Environmental Law
DOI: 10.21070/ijler.2019.V5.688

Contradictions of Transnational Trash Trade Regulations in Indonesia


Kontradiksi Aturan Perdagangan Sampah Lintas Negara di Indonesia

Umsida
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

waste environment law judicial review

Abstract

This study aims to examine the contradictory regulation regarding trade of waste in indonesia. Principle what is described in Article 69 paragraph (1) letter C Law no. 32 of 2009 concerning Environmental Protection and Management which states that everyone is prohibited from entering waste originating from outside the Republic of Indonesia into the territory of the Republic of Indonesia. Based on the principle of lex superior derogate legi inferior, there are contradictory arrangements. Then the Minister of Trade Regulation No. 84 of 2019 concerning Provisions for the Import of Non Hazardous and Toxic Wastes as Industrial Raw Materials in conjunction with the Minister of Trade Regulation No. 92 of 2019 concerning Amendments to the Minister of Trade Regulation No. 84 of 2019 potentially for a judicial review. Regulation is needed that doesn’t neglect the environment to support the economy. But also doesn’t hinder the economy for focus on the environment. The point is that the existence of rules that bridge the interests of humans and the environment is the best solution so that their existence is maintained.

Pendahuluan

Perdagangan adalah kegiatan yang terkait dengan proses transaksi barang atau jasa baik di dalam maupun di luar negeri dengan tujuan beralihnya hak atas barang atau jasa tersebut untuk mendapatkan imbalannya[1]. Hal yang terpenting di dalam melakukan perdagangan adalah dasar filosofisnya. Telah dijelaskan bahwa melakukan perdagangan adalah kebebasan mendasar “fundamental freedom”. Dengan hal ini, siapa saja dibebaskan untuk melakukan perdagangan tanpa harus di batasi suku, agama, golongan, pandangan politik maupun sistem hukum.[2]

Tujuan utama dari dilaksanakannya pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat di berbagai bidang, termasuk juga bidang industri. Semakin besar hasil produk dari suatu industri, semakin besar pula limbah yang dihasilkan, termasuk juga limbah yang berbahaya dan beracun yang dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan sekitar.[3]

Bangsa Indonesia memiliki beberapa permasalahan, salah satunya adalah masalah persampahan. Tiap tahun hampir diyakinkan jika jumlah sampah akan bertambah karena banyaknya penduduk Indonesia. Kementrian LH mencatat pada umumnya sampah yang dihasilkan kurang lebih sebesar 2,5 liter per penduduk perhari atau 625 juta liter dari semua keseluruhan penduduk. Selama ini sebagian besar masyarakat masih memandang sampah sebagai barang sisa yang tidak berguna, bukan sebagai sumber daya yang perlu dimanfaatkan. Masyarakat dalam mengelola sampah masih bertumpu pada pendekatan akhir (end-of-pipe), yaitu sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pemrosesan akhir sampah. Padahal, timbunan sampah dengan volume yang besar di lokasi tempat pemrosesan akhir sampah berpotensi melepas gas metan (CH4) yang dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dan memberikan kontribusi terhadap pemanasan global.

Permasalahan hukum lingkungan hidup yang ada dan muncul di masyarakat semakin kompleks, hal ini membutuhkan aturan yang jelas dan bisa digunakan sebagai dasar dalam melaksanakan penegakan hukum. Diadakannya Konvensi Basel tahun 1989 dikarenakan banyaknya kekhawatiran terhadap perdagangan gelap limbah berbahaya yang dikirimkan kepada negara-negara berkembang. Hal tersebut membahayakan karena negara-negara yang menjadi tujuan perdagangan gelap limbah berbahaya belum atau bahkan tidak dapat mengelola limbah tersebut secara ramah lingkungan.[4]

Permasalahan impor sampah dan limbah diperkirakan telah terjadi di Indonesia sejak awal tahun 1990, namun pada waktu itu kasus ini tidak seberapa mendapat perhatian oleh pihak yang berwajib. Indikasi manipulasi masuknya sampah impor plastik yang terkontaminasi kandungan jenis limbah B3 berawal dari informasi para pemungut sampah yang menemukan di tempat-tempat pembuangan sampah.

