Private Law
DOI: 10.21070/ijler.v12i0.729

Procedures For Examining Inherited Land in the Perspective of the Basic Agrarian Law (UUPA)


Prosedur Nyusuki Tanah Warisan dalam Perspektif Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Nyusuki Legacy Shared Rights

Abstract

This study aims to determine the procedure for acquiring inherited land in the perspective of the Basic Agrarian Law as well as to find out the legal protection for one of the heirs whose inheritance land is transferred. The research method used by the author is normative law research using a statutory approach or can also be called the Statute Approach. By using primary legal materials, namely legislation related to legal issues in this study. Then secondary legal materials in the form of journals, books, articles and other literature. And the analysis used by the author is the method of deduction. The conclusion of this study is that the procedure for acquiring inherited land in the perspective of the LoGA must be based on a mutual agreement between the rights holders to terminate the joint ownership with evidence of the deed of sharing the joint rights made by PPAT. There are several chronologies of the occurrence of this nyusuki, among others, when there are two heirs, where one heir really needs money, so the other heirs provide access. Then another chronology is when there is one heir who has occupied the land from before the heir dies until he dies, and the heir does not want to sell the land inherited by the heir. 

Pendahuluan

Kematian merupakan sebab adanya suatu proses waris mewaris, sehingga melahirkan akibat hukum yang berkaitan dengan hak dan kewajiban antara orang yang meninggal (pewaris) dengan orang yang ditinggalkan (ahli waris). Untuk menyelesaikan hak dan kewajiban tersebut diatur oleh Hukum Waris. Dengan melihat bentuk masyarakat dan juga sifat kekeluargaan, Indonesia memberikan pilihan aturan hukum yang dianut masyarakat dalam menyelesaikan problematika pewarisan. Sehingga untuk menyelesaikan problematika kewarisan di Indonesia, aturan yang berlaku masih belum ada keseragaman. Selain itu, keanekaragaman adat istiadat di Indonesia juga menjadi salah satu pertimbangan dalam menyelesaikan persoalan terkait dengan kewarisan.[1]

Ada beberapa macam bentuk harta warisan yaitu Harta warisan yang berwujud dapat berupa benda bergerak maupun benda yang tidak bergerak. Benda bergerak yang dimaksud seperti mobil, sepeda motor, perhiasan, kapal dan sebagainya. Cara peralihannya dapat dilakukan dengan membuat surat perjanjian dibawah tangan ataupun dengan akta yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang. Benda yang tidak bergerak khususnya tanah. dapat dilakukan peralihan dengan cara Jual Beli, Tukar-Menukar, Hibah, pembagian hak bersama, dan dari pewarisan. Cara peralihan seperti yang tersebut diatas harus terlebih dahulu dibuatkan Akta dihadapan pejabat yang berwenang, dalam hal ini Notaris/PPAT. Setelah itu perlu didaftarkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat untuk dilakukan balik nama. Sedangkan benda tidak berwujud dimaksud adalah sesuatu yang tidak bisa tertangkap oleh Panca Indera, seperti Hak Paten, Hak Cipta, saham-saham perseroan, merek dan lain sebagainya. Cara peralihannya dapat dilakukan dengan Akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Dimana akta tersebut menjelaskan bahwa benda/sesuatu yang tidak berwujud tersebut telah dialihkan dari pihak satu ke pihak lainnya

Pewarisan yang dimaksud disini yaitu tentang harta warisan yang berupa tanah. Kepemilikan Hak Atas Tanah sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia, bersifat turun temurun yang berarti tanah tersebut dapat diwariskan kepada para ahli warisnya. Mengenai hal tersebut pemerintah menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum yang dimuat dalam UUPA Pasal 19 ayat (1) yaitu : “untuk menjamin kepastian hukum oleh pemeritah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah”. Dengan demikian, ketentuan diatas menjadi landasan hukum pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia yang ditegaskan kembali dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.[2]

