Abstract

The public's need for funding is currently increasing, which is used as additional capital, then people borrow funds from financing institutions on the condition that there is a guarantee to ensure legal certainty and if the debtor has broken his promise later, the object that is guaranteed can be executed, one form of guarantee institution, namely: fiduciary guarantee. The problem examined in this research is whether the decision of the constitutional court number 18 / PUU-XVII / 2019 weakens the implementation of the fiduciary guarantee execution and what is the weakness in the implementation of the fiduciary guarantee execution. The methodology used in this research is juridical and sociological based on field data and statutory regulations which are equipped with theory and literacy then followed by field data to answer the problems studied with a statute approach and analyzed deductively. The results of the research on the execution of the fiduciary object cannot be carried out by the creditor if there is no agreement from the debtor and if it is not interpreted about the existence of a default and the debtor is not willing to give voluntarily and the execution of the execution is not easy for the creditor to do.

Pendahuluan

Seiring dengan berjalannya waktu sangat terasa bahwa perkembangan perekonomian di negara Indonesia ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Sebagimana yang telah diketahui bahwa pembangunan ekonomi merupakan sebagian dari pembangunan nasional, diharapkan dalam negara yang sedang berkembang seperti Indonesia ini, perlu adanya upaya yang dapat menciptakan dan menjadikan tercapainya suatu masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera hal itu terdapat dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Meningkatnya perekonomian saat ini bisa mempengaruhi kebutuhan masyarakat yang beranekagaram, seperti kebutuhan masyarakat akan pendanaan, yang mana dapat digunakan sebagai tambahan modal, guna menunjang usaha yang dimilikinya, karena tidak semua pelaku usaha memiliki modal yang cukup, begitu pula kebutuhan masyarakat akan kendaraan bermotor yang dapat digunakan untuk aktivitas sehari-hari.

Kegiatan pinjam-menimjam dana yang sering terjadi di masyarakat dapat diperhatikan bahwa selain mengadakan perjanjian pinjam-meminjam sebagai perjanjian pokok, lembaga keuangan bank maupun non bank (leasing) selaku pihak yang berpiutang atas kebutuhan masyarakat tersebut, mensyaratkan adanya suatu jaminan, guna menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi pihak pemberi pinjaman yang dituangkann didalam perjanjian jaminan sebagai perjanjian ikutan atau assecoirnya. Jaminan dapat berupa barang (benda) merupakan jaminan kebendaan yang diatur dalam Buku II BW.

Salah satu lembaga jaminan yang dikelan didalam kegiatan pembiayan adalah lembaga jaminan fidusia yaitu, jaminan atas dasar kepercayaan, jaminan ini yang istilah dalam bahasa belanda yaitu FEO (Fiduciare Egindom Overdracht) dengan kata lain Fidusia. Menurut ketentuan pasal 1 angka 1 UUJF, fidusia ialah;

“Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”.[1]

Fungsi dibentuknya jaminan fidusia sebagai sarana perlindungan untuk memberikan kepastian hukum terhadap pihak kreditor apabila pihak debitor dikemudian hari cidera janji dalam memenuhi kewajibannya.[2]

Menurut pendapat Kifni Kahfa Rufaida dan Rian Sucipto, bahwa pelaksanaan jaminan fidusia melalui 2 (dua) tahap yaitu, tahapan pembebanan jaminan fidusia dengan akta notaris, yang kemudian dialanjutkan tahapan yang ke 2 (dua) yaitu, Pendaftaran jaminan fidusia yang didaftarkan oleh Pejabat yang berwenang yakni Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia setempat.[3] Tujuan didaftarkannya jaminan fidusia ini guna memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang berkepentingan, serta memberikan hak yang didahulukan (fteferen) kepada kreditur terhadap kreditur lain.[4]

