Abstract
From the results of the study it can be seen that the issuance of certificate of ownership rights No. 317, 318, 320, 321, 322, 339, 340, 341 in Balikpapan City, eight of which certificates have no heritage and do not have strong legal force to the owners. Indonesia adheres to a negative publication system, but there is still an opportunity to file a lawasuit to the Court, meaning that the certificate of land rights is the strongest but not absolute. Then a certificate without a license does not have strong legal force if a claim is filed to the Court, while the efforts to submit a request for cancellation of the no-rights ownership certificate is by submitting a written request to the Balikpapan City Land Office and attaching copy of identity photocopy of certificate, photocopy of court decision, execution report and other documents related to cancellation. The court ruling was based on the Balikpapan City Land Office to issue a decision to cancel the certificate, in accordance with the ruling which had obtained permanent legal force.
Pendahuluan
Sertipikat hak atas tanah merupakan hasil dari proses pendaftaran tanah yang berisi data fisik dan data yuridis. Adapun data fisik yaitu berupa keterangan tentang letak, batas, luas bidang tanah, serta bangunan atau bagian bangunan yang ada diatasnya dan data yuridis berupa keterangan tentang status tanah dan bangunan yang di daftar, pemegang hak atas tanah dan hak-hak pihak lain, dan beban-beban yang ada diatasnya. Keberadaan sertipikat memberikan kepastian hukum terhadap suatu hak atas tanah, subyek hak dan obyek hak. Bagi pemegang hak atas tanah, memiliki sertipikat mempunyai nilai lebih. Sebab sertipikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, yang harus dianggap benar sampai dibuktikan di pengadilan dengan alat bukti yang lain.
Terungkapnya kasus-kasus berkenaan dengan gugatan terhadap pemegang sertipikat oleh pemegang hak atas tanah, memunculkan rasa tidak aman bagi para pemegang sertipikat. Perorangan atau badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan terhadap hak atas tanah yang sudah terdaftar dan diterbitkan sertipikatnya, berhak mengajukan gugatan ke pengadilan. Hak atas tanah dan atau sertipikat dapat dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang amar putusannya berbunyi menyatakan batal atau tidak mempunyai kekuatan hukum atau yang pada intinya sama dengan itu.
Pembatalan hak atas tanah diatur dalam Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Petanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pembatalan hak atas tanah adalah pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah atau sertipikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Jaminan kepastian hukum pendaftaran tanah atau kebenaran data fisik dan data yuridis bidang tanah dalam sertipikat, sangat tergantung pada alat bukti kepemilikan tanah yang digunakan sebagai dasar dari pendaftaran tanah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah telah diatur penentuan alat-alat bukti untuk menentukan adanya hak-hak atas tanah secara jelas dan mudah dilaksanakan serta memberikan kepastian hukum bagi pemilik hak yang bermaksud mendaftarkan haknya. Alat bukti pendaftaran tanah dimaksud adalah alat bukti hak baru dan alat bukti hak lama.
Sengketa tanah yang terjadi di Kota Balikpapan atas penguasaan sebidang tanah ditempuh melalui proses peradilan ( litigasi ) di Pengadilan Negeri Balikpapan menjadi perkara dengan duduk perkara yaitu penggugat menggugat delapan sertipikat Hak milik (SHM) atas tanah milik tergugat yang menurut penggugat berada diatas tanah nya, yaitu : sertipikat Hak milik (SHM) No. 317, No. 318, No. 320, No. 321, No. 322, No. 339, No.340 dan No. 341.
Obyek sengketa dalam putusan tersebut adalah sengketa kepemilikan antara 1 (satu ) orang yang merasa dirugikan sebagai Penggugat, melawan 8 (delapan ) orang atau 8 pemegang hak atas tanah , dengan luas tanah sekitar ± 30.000 M2 ( Tiga Puluh Ribu Meter Persegi ) yang telah diterbitkan sertipikat Hak Milik atas nama 8 orang tersebut sebagai Tergugat.