Pendaftaran tanah diselanggarakan oleh Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pendaftaran tanah menurut dalam Pasal 19 UUPA dilakukan untuk menjamin kepastian hukum terhadap hak atas tanah. Dimana pada Pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa: “untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh Wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Sehingga pemerintah mengharuskan para pemegang hak atas untuk mendaftarkan kepemilikan hak atas tanah yang dimilikinya tersebut ke Kantor Pertanahan setempat. Pendaftaran tanah yang dilakukan untuk pemeliharaan data ketika terjadi perubahan data fisik dan data yuridis, maka yang bersangkutan memiliki kewajiban untuk melakukan pendaftaran terkait perubahan terhadap obyek hak atas tanah tersebut.[3]

Dalam prakteknya, pembuktian dokumen terkait waris di Indonesia yaitu adanya Surat Keterangan Waris (SKW). Kewarisan di Indonesia didasarkan pada golongan penduduk. Oleh sebab itu, Surat Keterangan Waris juga dibuat berdasarkan golongan penduduknya seperti yang dijelaskan menurut Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997. Bagi warga pribumi, maka membuat surat keterangan ahli waris yang dibuat dan dikeluarkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan camat tempat tinggal pewaris pada saat meninggal dunia. Sedangkan bagi warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa, membuat Akta Hak Mewaris di pejabat yang berwennag dalam hal ini Notaris. Selanjutnya, jika warga Negara Indonesia yang keturuanan Timur Asing lainnya, membuat surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan.

Penggolongan penduduk ini merupakan warisan dari Pemerintah Hindia Belanda. Ada tiga golongan yaitu yang pertama ada golongan Eropa, golongan Eropa merupakan golongan dari Bangsa Belanda, bukan Bangsa Belanda tetapi berasal dari Eropa, Bangsa Jepang, dan orang-orang yang bukan berasal dari anggota keluarganya yang berasal dari Negara lain termasuk dalam hukum keluarga Belanda (Amerika, Australia, Rusia, Afrika Selatan) serta keturunaan dari golongan tersebut diatas. Yang kedua ada golongan Bumiputera/Pribumi, golongan Pribumi ini merupakan golongan orang-orang keturunan asli Indonesia yang tidak termasuk golongan rakyat lain. Yang ketiga ada golongan Timur Asing yakni orang-orang Cina, Timur Asing Bukan Cina (Arab, India, Pakistan, Mesir, dsb).[4] Diantara masalah hukum kewarisan menurut Hukum Positif Indonesia yang menjadi permasalah yaitu terkait dengan nyusuki warisan, dimana masalah ini terjadi jika ada dua orang ahli waris yang salah satunya ingin memiliki tanah tersebut secara penuh tanpa adanya pembagian secara rata, sehingga salah satu ahli warisnya tidak mendapat bagian tanah tersebut tetapi akan mendapatkan kembalian uang dari ahli waris yang pertama (nyusuki).[5]

Menurut Denny Widi Anggoro, akibat hukum dari peralihan hak atas tanah pewarisan yaitu tidak adanya jaminan kepastian hukum bagi ahli warisnya. Kemudian bentuk perlindungan hukum bagi penerima pengalihan hak atas tanah pada dasarnya tidak mendapat kepastian hukum. Sehingga dapat dimungkinkan ada gangguan dari pihak lain atas hak atas tanah tersebut dan ahli waris akan mendapatkan perlakuan tidak seimbang terkait dengan hak dan kewajibannya.[6] Sedangkan dalam penelitian ini, penulis memiliki tujuan dalam pembahasan untuk mengetahui bagaimana Prosedur nyusuki tanah warisan dalam perspektif Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan juga untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap salah satu ahli waris yang tanah warisannya dialihkan.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, yaitu dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara mengumpulkan terlebih dahulu bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan pokok pembahasan yang sedang diteliti. Selain itu juga dengan cara mempelajari setiap peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya sebagai bahan hukum primer, menelaah buku-buku, jurnal dan juga artikel literature sebagai kelengkapan metode penulisan yang dilakukan peneliti.[7] Penelitian ini mengacu pada teori hukum yang berhubungan dengan isu hukum yang diteliti oleh penulis.