Perjanjian yang diikat dengan jaminan fidusia sebagaimana ketentuan pasal 6 huruf b UUJF wajib didaftarkan dengan akta notaris yang disebut sebagai AJF, dalam perjanjian jamian fidusia tidak cukup secara akta notariil menurut ketentuan pasal 11 Undang – Undang No. 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia, tetapi juga harus didaftarkan benda yang dibebani dengan jaminan fidusia sebagaimana disebutkan pasal 13 UUJF, pasal 15 UUJF meskipun benda berada di luar wilayah negara Republik Indonesia ketentuan tersebut tetap berlaku dan wajib didaftarkan. Atas diterimanya permohonan pendaftaran tersebut, kantor pendaftaran jaminan fidusia menerbitkan sertifikat jaminan fidusia kemudian diberikan kepada kreditur, yang mana dalam sertifikat tersebut dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Tujuan didaftarkannya akta jaminan fidusia tersebut, bilamana debitur dikemudian hari telah lalai dari itikad baiknya dalam memenuhi kewajibannya, dapat mempermudah penerima fidusia dalam melaksanakan asas droit the suit. Asas droit de suite merupakan suatu ciri kebendaan yang haknya mengikuti bendanya di tangan siapapun berada, asas ini mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mempertahankan bendanya dimanapun dan ditangan siapapun benda tersebut berada.[5]

Ada tiga cara eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia sebagaimana yang diatur pasal 29 UUJF, yaitu:

a. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 15 ayat (2) oleh penerima fidusia.

b. Penjualan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui

pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjual penjualan.

c. Penjualan tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara

demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Penjualan ini dilakukan setelah

lewat satu bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh penerima fidusia dari pihak yang berkepentingan dan

diumumkan sedikitnya dalam dua surat kabar yang beredar didaerah yang bersangkutan.[6]

Menurut pendapat Trisadini Prasastindah dan Leonora Bakarbessy, Pasal 15 ayat (2) UU No.42 tentang Jaminan Fidusia, artinya eksekusi dapat dilaksanakan langsung melalui pengadilan dibawah pimpinan ketua pengadilan negeri atau harus ada fiat eksekusi dari ketua pengadilan negeri untuk melaksanakan putusan, jikalau pihak debitur dalam putusan menolak, karena sertifikat fidusia dianggap sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan bersifat final serta mengikat pada pihak untuk melaksanakan putusan.[7]

Pasal 30 UUJF menjelaskan bilamana pemberi fidusia tidak mau menyerahkan obyek yang menjadi jaminan fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, maka penerima fidusia memiliki kewenangan berhak mengambil alih atau mengeksekusi dan jika perlu meminta bantuan kepada pengadilan.[8]

Hapusnya jaminan fidusia berarti tidak berlakunya lagi jaminan fidusia, sebagaimana bunyi pada pasal 25 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999, hapusnya jaminan fidusia karena;

a. Hapusnya utang yang dijamin dengan jaminan fidusia

b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia atau

c. Musnahnya benda yang menjadi byek jaminan fidusia.[9]

Permasalahan sering terjadi adalah ketika debitur sebagai pemberi hak fidusia mengalami kemacetan dalam pembayaran angsuran hal ini dapat dikatakan bahwa tidak dipenuhinya suatu prestasi (wanprestasi) dengan kata lain cidera janji. Sebelum putusan mahkamah konstitusi nomor 18/PUU-XVII/2019, pihak yang memberi pinjaman (kreditur) selaku pemilik hak fidusia bisa mengeksekusi benda yang menjadi obyek jaminan fidusia tanpa melalui pengadilan namun setelah dikeluarkannya putusan mahkamah konstitusi nomor 18/PUU-XVII/2019, perusahaan leasing tidak bisa langsung mengambil alih benda yang dijadikan sebagai obyek jaminan dengan menggunakan sertifikat jaminan fidusia, sepanjang tidak dimaknai terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur tidak bersedia/keberatan menyerahkan benda yang dijadikan sebagai obyek jaminan secara sukarela, berarti diselesaikan melalui pengadilan terlebih dahulu baru kemudian bisa melaksanakan eksekusi jaminan.

