna tempat tinggalnya. Salah satu contoh diantarnya adalah pada saat Satuan Polisi Pamong Praja (Selanjutnya disebut Pol PP) melakukan operasi ketertiban umum (Trantibum), Pol PP menjaring satu keluarga gelandangan (tunawisma) didaerah Bandar Lampung. di Rawa Laut, Kecamatan Enggal, Bandar Lampung, Pol PP menemui Suami istri dan dua orang anak yang berada di rumah kosong. Selain menjaring satu keluarga, Pol PP juga menjaring 4 anak di bawah umur yang selama ini mengemis. Lokasi rumah kosong tersebut diduga sebagai tempat bersarangnya para tunawisma. [4]

Liputan6.com memeberikan keterangan bahwa Kota Jakarta menempati urutan ke 5 didunia sebagai Kota yang memiliki tunawisma. Populasi tunawisma di Jakarta membengkak karena bencana alam seperti banjir. Di masa lalu, jumlahnya telah melewati batas 220.000. Namun, populasi tunawisma kini hanya berada di angka 50.000. Penyebab utamanya adalah kemiskinan, biaya hidup yang tinggi dan biaya perumahan serta pengangguran. [5]

Lebih khusus BPS Provinsi Jawa Timur, melalui data terbarunya tahun 2016, yang bersumber dan diolah dari dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur, menjelaskan bahwa Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Menurut Kabupaten/Kota, terdapat 2.372 Gelandangan dan Gelandangan Psikotik diseluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur, dan Kabupaten Banyuwangi menempati tempat tertinggi dengan jumlah 267 orang gelandangan (tunawisma). Jumlah tersebut masih belum ditambah dengan jumlah pengemis mencapai 3.683 orang, dan anak jalanan yang mencapai 2.405 orang diseluruh Provinsi Jawa Timur. [6] Data tersebut menjadi acuan bahwasanya keadaan sosial kemasyarakatan di Indonesia, khususnya di Jawa Timur masih membutuhkan banyak sekali perhatian.

Jumlah penduduk di suatu daerah yang semakin bertambah, berbanding lurus dengan meningkatnya kebutuhan lahan untuk perumahan atau permukiman. Tidak sedikit dalam upaya memenuhi kebutuhan akan lahan perumahan tersebut kemudian ada oknum masyarakat yang menggunakan tanah/lahan yang kurang dirawat pemiliknya (karena pemiliknya diluar kota) dengan cara mendirikan bangunan tanpa izin diatas lahan milik orang yang berhak. [7] Hal tersebut biasanya disebut sebagai rumah liar. Rumah liar, sebagai negeralisasi diartikan sebagai suatu kawasan permukiman yang terbangun pada lahan kosong (liar) di kota baik milik swasta maupun pemerintah, tanpa hak yang legal terhadap lahan dan/atau izin dari penguasa yang membangun, didiami oleh orang sangat miskin yang tidak mempunyai akses terhadap pemilikan lahan tetap.

Permasalahan menjadi bertambah apabila seluruh kelompok masyarakat baik gelandangan (tunawisma), pengemis, dan anak jalanan yang tidak memiliki tempat tinggal, secara sepihak menempati rumah dan/atau tanah milik orang lain. Hal tersebut yang menyulitkan pemilik rumah dan/atau tanah untuk melakukan pengusiran terhadap orang-orang tersebut.

Permasalahan yang terjadi akibat penguasaan tanah oleh tunawisma yang mendirikan bangunan diatasnya tanpa seizin oleh pemilih tanah membuat permasalahan bagi pemilik tanah. Pemilik tanah perlu mengetahui perlindungan hukum bagi tanahnya dan upaya hukum untuk mempertahakan hak atasa tanahnya tersebut. Sehingga disini penulis tertarik untuk mengambil rumusan masalah yakni upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pemilik tanah yang tanahnya dikuasai oleh Tunawisma.

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan statue approach, dengan cara meninjau perundang-undangan terkait isu hukum yang sedang diteliti. Dari sumber bahan hukum primer berupa undang-undang dan sumber bahan hukum sekunder berupa jurnal ilmiah. Penulis menggunakan metode analisis secara deduktif yaitu dengan cara mengolah bahan hukum secara umum dan menganalisis permasalahan hukum berdasarkan fakta yang ada dilapangan sehingga dapat ditarik kesimpulan atas penelitian tersebut. [8]

