Corporate Law
DOI: 10.21070/ijler.2018.V2.686

Corporate Crime Liability towards Environmental Law in Indonesia


Pertanggungjawaban Kejahatan Korporasi terhadap Hukum Lingkungan di Indonesia

Universitas Islam Kediri
Indonesia
Universitas Islam Kediri
Indonesia

(*) Corresponding Author

Responsibility Crime Corporations

Abstract

Law Number 32 of 2009 concerning Environmental Protection and Management in addition to regulating environmental protection and management, also contains criminal provisions that can be imposed on corporation. Law regulates the existence of two types of legal subjects that can be subject to criminal sanctions, one of which are including companies or corporations as rechtpersoon. This study aims to determine the implementation of the Supreme Court Regulation Number 13 of 2016 concerning Procedures for Handling Criminal Acts by Corporations against cases of corporate crime, especially those relating to criminal acts in the environmental field. The type of research that will be conduct are normative legal research with the method of legislation approach and conceptual approach. Based on the research, the criminal responsibility doctrine used in the Law is corporate vicarious liability, individual vicarious liability and personal accountability of the perpetrator, while Supreme Court Regulation tends to Individual Vicarious Liability doctrine.

Pendahuluan

Indonesia menjamin lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi setiap warga negaranya. Hak ini tercantum dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Lingkungan hidup sendiri dapat diartikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Manusia membutuhkan lingkungan untuk hidup, namun sayangnya seiring berkembangnya kehidupan manusia beserta kemampuannya menciptakan teknologi, dibutuhkan pula sumber daya alam sebagai bahan baku utama. Ekplorasi dan eksploitasi sumber daya alam ini tidak jarang menimbulkan kerusakan pada lingkungan hidup. Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada lingkungan hidup tentu saja menurunkan kualitas lingkungan hidup dan mengancam kelangsungan kehidupan mausia dan makhluk hidup lainnya. Agar kerusakan terhadap lingkungan tidak semakin parah, maka perlindungan serta pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten harus dilakukan. Di Indonesia, usaha untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup ini dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).

UU PPLH selain mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, juga memuat ketentuan-ketentuan pidana yang dapat dijatuhkan pada subjek hukum yang melakukan pelanggaran terhadap pasal-pasal yang diatur dalam UU PPLH. Undang-undnag ini mengatur pula keberadaan dua jenis subjek hukum yang dapat dikenai sanksi pidana. Subjek hukum pertama adalah manusia. sebagai naturlijkpersoon, subjek hukum kedua adalah badan (termasuk didalamnya adalah perusahaan atau korporasi) sebagai rechtpersoon. Korporasi sebagai subjek hukum, menjalankan kegiatannya sesuai dengan prinsip ekonomi yakni mencari keuntungan sebesar-besarnya dan mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum dibidang ekonomi yang digunakan pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial.

Keberadaan korporasi sebagai subjek hukum pidana UU PPLH didasari pertimbangan bahwa dalam sebagian besar tindak pidana lingkungan hidup korporasi sering terlibat. Korporasi melakukan tindak pidana bukan hanya dalam lingkup kerjanya, tetapi juga demi kepentingan korporasi itu sendiri. Contohnya dalam kasus pencemaran asap yang terjadi pada tahun 2015 yang lalu, kabut asap terjadi akibat pembakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh korporasi dalam usaha untuk mengkonversi lahan. Salah satu tersangka dalam kasus pembakaran hutan ini adalah PT. Bumi Mekar Hijau (PT. BMH). Pada akhirnya PT. BMH dibebaskan karena hakim menilai kebakaran hutan dan lahan yang disebabkan oleh pembakaran sengaja yang dilakukan tidak merusak lahan. Hakim tidak mempertimbangkan dampak langsung pada masyarakat, gangguan kesehatan, gangguan menjalankan aktivitas ekonomi dan aktivitas harian lainnya akibat kabut asap yang timbul dari pembakaran tersebut.