Pendekatan masalah sebagai dasar untuk melakukan penelitian terhadap suatu masalah. Dalam mengemukakan permasalahan, penulis menggunakan Pendekatan perundang-undangan atau yang sering disebut dengan statute approach, dimana penulis mengutamakan bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan dalam melakukan penelitian. Pendekatan ini juga dilakukan untuk menelaah peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan isu hukum yang sedang dihadapi.[8]

Berikut merupakan bahan hukum yang digunakan penulis untuk mengumpulkan data pada penelitian ini, diantaranya ada bahan hukum primer, antara lain:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
  3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997.
  4. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Kemudian bahan hukum sekunder yang dipakai dalam penelitian adalah bahan hukum yang dapat memperkuat bahan hukum primer sseperti buku, jurnal, artikel ilmiah serta literature lainnya yang sesuai dengan adanya isu hukum.

Analisa merupakan proses sederhana yang digunakan untuk lebih mempermudah pembaca untuk menemukan jawaban atas isu hukum dari permasalahan yang diangkat oleh penulis. Dalam penelitian ini, analisa yang digunakan penulis yaitu metode deduksi dimana analisa tersebut dilakukan dengan cara menyimpulkan pengetahuan mengenai suatu ajaran yang benar. Sehingga kesimpulan yang dihasilkan akan ditujukan untuk sesuatu yang bersifat khusus..

Hasil dan Pembahasan

Peralihan hak atas tanah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), tepatnya pada pasal 20 ayat (2) yang menyatakan bahwa hak milik atas tanah dapat beralih dan juga dapat dialihkan. Dan juga untuk menjamin kepastian hukum bagi masyarakat terhadap hak-hak atas tanah yang dipegang atau dimiliki masyarakat, yang ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria. Pewarisan hak atas tanah harus sesuai dengan peraturan pelaksanaanya dan juga berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria. Ahli waris atau penerima warisan hak atas tanah tersebut harus merupakan Warga Negara Indonesia.

Pengaturan pewarisan ini ditujukan agar ahli warisnya secara sah dapat menguasai kepemilikan hak atas tanah dan juga menggunakan tanahnya tersebut dengan semestinya. Pewarisan hak dalam hal ini peralihan hak atas tanah yaitu berpindahnya hak atas tanah dari pemegang hak atau pewaris yang sudah meninggal dunia kepada pihak lain sebagai ahli warisnya. Adanya peristiwa hukum meninggalnya seorang pemegang hak sebagai pewaris ini, maka menurut undang-undang secara turun temurun hak atas tanah yang dimiliki pewaris tersebut akan beralih atau berpindah ke para ahli warisnya. Peralihan hak atas tanah dibagi menjadi dua bentuk yaitu :

Beralih

Beralihnya kepemilikan hak atas tanah dari pemegang hak atau pewaris kepada ahli warisnya karena adanya suatu peristiwa hukum yaitu kematian atau meninggalnya si pewaris yang meninggalkan harta kekayaan yang dimiliki semasa hidupnya yaitu tanah dan juga hak atas tanah. Peralihan hak atas tanah karena pewarisan tersebut terjadi “karena hukum”, berar ti dengan meninggalnya si pewaris tersebut, maka secara hukum ahli warisnya memperoleh haknya sejak si pewaris meninggal dunia.[9]

Dialihkan

Berpindahnya atau beralihnya suatu kepemilikan hak atas tanah dari pemegang haknya kepada pihak lain karena adanya perbuatan hukum yang memang sengaja dilakukan dengan tujuan supaya pihak lain dapat memperoleh atau menguasai hak atas tanah tersebut. Perbuatan hukum yang dimaksud anatara lain dengan Jual Beli, Hibah, tukar menukar, lelang dan juga pemasukan dalam modal perusahaan.

Pendaftaran hak atas tanah diharuskan untuk dilakukan agar mendapatkan kepastian dan juga perlindungan hukum bagi pemegang hak baik yang terjadi karena perbuatan hukum maupun karena peristiwa hukum. Terkait pendaftaran peralihan hak atas tanah yang terjadi karena pewarisan, ditegaskan dalam Pasal 111 ayat (2), (3), (4) dan (5) pada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang ketentuan pelaksanaan PP (24/1997) yang menyatakan bahwa :

