This study aims to determine and examine the juridical basis and the process of implementing assimilation during the COVID-19 pandemic. The research method used by the author is normative juridical using a statutory approach or better known as a statute approach and a conceptual approach. The conclusion of this study explains that the Decree of the Minister of Law and Human Rights Number 10 of 2020 is a lex specialist or special rule of Law Number 12 of 1995 which is a lex generalis or general rule where the Decree of the Minister of Law and Human Rights No. 10 of 2020 as lex specialists or special rules only apply to the emergency situation of the covid-19 pandemic on the basis of tackling the prevention of the spread of the covid-19 virus. Decree of the Minister of Law and Human Rights No. 10 of 2020 is a special policy that has positive and negative impacts. The positive impact of this decision is that it can reduce the number of inmates in correctional facilities as a form of preventing the spread of the covid-19 virus, while the negative impact of this decision is that the process of assimilation carried out at home results in the repetition of criminal acts by inmates who received an assimilation program during the COVID-19 pandemic. so that the role of supervisors is expected to work well and maximally to minimize the occurrence of criminal acts again committed by prisoners who receive an assimilation program during the covid 19 pandemic.
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum, [1] mengandung pengertian bahwa segala tatanan kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara adalah didasarkan atas hukum. Sebagaimana disebutkan dalam Pancasila yaitu sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” Menjamin bahwa manusia di indonesia diperlakukan secara adil dan beradab meskipun statusnya merupakan Narapidana serta sila kelima “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” berarti sekalipun menjadi Narapidana berhak untuk mendapatkan hak-haknya seperti manusia normal. Tujuan dari pemidanaan tidak terlepas dari tujuan hukum yaitu suatu perbuatan yang tidak dikehendaki yang mana perbuatan mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Hak Asasi Manusia (Selanjutnya disebut HAM) merupakan hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk tuhan yang maha esa, dan merupakan anugerahnya yang wajib di hormati, di junjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat martabat manusia. [2] Dalam Undang-Undang No 12 Tahun 1995 Pasal 1 angka 3 tertuang dasar hukum yang mengatur tentang Lembaga Pemasyarakatan, bahwa “Lembaga Pemasyarakatan (Selanjutnya disebut Lapas) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan”. Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan dalam kehidupan masyarakat. [3] Mengulas kembali pandemi virus corona (Selanjutnya disebut Covid-19) World Health Organization atau Badan kesehatan Dunia (WHO) Secara resmi mendeklarasikan Covid-19 sebagai pandemi pada tanggal 9 Maret 2020 artinya, Covid-19 telah menyebar secara luas di dunia, yang menyebabkan gejala yang ringan atau sedang hingga menyebabkan masalah kesehatan yang serius. Sejak kasus pertama diumumkan lonjakan pasien positif makin meningkat sehingga diadakannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga berjilid, menurut Satuan Tugas Penanganan Covid (Satgas) tingkat laju kematian tertinggi di Indonesia khususnya pada kota Surabaya dan wilayah Jawa Timur sekitarnya menjadi kota paling tertinggi yang berada pada zona merah setelah Ibukota Jakarta. [4] Dampak terakhir dilihat dalam aspek Penegakan Hukum di masyarakat, melalui Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2020 Penetapan Darurat Kesehatan Masyarakat Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bentuk langkah antisipasi kebijakan Pemerintah. Dengan dalih memutus mata rantai Covid-19 Ditjen Pemasyarakatan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia oleh Yasonna Laoly memberi Asimilasi dan Integrasi terhadap narapidana dan anak. Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan integrasi dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
Menurut Muhammad Hafiz, 2020 berjudul “Kebijakan Pemerintah Dalam Pembebasan Narapidana Akibat Wabah Covid 19”. Berdasarkan Jurnal tersebut menyimpulkan bahwa kebijakan pembebasan narapidana pada saat pandemic covid 19 memiliki banyak kekurangan. Sebagian kalangan menilai keputusan tersebut merupakan langkah yang tepat guna tetap memertahankan hak-hak narapidana. Namun demikian tidak sedikit yang justru menyayangkan keputusan tersebut dengan pertimbangan alasan keamanan dalam masyarakat dan juga kekhawatiran narapidana yang memperoleh asimilasi akan mengulangi tindak pidananya lagi. [5] Selanjutnya menurut Fernando Tantaru, Elsa Rina Maya Toule, Erwin Ubwarin berjudul “Kajian Sosio Yuridis Pembebasan Bersyarat Dan Pemberian Asimilasi Bagi Narapidana Pada Masa Pandemic Covid 19 Ditinjau Dari Perspektif Tujuan Pemidanaan.” Menyimpulkan bahwa program-program asimilasi yang tidak dilaksanakan dengan baik seperti pelatihan skill serta keterampilan, yang disebabkan karena pembinaan narapidana asimilasi hanya dilakukan secara daring atau virtual. Maka akan berdampak baik secara sosiologis maupun yuridis yang tidak hanya berdampak pada narapidana namun juga akan berdampak pada masyarakat, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti narapidana yang menjalani asimilasi dirumah banyak yang belum bisa diterima secara terbuka oleh masyarakat pada lingkungannya dan tentunya banyak yang melanggar protokol kesehatan, padahal tujuan asimilasi pada pandemi covid 19 ini adalah alasan protokol kesehatan. [6]
Dari peneletian-penelitian terdahulu tersebut maka Penulis menyimpulkan bahwasannya telah terjadi kekhawairan masyarakat atas proses asimilasi yang diberikan oleh narapdina dalam masa pandemic covid 19, sehingga penulis akan mengkaji dan menganalisa landasan yuridis yang mendasari pembebasan narapidana dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta proses pelaksanaan pembebasan narapidana yang akan mendapatkan asimilas di masa pandemic covid 19 saat ini.
