Financial Technology
DOI: 10.21070/ijler.2019.V2.32

A Critical Review of Legal Protection Against E-Money Users in Indonesia


Ulasan Kritis Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna E-Money di Indonesia

Faculty of Law, Universitas Islam Kadiri
Indonesia
Department of Economy, STAI Muhammadiyah Tulungagung
Indonesia

(*) Corresponding Author

legal protection e-money transactions legal status

Abstract

Protection of e-money users must be done based on the increasingly advanced science and technology. The formulation of the problems in this study are: (1) What is the legal provision regarding e-money as a means of payment in commercial transactions in Indonesia? (2) What is the legal protection of e-money users in conducting commercial transactions in Indonesia? The formulation of the problem was studied in depth using the normative juridical approach. The results of this study are: First, e-money is regulated in Bank Indonesia Regulation Number 10/8 / PBI / 2008 concerning Amendments to Bank Indonesia Regulation Number 7/52 / PBI / 2008 concerning the implementation of Card-Based Payment Instrument Activities. Bank Indonesia Regulation Number 16/8 / PBI / 2014 concerning Amendments to Bank Indonesia Regulation Number 11/12 / PBI / 2009 concerning Electronic Money (Electronic Money). E-money issuers as regulated in Article 1 paragraph (1) of Bank Indonesia Regulation Number 16/8 / PBI / 2014 are Banks and Non-Bank Institutions incorporated in the form of Limited Liability Companies (PT). While the legal status / relationship between the holders of electronic money with the issuer of e-money money is based on the contract of sale and purchase, which has been regulated in Article 1457 of the Civil Code. Second, legal protection for e-money users can be done in two ways, namely: Preventive Legal Protection and Repressive Legal Protection

Pendahuluan

Globalisasi memberikan efek yang besar bagi kehidupan masyarakat kita. Adapun salah satu dampak dari adanya pengaruh globalisasi adalah tentang bertambahnya alat pembayaran yang sebelumnya hanya dengan menggunakan pembayaran tunai berbentuk uang Giral atau uang Kartal, hari ini berkembang menjadi pembayaran yang dilakukan dengan menggunakan sistem elektronik. Salah satunya dengan menggunakan pembayaran tunai yaitu menggunakan uang elektronik (e-money).

Sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dimaksud dengan transaksi elektronik adalah sebuah perubahan hukum yang mana dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer dan/atau media elektronik lainnya [1]. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa salah satu dari kegiatan elektronik adalah pembayaran yang dilakukan menggunakan sistem elektronik atau yang lebih dikenal dengan sistem pembayaran elektronik. Dalam menggunakan transaksi elektronik, maka masyarakat akan membutuhkan transaksi yang cepat, aman serta nyaman dengan membeikan kepastian, baik itu kepastian secara bertransaksi ataupun kepastian secara hukum, terlebih dengan menggunakan transaksi elektronik.

Dari segi sistem pembayaran non tunai, pihak Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga pengawas dari sektor keuangan memiliki kepentingan untuk memastikan bahwa pembayaran non tunai yang digunakan oleh masyarakat dapat berjalan serta terlaksana secara aman, nyaman dan memberikan kepasrtian baik itu transaksi sendiri ataupun kepastian hukum . Oleh sebab itu, perkembangan penggunaan alat pembayaran non tunai mendapatkan perhatian yang serius dari otoritas jasa keuangan, karena perkembangan pembayaran non tunai diharapkan dapat mengurangi beban penggunaan uang tunai dan semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Kendati terbilang masih baru dan dalam tahap perkembangan awal, e-money memiliki potensi dalam menggeser peran uang tunai pada pembayaran-pembayaran yang memiliki sifat retail, karena transaksi retail yang dimaksud dapat dilakukan dengan mudah serta murah baik itu bagi konsumen ataupun selaku pelaku usaha. Pada Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen menjelaskan bahwa konsumen merupakan setiap orang yang menggunakan barang dan/atau jasa yang tersedia di dalam masyarakat, baik itu untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain ataupun makhluk hidup lainya serta tidak untuk diperdagangkan [2]. Pelaku usaha sendiri adalah setiap orang atau perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum ataupun bukan badan hukum yang didirikan serta berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik itu sendiri atau bersama sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha pada berbagai bidang ekonomi.