Pada sistem hukum di Indonesia, korporasi ditempatkan sebagai subjek tindak pidana yang dapat dimintai pertanggungjawaban, namun perkara dengan subjek hukum korporasi yang diajukan dalam proses pidana masih sangat terbatas, salah satu penyebabnya adalah prosedur dan tata cara pemeriksaan korporasi sebagai pelaku tindak pidana belum jelas. Alasan ini mendasari terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Permasalahan yang ingin diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana implementasi dari PERMA tersebut terhadap kasus-kasus tindak pidana korporasi, terutama yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup. Mengingat banyak terjadi kasus tindak pidana lingkungan dengan pelaku korporasi namun tidak menghasilkan yang memuaskan. Selain itu, penelitian ini juga ingin menganalis bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan sebelum dan setelah adanya PERMA ini.

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu suatu jenis penelitian hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan, dengan menganalisis suatu permasalahan hukum melalui perjanjian internasional, konvensi, peraturan perundang-undangan, literatur-literatur dan bahan-bahan referensi lainnya yang berhubungan dengan hukum pidana dan hukum lingkungan.Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1)Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach), pendekatan ini dilakukan dengan cara menelaah semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan isu hukum yang diteliti. (2) Pendekatan kasus (Case Approach), pendekatan kasus ini dilakukan dengan melakukan telaah pada kasus-kasus yang berkaitan dengan permasalahan hukum yang dibahas.

Penelitian ini akan menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai bahan penelitian. Prosedur pengumpulan bahan hukum yang dipakai adalah studi pustaka. Kemudian bahan hukum ini akan dianalisis menggunakan metode interpretasi, yaitu metode penelitian yang diawali dari statemen-statemen yang ada dalam masalah-masalah tersebut, diinterpretasikan atau ditafsirkan melalui penafsiran secara bahasa, undang-undang atau secara sistematis tentang masalah yang akan dibahas. Penalaran interpretasi ini dilandasi pemikiran yang melihat konsep hukum dari sudut pandang normatif.

Hasil dan Pembahasan

Implementasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam UU PPLH

Lingkungan hidup adalah aspek yang sangat penting bagi seluruh makhluk hidup yang tinggal didalamnya, termasuk juga manusia. Kerusakan yang terjadi pada lingkungan hidup secara langsung ataupun tidak akan mempengaruhi kelangsungan hidup makhluk di dalamnya. Kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup yang lestari mulai berkembang setelah disadari bahwa berbagai kerusakan lingkungan dan sumber daya alam semakin meningkat dan justru bersumber dari dampak perbuatan manusia. Kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup ini mendorong manusia membuat seperangkat aturan untuk melindungi lingkungan agar terjaga kelestariannya. Seperangkat aturan yang mengikat manusia inilah yang disebut sebagai hukum.

Hukum lingkungan adalah cabang dalam disiplin ilmu hukum yang membahas tentang pengaturan hukum pada tingkah laku atau kegiatan-kegiatan subjek hukum dalam memanfaatkan dan melindungi sumber daya alam dan lingkungan serta perlindungan pada manusia dari dampak negatif yang terjadi karena pemanfaatan sumber daya alam. Hukum lingkungan nasional dapat dibedakan menjadi empat bidang jika dilihat dari permasalahan yang dicakup, yakni: hukum perencanaan lingkungan, hukum pengendalian pencemaran lingkungan, hukum penyelasian sengketa lingkungan, dan hukum konservasi sumber daya alam . Hukum lingkungan juga meliputi sejumlah ketentuan-ketentuan hukum tentang dan berkaitan dengan upaya-upaya mencegah dan mengatasi masalah-masalah lingkungan hidup .

Sebagai sebuah sistem hukum, hukum lingkungan dalam arti sempit terdiri atas Undang Undang Dasar 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat, Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota . Sedangkan ketentuan yang mengatur tentang pokok-pokok perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ini dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Undang-undang ini mengenal bentuk badan usaha/ korporasi sebagai salah satu subjek hukumnya. Dalam hukum perdata, korporasi adalah legal person (rechtspersoon), yang merupakan suatu badan hukum dan memiliki sifat sebagai legal personality. Dalam artian bahwa korporasi dapat melakukan perbuatan hukum serupa halnya dengan manusia (natuurlijke persoon).