HASIL DAN PEMBAHASAN

Upaya Hukum Pemilik Tanah yang Tanahnya Dikuasai oleh Tunawisma

Secara umum upaya hukum adalah cara untuk menyelesaikan permasalahan, secara garis besar terdapat dua model penyelesaian permasalahan, yakni secara litigasi dan non-litigasi. Upaya Hukum litigasi adalah persiapan dan presentasi dari setiap kasus, termasuk juga memberikan informasi secara menyeluruh sebagaimana proses dan kerjasama untuk mengidentifikasi permasalahan dan menghindari permasalahan yang tak terduga. Sedangkan Jalur litigasi adalah penyelesaian masalah hukum melalui jalur pengadilan. KUHAP menjelaskan upaya hukum adalah “Hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 1 butir 12 KUHAP)”

Penulis memaksudkan disini penyelesaian sengketa non litgasi, lebih diarahkan kepada upaya hukum diluar proses peradilan, dimana alternatif ini diambil demi tercapainya tujuan hukum tetapi tidak dilakukan melalui proses peradilan. Subjek hukum yang mengalami kerugian dapat melakukan pelaporan melalui perangkat pemerintahan terkait yang bertanggungjawab dalam melakukan penyelesaian permasalahan.

Upaya hukum jika ditarik sebuah kesimpulan dapat dilakukan melalui jalur litigasi dan non litigasi. Terkait penelitian penulis yakni upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pemilik tanah yang tanahnya dikuasai oleh Tunawisma. Penulis membagi upaya hukum yang dapat dilakukan melalui dua mekanisme, jalur litigasi dengan melakukan prosedur pelaksanaan hukum pidana di Indonesia, dan jalur non litigasi melalui prosedur penganan kesehjateraan sosial bagi masyarakat rentan (tunawisma/ gelandangan).

Seperti yang kita ketahui gelandangan “(tunawisma) dan pengemis disebut sebagai salah satu penyakit sosial atau penyakit sosial (Patologi Sosial). Segala bentuk tingkah laku dan gejala-gejala sosial yang dianggap tidak sesuia, melanggal norma- norma umum, adat istiadat, hukum fromal, atau tidak bisa dintegrasiakan dalam pola tingkah laku umum dikatagorikan sebagai penyakit sosial atau penyakit masyarakat.”[9]

Provinsi Jawa Timur melalui Badan Pusat Statik, pada tahun 2016 telah merilis jumlah tunawisma yang ada di Provinsi Jawa Timur. Data tersebut diambil dari Dinas Sosial Provisi Jawa Timur. Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Menurut Kabupaten/Kota, terdapat 2.372 Gelandangan dan Gelandangan Psikotik diseluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur, dan Kabupaten Banyuwangi menempati tempat tertinggi dengan jumlah 267 orang gelandangan (tunawisma). Jumlah tersebut masih belum ditambah dengan jumlah pengemis mencapai 3.683 orang, dan anak jalanan yang mencapai 2.405 orang diseluruh Provinsi Jawa Timur. [10] Data tersebut menjadi acuan bahwasanya keadaan sosial kemasyarakatan di Indonesia, khususnya di Jawa Timur masih membutuhkan banyak sekali perhatian.

Masih dalam data yang sama yang telah diambil dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Terdapat 40 orang gelandangan yang terdapat di Kabupaten Sidoarjo. Sedangkan Pemulung sendiri terdapat 102 orang. Dinas Sosial tidak mendapati Pengemis di Kabupaten Sidoarjo. Data terbaru yang dimiliki Dinas Sosial tersebut diperbarui pada tahun 2016. Tetapi pada faktanya tahun 2020, khususnya Bulan September 2020 “Badan Pusat Statistik (BPS) Sidoarjo, selain masih melaksanakan Sensus Penduduk 2020, Kepala BPS Sidoarjo terdapat 75 orang PMKS (Penyandang Masalah Kesehjateraan Sosial). Kepala BPS menyebutkan dalam kegiatan hanya sehari yang dimulai pada pukul 22.00 hingga 06.00 WIB saja.”[11]

Upaya hukum melalui prosedur hukum pidana di Indonesia

Pengertian Hukum Pidana Indonesia dalam menyikapi penguasaan tanah oleh tunawisma dikenal dalam pasal 385 ayat (1) dan Pasal 167 ayat (1) KUHP, dimana penguasaan tanah, dan apabila ada rumah yang melekat diatasnya, oleh karenanya dapat diberikan pidana bagi pelanggaranya. Pemilik tanah dan/atau rumah yang melekat diatasnya dapat diberikan perlindungan hukum secara penuh oleh negara.