  1. Apabila pada waktu permohonan pendaftaran perlaihan hak atas tanah sudah ada putusan pengadilan, penetapan hakim atau akta mengenai pembagian waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4) PP (24/1997), maka putusan, penetapan atau akta tersebut dilampirkan pula pada permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  2. Akta mengenai pembagian waris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat dalam bentuk akta dibawah tangan oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 orang saksi atau dengan akta notaris.
  3. Apabila ahli waris lebih dari satu orang dan belum ada pembagian warisan, maka pendaftaran perlaihan hak atas tanah tersebut harus dilakukan oleh para ahli waris sebagai kepemilikan bersama, kemudian pembagian hak selanjutnya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 51 PP (24/1997).
  4. Apabila ahli waris lebih dari satu orang yang kemudian pada waktu pendaftaran peralihan hak tersbut disertai dengan akta pembagian waris yang memuat keterangan bahwa hak atas tanah atau hak milik atas rumah susun tertentu jatuh ke satu orang penerima warisan, maka pencatatan perlaihan hak atas tanah tersebut dilakukan oleh si penerima warisan berdasarkan akta pembagian waris tersebut.[10]

Perselisihan yang terjadi antara para ahli waris yang masing-masing ingin menguasai hak atas tanah tersebut sering terjadi, akibatnya akan memunculkan sengketa warisan. Karena penguasaan hak atas tanah secara individu merupakan keinginan para ahli waris. Apabila penguasaan hak atas tanah dikuasai secara individu tetapi jumlah ahli warisnya lebih dari satu, maka untuk mendasari hal tersebut dibutuhkan Akta Pembagian Hak Bersama (APHB) yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dalam hal ini yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pejabat Pembuat Akta Tanah memiliki tugas dan wewenang untuk melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta otentik sebagai bukti telah dilakukan perbuatan hukum mengenai peralihan hak atas tanah, yang dimana bukti berupa akta otentik tersebut dijadikan dasar untuk melakukan pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan Nasional.

Akta pembagian hak bersama tersebut juga sebagai bukti bahwa ahli waris sepakat untuk mengakhiri kepemilikan bersama tersebut menjadi dikuasai oleh satu orang ahli waris saja. Apabila hanya Surat Keterangan Waris yang disertakan atau dilampirkan oleh ahli waris, maka ha katas kepemilikan tanah tersebut masih menjadi kepemilikan bersama. Tetapi, apabila ahli waris tersebut menyertakan Akta Pembagian Hak bersama yang dibuat atas dasar kesepakatan para pemegang hak, maka hak atas tanah tersebut sudah dapat dikatakan sebagai hak individu. Berdasarkan PP (24/1997), prosedur nyusukitanah warisan ini dapat dilakukan hanya dengan Akta Pembagian Waris saja yang isinya menunjuk salah satu ahli waris yang akan menguasai hak atas tanah secara penuh sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan dalam prakteknya, prosedur nyusuki tanah warisan ini dilakukan dengan dua kali proses yaitu dengan turun waris terlebih dahulu, baru kemudian proses selanjutnya dengan dibuatkan akta pembagian hak bersama oleh PPAT untuk mengakhiri kepemilikan bersama tersebut menjadi kepemilikan individu oleh salah satu ahli waris.

Undang-Undang Dasar 1945 telah menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. [11] Beralihnya harta warisan kepada ahli waris akan membuat kepemilikan hak atas tanah tesebut menjadi kepemilikan bersama, yang artinya hak atas tanah tersebut dikuasai atau dimiliki oleh lebih dari satu orang ahli waris jika memang ahli warisnya lebih dari satu. Apabila para ahli waris sepakat untuk memberikan haknya tersebut kepada salah satu ahli waris saja, maka dapat dibuktikan dengan akta pembagian hak bersama yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sehingga akta yang dibuat ini dijadikan dasar untuk melakukan pendaftaran tanah ke Kantor Pertanahan setempat, dikarenakan belum ada pembagian warisan sebelumnya, artinya hak atas tanah tersebut masih menjadi kepemilikan bersama.Para ahli waris secara langsung tidak dapat menguasai atau memiliki dan juga melakukan balik nama terhadap harta warisan berupa hak atas tanah yang menjadi bagian haknya tersebut, melainkan para ahli waris harus terlebih dahulu melengkapi persyaratan sebagai ahli waris yaitu dengan bukti berupa surat keterangan waris untuk kemudian para ahli waris dapat melakukan tindakan hukum tersebut. Dari surat keterangan waris itulah yang menjadikan bukti siapa saja dan berapa jumlah keseluruhan orang yang menjadi ahli waris dari si pewaris.