Hukum pidana mengenal adanya doktrin “tiada pidana tanpa kesalahan” dan “tiada pertanggungjawaban pidana tanpa perbuatan pidana”, dua istilah tersebut adalah teori pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Sebuah badan usaha atau korporasi yang melakukan tindak pidana wajib mempertanggung jawabkan perbuatannya. UU PPLH telah mengatur mengenai pertanggung jawaban pidana terhadap badan usaha/ korporasi yang melakukan yang melanggar ketentuan pidana dalam undang-undang ini. Hal ini dituangkan dengan pengaturan mengenai tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh badan usaha/ korporasi, yakni dalam Pasal 116 hingga 120 yang intinya menyatakan bahwa apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha dan/atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebu.

Mengenai pemidanaan korporasi ini, praktik dibeberapa negara menunjukkan bahwa pemimpin/pengurus korporasi dapat dijatuhi pidana secara sendiri atau secara bersama-sama dengan korporasi atas sebuah tindak pidana . Salah satu negara yang menganut doktrin bahwa korporasi dapat dijatuhi pidana sendiri adalah Amerika Serikat. Doktrin pertanggungjawaban korporasi yang digunakan adalah pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability atau respondeat superior). Dalam pertanggungjawaban ini, korporasi bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pekerjanya, tanpa melihat status atau kedudukan orang tersebut di dalam korporasi. Vicarious liability adalah pertanggungjawaban kolektif, di mana organisasi bertanggungjawab atas perbuatan dari anggotanya. Pertanggungjawaban pengganti ini dapat dikenakan baik kepada korporasi (corporate vicarious liability), maupun kepada pemimpin/ pengurus korporasi (individual vicarious liability) .

Pertanggungjawaban pemimpin/ pengurus korporasi dianggap perlu jika korporasi hanya dijadikan alat bagi individu pemimpin/pengurus untuk melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban pemimpin/ pengurus korporasi juga diperlukan karena adanya kemungkinan bahwa sanksi berupa denda yang dijatuhkan kepada korporasi tidak akan mempengaruhi kehidupan pemimpin/ pengurus korporasi. Pertanggungjawaban pemimpin/ pengurus korporasi diperlukan untuk menjamin bahwa mereka yang mengambil keputusan di dalam korporasi akan bertanggungjawab atas keputusan yang diambilnya. Dan pengambil keputusan di dalam korporasi bukanlah korporasi itu sendiri, tetapi para pengurusnya. Pendapat ini kemudian melahirkan tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk pertanggungjawaban pidana korporasi, yakni: (1) pendekatan pertanggungjawaban pengganti secara pribadi (individual vicarious liability). (2) Pengurus/pemimpin korporasi bertanggungjawab berdasarkan teori delegasi. (3) Karena partisipasi langsung, bantuan, dukungan, atau kegagalan pemimpin/pengurus korporasi dalam mencegah tindak pidana.

UU PPLH telah mengatur mengenai pertanggung jawaban pidana terhadap badan usaha/ korporasi dalam Pasal 116 hingga 120. Dalam penjelasan pada Pasal 118, jika terjadi tuntutan dan sanksi pidana dijatuhkan kepada korporasi, maka sanksi tersebut sebenarnya ditujukan kepada pemimpin/pengurus korporasi. Dalam hal ini, mereka tidak bertindak sebagai wakil dari korporasi di pengadilan, tetapi memang sebagai pihak yang menjalankan sanksi pidana. Dengan interpretasi ini, UU PPLH menjadi tidak lagi menganut pertanggungjawaban korporasi, baik dalam arti korporasi bertanggungjawab atas perbuatan seseorang atau atas perbuatannya sendiri, tetapi menganut pertanggungjawaban pengganti individual (individual vicarious liability), di mana pemimpin korporasi bertanggungjawab atas perbuatan orang lain atau perbuatan korporasi.