Namun, pemberian Asimilasi dan Integrasi yang diberikan oleh Narapidana tersebut menimbulkan kontroversi di dalam masyarakat. Diketahui bahwa “polri mencatat 140 napi asimilasi kembali melakukan tindak pidana sampai saat ini,tercatat 140 napi yang kembali melakukan kejahatan ,kata kepala bagian penerangan polri ,kombes (pol) Ahmad Ramadha n melalui video telekomunikasi”.[7] Sehingga perlu adanya pertimbangan yang ketat agar dapat meminimalisir tindak kejahatan yang akan dilakukan narapidana setelah keluar. Dalam pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 terdapat hak-hak narapidana yang harus dijunjung tinggi serta dihormati oleh setip masyarakat termasuk pemerintahan tanpa adanya suatu perbedaan apapun, namun pada Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 10 Tahun 2020 terdapat beberapa golongan narapidana mendapat pengecualian terhadap program asimilasi pada saat pandemi covid 19 yang saat ini sedang kita hadapi bersama.
Dengan adanya latar belakang diatas, maka penulis memiliki tujuan yaitu untuk mengetahui aturan hukumm apa yang digunakan sebagai landasan yuridis dalam pemberian asimilasi terhadap narapidana guna mencegah penyebaran covid-19 jika ada aturan yang bertentangan, serta mengkaji dan menganalisa proses pelaksanaan pemberian asimilasi terhadap narapidana terkait penyebaran virus covid-19.
Penulisan hukum ini memerlukan metode yang tepat guna memecahkan masalah serta menemukan solusi yang tepat, oleh karena itu penelitih memilih penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal, dimana hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertuliskan peraturan perundang-undangan (law in books), dan penelitian terhadap sistematika hukum tertulis. Penulis melakukan penelitian mengenai Keputusan Menteri Hukum dan Ham No. 10 Tahun 2020.
Pendekatan masalah yang diapakai dalam metode ini adalah yuridis normatif , dimana memandang hukum sebagau norma-norma tertulis yang dibuat dan disahkan oleh lembaga yang berwenang. , bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat dan menganggap satu sama lain itu bukan sebagai norma hukum.[8]
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang bersumber dari hukum primer dan data sekunder, dimana jenis datanya meliputi:
1.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2.Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan
3.Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Anak
4.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32 Tahun 1999 sebagaimana telah dilakukan perubahan kedua dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 99 Tahun 2012 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
5.Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No. 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)
6.Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional
7.Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Tentang Syarat Pemberian Asimilasi Dan Hak Integrasi bagi Narapidana Dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 , dan peraturan terkait lainnya.
Kemudian Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma (dasar) atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat dan bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku.