Negara sebenarnya telah berkomitmen dalam konteks untuk mengelola perdagangan ekspor impor limbah telah terwujud dengan dibuatnya beberapa peraturan, antara lain UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Permendag No. 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah non Bahan Berbahaya dan Beracun Sebagai Bahan Baku Industri juncto Permendag No. 92 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Permendag No. 84 Tahun 2019.

Menurut kegiatan ekspor impor, pada prinsipnya yang dijelaskan dalam UU No. 7 Tahun 2014 tentang perdagangan menjelaskan bahwa semua barang dapat diimpor dan diekspor, kecuali yang dilarang atau dibatasi di dalam Undang-Undang. Dalam perkecualian tersebut salah satunya terdapat dalam Pasal 69 ayat (1) huruf C UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi bahwa setiap orang dilarang memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah NKRI ke dalam wilayah NKRI. Namun terkait pernyataan UU tersebut diatas, kementrian Perdagangan mengeluarkan peraturan melalui Permendag No. 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non B3 Sebagai Bahan Baku Industri masih boleh melakukan impor limbah non B3, walaupun limbah tersebut bukan sampah, tidak tercampur sampah ataupun tidak bercampur dengan tanah. Berdasarkan permasalahan diatas, hal inilah yang dijadikan dasar oleh penulis untuk melakukan penelitian ini.

Metode

Penelitian yang dipakai oleh penulis pada kesempatan penulisan kali ini adalah penelitian yang bersifat normatif atau banyak yang menyebut dengan doktrinal. Sesuai dengan namanya, maka penelitian ini lebih mengkaji dan menganalisis pada peraturan yang tertulis (hukum positif) dan dari bahan hukum lainnya yang dapat dipakai untuk membantu dalam menyelesaikan permasalahan penelitian ini.[5]

Sejalan dengan penelitian yang bersifat normatif, dalam hal ini penulis menggunakan pendektan masalahnya dengan konsep pendekatan undang- undang atau statute approach serta segala aturannya yang terkait. Selain itu pendekatan masalah lain digunakan penulis pendekatan kasus atau case Approach yaitu dengan cara menalaah atau isu kasus yang sedang dihadapi di Indonesia karena yang diteliti adalah permasalahan sampah impor.[6]

Hasil dan Pembahasan

Perdagangan Sampah dan Limbah Antar Negara di Indonesia menurut UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH

Pengertian Sampah menurut UU No. 18 Tahun 2008 adalah hasil proses alam yang mempunyai bentuk padatan atau sisa dari kegiatan yang dilakukan manusia sehari-hari. Sedangkan untuk pengertian sampah spesifik adalah sampah yang membutuhkan pengelolaan khusus. Dalam Pasal 29 ayat UU ini menyebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk memasukkan sampah ke dalam wilayah NKRI dan dilarang untuk mengimpor sampah. Hukuman yang diberikan kepada siapapun yang melakukan kegiatan mengimpor sampah adalah diancam dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama Sembilan tahun dan denda paling sedikit seratus juta rupiah dan paling banyak tiga miliar rupiah[7].

Pengertian limbah sendiri menurut UU No. 32 Tahun 2009 adalah sisa dari suatu kegiatan dan/atau sisa dari suatu usaha. Untuk limbah B3 didefinisikan sebagai sisa hasil dari kegiatan yang didalamnya terkandung bahan berbahaya atau beracun yang dikarenakan sifat ataupun jumlahnya baik langsung ataupun tidak yang dapat menimbulkan pencemaran atau merusak lingkungan serta dapat membahayakan lingkungan, kelangsungan hidup dan kesehatan manusia dan makhluk hidup lain. Didalam UU ini disebutkan bahwa setiap orang dilarang memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah NKRI ke dalam wilayah NKRI[8].