Apabila kita mengaca dari negara-negara maju dan berkembang, e-money telah melahirkan berbagai implikasi pengembangan pada kebijakan Otoritas Jasa Keuangan khususnya yang berkaitan dengan fungsi pengawasan sistem pembayaran dan efektifitas kebijakan moneter. Perlindungan terhadap pengguna e-money sendiri harus dilakukan berdasarkan pada semakin majunya ilmu pengetahuan serta teknologi yang merupakan motor penggerak dari bagi produktifitas serta efesiensi atas barang atau jasa yang dihasilkan dalam rangka mencapai sasaran usaha [3]. Dalam rangka mencapai sasaran usaha yang dimaksud, akhirnya baik itu secara langsung ataupun tidak langsung konsumen yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Mengingat hal tersebut, semua tentu sudah menjadi keperluan yang mendesak akan adanya suatu perlindungan terhadap Pemagang e-money sebagai konsumen untuk dicarikan solusinya, mengingat rumitnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, terlebih menyongsong era perdagangan bebas dimasa yang akan datang.

Oleh sebab itu, pengguna e-money sudah selayaknya mendapatkan perlindungan hukum berupa regulasi terhadap teknologi informasi yang memadahi. Tidak hanya itu, dibutuhkan pula kemampuan dari aparat penegak hukum tentang kesadaran hukum masyarakat dan prasarana-prasarana yang mendukung tentang penegakan hukum pada bidang teknologi informasi.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yang didasarkan pada hukum positif yang berlaku di Indonesia dengan cara meneliti bahan bacaan peraturan perundangan-undangan dan pendapat para sarjana hukum yang terkemuka yang berkaitan dengan penelitian ini.

Pembahasan

Bahan hukum yang dipergunakan terdiri dari bahan hukum hukum yang mempunyai kekuatan hukum positip yang mengikat, yang terdiri dari berbagai perundang-undangan dan peraturan tentang e-money dan Peraturan lainnya yang masih ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. Bahan hukum yang diperoleh diolah sesuai kebutuhan penelitian untuk dianalisis pokok masalah dari penelitian ini.

Bank Sentral Eropa secara luas mengartikan e-money sebagai toko elektronik nilai moneter pada perangkat teknis yang dapat dimungkinkan untuk banyak digunakan guna melakukan pembayaran kepada usaha selain penerbit tanpa harus melibatkan rekening bank yang di transaksi akan tetapi bertindak sebagai instrumen pembawa prabayar.

Adapun Bank Indonesia (BI) memberikan definisi uang elektronik (e-money) dengan penjelasan yang lebih rinci. Menurut BI yang dimaksud dengan uang elektronik (e-money) adalah segala bentuk jenis uang yang bida diakses secara online serta tersimpan pada sebuah server / kartu chip (microchip di dalam kartu ATM, kartu debit, kartu kredit, uang elektronik) [4]. Benda yang masuk dalam kategori uang modern tersebut dapat dipergunakan dalam segala macam kebutuhan transaksi termasuk pembayaran, tagihan kartu kredit, pembayaran asuransi sehingga penarikan uang secara tunai. Pada peraturan Bank Indonesia No. 11/12/PBI/2009 [5] tentang Uang Elektronik menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan uang elektronik (e-money) merupakan alat pembayaran yang memenuhi syarat sebagai unsur-unsur sebagai berikut ini:

  1. Diterbitkan berdasarkan uang yang telah di setor sebelumnya oleh pemegang kepada penerbit.
  2. Nilai uang yang disimpan secara elektronik dalam suatu media seperti halnya server/chip.
  3. Digunakan sebagai alat untuk membayar kepada para pedagang yang bukan termasuk kedalam penerbit uang elektronik yang dimaksud.
  4. Nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan menjadi sebuah simpanan sebagaimana yang dimaksudkan dalam undang-undang yang mengatur tentang perbankan.