Teori yang digunakan dalam analisa bahan hukum ini adalah teori deduktif, teori deduktif sendiri ialah serangkaian cara berfikir dari mulai rumusan masalah yang bersifat umum hinga ditarik kesimpulan yang bersufat khusus. dalam hal ini adalah penulis merusaha mengkaji dan menganalisa peraturan asimilasi atau pembebasan narapidana sebelum terjadinya bencana covid 19 dan pada saat terjadinya bencana virus covid 19 d Indonesia. [9]
A. Landasan Yuridis Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 10 Tahun 2020
Pada dasarnya pembentukan peraturan perundang-undangan atau Peraturan Menteri untuk memberikan kepastian hukum, mengisi kekosongan hukum atas permasalahan yang baru, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat. Aspek kewenangan secara jelas tercantum dalam ketentuan pasal 1 angka 2 Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam pembentukan Perundang-undangan setidaknya ada ada tiga (3) muatan landasan, yaitu :
Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbanagan atau alasan bahwasanya peraturan yang dibentuk dilandaskan oleh pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum yang mempunyai keyakinan dan keinginan untuk menyejahterkan masyarakat dengan berpedoman kepada Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Landasan Sosiologis
Landasan Sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk dapat mengisi kekosongan hukum terhadap masalah yang barus serta tetap mengedepakan kepentingan masyarakat luas dengan memberikan payung hukum dan pedoman yang dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi rakyat Indonesia.
Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan bahan pertimbangan dan analisa bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk dapat mengatasi permasalahan hukum yang ada dengan mempertimbangkan aturan hukum yang sudah ada, yang sudah diubah, atau yang telah dicabut guna menjamin kepastian hukum dalam masyarakat serta menjadikan masyarakat aman dan nyaman terhadap suatu peraturan perundang-undangan.[10]
Konsep Landasan Yuridis
Pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah mengacu pada landasan pembentukan perundang-undangan atau ilmu perundang-undangan. Diantaranya ialah landasan yuridis, setiap akan membentuk sebuah peraturan perundang-undangan haruslah terdapat aspek landasan yuridis didalamnya. Landasan Yuridis ialah ketentuan hukum yang menjadi landasan dan dasar dibentuknya suatu produk hukum yang baru, landasan yuridis dapat dibagi menjadi dua (2) macam, yaitu:
a) Landasan Yuridis segi Formal yakni landasan yuridis yang memberi kewenangan dari lembaga atau instansi tertentu
b) Landasan Yuridis dari segi materiil yaitu landasan yuridis untuk mengatur hal-hal tertentu
Berdasarkan pemahaman normatif dan teoritis, maka unsur yuridis yang menjadi landasan pembuatan peraturan perundang-undangan atau Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dapat dimaknai sebagai bertikut :
Unsur Yuridis adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi latar belakang dan alasan dibentuknya undang-undang atau peraturan menteri yang meliputi :
-Dasar Hukum Formal yakni peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dibentuknya suatu perundang-undangan atau peraturan Menteri. Termasuk keharusan mengikuti prosedur tertentu.
-Dasar Hukum Substansial yakni perundang-undangan yangberisi materi tertentu, termasuk kesesuaian jenis suatu materi tertentu.
Selanjutnya landasan keabsahan yang mendasari ialah Negara Kesatuan Republik Indonesai (NKRI) adalah negara hukum dengan berlandaskan Pancasila serta Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tujuan memberikan kesehjahteraan dan pengayoman dalam bentuk hukum serta mewujudkan birokrasi yang sehat yang pada akhirnya mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia.[11]
Analisis Atas Landasan Yuridis Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 10 Tahun 2020
Dengan adanya pandemi virus covid 19, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan Kebijakan yang termuat dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 10 Tahun 2020 yang didalamnya mengatur tentang syarat Asimilasi dan Hak Integerasi bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid 19. Dengan diberlakukanya peraturan ini, diharapkan mampu mencegah penyebaran virus covid 19. Akan tetapi, setelah mengkaji dan menganalisa substansi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 10 Tahun 2020, namun demikian yang menjadi persoalan atau issue perdebatan adalah ada beberapa golongan narapidana yang tidak memperoleh haknya sebagai warga binaan. Hal itu dibuktikan dengan isi dan kandungan Bab II Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 10 Tahun 2020 serta pada pasal 8 dan pasal 22.
Hal tersebut dipandang menimbulkan ketidakadilan atau perbedaan hak terhadap setiap narapidana, mengingat beberapa peraturan yang menjadi landasan yuridis Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 10 Tahun 2020 menyebutkan bahwa :
1)Pasal 14 huruf (j) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 mengatakan bahwa narapidana berhak “Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga”
2)Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999
Dari hal tersebut terlihat adanya hak dari golongan narapidana terorisme, narkotika, dan prekusor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan Hak Asasi Manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi, warga negara asing selanjutnya disebut “narapidana khusus” yang mana golongan narapidana tersebut tidak mendapatkan hak berupa asimilasiseperti narapidana umum lainya, padahal dalam pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 dan pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 disebutkan bahwasanya setip narapidana berhak mendapatkan asimilsi.