Dalam perkara tersebut Penggugat menyatakan bahwa sejak tahun 1964 orang tua penggugat pernah menggarap tanah yang menjadi obyek gugatan, adapun dasar kepemilikan tanah perwatasan adalah hanya Surat Keterangan Pernyataan Kesaksian Hak Perwatasan tertanggal 24 Mei 1979 yang ditanda tangani oleh Ketua RT dan Kepala Kampung, kemudian pada tanggal 1 desember tahun 1993 orang tua Penggugat meninggal dunia, dan tanah tersebut diwariskan kepada kedua anaknya . Kemudian pada tanggal 20 Desember 2006 adik kandung Penggugat melepaskan Hak waris kepada Penggugat dengan surat pernyataan melepaskan hak waris. Tanah perwatasan milik Penggugat kuasai secara fisik sebagai tanah garapan. Tanah perwatasan milik Penggugat sejak tahun 1964 hingga tahun 2006 dalam keadaan belum bersertipikat, untuk itu pada tahun 2006 Penggugat meminta Kantor Pertanahan Kota Balikpapan melakukan pengukuran. Pada tanggal 6 desember 2006 Kantor Pertanahan Kota Balikpapan melakukan pengukuran dan tanggal 14 desember 2006 diterbitkan gambar situasi dari hasil pengukuran dan pendataan di lokasi tanah yang dimohon Penggugat, ternyata diatas tanahnya telah terbit 8 sertipikat Hak milik atas nama orang lain.
Delapan orang tergugat memiliki sertipikat hak milik sejak tahun 1984 dan sampai tahun 2006 ketika penggugat mengajukan permohonan hak dan dilakukan pengukuran oleh Kantor pertanahan Balikpapan, artinya tergugat memiliki sertipikat selama 27 tahun diatas tanah penggugat, terhitung dari terbitnya sertipikat tergugat hingga terbitnya putusan Pengadilan Negeri Balikpapan tertanggal 04 Maret 2011. Terbitnya delapan sertipikat hak milik tersebut tanpa adanya warkah, yang mana warkah adalah dokumen yang merupakan alat pembuktian data fisik dan data yuridis bidang tanah yang telah dipergunakan sebagai dasar pendaftaran tanah.
Putusan Pengadilan menyatakan dalam amar putusannya mengabulkan Penggugat untuk sebagian secara verstek, menyatakan sah surat-surat berharga atas surat keterangan pernyataan kesaksian hak perwatasan tertanggal 24 Mei 1979 dan surat pernyataan melepaskan hak waris tertanggal 20 Desember 2006 dan menyatakan 8 ( delapan ) Sertpikat Hak Milik tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Kemudian Penggugat mengajukan gugatan 8 ( delapan ) Sertpikat Hak Milik ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda agar 8 ( delapan ) Sertipikat Hak Milik tersebut bisa dibatalkan, namun dalam putusan PTUN tanggal 01 Juli 2010 menyatakan bahwa gugatan penggugat tidak diterima. Selanjutnya Penggugat mengajukan permohonan pembatalan sertipikat dengan mendaftarkan tanahnya ke kantor pertanahan kota Balikpapan yang pada tanggal 09 September 2011, Namun dalam upaya penggugat belum mendapatkan bukti Hak Atas Tanah yaitu Sertipikat Hak Milik. Berdasarkan uraian latar belakang peneliti tertarik mengkaji terbitnya sertipikat hak milik tanpa warkah.
Metode
Penelitian merupakan suatu sarana untuk mencari dan menemukan kebenaran dalam hal untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan cara menemukan dan mengemukakannya dengan melakukan suatu analisa. Menurut Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi 1 .
Penelitian hukum mengenal dua jenis penelitian, yaitu penelitian normatif dan penelitian empiris. Penelitian yang dilakukan penulis adalah menemukan hukum terhadap sertipikat hak milik tanpa warkah pada putusan hakim, maka penelitian yang dilakukan penulis merupakan penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder 2 .
Adapun penelitian hukum yang dilakukan Penulis ditujukan pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum lain dan meneliti bahan pustaka yakni studi dokumen pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan.
Hasil dan Pembahasan
Kekuatan Hukum Sertipikat Hak Milik (SHM) tanpa Warkah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang pokok agraria merupakan hukum agraria positif yang berlaku setelah Indonesia merdeka merupakan salah satu alat yang penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur serta sejahtera.