KUHP tidak menjelaskan secara tegas terkait penyerobotan tanah yang dilakukan oleh seorang, tetapi dalam pasal 385 ayat (1) KUHP yang mengatur terkait kejahatan langsung yang berkaitan dengan kepemilkan tanah. R. Soesilo menjelaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang terdapat dalam pasal disebut (Pasal 385 ayat (1) KUHP) dengan kejahatan Stellionnaat yang berarti penggelapan hak atas barang-barang yang tidak bergerak, barang-barang yang tidak bergerak misalnya tanah, sawah, gedung, dan lain-lain. [12] selanjutnya KUHP lebih lanjut menjelaskan bahwa, apabila kita memiliki hak atas suatu rumah (hunian), dan ketika hunian terebut dimasuki tanpa ijin oleh orang lain, maka hal tersebut dapat dilakukan pengusiran secara paksa dan pemberian pidana kepada orang tersebut. Hal-hal tersbeut dijelaskan dalam Pasal 167 (1) KUHP.

Upaya hukum subjek hukum perseorangan yang tanahnya dikuasi oleh tunawisma dapat dilakukan melalui prosedur hukum pidana. Perseorangan yang merasa dirugikan tanahnya dikuasai oleh tunawisma dapat melaporkan ke kepolisian terkait hal tersebut. Tunawisma tersebut dapat didalihkan melakukan pelanggaran hukum pidana yang telah diatur dalam pasal 167 ayat (1) dan pasal 385 ayat (1) KUHP.

Tindakan tunawisma tersebut telah melanggar peraturan terkait memasuki pekarangan milik orang lain dan melakukan aktivitas didalamnya demi mendapatkan keuntungan diri sendiri, yang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan melawan hukum, dapat diberikan sebuah pidana bagi yang melanggarnya. Atas tindakan yang dilakukan tunawisma tersebut dapat dilakukan laporan ke kepolisian, terkait adanya penguasaan tanah secara sepihak, dan melawan hukum oleh tunawisma tersebut. Tetapi perlu diketahui bahwa, alasan dalam membuat laporan kepada kepolisian haruslah jelas baik locus delicte, tempus delicte, hingga tindak pidana yang telah dilanggar, dan baik pula pelanggarnya (subjek hukumnya).

Pada dasarnya, dalam suatu permohonan pemrosesan suatu peristiwa pidana perlu diketahui terlebih dahulu tentang apakah peristiwa pidana tersebut merupakan delik aduan (Klacht Delicten) atau delik biasa (Gewone Delicten). Drs. P.A.F. Lamintang, [13] memberi pengertian delik aduan dan delik biasa, antara lain

Delik aduan merupakan tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Sedangkan delik biasa adalah tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa terhadap permohonan pemrosesan peristiwa pidana yang termasuk delik aduan hanya dapat ditindaklanjuti oleh yang berwajib (dalam hal ini pemerintah yang diwakili oleh polisi, kejaksaan, dan hakim) apabila didahului dengan pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan, sedangkan permohonan pemrosesan peristiwa pidana yang termasuk delik biasa dapat ditindaklanjuti oleh yang berwajib tanpa harus didahului dengan pengaduan terlebih dahulu.

Laporan ke Kepolisian merupakan hal yang lumrah terjadi dikarenakan ada sebuah peristiwa dimana hal tersebut oleh negara kewenangannya diberikan kepada Kepolisian untuk melakukanan penegakan terkait persitiwa tersebut (lihat pasal 1 angka 2 KUHAP). Peristiwa yang dilaporkan belum tentu perbuatan pidana, membutuhkan sebuah tindakan penyelidikan oleh pejabat yang berwenang terlebih dahulu untuk menentukan perbuatan tersebut merupakan tindak pidana atau bukan. Kita sebagai orang yang melihat suatu tindak kejahatan memiliki kewajiban untuk melaporkan tindakan tersebut. Lebih lanjut terkait hal tersebut dalam Pasal 108 ayat (1) dan ayat (6) KUHAP.

Prosedur pelaporan dapat dilakukan melalui dengan mendatangi Kantor Kepolisian tedekat pada lokasi peristiwa penguasaan tanah oleh tunawisma tersebut terjadi. Bedasarkan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia selanjutnya disebut PP 23/2007), adapun daerah kepolisian antara lain: a. Daerah hukum kepolisian Markas Besar (MABES) POLRI untuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. Daerah hukum kepolisian Daerah (POLDA) untuk wilayah provinsi; c. Daerah hukum kepolisian Resort (POLRES) untuk wilayah kabupaten/kota; dan d. Daerah hukum kepolisian Sektor (POLSEK) untuk wilayah kecamatan.