Secara keseluruhan, Andri G. Wibisana berpendapat bahwa Pasal 116 dan 118 UU PPLH beserta penjelasannya dapat diinterpretsi sebagai berikut: (1) UU No. PPLH membuka kemungkinan diterapkannya corporate vicarious liability, yaitu dalam hal tindak pidana untuk atau nama korporasi menimbulkan pertanggungjawaban korporasi (Pasal 116 ayat (1) huruf a), (2) UU PPLH membuka kemungkinan diterapkannya individual vicarious liability, yaitu jika pasal 116 ayat (1) huruf a diterjemahkan berdasarkan Penjelasan Pasal 118 (3) UU PPLH juga membuka kemungkinan pertanggungjawaban pribadi dari pelaku (yaitu pemberi perintah dalam tindak pidana dan pemimpin tindak pidana), seperti dinyatakan dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, dan Pasal 116 ayat (2).

Implementasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi setelah Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) Nomor 13 Tahun 2016

Penanganan pertanggungjawaban pidana korporasi berikut pemidanaannya masih menjadi permasalahan di Indonesia. Utamanya karena aparat masih kesulitan menindak korporasi karena ketidakpahaman dan karena tidak ada aturan hukum acaranya. Kesulitan dihadapi ketika hendak memanggil/ memeriksa korporasi, terutama berkaitan dengan siapa yang akan dipanggil. Salah satu penyebabnya adalah prosedur dan tata cara pemeriksaan korporasi sebagai pelaku tindak pidana belum jelas. Alasan ini mendasari terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi (selanjutnya disebut PerMA). Ada beberapa hal penting terkait penanganan tindak pidana yang diduga dilakukan pengurus korporasi sekaligus korporasinya yang diatur dalam PerMA ini, yakni:

  1. Proses pemanggilan dan pemeriksaan terhadap korporasi dan atau pengurusnya sebagai tersangka. Surat panggilan ini memuat: nama korporasi; tempat kedudukan; kebangsaan korporasi; status korporasi dalam perkara pidana (saksi/ tersangka/terdakwa); waktu dan tempat pemeriksaan; dan ringkasan dugaan peristiwa pidana.
  2. Syarat surat dakwaan. Pasal 12 menyebutkan bentuk surat dakwaan memuat: nama korporasi, tempat, tanggal pendirian dan/atau nomor anggaran dasar/akta pendirian/peraturan/dokumen/perjanjian serta perubahan terakhir, tempat kedudukan, kebangsaan korporasi, jenis korporasi, bentuk kegiatan/usaha dan identitas pengurus yang mewakili. Selain itu, memuat uraian secara cermat, jelas, lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
  3. Pemisahan pertanggungjawaban (kesalahan) pidana antara korporasi dan pengurusnya. Apakah korporasi memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tertentu atau tindak pidana tersebut dilakukan demi kepentingan korporasi, apakah korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana, serta apakah korporasi tidak mengambil langkah-langkah pencegahan atau mencegah dampak lebih besar dan memastikan kepatuhan ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.
  4. Pengaturan sanksi pidana korporasi yakni pidana pokok berupa pidana denda dan pidana tambahan sesuai Undang-Undang yang berlaku, seperti uang pengganti, penutupan perusahaan ganti rugi dan restitusi. Korporasi yang terbukti bersalah tak hanya dijatuhi pidana denda, tetapi bisa sekaligus dijatuhi pidana tambahan.
  5. PerMA ini menyebut keterangan korporasi sebagai alat bukti sah dalam persidangan. Bahwa korporasi ini harus diwakili pengurus atau kuasanya. Keterangan pengurusnya inilah dianggap sebagai “keterangan korporasi” dan dijadikan alat bukti yang sah.