Tujuan dari UUPA adalah memberi kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Untuk mendapatkan kepastian hukum maka perlu dilakukan pendaftaran tanah. Pada Pasal 19 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa pendaftaran tanah diadakan diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah untuk menjamin kepastian hukum.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah adalah Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang penyelenggaraan pendaftaran tanah. Disebutkan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah bahwa tujuan dari pendaftaran tanah adalah sebagai berikut:
- Untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan ;
- Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
- Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah, dalam hal ini dijelaskan dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, yakni :
1. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi :
a. Pengumpulan data pengolahan fisik ;
b. Pembuktian hak dan pembukuannya ;
c. Penerbitan sertipikat ;
d. Penyajian data fisik dan yuridis ;
e. Penyimpanan daftar umum dan dokumen ;
2. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi :
a. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak ;
b. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya.
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, kegiatan pendaftaran tanah dikenal dengan istilah “ ajudikasi ” yang artinya adalah kegiatan yang dilakukan/dilaksanakan dalam proses pendaftaran tanah pertama kali yang meliputi pengumpulan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai 1 ( satu)/beberapa objek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.
Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dalam skala nasional, namun dalam penulisan skripsi ini penulis membahas lembaga Badan Pertanahan Nasional dalam lingkup yang lebih kecil yakni Kantor Pertanahan Kota Balikpapan.
Penerbitan sertipikat hak atas tanah melalui proses yang panjang yang mana memberikan kesempatan kepada pihak yang merasa memiliki hak atas tanah untuk membuktikan dan melengkapi kebenaran asal-usul tanah yang ingin didaftar yaitu dengan membuktikan data fisik dan data yuridis atau disebut dengan warkah.
Pada Pasal 1 ayat (13) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa: “Warkah adalah : dokumen yang merupakan alat pembuktian data fisik dan data yuridis bidang tanah yang telah dipergunakan sebagai dasar pendaftaran bidang tanah tersebut.
Didalam warkah biasanya berisi berbagai berkas baik yang harus dipersyaratkan asli atau berupa foto copy atau salinan secara umum yang terdiri atas :
- Foto copy identitas ;
- Bukti perolah ( akta-akta PPAT, keterangan waris, Letter c, dan lain lain);
- Berkas-berkas pendukung lainnya yang berasal dari formulir yang dipersayaratkan ( Pemohon, pernyataan-pernyataan, berita acara, dan lain-lain);
- Lampiran- lampiran lain yang diperlukan (foto copy SPPT-PBB, bukti setor pajak, IMB dan lain lain).
Warkah pendaftaran tanah merupakan jenis dokumen yang memiliki umur tidak terbatas dalam arti bisa disebut sebagai “ arsip hidup ” sepanjang tanah yang disertipikatkan itu masih ada maka warkah itu masih berlaku 3 .
Hal ini dikarenakan jika suatu saat munculnya permasalahan yang ada kaitannya dengan bidang tanah yang sudah di sertipikatkan maka warkah memegang peranan penting dalam menentukan siapa yang benar dari pihak bermasalah tersebut. Karena dari warkah yang ada akan diketahui apakah dalam proses pengajuan sertipikat tersebut prosesnya sudah sesuai dengan aturan yang ada atau tidak, dilihat dari prosedur maupun kebenaran-kebenaran dari data-data yang diberikan.
Warkah merupakan dokumen yang merupakan sumber berbagai informasi paling dasar atau bisa juga disebut dnegan alas dasar hingga proses sampai terbitnya sertipikat. Karenanya fungsi dari warkah itu sangat penting untuk menjadi alat bukti atas terbitnya sertipikat .
Penerbitan sertipikat atas tanah merupakan proses akhir dari pendaftaran tanah yang dimana jika sertipikat telah terbit maka jaminan kepastian hukum atas tanah telah dimiliki oleh pemegang hak atas tanah sesuai dengan tujuan dari pendaftaran tanah yang termakhtub dalam Pasal 19 UUPA dan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Dalam prosesnya apabila sudah melewati prosedur pendaftaran tanah menurut hukum yang berlaku, maka sertipikat dapat diterbitkan oleh kantor pertanahan kota Balikpapan.
Menurut kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa sertipikat merupakan surat keterangan ( pernyataan ) tertulis atau tercetak dari orang yang berwenang yang dapat digunakan sebagai bukti pemilikan atau kejadian, 4 yang artinya kata sertipikat adalah surat bukti kepemilikan tanah. Sertipikat merupakan suatu dokumen formal sebgian instrumen yuridis bukti kepemilikan hak atas tanah yang diterbitkan oleh pemerintah.