Ada beberapa penelitian maupun karya ilmiah terdahulu tentang Pelaksanaan Perjanjian Jaminan Fidusia Pada PT. FIF Astra Ditinjau Dari Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia[10], Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pendaftaran Jaminan Fidusia Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia[11], Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia Berdasarkan Title Eksekutorial[12].

Dari uraian latar belakang dan beberapa penelitian terdahulu tersebut diatas, membahas pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia, persyaratan melakukan pendaftaran jaminan fidusia dan pelaksanaan eksekusi berdasarkan title eksekutorial. Perbedaannya dengan peneliti penulis, apakah dengan adanya putusan mahkamah konstitusi nomor 18/PUU-XVII/2019 melemahkan dalam proses pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, oleh karena itu, penulis mengangkat judul kelemahan eksekusi jaminan fidusia pasca putusan mahkamah konstitusi nomor 18/PUU-XVII/2019.

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis sosiologis dengan pendekatan statute approach, dengan berdasar pada peraturan perundang-undangan terkait isu hukum yang sedang diteliti. Dari sumber data primer dilakukan dengan wawancara dan sumber data sekunder berupa buku, jurnal ilmiah. Penulis menggunakan metode analisis bersifat kualitatif yang pengolahan datanya secara deduktif yaitu dengan cara mengolah data primer secara umum dan menganalisis permasalahan hukum berdasarkan fakta yang ada dilapangan sehingga dapat ditarik kesimpulan atas penelitian tersebut.[13]

Hasil Penelitian

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 Melemahkan Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia

Putusan merupakan pintu masuk kepastian hukum dan keadilan para pihak yang berperkara yang diberikan oleh hakim berdasarkan alat bukti dan keyakinannya, putusan mahkamah konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat pada tingkat pertama dan terakhir. Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945.

Latar belakang dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi 18/PUU-XVII/2019, pada tanggal 6 Januari 2020, bahwa terdapat dua orang pemohon diantaranya Apriliana dewi sebagai pemberi hak fidusia dari sertifikat jaminan fidusia Nomor W11.01617952.AH.05.01 dan Suri Agung Prabowo adalah suami dari pemohon I dimana mereka berdua mengalami kerugian akibat dari penarikan benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang dilakukan oleh debt colletor yang menjalankan tugas dari penerima fidusia untuk mengambil barang yang dikuasai tanpa melalui mekanisme atau prosedur hukum yang benar. Bahwa dengan adanya tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh debt collector yang mengaku telah diberi kuasa untuk melakukan eksekusi atau mengambil alih barang yang masih ada pada tangan atau masih dalam penguasaan debitur tanpa menggunakan tata cara hukum yang baik. Akibat dari tindakan sewenang-sewenang tersebut pihak debitur mengajukan permohonan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sampai dikelauarkannya suatu putusan nomor 345/PDT. G/2018/PN.Jkt Sel yang memutuskan bahwa tindakan debt collecor dan penerima fidusia tersebut telah dijelaskan bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum (PMH). Akibat dari tindakannya, penerima hak fidusia diberi hukuman untuk membayar ganti-rugi baik materiil maupun inmateriil.

Pihak pemohon merasa haknya dirugikan kemudian mengusulkan permohonan uji materiil pada pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) 1 UU. No. 42/1999.

1) Norma yang dimohonkan pengujian materiel UU 42/1999 yaitu:

Pasal 15 ayat (1)

Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata

“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”

Pasal 15 ayat (2)

Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial

yang sama dengan putusan pengadilan yang telah me mperoleh kekuatan hukum tetap.”

Pasal 15 ayat (3)

“Apabila debitur cidera janji penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek

jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.”