Sebagai uang elektronik (e-money) mempunyai nilai tersimpan atau prabayar yang mana sejumlah nilai uang yang disimpan dalam suatu media elektronik yang dimiliki oleh seseorang. Adapun nilai uang dalam e-money dapat dipergunakan guna berbagai jenis pembayaran serta berbeda dengan instrumen single purpose seperti halnya kartu telepon. E-money sangatlah bermanfaat untuk melakukan transaksi masal yang memiliki niali kecil akan tetapi frekuensinnya yang tinggi seperti halnya transportasi, perker, fast food, tol dan lain sebagainya yang menggunakan transaksi secara elektronik.

Pada dasarnya e-money telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/8/PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/52/PBI/2008 tentang penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu [6]. Lalu pada perkembangan berikutnya pengaturan tentang e-money disempurnakan lagi dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Elektronik Money) dan diatur pula pada Surat Edaran dengan Nomor 11/11/DASP Tahun 2009 tentang Uang Elektronik/e-money sebagai payung hukum bagi masyarakat penyelenggara kegiatan alat pembayaran uang elektronik [7].

Dalam hal berkaitan dengan uang elektronik, pembentukan dari peraturan perundang-undangan haruslah berlaku juga bagi pelaku usaha atau penerbit dari e-money, serta adanya kosistensi terhadap peraturan dan pelaksanaanya. Aturan-aturan tersebut harus diumumkan serta dirumuskan secara jelas dan dapat dimengerti oleh pemegang kartu sebagaimana objek dari pengaturan tersebut, hal ini dikarenakan sistem transaksi elektronik adalah transaksi dengan alat buktinya yang bersifat elektronik.

Permasalahan hukum dalam sistem elektronik akan terjadi ketika sistem pembayaran elektronik yang digunakan guna melaksanakan transaksi elektronik mengalamai kegagalan serta mengakibatkan kerugian. Apabila terjadi hal demikian maka pihak mana yang akan bertanggung jawab dalam kegagalan transaksi yang dimaksud. Bentuk dari tanggungjawab penyelenggara pembayaran elektronik dimulai dari adanya hubungan hukum yang terjadi antara penerbit serta pemegang kartu dalam suatu periakatan.

Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia tentang uang elektronik ini mengatur mengenai bagaimana syarat serta tata cara pihak dalam uang elektronik demi kelancaran kegiatan uang elektronik dan perlindungan terhadap pemegang kartu. Hal tersebut telah diatur berkenaan dengan pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan uang elektronik serta merupakan bentuk dari perlindungan terhadap pemegang kartu e-money.

  1. Dasar Hukum Pengaturan e-money Sebagai Alat Trnsaksi di Idonesia
  2. Penyelenggara Kegiatan Alat Pembayaran e-money

Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik maka dapat kita lihat pihak-pihak yang termasuk sebagai penyelenggara kegiatan alat pembayaran uang elektronik [8] yakni:

Bank atau Lembaga Selain Bank yang mempunyai tanggungjawab atas pengelolaan sistem atau jaringan antara anggotanya, baik itu yang berperan sebagai penerbit atau acquirer, dalam transaksi e-money yang bekerjasama dengan anggotanya yang didasarkan kepada suatu perjanjian yang tertulis.