Menurut pendapat Boedi Harsono, sertipikat ( tanah ) adalah suatu surat tanda bukti hak yang dikeluarkan Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah atau merupakan suatu tanda bukti bahwa seseorang atau suatu badan hukum mempunyai suatu hak atas tanah atas suatu bidang tanah tertentu 5 .
Lebih lanjut dikatakan Irawan Soerodjo, bahwa sertipikat tanah merupakan surat tanah bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Dari sini sudah dapat ditangkap bahwa makna sertipikat dalam konstruksi yuridisnya merupakan suatu dokumen formal yang dipergunakan sebagai tanda dan atau instrumen yuridis bukti hak kepemilikan atas tanah yang dikeluarkan oleh BPN RI (Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia) institusi Negara yang ditunjuk dan diberikan wewenang oleh Negara untuk menerbitkannya. Sertipikat sebagai tanda dan atau sekaligus alat bukti hak kepemilikan atas tanah merupakan produk hukum yang diterbitkan oleh BPN RI didalamnya memuat data fisik dan data yuridis 6 .
Dikatakan oleh AP. Parlindungan, sertipikat adalah salinan buku tanah dan surat ukur setelah dijahit menjadi satu bersama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria disebut sertipikat dan diberikan kepada yang berhak 7 .
Sertipikat hak atas tanah merupakan produk hukum yang dikeluarkan oleh lembaga Negara yang berwenang yakni oleh BPN RI yang dipergunakan sebagai tanda bukti dan alat pembuktian hak seseorang atau badan hukum yang mempunyai hak atas suatu bidang tanah yang didalamnya memuat data fisik dan data yuridis.
Kontruksi hukum sertipikat hak atas tanah dan kekuatan pembuktiannya dapat dilihat dalam beberapa ketentuan perundangan. Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA didalam pasal 19 ayat 1 dan 2, disebutkan bahwa:
- Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah ;
- Pendaftaran tersebut meliputi :
a. Pengukuran,
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut,
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Berdasarkan Pasal tersebut dapat memberikan gambaran bahwa Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang memberikan jaminan hukum dan kepastian hak atas tanah yang telah terdaftar. Jaminan bukti adanya tanah yang telah terdaftar yaitu diberikannya “ surat tanda bukti hak ” yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Atas dasar ketentuan Pasal 19 UUPA tesebut, selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah yang kemudian Peraturan Pemerintah ini diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, dan didalam Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ditegaskan bahwa sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 2, huruf c, Undang-Undang Pokok Agragia untuk Hak Atas Tanah, Hak Pengelolaan, tanah wakaf, Hak milik atas satuan rurmah susun, dan Hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.
Sertipikat dalam Pasal 1 angka (20) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah menyebutkan bahwa : Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.
Sedangkan Sertipikat dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yaitu:
- Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
- Di dalam atas hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan huum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan kepala kantor pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan atas tanah atau penerbitan sertipikat.
Ketentuan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2), dan Pasal 38 ayat (2) UUPA, yang berisikan bahwa pendaftaran tanah menghasilkan produk hukum yang diterbitkan oleh BPN yang berupa surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Pertanyaan hukumnya adalah seberapa kuatnya sertipikat hak atas tanah yang diatur dalam Pasal tersebut.
Berkaitan dengan kekuatan pembuktian yang kuat sertipikat hak atas tanah ini dikatakan oleh Maria SW Sumardjono, kuat artinya harus dianggap benar sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya di Pengadilan dengan alat bukti yang lain 8 .
Dari uraian diatas, maka sertipikat sebagai alat pembuktian yang kuat yang artinya bahwa selama tidak dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum didalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Idealnya sertipikat yang pembuktiannya kuat data fisik dan data yuridis yang tercantum didalam sertipikat sesuai dengan buku tanah, surat ukur dan warkah pendaftaran tanah. Dengan demikian sertipikat sebagai akta otentik tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, yang artinya Hakim harus terikat dengan data-data yang benar dan sesuai dalam sertipikat itu selama tidak dibuktikan oleh pihak lain.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menganut sistem publikasi negatif. Pada sistem publikasi negatif, negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Sistem publikasi negatif berarti sertipikat hanya merupakan surat tanda bukti hak yang bersifat kuat, bukan bersifat mutlak. Sehingga data fisik dan data yuridis yang terdapat di sertipikat mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima Hakim sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat bukti lain yang membuktikan sebaliknya 9 .