Dari kedua bunyi pasal tersebut diatas, para pemohon mendalilkan bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 15 ayat 2 dan ayat (3), UU a quo bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum,

selanjutnya bunyi dari Pasal 27 ayat (1)

“segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada terkecualinya”

Pasal 28D ayat (1)

“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama dihadapan hukum”

Pasal 28G ayat (1)

“setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman, dan perlindungan dari anacaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”

Pasal 28H ayat (4)

“setiap orang mempunyai hak milik pribadi dan hak milik pribadi tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”.

Pertimbangan hukum (Ratio decidendi) sebelum diputuskannya suatu perkara. Para pemohon mengatakan bahwa ketentuan pasal 15 ayat (2) UU a quo, khususnya sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “ sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”, juga memunculkan hal yang tidak pasti dan dianggap berselisih dengan Pasal 28D ayat (1), menurutnya keberadaan frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “ sama dengan putusan pengadilan” dapat diartikan secara tidak sama, pertama ketentuan a quo memberikan kekuasaan/legitimasi kepada pihak kreditur sebagai penerima fidusia untuk melakukan pengeksekusian secara riil pada benda yang menjadi objek jaminan fidusia, bilamana pihak debitur sebagai pemberi fidusia dianggap telah cidera janji (wanprestasi). Proses pelaksanaan eksekusi atau pengambilan alih objek fidusia oleh pihak yang ditunjuk penerima fidusia (dept collector), dimana dalam melakukan pengambilan alih objek fidusia tanpa melalui aturan hukum yang baik, pada hal ini dapat memunculkan perbuatan maupun tindakan kesewang-wenangan pihak kreditur sebagai penerima fidusia dalam mengeksekusi objek fidusia, seperti yang dialami oleh pemohon.

Ketiadaannya kepastian hukum, baik berkenaan dengan tata cara pelaksanaan eksekusi maupun berkenaan dengan waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan “cidera janji”, dan hilangnya kesempatan debitur sebagai pemberi hak fidusia untuk mendapatkan penjualan atas objek fidusia dengan harga pantas dan tidak merugikan kedua belah pihak, disisi lain sering berakibat adanya tindakan yang berupa paksaan dan kekerasan dari pihak yang mengaku mendapat kuasa dari pihak kreditur, untuk melakukan penagihan pinjaman utang debitur sebagai pemberi fidusia, bahkan dalam hal ini telah melahirkan perbuatan secara sepihak atau tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penerima fidusia.

Selanjutnya tanggal 6 Januari 2020, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengeluarkan suatu putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 (“Putusan Mahkamah Konstitusi”) merupakan putusan terkait dengan Pengujian Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, dimana dalam putusannya yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi ini antara lain:

  1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian
  2. Menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
  3. Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”.
  4. Menyatakan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
  5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonsia sebagaimana mestinya.
  6. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Meskipun sertifikat jaminan fidusia mempunyai titel eksekutorial yang berarti dapat dilaksanakan sebagaimana putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, namun setelah adanya putusan MK memaknai kekuatan eksekutorial dari sertifikat jaminan fidusia yang digantungkan pada suatu keadaan yaitu :

amanakala telah ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur tidak keberatan atau bersedia menyerahkan obyek yang menjadi jaminan fidusia secara sukarela, maka Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial, yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap:

bmanakala debitur telah cidera janji (wanprestasi), maka kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai hak atau kewenangan untuk menjual obyek fidusia atas kekuasaannya sendiri, asalkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur, atau atas dasar kesepakatan upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji.

Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia sebelum adanya putusan MK, dilakukan dengan menggunakan sertifikat jaminan fidusia sesuai dengan UUJF, kalau terjadi wanprestasi oleh debitur dan tidak mengakui bahwa telah melakukan wanprestasi, maka pelaksanaan eksekutorialnya dilakukan secara mediasi. Kalau pelaksanaan eksekusi setelah putusan MK, bilamana tidak ada kesepakatan dari debitur maka dilakukan melalui proses pengadilan dan butuh waktu yang lama.[14]

Sebelum adanya putusan MK, pelaksanaan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia dilakukan dengan menggunakan sertifikat jaminan fidusia sesuai dengan UUJF dan apabila debitur tidak mengakui bahwa adanya wanprestasi, maka dilakukan secara mediasi melalui pengaduan ke Kepolisian dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen terlebih dahulu baru ke pengadilan negeri untuk menyelesaikan masalah eksekusi. Kalau setelah putusan MK, intinya harus sepakat dulu dari para pihak, sepakat untuk ketika terjadi wanprestasi dengan kesadaran diri konsumen itu menyerahkan dirinya kepada pihak leasing, bahwa itu selaku pemegang kuasa fidusia, dan punya hak eksekutorial. Ketika terjadi wanprestasi, harus lewat putusan pengadilan negeri padahal itu harus lewat perintah dari pengadilan untuk memerintahkan aparatur terkait untuk mengambil unitnya sesuai dengan putusan MK itu. Dasar hukum untuk eksekutorial masih menggunakan eksekutorialnya, yang penting ada sepakat. Untuk sepakat kan masing-masing pihak diawal harus sesuai dengan perjanjian pembiayan konsumen yang sudah ditandatangani oleh kedua belah pihak, ketika memang terjadi wanprestasi, merasa konsumen itu tidak mampu membayar kredit maka harus menyerahkan dengan sukarela unitnya ke pihak leasing. Kalau mengenai hak paksa yang diatur oleh MK , ketika hak paksanya itu, mau nggak mau leasing selaku pemegang amanah untuk melakukan eksekutorial itu izin ke pengadilan negeri untuk melakukan eksekusi, berdasarkan izin oleh pengadilan negeri itu tergantung pihak leasing ada perintah mau diberi pendampingan atas pengakuan eksekusi jaminan fidusia, jikalau konsumen terjadi ketidaksepakatan untuk menyerahkan.[15]

Kelemahan Eksekusi Jaminan Fidusia pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.

Menurut pendapat M. Yahya Harahap, eksekusi merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara.[16] Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam HIR atau Rbg sebagai dasar hukum pelaksanaan eksekusi. Eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia bisa dilakukan bilamana debitur sebagai pemberi fidusia tidak memenuhi prestasi kepada kreditur.

Wanprestasi atau cidera janji menurut pendapat Munir Fuady, adalah tidak dilaksanakannya kewajiban atau prestasi sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu yang telah disebutkan dalam kontrak, sehingga menimbulkan kerugian yang sebabkan oleh kesalahan salah satu atau para pihak.[17]

Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia melalui putusannya nomor 18/PUU-XVII/2019 menyatakan bahwa Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 tentang Jaminan Fidusia sepanjang frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “terhadap sertifikat jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa tentang “cidera janji” sebagaimana yang diatur dalam pasal 15 ayat (3) Undang-Undang No. 42 tentang Jaminan Fidusia tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak diartikan “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah adanya perbuatan “cidera janji” bisa dilaksanakan oleh kreditur perihal tidak adanya kata keberatan dan melaksanakan upaya hukum, atau paling tidak dalam hal adanya upaya hukum maka melalui putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap”.

Demikian dampak dari lahirnya suatu putusan mahkamah konstitusi tersebut diatas bisa mengakibatkan pihak pembisnis terutama lembaga pembiayaan (leasing) kendaraan bermotor mengalami penurunan dalam melakukan pembiayaan, karena bentuk daripada lembaga pembiayaan atau bank ini menyediakan dan barang modal dengan tidak menarik dana tersebut secara langsung dari masyarakat, melainkan pembayarannya dapat dilakukan secara mengangsur. Namun hal ini krediur sebagai penerima fidusia yang memberi piutang tidak dapat melakukan eksekusi jika tidak ada kesepakatan dari para pihak dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela terhadap objek yang dijadikan sebagai jaminan, meskipun kewenangan ada pada kreditur sebagai pernerima jaminan. Hal ini dapat melemahkan pihak lembaga pembiayaan, karena harus melunasi hutang debitur yang mengalami kredit macet, dan pemberian dana ke konsumen berikutnya akan berkurang, karena operasional harus berjalan terus untuk menyediakaan dana kepada konsumen lainnya.