Perdagangan Sampah dan Limbah Antar Negara di Indonesia menurut Konvensi Basel 1989

Salah satu hasil dari pertemuan tersebut adalah mengamandemen Konvensi Basel dengan memasukkan limbah plastik. Hal ini berarti beberapa jenis limbah plastik baik yang tercampur ataupun terkontaminasi bahan yang berbahaya harus mengikuti pada peraturan yang terdapat dalam Konvensi Basel. Ketentuan amandemen Konvensi Basel memberikan dua pilihan ketika impor Limbah Non-B3 terbukti mengandung Limbah B3 atau berasal dari kegiatan landfill dan berupa sampah plastik. Pertama, eksportir atau negara eksportir diharuskan mengambil sendiri limbahnya. Kedua, Negara importir mereekspor kepada Negara eksportir dan negara eksportir tersebut tidak boleh menolak reekspor.

Permendag No. 84 Tahun 2019 telah mengatur upaya preventif selain melalui rezim perizinan, yakni dengan melakukan mekanisme verifikasi dan penelusuran yang dilakukan oleh Surveyor. Ketentuan Permendag mengharuskan surveyor menyusun laporan yang berisi hasil verifikasi dan penelusuran teknis sebagai dokumen pelengkap pabean bidang impor. Permendag hanya langsung membebankan tanggung jawab terhadap importir apabila ditemukan fakta bahwa importasi Limbah Non-B3 terkontaminasi Limbah B3 atau sampah plastik, tidak adanya hukuman untuk mengelola lingkungan jika terjadi pelanggaran[9].

Sebagaimana disebut dalam Tabel 1. adalah perbedaan yang ada pada UU No. 18 Tahun 2018, UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH, Konvensi Basel, dan Permendag No. 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah non Bahan Berbahaya dan Beracun Sebagai Bahan Baku Industri juncto Permendag No. 92 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Permendag No. 84 Tahun 2019 terkait dengan aturan mengenai impor sampah dan/atau limbah serta sanksi/hukuman yang diberikan.

Aturan mengenai impor sampah dan/atau limbah Sanksi/Hukuman
UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan SampahDanUU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH Kedua UU ini menyebutkan bahwa siapapun dilarang untuk memasukkan sampah dan/atau limbah ke dalam wilayah NKRI. Diancam dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama Sembilan tahun dan denda paling sedikit seratus juta rupiah dan paling banyak tiga miliar rupiah.
Konvensi Basel 1989 Siapapun dilarang melakukan kegitana ekspor impor limbah B3. setelah diamandemen memasukkan limbah plastik kedalam barang yang dilarang untuk dilakukan ekspor impor Pertama, eksportir atau negara eksportir diharuskan mengambil sendiri limbahnya. Kedua, Negara importir mereekspor kepada Negara eksportir dan negara eksportir tersebut tidak boleh menolak reekspor.
Permendag No. 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah non Bahan Berbahaya dan Beracun Sebagai Bahan Baku Industri juncto Permendag No. 92 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Permendag No. 84 Tahun 2019 Memperbolehkan impor limbah non B3 untuk bahan baku industry Korporasi yang mendatangkan barang impor yang tidak sesuai Permen ini wajib mengekspor kembali barang tersebut ke negara asalnya selambat-lambatnya selama 90 (sembilan puluh) hari setelah barang tersebut diterima.Hukuman lain yang diberikan adalah pembekuan hingga pencabutan ijin.
Table 1. Perbedaan Pengaturan Perdagangan Sampah dan Limbah Antar Negara menurut Regulasi yang Ada di Indonesia

Kontradiksi Peraturan Perdagangan Sampah dan Limbah Antar Negara menurut Regulasi yang Ada di Indonesia

Proses pembentukan peraturan perundang-undangan dalam sebuah sistem hukum mewajibkan adanya harmonisasi yang hierarkis antara Pancasila, UUD Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan yang ada dibawahnya. Hal ini dikarenakan sistem hukum adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan saling berhubungan. Hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan terdapat dalam Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan.[10] Dalam membentuk dan menerapkan sebuah peraturan perundangan di pegang beberapa prinsip. Pertama, Peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah atau asas lex superior derogat legi inferiori, apabila terjadi konflik atau pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan yang rendah maka yang tinggilah yang harus didahulukan. Kedua, Peraturan yang lebih baru mengalahkan peraturan yang lebih lama atau lex posterior derogat legi priori adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru atau posterior mengesampingkan hukum yang lama. Ketiga, Peraturan yang mengatur masalah khusus mengalahkan peraturan yang bersifat umum atau lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus atau lex specialis mengesampingkan hukum yang bersifat umum.