Lebih lanjut dikatakan oleh Boedi Harsono : 5
“Bahwa surat-surat tanda bukti hak itu berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat berarti, bahwa keterangan-keterangan yang tercantum didalamnya (oleh hakim) sebagai keterangan yang benar, selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian yang lain yang membuktikan sebaliknya. Dalam hal yang demikian maka pengadilanlah yang akan memutuskan alat pembuktian yang benar.”
Karena pendaftaran tanah Indonesia menganut sistem publikasi negatif maka kekuatan hukum sertipikat hak atas tanah sebagai alat pembuktian yang kuat namun tidaklah mutlak, makna mutlak adalah tidak dapat diganggu gugat meskipun telah diajukan bukti-bukti lain yang dapat menyanggahnya, ataupun meskipun ternyata benar bahwa alat bukti tersebut salah. Kekuatan hukum sertipikat sebagai jaminan kepastian atas hak milik tanah tergantung sejauh mana pihak lain mampu membuktikan atas dasar dalil yang diajukan.
Seperti halnya dalam kasus sertipikat tanpa warkah, bahwa sertipikat dapat diganggu gugat dan dikalahkan oleh putusan Pengadilan yang yang berkekuatan hukum tetap dan dalam kasus ini memenangkan pihak Penggugat yang hanya berpegang pada alat bukti lain, yaitu Surat Keterangan Pernyataan Kesaksian Hak Perwatasan dan Surat Pernyataan Melepaskan Hak Waris. Berkaitan dengan kasus ini Penggugat memenangkan perkara karena memiliki bukti kepemilikan yang lebih kuat yang umurnya jauh lebih tua.
Sertipikat tanpa warkah termasuk produk hukum yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional selaku lembaga Negara yang mempunyai wewenang untuk menerbitkannya. Sertipikat tanpa warkah tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, Karena sertipikat tersebut tidak mempunyai alas dasar hak atau yang disebut dengan warkah. Pada dasarnya sertipikat memiliki ciri turun temurun, terkuat, dan terpenuh dari hak-hak lainnya seperti hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak lain- lainnya. Namun apabila sertipikat terbit tanpa warkah maka sertipikat itu tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat. Terbitnya sertipikat hak milik tanpa warkah yang sifatnya paling kuat tidak bisa diberlakukan apabila sertipikat tersebut tanpa warkah.
Terbitnya sertipikat merupakan perilaku yang tidak teliti dan kurang cermat dari Badan Pertanahan Nasional atau Kantor Pertanahan Kota Balikpapan dalam menerbitkan sertipikat. Sertipikat merupakan produk hukum walaupun ditemukan tanpa warkah tidak kemudian batal secara otomatis, namun harus dilakukan dengan mengajukan Gugatan ke Pengadilan dan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itulah yang menjadi dasar untuk mengajukan pembatalan sertipikat.
Pasal 124 PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, walupun dalam putusan Pengadilan tidak tegas menyatakan batal atau tidak mempunyai kekuatan hukum sertipikat yang dimohonkan pembatalannya, namun inti Putusan Pengadilan tersebut sama dengan pembatalan atau tidak mempunyai kekuatan hukum sertipikat dimaksud, atau yang intinya sama dengan itu, dengan demikian berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Balikpapan Nomor 86/PDT.P/2010/PN.BPP walaupun dalam Putusannya tidak menyatakan batal atau pembatalan terhadap delapan sertipikat tersebut, namun inti Putusan tersebut bisa disamakan dengan pembatalan.
Berdasarkan hal ini Putusan Pengadilan Negeri Balikpapan Nomor 86/PDT.P/2010/PN.BPP yang menyatakan kedelapan sertipikat tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat bisa dijadikan dasar untuk permohonan pembatalan sertipikat oleh Penggugat.
Maka dengan Putusan tersebut instansi yang berwenang yakni Kantor Pertanahan /Badan Pertanahan Nasional menerima permohonan pembatalan sertipikat dan salinan putusan, kemudian sesuai prosedur dan kewenangannya untuk melaksanakan pembatalan hak atas tanah berdasarkan Putusan Pengadilan.