Untuk wilayah administrasi Kepolisian, daerah hukumnya dibagi berdasarkan pemerintahan daerah dan perangkat sistem peradilan pidana terpadu. Sebagai misal penguasaan tanah oleh tunawisma terebut terjadi di suatu kecamatan, maka dapat melaporkan hal tersebut ke Kepolisian tingkat Sektor (POLSEK) di mana tindak pidana itu terjadi. Akan tetapi, juga dibenarkan/dibolehkan untuk melaporkan hal tersebut ke wilayah administrasi yang berada di atasnya misal melapor ke POLRES, POLDA atau MABES POLRI.

Dalam proses membuat laporan dikepolisian tersebut, pemilik tanah dapat langsung melaporkan melalui bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) yang merupakan unsur pelaksana tugas pokok di bidang pelayanan kepolisian. Dalam Pasal 106 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor (Perkap 23/2010), SPKT memiliki tugas memberikan pelayanan terhadap laporan/pengaduan masyarakat.

(Perkap 6/2019) memberikan penjelasan terkait mekanisme penyidikan dilaksanakan berdasarkan Laporan Polisi dan Surat Perintah Penyidikan. Mekanisme dilakukan melalui beberapa tahapan diantaranya dalam pasal 13 sampai 15 peraturan a quo. Setelah penulis rangkum, tahapan-tahapan yang harus dilalui antara lain

  1. Setelah Surat Perintah Penyidikan diterbitkan, dibuat Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
  2. SPDP dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat tujuh hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.
  3. Dalam hal Tersangka dalam hal ini tunawisma tersebut didapatkan, ditetapkan setelah lebih dari tujuh hari diterbitkan Surat Perintah Penyidikan, dikirimkan surat pemberitahuan penetapan tersangka dengan dilampirkan SPDP sebelumnya.
  4. Apabila Penyidik belum menyerahkan berkas perkara dalam waktu 30 hari kepada Jaksa Penuntut Umum, Penyidik wajib memberitahukan perkembangan perkara dengan melampirkan SPDP.
  5. Sebelum melakukan penyidikan, Penyidik wajib membuat rencana penyidikan yang diajukan kepada atasan Penyidik secara berjenjang.

Konsep hukum pidana menganut konsep ultimum remidium. Sehingga perlindungan hukum dan upaya hukum pidana merupakan upaya hukum terakhir yang seharusnya dilakukan. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum hadir dalam masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain. Pengkoordinasian kepentingan-kepentingan tersebut dilakukan dengan cara membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara memberikan kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam memenuhi kepentingannya tersebut. Pemberian kekuasaan, atau yang sering disebut dengan hak ini, dilakukan secara terukur, keluasan dan kedalamannya. [14]

Terkait fungsi hukum untuk memberikan perlindungan, Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta mengatakan bahwa hukum itu ditumbuhkan dan dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian manusia untuk menciptakan kondisi yang melindungi dan memajukan martabat manusia serta untuk memungkinkan manusia menjalani kehidupan yang wajar sesuai dengan martabatnya. [15] Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa:

“Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindugan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan ekpada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah.”[16]

Istilah perlindungan hukum dalam bahasa inggris dikenal dengan legal protection, sedangkan dalam bahasa belanda dikenal dengan Rechts bescherming. Secara etimologi perlindungan hukum terdiri dari dua suku kata yakni Perlindungan dan hukum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perlindungan diartikan (1) tempat berlindung, (2) hal (perbuatan dan sebagainya), (3) proses, cara, perbuatan melindungi. [17] Hukum adalah Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan secara profesional. Artinya perlindungan adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan dengan cara-cara tertentu menurut hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan atau korban, yang dapat diwujudkan dalam bentuk seperti melalui restitusi, kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum. [18] Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman, sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.[19]

Dalam kaitanya dengan perlindungan hukum bagi rakyat, Philipus M.Hadjon membedakan dua macam sarana perlindungan hukum, yakni:

  1. Sarana Perlindungan Hukum Preventif. Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa.
  2. Sarana Perlindungan Hukum Represif. Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum. [20]

Sehingga atas pandangan yang dipaparkan oleh pakar di atas, bahwa Perlindungan hukum yang diberikan kepada subyek hukum dalam bentuk perangkat aturan hukum dan cara cara tertentu baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif. Hal tersebut merupakan representasi dari fungsi hukum itu sendiri untuk memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.

Sehingga berdasarkan uraian dan pendapat para pakar di atas dapat simpulkan bahwa perlindungan hukum adalah perbuatan untuk melindungi setiap orang atas perbuatan yang melanggar hukum, atau melanggar hak orang lain, yang dilakukan oleh pemerintah melalui aparatur penegak hukumnya dengan menggunakan cara-cara tertentuberdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai upaya pemenuhan hak bagi setiap warga negara, termasuk atas perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penguasa (aparatur penegak hukum itu sendiri).