Figure 1. Alur Eksekusi Jaminan Fidusia Sebelum Dan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019

Kelemahan Eksekusi Jaminan Fidusia sebelum putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 Kelemahan Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019
- Eksekusi dilakukan karena tidak patuhnya debitur sebagai pemberi hak fidusia dalam menjalankan kewajibannya sebagai pihak yang berpiutang sebagaimana yang sebelumnya telah disepakati antara debitur dan kreditur dalam perjanjian fidusia.- Dalam hal ini pelaksanaan eksekusi tidak prosedural, karena banyak yang terjadi perbuatan yang melanggar hukum dan makin hakim sendiri serta melakukan penarikan benda yang menjadi objek jaminan dengan cara memaksa maupun merampas motor yang dilakukan oleh dept collector. - Pelaksanaan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan pasca putusan MK ini, seharusnya pihak kreditur sebagai penerima hak fidusia mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atas benda tersebut namun setelah adanya putusan tidak serta merta dapat melakukannya, melainkan harus ada pendampingan pihak yang di tunjuk oleh pengadilan, sehingga membutuhkan beberapa proses pelaporan dan lebih lama waktumya dan butuh biaya banyak, karena melalui pengadilan.
Table 1.Kelemahan Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia Sebelum Dan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII 2019

Analisis Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.

Menurut analisis saya dari sekian pembahasan diatas, bahwa setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 ini dikabulkan, kewenangan penerima fidusia dalam melakukan titel eksekutorial dengan menggunakan Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 42 Tentang Jaminan Fidusia, yang kekuatannya sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kekuatan tersebut menjadi berkurang. Karena sepanjang dalam sertifikat jaminan fidusia tidak dimaknai dengan tidak adanya kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur sebagai pemberi fidusia keberatan atau tidak bersedia menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, maka penerima fidusia tidak boleh mengeksekusi sendiri, melainkan harus meminta izin kepada ketua pengadilan serta harus mengikuti prosedur hukum dengan mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri.

Lagi pula sebagian jenis benda bergerak mudah rusak serta mudah dipindahtangankan, sehingga bilamana pengaturan eksekusi jaminan fidusia mengharuskan melalui prosedur yang berlarut-larut atau memakan waktu yang lama, dan benda jaminan tersebut akan mengalami hilang, rusak, tentunya merugikan bagi kreditur sebagai penerima hak fidusia. Selain itu, juga dapat melemahkan perusahaan yang menyediakan dana berdasarkan kebutuhan konsumen yang pembayarannya dilakukan secara angsuran, jika salah satu diantara debitur sebagai pemberi fidusia tidak melaksanakan apa yang disanggup atau diperjanjikan dalam perjanjian jaminan fidusia, sedangkan operasional pihak lembaga pembiayaan maupun perbankan harus berjalan terus karena untuk menyiadakan dana konsumen lainnya.

KESIMPULAN

Bilamana pihak debitur sebagai pemberi fidusia telah melakukan cidera janji (wanprestasi) atau lalai dalam memenuhi kewajibannya dalam perjanjian yang diikat dengan jaminan fidusia, maka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia tidak mudah bagi kreditur sebagai penerima hak fidusia untuk melakukan eksekusi, meskipun pihak kreditur mempunyai wewenang untuk mengeksekusi benda yang jadi obyek jaminan fidusia, karena setelah dikeluarkannya putusan MK tersebut diatas, manakala debitur sebagai pemberi fidusia tidak bersedia dan keberatan menyerahkan secara sukarela benda yang dijaminkan dengan fidusia, maka eksekusi tidak dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan sertifikat jaminan fidusia, melainkan harus terlebih dahulu melakukan pengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia kepada pengadilan negeri. Hal ini dapat melemahkan perusahaan lembaga pembiayaan mengenai pelaksanaan eksekusi pada benda yang jadi obyek jaminan dan membutuhkan waktu yang berlarut-larut.