Upaya Hukum Mengajukan Pembatalan Sertipikat Tanpa Warkah
Pembatalan hak atas tanah diatur dalam Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah, selanjutnya disebut PMNA/KBPN 3/1999,yang berbunyi:
“Pembatalan keputusan mengenai pemberian suatu hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum dalam penerbitannya atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.”
Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, selanjutnya disebut PMNA/KBPN 9/1999, pengertian pembatalan hak atas tanah yaitu:
“Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah atau sertipikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.”
Pada kasus yang terjadi di Balikpapan, peranan Kantor Pertanahan Kota Balikpapan selaku pihak yang berwenang menerbitkan kedelapan sertipikat tanpa alas dasar hak atau warkah yang bermasalah karena tidak cermat dan tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, sebab produk yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Balikpapan adalah produk hukum yang mempunyai kekuatan hukum dan perlindungan hukum.
Sertipikat idealnya memiliki warkah yang jelas yaitu alas dasar hak tanah dalam melakukan pendaftaran tanah, karena dengan adanya warkah yang sertipikat mempunyai kekuatan hukum pasti dan menjadi bukti yang yang kuat sebagaimana ciri khas dari sertipikat hak milik.
Atas hal tersebut Penggugat selaku pihak yang merasa dirugikan memohon pembatalan kedelapan sertipikat dengan dasar putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kemudian Penggugat melakukan upaya hukum kedua yaitu mengajukan Gugatan untuk melakukan pembatalan kedelapan sertipikat kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda, namun Gugatan Penggugat ditolak oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda.
Putusan tersebut sudah cukup untuk menjadi dasar pembatalan oleh Kantor Pertanahan Kota Balikpapan untuk membatalkan kedelapan sertipikat tersebut. Namun Pihak Kantor Pertanahan Kota Balikpapan tidak merespon cepat dan membuat Penggugat sampai saat ini belum mendapatkan hak yang semestinya dan kepastian hukum.
Terdapatnya putusan Pengadilan yang menyebabkan batalnya suatu Sertipikat Hak Milik atas tanah, tidak serta merta sertipikat hak milik tersebut menjadi batal, melainkan pembatalan tersebut harus dilakukan oleh instansi pemerintah yang memiliki wewenang untuk melakukan pembatalan terhadap sertipikat hak atas tanah dan harus didasarkan atas permohonan dari pihak yang berkepentingan. Hal ini dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 350 K/Sip/1968 tanggal 3 Mei 1969 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 716 K/ Sip/1973 tanggal 5 September 1973, yang menyatakan bahwa:”Pengeluran/pencabutan dan pembatalan surat sertipikat adalah semata-mata wewenang dari Kantor Pendaftaran Tanah dan Pengawas Pendaftaran Tanah, bukan termasuk wewenang Pengadilan Negeri 10 .
Ini berarti bahwa yang mempunyai wewenang untuk melakukan pembatalan sertipikat adalah instansi pemerintah yang mempunyai wewenang atas permohonan pihak yang berkepentingan atau pihak yang dimenangkan berdasarkan pada Putusan Pengadilan dan dalam hal ini pihak yang menang adalah Penggugat yang mengajukan permohonan pembatalan sertipikat berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut.
Dalam Pasal 124 Ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 atau yang biasa disebut dengan PMNA/KBPN9/1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan bahwa:
”Keputusan pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterbitkan atas permohonan yang berkepentingan”.
Berdasarkan pernyataan sebelumnya maka keputusan pembatalan hak atas tanah ini dilaksanakan atas permohonan yang berkepentingan. Kemudian Pasal 124 Ayat (2) PMNA/KBPN9/1999 menyatakan bahwa :” Satu permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya untuk satu atau beberapa hak atas tanah tertentu yang letaknya dalam satu Kabupaten/Kota.
Permohonan yang diajukan adalah Putusan Pengadilan yang amarnya menyatakan batal atau tidak mempunyai kekuatan hukum atau yang pada intinya sama dengan itu. Kemudian proses pelaksanaan pembatalannya yaitu:
- Permohonn diajukan secara tertulis kepada Kepala BPN atau melalui Kanwil BPN Provinsi atau Kantor Pertanahan.
- Setiap satu permohonan disyaratkan hanya memuat untuk satu atau beberapa hak atas tanah tertentu yang letaknya berada dalam satu wilayah kabupaten / kota.