Perlindungan hukum dalam hukum pidana merupakan hal yang mutlak harus diberikan negara melalui lembaga-lembaga negara dan aturan-aturan tertulis (dikarenakan Indonesia menganut civil law system). Tetapi harus diingat bahwasanya dalam perlindungan hukum terdapat 2 jenis perlindungan yakni, perlindungan hukum yang diberikan kepada subyek hukum dalam bentuk perangkat aturan hukum dan cara cara tertentu baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif. KUHP melalui pasal 385 ayat (1) dan Pasal 167 ayat (1) menerangkan secara jelas bahwasanya terdapat perlindungan hukum terkait penguasaan tanah oleh seseorang tanpa ijin dari pemilik tanah. Tetapi harus diingat bahwasanya hukum pidana merupakan sebuah ultimum remedium.

Ultimum remedium yakni upaya terakhir yang dapat diambil oleh seseorang. norma-norma atau kaidah-kaidah dalam bidang hukum tata negara dan hukum tata usaha negara harus pertama-tama ditanggapi dengan sanksi administrasi, begitu pula norma-norma dalam bidang hukum perdata pertama-tama harus ditanggapi dengan sanksi perdata. Hanya, apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata ini belum mencukupi untuk mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai pamungkas (terakhir) atau ultimum remedium.

Hal ini masuk akal dikarenakan posisi orang yang memasuki lahan / tanah merupakan seorang tunawisma, dimana tunawisma merupakan kelompok rentan yang harus dilindungi dan diberikan bantuan oleh pemerintah melalui kementrian sosial. Tunawisma atau gelandangan adalah orang yang tidak tentu tempat tinggalnya, pekerjaannya dan arah tujuan kegiatannya. Dalam keterbatasan ruang lingkup sebagai gelandangan tersebut, mereka berjuang untuk mempertahankan hidup di daerah perkotaan khususnya, dengan berbagai macan strategi, seperti menjadi pemulung, pengemis, pengamen, dan pengasong. Perjuangan hidup sehari-hari mereka mengandung resiko yang cukup berat, tidak hanya karna tekanan ekonomi, tetapi juga tekan sosial budaya dari masyarakat, serta kerasnya kehidupan jalanan.

Sehingga tepat kiranya apabila perlindungan hukum seorang yang tanah/lahan dan rumah yang melekat diatasnya dikuasai oleh tunawisma secara melawan hukum, penerapan hukum pidana atasnya merupakan sebuah ultimum remedium (upaya terakhir). Tunawisma yang merupakan kelompok rentan juga harus diberikan perlindungan oleh negara melalui Kementrian Sosial dan perangkat-perangkat bernegara untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Proses gugatan melalui mekanisme proses beracara menurut hukum acara perdata melalui pengadilan negeri, dapat diaakukan melalui alasan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), berbunyi: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.” Dari bunyi Pasal tersebut, maka dapat ditarik unsur-unsur PMH antara lain: a. Ada perbuatan melawan hukum;b. ada kesalahan; c. Ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan; dan d. Ada kerugian.

Tindakan tunawisma dalam menguasai tanah dan/atau bangunan diatasnya milik perorangan, sudah melanggar hak-hak kebendaan yang telah dijelaskan dalam UUPA. Hak-hak yang dilanggar sesuai dengan hukum perdata di Indonesia. Sehingga dapat dilakukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum. dimana perbuatan tunawisma tersebut telah memenuhi unsur sebagai berikut:

Perbuatan melawan hukum berarti adanya perbuatan atau tindakan dari pelaku yang melanggar/melawan hukum. Sebelumnya, pengertian melanggar hukum ditafsirkan sempit, yakni hanya hukum tertulis saja, yaitu undang-undang. Jadi seseorang atau badan hukum hanya bisa digugat kalau dia melanggar hukum tertulis (undang-undang) saja. Sejak tahun 1919, ada putusan Mahkamah Agung Belanda dalam kasus Arrest Cohen-Lindenbaum (H.R. 31 Januari 1919), yang kemudian telah memperluas pengertian melawan hukum tidak hanya terbatas pada undang-undang (hukum tertulis saja) tapi juga hukum yang tidak tertulis.