Dalam hal ini dapat penulis sampaikan, setelah mengkaji dan menganalisa dasar yuridis dan substansi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 10 Tahun 2020 golongan narapidana khusus merupakan narapidana yang melanggar Undang-Undang Khusu sehingga kejahatan yang mereka lakukan dapat disebut extra ordinary crime sehingga perlu penanganan serta syarat khusus untuk mendapatkan asimilasi dibandingkan narapidana dengan tindak kejahatan lainya, selain itu dengan dikecualikanya narapidana golongan khusus untuk mendapatkan asimilasi tersebut bukan berarti narapidana golongan tersebut tidak dapat hak-hak asimilasi yang dimuat dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 dan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999, hak tersebut dikarenakan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No.10 Tahun 2020 adalah lex spesialis atau aturan khusu dari Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 yang merupakan lex generalis atau aturan umum, hal mana Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 10 Tahun 2020 sebagai lex spesialis hanya berlaku disaat keadaan darurat pandemic covid 19 dengan dasar menanggulangi penyebaran virus covid 19 sebagai disebutkan pada pasal 23 ayat (2) Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 10 Tahun 2020, sehingga pemberian asimilasi lebih difokuskan pada narapidan dengan tindak kejahatan umum yang persyaratan asimilasinya tidak membutuhkan syarat-syarat khusus.
B. Proses Pelaksanaan Narapidana Yang memperoleh Asimilasi Terkait Penyebaran Covid 19
Proses pelaksanaam narapidana yang memperoleh asimilasi pada saat pandemic covid 19 tertuang dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 10 Tahun 2020. Secara normatif, asimilasi diatur dalam pasal 1 ayat 7 Undang-undang No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan, yang tujuan pembinaan narapidana yang nantinya akan membaur dan bersosial kembali ke masyarakat. Selanjutnya ketentuan mengenai syarat-syarat dan tat acara pelaksanaan hak-hak Narapidana diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999. Selanjutnya Pemerintah mengutus Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk membuat aturan yang lebih spesifik tentang hak-hak narapidana yang diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Mnuasia No. 03 Tahun 2018.
Prosedur Pelakasanaan Pembebasan Narapidana Terkait Dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No.10 Tahun 2020
Didalam lembaga pemasyarakatan saat ini sedang mengalami over kapasitas pada saat masa pandemic covid 19 yang merupakan suatu tempat yang memungkinkan percepatan penyebaran virus covid 19. Karena transmisi dari penyebaran virus covid 19 ini melalui doplet dan jarak antara manusia dengan manusia lainya sekitar satu sampai dua meter maka keputusan ini dibuat dengan melihat lembaga pemasyarakatan di Indonesia mengalami over kapasitas, yang sebelum adanya covid 19 aktivitas didalam lembaga pemasyarakatan begitu padat dan banyak, tidak hanya dilakukan oleh warga binaan pemasyarakatan tetapi oleh petugas dan juga melakukan banyak aktivitas di luar lembaga pemasyarakatan sehingga dapat membawa penyakit dari luar tanpa merasakan adanya penyakit covid-19 di dalam tubuh atau bisa disebut orang tanpa gejala (OTG). Sehingga dapat membahayakan warga binaan pemasyarakatan, lalu dapat juga dengan kunjungan keluarga yang apabila sedang sakit dan tidak mengetahui bahwa ternyata telah menularkan kepada warga binaan pemasyarakatan, hal tersebut membuat KEMENKUMHAM membatasi warga binaan pemasyarakatan dengan beberapa pertimbangan dan syarat bagi yang akan menerima program asimilasi.
Proses pembimbingan dan pengawasan asimilasi dan integrase dilaksanakn oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) dimana laporan pembimbingan dan pengawasan dilakukan secara daring. Dalam Keputusan Menteri juga disebutkan bahwa Kepala Lapas, Kepala Rutan, dan Kepala Bapas menyampakan laporan pelaksanaan pengeluaran dan pembahasan narapidana dan anak kepada Dirjen Pemasyarakatan melalui Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kepala divis pemasyarakatan melakukan bimningan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Menteru ini dan melaporkan kepada Dirjen Pemasyarakatan.
Terkait dengan pengawasan terhadap warga binaan atau narapidana yang dibebaskan dalam program asimilasidan integrasi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia memerintahkan agar Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Divis Pemasyarakatan berkoordinasi dengan Kapolda setempat agar warga binaan pemasyarakatan mendapatkan pengawasan secara maksimal.