- Permohonan memuat, berdasarkan Pasal 126 Ayat (1) PMNA/KBPN9/1999 bahwa : permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 harus dilampiri dengan :
- Foto copy identitas ;
- Foto copy surat keputusan / sertipikat ;
- Foto copy akta pendirian badan hukum ;
- Foto copy putusan Pengadilan dari tingkat pertama sampai dengan putusan terakhir ;
- Berita acara eksekusi, apabila perkara perdata atau pidana ;
- atau surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan.
Pembatalan sertipikat hak milik atas tanah sebagai pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan atas permohonan dari pihak yang berkepentingan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, yang menetapkan bahwa :”proses penerbitan, peralihan dan / atau pembatalan hak atas tanah untuk melaksanakan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dilakukan berdasarkan adanya pengaduan/permohonan pihak yang berkepentingan ”.
Selanjutnya permohonan pembatalan sertipikat hak milik atas tanah dapat diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan atau Kepala Badan Pertanahan Nasional, dimana berdasarkan Pasal 59 ayat (3) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, surat permohonan pembatalan tersebut harus dilengkapi dengan:
- Putusan Pengadilan yang memutus perkara kasus tanah ;
- Berita acara pelaksanaan eksekusi untuk putusan perkara yang memerlukan pelaksanaan ekseskusi ;
- Surat- surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan.
Diatur dalam Pasal 55 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, yang menetapkan :
1. Tindakan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat berupa :
a. Pelaksanaan dari seluruh amar putusan ;
b. Pelaksanaan sebagian amar putusan ;
c. Hanya melaks anakakn perintah yang secara te gas tertulis pada amar putusan.
2. Amar putusan pengadilan yeng telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang berkaitan dengan penerbitan, peralihan dan/ atau pembatalan hak atas tanah, antara lain:
a. Perintah untuk membatalkan hak atas tanah ;
b. Menyatakan batal / tidak sah / tidak berkekuatan hukum ;
c. Menya takan tanda bukti hak tidak sah / tidak berkekua t an hukum ;
d. Perintah dilakukannya pencatatan atau pencoretan dalam buku tanah ;
e. Perintah penerbitan hak atas tanah ; dan
f. Amar yang bermakna menimbulkan akibat hukum terbitnya, beralihnya atau batalnya hak.
Tidak semua Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dapat dijadikan dasar untuk melakukan pembatalan sertipikat hak atas tanah termasuk sertipikat hak milik atas tanah, karena ada dalam Pasal 54 ayat (2) alasan-alasan yang sah untuk melakukan perbuatan hukum berupa penerbitan keputusan pembatalan, bahwa: ”alasan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. Terhadap obyek putusan terdapat putusan lain yang bertentangan ;
b. Terhadap obyek putusan sedang diletakkan sita jaminan ;
c. Terhadap obyek putusan sedang menjadi obyek gugatan dalam perkara lain;
d. Alasan lain yang diatur dalam peraturan Perundang-Undangan.
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 60 ayat (3) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, berdasarkan alasan-alasan tersebut maka Pejabat Badan Pertanahan Nasional atau Kantor Pertanahan yang memiliki wewenang untuk itu dapat menolak permohonan pembatalan sertipikat hak milik atas tanah dengan memberitahukan kepada pemohon yang disertai dan pertimbangannya. Pada Pasal 60 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, dalam rangka proses penanganan permohonan pembatalan sertipikat hak milik atas tanah untuk melaksanakan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, adapun tahap-tahap yang dilaksanakan yaitu:
- Penelitian berkas permohonan / usulan pembatalan ;
- Penelitian dan pengolahan data putusan Pengadilan ;
- Pemeriksaan lapangan dalam hal diperlukan ;
- Gelar internal/ eksternal dan gelar mediasi ;
- Gelar istimewa dalam hal sangat diperlukan ;
- Penyusunan risalah pengolahan data; dan
- Pembuatan keputusan penyelesaian kasus.
Jadi dalam pembatalan sertipikat hak milik atas tanah tindakan terakhir yang dilakukan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang sebagai lembaga Negara yang mempunyai wewenang untuk hal tersebut dalam rangka melaksanakan Putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap yaitu berupa penerbitan keputusan pembatalan.
Setelah dilakukan pembatalan sertipikat hak milik atas tanah yaitu penerbitan keputusan pembatalan, maka Pejabat Badan Pertanahan Melakukan pencatatan pada Buku Tanah oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten /Kota yang bersangkutan setelah diterima salinan Keputusan tentang pembatalan sertipikat hak milik atas tanah tersebut.