Perbuatan Tunawisma yang menguasai tanah dan/atau bangunan di atasnya jelas-jelas melanggar undang-undang. Dimana perbuatan tersebut hak subjektif orang lain yang dijamin oleh hukum. Hak yang telah dilanggar adalah terkait hak kebendaan milik orang lain, khususnya terkait hak atas tanah. Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya hak-hak yang dilanggar adalah diantaranya: a. Hak milik;b. Hak guna usaha; c. Hak guna bangunan; dan d. Hak pakai.

Kesalahan ini ada 2 (dua), bisa karena kesengajaan atau karena kealpaan. Kesengajaan maksudnya ada kesadaran yang oleh orang normal pasti tahu konsekuensi dari perbuatannya itu akan merugikan orang lain. Sedang, Kealpaan berarti ada perbuatan mengabaikan sesuatu yang mestinya dilakukan, atau tidak berhati-hati atau teliti sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain. [21] Namun demikian adakalanya suatu keadaan tertentu dapat meniadakan unsur kesalahan, misalnya dalam hal keadaan memaksa (overmacht) atau si pelaku tidak sehat pikirannya (gila).

Penguasaan yang dilakukan oleh tunawisma jelas dilakukan secara kesengajaan. Dimana hal tersebut dilakukan tunawisma dikarenakan tunawisma tidak memiliki tempat untuk tinggal. Sehingga tunawisma memilih untuk meninggali tanah dan/atau bangunan milik orang lain secara sepihak.

Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan yang dilakukan dengan akibat yang muncul. Misalnya, kerugian yang terjadi disebabkan perbuatan si pelaku atau dengan kata lain, kerugian tidak akan terjadi jika pelaku tidak melakukan perbuatan melawan hukum tersebut.

Pebuatan yang dilakukan oleh tunawisma terkait penguasaan tanah dan/atau bangunan milik orang lain secara sepihak tersebut jelas memberikan akibat kepada sang pemilik. Akibat yang ditimbulkan antaralain pemilik tidak dapat melakukan penguasaan secara fisik tanah dan/atau bangunan yang dimilikinya secara sah.

  1. Ada perbuatan melawan hukum;
  2. Ada kesalahan;
  3. Ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan;
  4. Ada kerugian.

Akibat perbuatan pelaku menimbulkan kerugian. Kerugian di sini dibagi jadi 2 (dua) yaitu Materil dan Imateril. Materil misalnya kerugian karena tabrakan mobil, hilangnya keuntungan, ongkos barang, biaya-biaya, dan lain-lain. Imateril misalnya ketakutan, kekecewaan, penyesalan, sakit, dan kehilangan semagat hidup yang pada prakteknya akan dinilai dalam bentuk uang.

Tindakan tunawisma dikarenakan menguasai tanah dan/atau bangunan milik orang lain secara sepihak adalah

  1. Pemilik rumah tidak dapat menempati tanah dan/atau bangunan tersebut secra fisik. Sehingga tidak dapat melakukan tindakan-tindakan ekonomi atas aset miliknya tersebut. Hal tersebut menjadi kerugian materiil terhadap pemilik atas tanah dan/atau bangunan.
  2. Pemilik mengalami keresahan akibat ulah tunawisma yang telah menempati tanah dan/atau bangunan milik orang lain secara sepihak. Keresahan yang dialami terjadi dikarenakan pemilik takut tidak lagi bisa memiliki tanah dan/atau bangunan miliknya. pemilik disisi lain harus mengeluarkan tenaga lebih untuk melakukan tindakan / upaya hukum terhadap tunawisma tersebut.

Perbuatan tunawisma yang telah menguasai tanah dan/atau bangunan milik orang lain secara sepihak, dapat dikategorikan masuk dalam Perbuatan Melawan Hukum secara hukum perdata. sehingga pemilik tanah dan/atau bangunan dapat melakukan gugatan secara keperdataan kepada Pengadilan Negeri.

Proses peradilan melalui mekanisme gugatan keperdataan haruslah bersabar, dikarenakan memang tergugat (tunawisma) dapat melakukan upaya hukum banding, kasasi, maupun peninjauan kembali sehingga memerlukan waktu yang cukup panjang. sehingga mekanisme melalui upaya hukum melalui mekanisme perdata terkait sengketa pertanahan jarang diajukan.