Analisis Terhadap Proses Pelaksanaan Pembebasan Narapidana
Kebijakan yang dikeluarkan oleh kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia merupakan kebijakan yang dianggap darurat dikarenakan dikeluarkan pada saat adanya pandemic virus covid 19, setiap keputusan yang darurat tetntulah mempunyai damak positf dan negatif. Dampak positif ialah dapat mengurangi over kapasitas dar lembaga pemasyarakatan dan mencegah penyebaran virus covid 19 di dalam Lembaga Pemasyarakatan, kemudian dampak negatif ialah kurang adanya screening yang ketat akan tindak pidana yang telah dilakukan oleh warga binaan pemasyarakatan yang menerima program asimilas, dan apabilah telah mendapatkan program asimilasiharus terus dilakukan pembimbingan dan pengwasan di rumah serta melaporkan akan tindakan yang dilakukan masyarakat agar tidak mengulangi tindakan pidananya kembali setelah pembebasan.
Faktor yang mempengaruhi narapidana mengulangi tindak pidananya kembali salah satunya ialah factor ekonomi, hal ini karena narapidana setelah mendapatkan kebijakan asimilasi merasa tidak diterima oleh masyarakat mengakibatkan narapidana susah dalam mendapatkan pekerjaan saat berada di masyarakat sehingga mengalami kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan yang menyebabkan menjadi kekurangan biaya hidup untuk mencukupi kebutuhan hidup. Sehingga narapidana yang telah berada di kehidupan masyarakatberpikiran untuk mengambil jalan yang instan dan cepat untuk mendapatkan biaya hidup dengan melakukan tindak pidananya kembali. Alasan tersebut digunakan oleh narapidana untuk dapat mempertahankan kehidupanya, alsan lainya ialah kurangnya keterampilan dan wawasan yang disebabkan oleh kurangnya bimbingan pada saat masih menjadi warga binaan dalam lembaga pemasyarakatan.
Aturan pelaksanaan bimbingan narapidana diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020. Selain melakukan pebimbingan kemasyarakatan juga dapat membuat usulan pencabutan narapidana yang melakukan tindak pidananya kembali. Tercatat ada sekitar 411 narapidana yang mendapatkan program asimilasi dirumah yang melakukan tindak pidananya kembali. Hal ini menjadikan peran serta bimbingan narapidana menjadi sangat penting dilakukan agar tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.
Menurtut pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan “Balai Pemasyarakatan (Bapas) adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan klien pemasyarakatan” Pembimbing narapidana juga dapat menggandeng pihak ketiga dalam rangka memberikan bimbingan kepribadian yang lebih baik dan memliki bekal keahlian dan keterampilan saat kembali ke tengah kehidupan bermasyarakat.[12]
Sehingga menurut penulis pengawasan tidaklah harus melakukan pengawasan narapidana saja, namun harus membantu narapidana untuk bersosialisasi dan membaur di masyarakat sehingga narapidana tidak dianggap sebagai seorang criminal namun seorang narapidana tersebut menjadi manusia seutuhnya dan dapat bersaing dibidangnya dengan masyarakat pada umumnya. Penulis juga berpendapat bahwasanya pemberian asimilasi yang dilaksanakan dirumah tidak bertentangan dengan hak narapidana bilamana dilakukan dengan cara dan niat yang tulus untuk memberikan narapidana rasa aman dan nyaman ketika kembali bersosialisasi di masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian ini, adapun yang menjadi kesimpulan penulis yaitu sebagai berikut:
1. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 10 Tahun 2020 adalah lex spesialis atau aturan khusus dari Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 yang merupakan lex generalis atau aturan umum, hal mana Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 10 Tahun 2020 sebagai lex spesialis hanya berlaku pada keadaan darurat pandemic covid 19 dengan dasar menanggulangi dan mencegah penyebaran virus covid 19, sehingga pemebrian asimilasi lebih difokuskan pada narapidana dengan tindak pidana umum yang persyaratan asimilasinya tidak membutuhkan syarat-syarat khusus.
2. Kebijakan darurat yang dikeluarkan oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 10 Tahun 2020 memiliki dampak positif dan negative. Dampak positif dari keputusan ini ialah dapat megurangi jumlah narapidana yang berada di lembaga pemasyarakatan sebagai bentuk dari pencegahan dan penanggulangan penyebaran virus covid 19, sedangkan dampak negative dari keputusan ini ialah bagaimana proses dari asimilasi narapidana yang dilakukan dirumah dengan pengawasan Bapas dinilai akan menimbulkan pengulangan tindak pidana oleh narapidana yang memperoleh program asimilasi. pengawasan serta peran serta pengawas dalam membantu proses pembauran narapidana kepada masyarakat akan sangat membantu untuk meminimalisir narapidana akan mengulangi tindak pidananya kembali.