Kelemahan dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia pasca putusan MK ini, sepanjang dalam sertifikat jaminan fidusia tidak dimaknai, tidak adanya kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur tidak bersedia bila menyerahkan secara sukarela benda yang jadi obyek jaminan fidusia, maka pelaksanaan eksekusi dengan sertifikat fidusia, harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

References

  1. H. Salim HS, S.H., M.S. 2008. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Jakarta. Hlm. 56.
  2. Jawade Hafidz Martin Anggiat Maranata Manurung, ‘Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Apabila Objek Jaminan Fidusia Ternyata Hilang Dan Debitor Wanprestasi (Studi Kasus Di PT. Bank Perkreditan Rakyat Dinamika Bangun Arta Salatiga)’, 04.1 (2017), 37.
  3. Khifni Kafa Rufaida dan Rian Sacipto, ‘Tinjauan Hukum Terhadap Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Tanpa Titel Eksekutorial Yang Sah’, Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, 4.1 (2019), 23 <https://doi.org/10.24246/jrh.2019.v4.i1.p21-40>.
  4. Fani Martiawan Kumara Putra, ‘Karakteristik Pembebanan Jaminan Fidusia Pada Benda Persediaan Dan Penyelesaian Sengketa Saat Debitor Wanprestasi’, Perspektif, 21.1 (2016), 38 <https://doi.org/10.30742/perspektif.v21i1.189>.
  5. Ambar Sharen Peari Carakata and Budhisulistyawati, ‘Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Terhadap Objek Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan Pada Kantor Pendaftaran Fidusia’, Jurnal Privat Law, VII.2 (2019), 296.
  6. M. Bahsan S.H., S.E. 2008. Hukum Jaminan Dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, Hal 66-67.
  7. James Ridwan Efferin, ‘Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 James’, Yuriska : Jurnal Ilmiah Hukum, 12.1 (2020), 45 <https://doi.org/10.24903/yrs.v12i1.789>.
  8. Muhammad Junaid Soegianto, Diah Sulistiyani R S, ‘Eksekusi Jaminan Fidusia Dalam Kajian Undang-Undang Excecution Of Fidusial Guarantee In Law Number 42 Of 1999 Concerning Fidusian Guarantee’, Jurnal Ius Constituendum, 4.Nomor 2 (2019), 213.
  9. Undang-undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
  10. Agustina, ‘Pelaksanaan Perjanjian Fidusia Pada FIF Astra Ditinjau Dari Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia’, Jurnal Pro Hukum, IV.1 (2015), 51.
  11. Risfa Sadiqah, R Suharto, and Herni Widanarti, ‘Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pendaftaran Jaminan Fidusia Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia’, Jurnal Hukum Diponegoro, 6.1 (2017), 13.
  12. Benny Krestian Heriawanto, ‘Pelaksanaan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Berdasarkan Title Eksekutorial’, Legality, 27.1 (2019), 54.
  13. Amiruddin, dkk. 2016. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Hal 164.
  14. Wawancara dengan bapak Yetfa Hendra Bawuna, Kepala Kredit PT. Federal Internasional Finance, Bojonegoro, 28 Mei 2020.
  15. Wawancara dengan bapak Yusuf Sofian, Kepala Cabang PT. Federal Internasional Finance, Bojonegoro, 28 Mei 2020.
  16. Ni Putu Theresa Putri Nusantara, ‘Eksekusi Dan Pendaftaran Objek Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia’, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2.2 (2018), 8–9.
  17. DR. Muhammad Syaifuddin, S.H., M.Hum. 2012.Hukum Kontrak Memahami Kontrak Dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, Dan Pratik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan).Bandung.Mandar maju, Hal.338.