Pada kasus ini yang dibahas adalah Perbedaan pengaturan perdagangan terhadap impor limbah yang ada dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH dengan Permendag No. 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah non Bahan Berbahaya dan Beracun Sebagai Bahan Baku Industri juncto Permendag No. 92 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Permendag No. 84 Tahun 2019. Meskipun secara normatif Permendag ini terdapat kontradiktif dengan peraturan diatasnya, kita juga perlu memandang aturan ini dari segi yang lain yaitu sektor ekonomi dan daya saing usaha. yang apabila ditilik, Tujuan dibuatnya Permendag ini adalah sebagai salah satu upaya yang dilakukan pemerintah sebagai terobosan baru untuk meningkatkan iklim usaha dan perekonomian masyarakat dan untuk menggantikan Permendag sebelumnya, yakni Permendag No. 31 Tahun 2016. Pertimbangan lain yang diambil yaitu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri di dalam negeri, menjaga komitmen Indonesia terhadap Konvensi Basel, menjaga limbah Non B3 Sebagai Bahan Baku Industri agar tidak terkontaminasi dengan Limbah B3 dan tidak becampur sampah, Mengatur agar Limbah Non B3 yang dibutuhkan sebagai Bahan Baku Industri tidak menimbulkan kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup.[11]

Kesimpulan

Menurut UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH melarang siapapun untuk mengimpor limbah dalam bentuk apapun ke wilayah RI. Berdasarkan asas lex superior derogate legi inferior terdapat kontradiktif pengaturan. Dengan hal tersebut maka Permendag No. 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah non Bahan Berbahaya dan Beracun Sebagai Bahan Baku Industri juncto Permendag No. 92 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Permendag No. 84 Tahun 2019 berpotensi untuk dilakukan judicial review. Akan tetapi Permendag tersebut merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan iklim usaha dan perekonomian masyarakat. Negara dan korporasi berperan sangat penting dan harus hadir di dalam kegiatan perdagangan sampah dan limbah antar negara. Diperlukan adanya aturan yang berada di tengah, konteks aturan yang berada di tengah ini adalah aturan yang tidak mengesampingkan lingkungan untuk menunjang ekonomi, namun juga tidak menghambat ekonomi secara keseluruhan demi fokus yang penuh terhadap lingkungan. Intinya adalah adanya aturan yang menjembatani kepentingan manusia dan lingkungan adalah solusi terbaik agar keduanya terjaga eksistensinya.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih yang mendalam kepada Universitas Muhammadiyah Sidoarjo atas dukungannya, sehingga penelitian ini bisa terselesaikan.

References

  1. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Perdagangan. 2004, p. Pasal 7.
  2. H. Adolf, Hukum Perdagangan Internasional. Bandung, 2004.
  3. S. E. R. I. H. Umaniora and A. Octavia, “JURNAL PENELITIAN UNIVERSITAS JAMBI,” vol. 14, 2012.
  4. S. Luthan, “Masalah sampah plastik impor dan dampaknya terhadap lingkungan hidup,” Unisia, vol. 16, no. 30, p. 100, 1996.
  5. Andi, dkk, Pengantar Metode Penelitian Hukum. 2016.
  6. P. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. .
  7. UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pasal 29, 2008.
  8. UU 32 Tahun 2009 tentang PPLH. 2009, p. Pasal 29.
  9. Permendag No. 92 Tahun 2019. 2019, p. Pasal 3.
  10. F. Irawan Febriansyah, “KONSEP PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA,” Perspektif, vol. XXI, pp. 220–229, 2016.
  11. Y. I. Ali, “Lingkungan dan Globalisasi : Solusi akan Relasi yang Problematik Studi Kasus Peningkatan Sampah Impor Indonesia Pasca National Sword Policy China Tahun 2018,” vol. 8, no. 1, pp. 95–106, 2020.