Hal ini merupakan suatu hal yang perlu dipertimbangkan, bahwa penyelesaian dengan cara melalui lembaga peradilan umum ini, memakan waktu yang sangat lama. Sebagaimana di kemukakan oleh Nia Kurniati, bahwa Penyelesaian sengketa di pengadilan diprediksi harus mengorbankan banyak hal seperti:

  1. Waktu yang relatif lama, jika pihak yang kalah tidak puas dengan putusan pengadilan, dalam hal ini dapat menempuh upaya hokum banding ke Pengadilan Tingggi (PT), pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), Peninjauan Kembali (PK);
  2. Biaya yang tidak terukur, karena Penyelesaian sengketa memalui pengadilan terikat oleh prosedur penyelesaian yang rumit dan membutuhkan waktu panjang sehingga biaya menjadi tidak terprediksi;
  3. Putusan pengadilan seringkali tidak dapat langsung di eksekusi;
  4. Seringkali putusan pengadilan diwarnai campur tangan pihak lain yang bersifat non-yuridis yang mengakibatkan pengadilan terkadang diragukan sebagai benteng terakhir untuk menemukan keadilan, dan dalam pengambilan keputusan terkadang pertimbangan non yuridis menjadi dominan. [22]

Sebagai pengingat, keadilan yang seadil-adilanya adalah dengan cara perdamaian. Maka dari itu, mekanisme peradilan perdata yang pasti dilalui terlebih dahulu adalah proses mediasi. Sehingga apabila para pihak bersepakat dengan hasil mediasi, maka proses peradilan perdata tidak lanjutkan. Apabila penyelesaian melalui musyawarah/mediasi diantara para pihak yang bersengketa tidak tercapai / tidak dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, maka penyelesaiannya harus melalui pengadilan. Proses akan dilanjutkan sampai dapat dijumpai putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (In Kracht Van Gewijsde). [23] Kemudian apabila sudah ada keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Maka atas tanah sengketa tersebut dapat dimintakan ekskusi terhadap putusan tersebut.

Gugatan Perbuatan melawan hukum dalam hal ini diajukan karena, si tunawisma menempati tanah yang bukan haknya, atau secara melawan hukum dan juga membangun bangunan semi permanen atau bahkan permanen, sehingga gugatan yang diajukan adalah PMH. Selain itu, gugatan PMH tersebut diajukan dengan disertai permohonan untuk mengosongkan tanah tersebut dalam keadaan baik dan kosong dalam waktu tertentu. Hal tersebut yang nantinya dapat menjadi instrumen dasar eksekusi pengosongan atau memerintahkan si tunawisma dengan berdasar putusan pengadilan untuk pergi, meninggalkan dan mengosongkan tanah tersebut.

“Gelandangan (Tunawisma) dan pengemis disebut sebagai salah satu penyakit sosial atau penyakit sosial (Patologi Sosial). Segala bentuk tingkah laku dan gejala-gejala sosial yang dianggap tidak sesuia, melanggal norma- norma umum, adat istiadat, hukum fromal, atau tidak bisa dintegrasiakan dalam pola tingkah laku umum dikatagorikan sebagai penyakit sosial atau penyakit masyarakat.” [24]

Gelandangan yang merupakan kelompok rentan, lebih baik dilakukan upaya penanganan non litigasi dari pada dilakukan upaya litigasi melalui pelaporan ke kepolisian. Hal ini dikarenakan memang mayoritas gelandangan tidak memiliki identitas yang jelas. Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis (PP Gelandangan dan Pengemis) menjelaskan bahwa

“Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.”

Penjelasan Pasal 1 angka 1 PP Gelandangan dan Pengemis tersebut secara terang menyatakan bahwa gelandangan memang tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum, sehingga kebanyakan mayoritas dari mereka akan melakukan penguasaan atas tanah milik orang lain secara melawan hukum. Sehingga hal tersebut akan sangat meresahkan.

Pemerintah selaku stakeholder diharuskan untuk melakukan tindakan meresahkan tersebut. Dikarenakan akan mengganggu ketertiban umum. Pemerintah melalui Kementrian Sosial ditugaskan untuk menangani permasalahan Tunawisma tersebut. Kementerian Sosial pada tahun 2018 telah mengeluarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 9 Tahun 2018 Tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial di Daerah Provinsi dan Di Daerah Kabupaten/Kota (PP Pelananan Dasar Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial). Peraturan tersebutlah yang digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan penanganan Tunawisma yang meresahkan masyarakat.

Pasal 6 peraturan a quo menjelaskan bahwa, pemerintah daerah adalah sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pemberian layanan sosial terhadap tunawisma / gelandangan. Dimana sesuai dengan ayat (1) dan (2) peraturan a quo yang berbunyi: (1) Peraturan Menteri ini sebagai acuan Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dalam menetapkan Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Kepala Daerah mengenai rencana pemenuhan Pelayanan Dasar pada SPM bidang sosial di daerah provinsi dan di daerah kabupaten/kota; dan (2) Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menetapkan target pencapaian SPM bidang sosial selama kurun waktu tertentu, termasuk perhitungan pembiayaan berdasarkan data penerima layanan yang diperoleh setiap tahunnya.