Jika dalam UU PPLH masih terdapat kerancuan penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi, apakah korporasinya yang dapat dipidana (corporate vicarious liability) ataukah pengurus korporasinya yang akan dipidana (individual vicarious liability), maka dalam PerMA terdapat pemisahan yang jelas antara keduanya. Pasal 23 PerMA ayat (1) menyatakan bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, pengurus atau Korporasi dan pengurus. Selama ini timbul kerancuan tentang pemidanaan korporasi karena adanya pengaturan bentuk pemidanaan yang diberikan bersama-sama. Contohnya pada Pasal 98 sampai 115 UUPLH yang mengatur bahwa tindak pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara dan denda. Dalam artian dua jenis pidana tersebut harus diberikan bersama-sama. Pertanyaan yang timbul tentu saja berkaitan dengan pidana penjara untuk korporasi, siapa yang menjalankan? Berdasarkan ketentuan ini, maka pidana penjara dapat dijatuhkan pada pengurus korporasi. Ini berarti bahwa PerMA cenderung pada doktrin Individual Vicarious Liability.

Kesimpulan

Individual vicarious liability ini bisa menimbulkan permasalahan baru, karena bisa saja pengurus/ pemimpin korporasi bertanggung jawab atas perbuatan pidana bawahan, meskipun pengurus/pemimpin ini telah melakukan upaya pencegahan dan kehati-hatian, meskipun pengurus/pemimpin tidak terlibat sama sekali dalam tindak pidana yang dilakukan, atau meskipun misalnya bawahan telah menutup-nutupi tindak pidana yang dilakukannya agar pengurus/pemimpin tidak mengetahui perbuatan pidananya Dapat disimpulkan bahwa pemimpin atau pengurus korporasi seolah-olah secara otomatis bertanggungjawab atas tindak pidana di dalam lingkup kerja korporasi yang dilakukan oleh siapa pun, hanya karena kedudukannya sebagai pemimpin atau pengurus korporasi. Hal ini tentu saja tidak adil, dalam konteks hukum pidana individual vicarious liability sebaiknya dihindari. Apabila pemimpin/ pengurus korporasi dijadikan sebagai terdakwa, maka sebaiknya diperlukan bukti lain berupa partisipasi atau kegagalan dalam mengawasi atau mencegah tindak pidana. Bukan hanya karena mereka hanya menjadi pemimpin/ pengurus korporasi semata.

References

  1. Undang-Undang No. 32 Tahun, Tentang Perlindungan dan Pengelolaan. Lingkungan Hidup.
  2. R. Manthovani, “Terbit PERMA Tantangan Penegak Hukum dalam Menjerat Korporasi,” Hukum Online, Modifikasi Terakhir. 2017.
  3. A. G. Wibisana, “Kejahatan Lingkungan Oleh Korporasi: Mencari Bentuk Pertanggungjawaban Korporasi dan Pemimpin/Pengurus Korporasi Untuk Kejahatan Lingkungan di Indonesia,” J. Huk. Pembang., vol. 46, no. 2, p. 150.
  4. BNBP, “Indonesia Darurat Asap, Gema BNBP: Ketangguhan Bangsa Dalam Menghadapi Bencana,” Gema BNPB, vol. 6, no. 3, pp. 4–22, 2015.
  5. D. Prabowo, “Hakim PN Palembang Pemutus Kasus Kebakaran Hutan Dilaporkan ke KY,” Kompas Online, Januari, vol. 8, 2016.
  6. “Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi"
  7. S. Soekanto and S. Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: CV. Rajawali.
  8. P. M. Marzuki, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group, 2011.
  9. T. Rahmadi, Hukum Lingkungan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
  10. M. Priyatna, “Penerapan Tindak Pidana Lingkungan Bagi Korporasi dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia,” J. Law Rev., vol. 2.
  11. E. Mewengkang, “Prinsip Tanggung Jawab Perusahaan Terhadap Pencemaran Lingkungan,” J. Lex Crim., vol. 3, no. 2, p. 56, 2014.
  12. “‘Prinsip Penting dalam Penanganan Kejahatan Korporasi,’” 2017.