Dalam prakteknya, sering juga dijumpai bahwa kepemilikan hak atas tanah dapat dikuasai oleh satu orang ahli waris saja. Dalam artian, apabila jumlah ahli waris dua orang atau bahkan lebih, maka satu orang ahli waris mendapat seluruh bagian atau sepenuhnya menguasai hak atas tanah tersebut, sedangkan ahli waris lainnya mendapatkan kembalian atau ganti rugi berupa sejumlah uang dari ahli waris yang menguasai hak atas sepenuhnya tersebut. Sehingga dalam hal ini, harus dilandasi dengan adanya kesepakatan untuk mengakhiri kepemilikan bersama oleh seluruh ahli waris untuk menyerahkan hak tersebut kepada salah satu ahli waris saja.

Adapun penyebab atau kronologi terjadinya proses nyusukiini karena beberapa hal, misalnya ada dua orang ahli waris, kemudian salah satu ahli waris sebut saja A tidak mempunyai uang untuk biaya hidup sehari-hari, sehingga ahli waris A ini sangat membutuhkan uang. Akibatnya ahli waris lainnya atau si B yang kebetulan memang ada uang, maka si B ini memberikan susukan/nyusukiahli waris A dengan memberi sejumlah uang dengan nominal yang sesuai dengan bagiannya. Dengan catatan berarti, ahli waris yang memberikan susukan (B) tadi mendapatkan hak milik atas tanah tersebut secara penuh atau dalam kata lain menguasai secara penuh kepemilikan hak atas tanah dari warisan tersebut. Kemudian contoh lain terkait kronologis nyusuki ini yaitu misalkan ada dua orang ahli waris, yang salah satu ahli waris (A) sudah menempati tanah tersebut sejak si pewaris masih hidup hingga si pewaris meninggal dunia dan si A juga benar-benar tidak mempunyai tempat tinggal lain atau dengan alasan lain si A tidak mau menjual tanah tersebut kepada pihak lain karena tanah tersebut merupakan peninggalan dari si pewaris, tetapi ahli waris B sangat membutuhkan uang, sehingga si B mempunyai kehendak atau keinginan untuk menjual tanah tersebut kepada pihak lain yang kemudian hasil dari penjualan tanah tersebut akan dibagi sama rata. Karena si A tidak mau menjual tanah tersebut, sedangkan si B ingin menjualnya karena membutuhkan uang, maka si A menyanggupi untuk nyusukisi B dengan sejumlah uang sesuai dengan bagiannya. Yang pada akhirnya si A menguasai secara penuh tanah dan juga kepemilikan tanahnya tersebut. [12]

Kemudian hambatan yang dihadapi ketika ada pembagian warisan dengan nyusukiini adalah pada saat ahli waris yang nyusuki tersebut, kekurangan dana untuk nyusuki ahli waris yang diberi susukan, perbedaan luas ataupun besarnya bagian warisan ketika tidak dibagi sama rata, dapat juga dari ahli waris yang memiliki perbedaan pendapat atau antara ahli waris satu dengan yang lainnya tidak sepemikiran. Sehingga dalam penyelesaian terkait hambatan nyusuki warisan ini dapat menimbulkan perselisihan antara ahli waris. Oleh karena itu, ahli waris perlu menanyakan hal tersebut kepada yang lebih memahami, kemudian juga perlu adanya musyawarah dengan keluarga untuk menanyakan apakah para ahli waris setuju dengan adanya susukan/nyusuki. Artinya para ahli waris harus setuju dan sepakat dengan hal tersebut, dimana dengan adanya susukan/nyusuki ini, para ahli waris sepakat untuk mengakhiri kepemilikan bersama dengan memberikan susukan kepada ahli waris A kemudian si ahli waris B mendapatkan atau menguasai secara penuh kepemilikan hak atas tanah tersebut sesuai dengan kesepakatan bersama. [13]