Pada Pasal 55 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menentukan bahwa “ Pencatatan hapusnya hak atas tanah, hak pengelolalaan dan hak milik atas satuan rumah susun berdasarkan putusan Pengadilan dilakukan setelah diperoleh Keputusan mengenai hapusnya hak yang bersangkutan dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya sebgaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1).”
Selanjutnya dalam Pasal 125 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menetapkan bahwa: ”Pendaftaran pencatatan hapusnya suatu hak atas tanah atau Hak Pengelolaan atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun berdasarkan putusan Pengadilan dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan setelah diterimanya salinan keputusan mengenai hapusnya hak bersangkutan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk”.
Pada kasus sertipikat tanpa warkah ini upaya yang telah dilakukan oleh Penggugat dengan mengajukan Gugatan ke Pengadilan Negeri Balikpapan dan setelah menerima Putusan yang memenangkan pihak Penggugat tersebut sangat cukup untuk menjadi dasar mengajukan permohonan pembatalan sertipikat ke Badan Pertanahan Nasional atau Kantor Pertanahan Kota Balikpapan. Sehingga upaya mengajukan pembatalan sertipikat dengan mengajukan Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda tidaklah perlu lagi karena sebelumnya sudah mendapat dasar pembatalan dari Putusan Pengadilan Negeri Balikpapan yang intinya sama.
Berdasarkan penjelasan tekhnis diatas sesuai dengan kasus sertipikat tanpa warkah seharusnya Penggugat tidak perlu mengajukan Gugatan lagi ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah ditolak, karena Putusan Pengadilan Negeri Balikpapan Nomor 86/PDT.P/2010/PN.BPP sudah dapat dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan pembatalan sertipikat ke Badan Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan Kota Balikpapan. Selanjutnya Badan Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan Kota Balikpapan yang melakukan proses berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus pertanahan hingga terbitnya Keputusan Pembatalan yang dikeluakan oleh Pejabat instansi tersebut
Kesimpulan
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa Menurut Pasal 1 ayat (20) PP 24/1997 tentang pendaftaran tanah bahwa sertipikat adalah satu lembar dokumen sebagai surat tanda bukti hak yang memuat data fisik dan data yuridis obyek yang didaftar untuk hak atas tanah. Dalam prosesnya terbit sertpikat harus sesuai data fisik dan yuridis, data fisik dan data yuridis ini yang menjadi dasar pendaftaran tanah atau yang disebut dengan warkah pendaftaran tanah. Indonesia menganut sistem publikasi negatif yang berarti bahwa kekuatan pembuktian sertipikat hak atas tanah adalah terkuat namun tidak mutlak. Maka sertipikat tanpa warkah tidak memilki kekuatan hukum yang kuat apabila di ajukan gugatan ke Pengadilan.
Upaya yang dapat dilakukan oleh Penggugat untuk mengajukan permohonan pembatalan sertipikat hak milik tanpa warkah adalah dengan cara mengajukan Permohonan secara tertulis ke Kantor Pertanahan Kota Balikpapan dan melampirkan foto copy identitas, foto copy sertipikat, foto copy Putusan Pengadilan, Berita acara eksekusi dan surat-surat lainnya yang terkait dengan pembatalan. Putusan Pengadilan tersebut yang dijadikan dasar karena amar putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
References
- Mahmud Marzuki, Peter,” Pengantar Ilmu Hukum,”Kencana Prenada Media Group, 2008.
- Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif,” Raja Grafindo Persada, 2008.
- Htpp://ml.scribd.com/doc/46639372/digitalisasi-warkah.
- Depdikbud, “Kamus Besar Bahasa Indonesia,” Balai Pustaka, 1990.
- Harsono, Budi, “Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,”Djambatan, 2008.
- Soerodjo, Irawan, “Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia,”Arloka, 2002.
- Parlindungan, AP, “ Pendaftaran Tanah di Indonesia,” Mandar Maju, 1999.
- Sumardjono, Maria S.W, “Kebijakan Tanah: Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, 2001.
- Santoso, Urip, “Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana, 2010.
- Sutedi, Adrian, “Kekuatan Hukum Berlakunya Sertifikat Sebagai Tanda Bukti Hak Atas Tanah” Cipta Jaya, 2006.