Pemerintah daerah melalui kewenangan desentralisasinta yang sudah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, diberikan wewenang penuh terkait penanganan permasalahan Tunawisma/gelandangan tersebut. Pemerintah Pusat melalui Kementrian sosial hanya memberikan acuan baku terkait standar minimal yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menanganinnya.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 56791) pasal 256 ayat (7) mengamanatkan pengaturan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja (PP Satpol PP) menerangkan bahwa satpol PP memilik tugas antara lain: a. menegakkan Perda dan Perkada; b. menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman; dan c. menyelenggarakan pelindungan masyarakat.. Pol PP adalah anggota Satpol PP sebagai aparat Pemerintah Daerah yang diduduki oleh pegawai negeri sipil dan diberi tugas, tanggung jawab, dan wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman serta pelindungan masyarakat. Sementara itu Satpol PP adalah perangkat daerah yang dibentuk untuk menegakkan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat. Fungsi dan wewenang Pol PP, dijelaskan dalam pasal 6 dan 7 Peraturan Pemerintah Satpol PP. berdasarkan fungsi, tugas, dan wewenang Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) tersebutlah, salah satu hal yang dapat dilakukan oleh Satpol PP menangani terkait permasalahan Tunawisma yang ada didaerah-daerah, termasuk tunawisma yang menguasi tanah perseorangan. orang yang memiliki hak atas tanah tersebut dapat melaporkan kepada Satpol PP atas pelanggaran yang dilakukan oleh tunawisma tersebut.

Seorang yang tananhnya dikuasi secara melawan hukum oleh tunawisma dapat melakukan pelaporan kepada Satpol PP terdekat diwilayahnya. Mekanisme pelaporan dapat melalui sistem daring mapun mendatangi lansung kepada Kantor Satpol PP. Satpol PP akan terasa terbantu dengan laporan tersebut, dikarenakan sudah menjadi bagian tugas, fungsi, dan wewenang dalam penanganan tunawisma yang meresahkan masyarakat.

Tunawisma akan dilakukan penertiban akan tindakannya tersebut. Pemerintah melalui Kementrian dan di jawentahkan kepada Pemerintah Daerah akan memberikan pelayanan sosial berupa rehabilitasi sosial, hal ini susuai dengan Pasal 9 (PP Pelananan Dasar Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial). Penanganan secara non litigasi penguasaan tanah yang dilakukan oleh tunawisma secara melawan hukum tersebut dapat dilakukan melalui pengaduan kepada Satpol PP. Sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah, Kementrian Sosial, dan Pemerintah Daerah. Penanganan tunawisma secara non litigasi dirasa memilik efektifitas lebih tinggi daripada secara litigasi. Dikarenakan Tunawisma merupakan kelompok rentan yang harus dilindungi, dan diberikan rehabilitasi oleh pemerintah.

Kesimpulan

Seorang yang memiliki hak atas tanah dan/atau bangunan diatasnya, dan tanah tersebut dilakukan penguasaan secara sepihak dan melawan hukum oleh tunawisma dapat dilakukan upaya hukum, baik melalui melalui mekanisme pidana, perdata, maupun penanganan kesehjateraan sosial melalui dinas sosial. Pelaksanaan upaya hukum melalui mekanisme pidana dapat dilakukan dengan melakukan pelaporan kepada kepolisian terkait pelanggaran hukum pidana yang telah diatur dalam Pasal 167 dan Pasal 385 KUHP.

Upaya hukum melalui mekanisme perdata, yakni dengan cara mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum dengan disertai permohonan untuk mengosongkan tanah tersebut dalam keadaan baik dan kosong dalam waktu tertentu. Hal tersebut yang nantinya dapat menjadi instrumen dasar eksekusi pengosongan atau memerintahkan si tunawisma dengan berdasar putusan pengadilan untuk pergi. Proses pengosongan tanah dan/atau bangunan diatasnya dapat dilakukan ketika putusan sudah berkekuatan hukum tetap.

Selanjutnya bisa dengan mekanisme penanganan kesehjateraan sosial, dapat melalui pengaduan kepada Satpol PP diwilayah hukum (locus) pemilik hak atas tanah tersebut. Satpol PP merupakan kepanjangan tangan dari Kemetrian Sosial dan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten atau Kota. Pengaduan tersebut akan diproses, dan dilanjutkan kepada pemberian rehabilitasi kepada tunawisma yang telah melakukan pelanggaran tersebut.

References