Dengan adanya pembagian hak bersama atas dasar kesepakatan para ahli waris sebelumnya, dimana ahli waris yang tidak mendapat bagian berupa tanah melainkan mendapatkan ganti rugi sejumlah uang, tetapi pada kenyataannya ada ahli waris yang sudah mendapat ganti rugi sejumlah uang namun protes atau menyangkal adanya pembagian hak bersama tersebut tanpa adanya persetujuan ahli waris lainnya, maka semua sangkaan itu dapat dibuktikan dengan akta pembagian hak bersama yang sudah dibuat di hadapan PPAT. Selain itu pembuatan akta pembagian hak bersama ini juga untuk menghindari adanya sengketa dikemudian hari ataupun supaya tidak ada yang mempunyai itikad tidak baik terkait dengan penguasaan tanah tersebut, yang bisa saja dilakukan oleh salah satu pemegang hak itu sendiri.[14]

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dari penelitian ini, bahwa prosedur nyusukitanah warisan menurut Undang-Undang Pokok Agraria dilakukan dengan dua kali proses yaitu dengan turun waris terlebih dahulu, baru kemudian dibuatkan akta pembagian hak bersama yang didasarkan pada kesepakatan bersama antara para ahli waris untuk mengakhiri kepemilikan bersama menjadi kepemilikan individu dari salah satu ahli waris. Dapat terjadi ketika ada ahli waris yang sangat membutuhkan uang untuk kehidupan sehari-hari, sehingga ahli waris lainnya membantu dengan memberikan susukan sejumlah uang yang nominalnya sesuai dengan pembagian hak tersebut. Sehingga ahli waris yang nyusuki mendapatkan kepemilikan hak atas tanah secara penuh, sedangkan yang mendapat susukan hanya mendapatkan uang ganti rugi dengan nominal yang sama. Adapun perlindungan huku terhadap salah satu ahli waris yang tanah warisannya dialihkan yaitu dengan diberikannya ganti rugi sejumlah uang dengan nilai yang sama, dengan berdasar pada kesepakatan bersama antara para ahli waris yang sebelumnya sudah dituangkan dalam akta pembagian hak berasma yang dibuat oleh PPAT. Sehingga kepemilikan hak atas tanah tersebut menjadi milik individu atau salah satu ahli waris, sedangkan ahli waris yang lainnya mendapatkan ganti rugi sejumlah uang atas hal tersebut.

References

  1. H. Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Hukum Islam, Adat dan BW, Bandung, PT. Refika Aditama, 2018.
  2. Boedi Harsono, (Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), Edisi Revisi, Cetakan ke-8, Djambatan, Jakarta, 1999.
  3. Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
  4. Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga, Edisi Revisi, Bandung, Nuansa Aulia, 2007.
  5. Latifah Ratnawaty, 2018, “Pelaksanaan Konsep Al Radd Dalam Pembagian Waris berdasarkan Hukum Waris Islam”, Jurnal Hukum dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1.
  6. Denny Widi Anggoro, 2016, “ Tinjauan Yuridis Normatif terhadap Peralihan Hak Atas Tanah karena Pewarisan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah”, Jurnal Panorama Hukum, Vol. 1, No. 1.
  7. Jonaedi Efendi, 2018, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Prenamedia Group, Depok.
  8. Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung.
  9. Budiharsono, 2007, “PPAT Sejarah Tugas dan Kewenangannya”, Majalah Renvoi No. 44, Jakarta.
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
  11. Undang-Undang Dasar 1945.
  12. Miftahul Huda et al, 2020, Negoisasi dalam Tradisi Penyelesaian Sengketa Kewarisan Keluarga Pada Masyarakat Mataram Jawa Timur, Penelitian Interdisipliner, Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Ponorogo.
  13. Gracia Diaz Michaela, 2020, “Hambatan Pelaksanaan Pembagian Warisan dengan Nyusuki (Studi di Kelurahan Ngadirejo, Kota Blitar, Jurnal Hukum.
  14. Beatrix Benni,Kurniawarman dan Anisa Rahman, 2019, “Pembuatan Akta Pembagian Hak Bersama dalam Peralihan Tanah karena Pewarisan di Kota Bukittinggi”, Jurnal Cendikia Hukum, Vol. 5, No. 1.