  1. Prinsipal (Pasal 1 ayat 5)
  2. Penerbit atau issuer (Pasal 1 ayat 6)

Seperti halnya yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa penerbit uang elektronik adalah merupakan bank dan lembaga selain bank. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1 angka 1 peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik yang menyatakan bahwa bank merupakan bank sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang yang mengatur tentang perbankan dan bank syariah sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang yang mengatur tentang perbankan syariah [8]. Sementara, yang dimaksud dengan lembaga selain bank sesuai dengan Pasal 1 angka (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tantang Uang Elektronik menjelaskan bahwa Lembaga Selain Bank adalah badan usaha yang berbadan hukum Indonesia bukan bank [9].

Lebih lanjut tentang syarat dan ketentuan sebagai penerbit e-money sebagai berikut:

  1. Bank atau Lembaga Selain Bank yang ingin bertindak sebagai penerbit waji hukumnya mendapatkan izin sebagai Penerbit dari Bank Indonesia.
  2. Khusus bagi Lembaga Selain Bank yang hendak menerbitkan e-money haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) Memiliki Badan Hukum Indonesia dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) dan, (b) Mempunyai pengalaman serta reputasi baik dalam penyelenggaraan kartu prabayar single-purpose single merchan atau juga multi – purpose single merchant yang ada di Indonesia kurang lebih selama dua tahun.

Penerbitmemiliki peranan yang sangat penting dalam penyelenggaraan e-money, hal ini disebabkan karena issuer merupakan pihak yang mengelola float atas electronic value yang diterbitkannya. Kepercayaan kepada uang elektronik sangatlah ditentukan oleh kemampuan dari issuer dalam memenuhi refund atau redemtion yang dilakukan oleh costumer atau merchant. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka (11) Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik yang menjelaskan bahwa “Dana Float merupakan seluruh nilai uang elektronik yang diterima Penerbit atas hasil penerbitan Uang Elektronik dan/atau Pengisian Ulang yang masig merupakan kewajiban Penerbit kepada Pemegang dan pedagang [11].

Status hukum atau hubungan hukum antara pemegang uang elektronik dengan bank sebagai penerbit uang elektronik adalah hubungan hukum yang didasarkan pada akad jual beli, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata yang menjelaskan bahwa jual beli adalah sebuah persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya guna menyerahkan suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan [12]. Hubungan hukum jual beli antara pemegang uang elektronik dengan bank sebagai penerbit uang elektronik melahirkan hak serta kewajiban bagi para pihak dalam penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran uang elektronik.

Adapun hak dan kewajiban yang dimaksud adalah keadaan yang tercipta karena adanya hubungan timbal balik antara pemegang uang elektronik dan bank sebagai penerbit uang elektronik. Pihak bank selaku penerbit perlu menjaga legitimasi steakholder dalam hal ini yaitu pemegang e-money serta mendudukannya dalam kerangka kebijakan sehingga nantinya dapat mendukung pencapaian tujuan dalam penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan e-money.

Berhubungan dengan kewajiban yang ditimbulkan dari setelah adanya hubungan hukum yang ada tersebut, dalam hubunganya dengan proses transaksi secara elektronik, maka yang perlu untuk diperhatikan oleh pihak Bank selaku penerbit adalah aspek keamanan ketika saat pemegang e-money untuk melakukan transaksi menggunakan uang elektronik kepada pedagang/merchant.

Pertukaran data elektronik dari pemegang e-money atau konsumen pengguna dari e-money ini dapat dilakukan melalui kontak langsung atau juga secara tidak langsung. Sehingga nantinya dalam proses transaksi e-money atau transaksi yang berbasis elektronik tersebut dalam penerapanya, bank penerbit harus menerapkan mekanisme operasional uang elektronik secara aman, handal serta dapat beroprasi sebagaimana mestinya.

  1. Status Hukum antara Pihak Bank dan Pemegang e-money
  2. Konsep Perlindungan Hukum Bagi Pemegang e-money

E-money sebagai salah satu alat pembayaran non tunai sudah mempunyai peran yang sangat penting bagi sebagian kehidupan kita, kecepatan, kemudahan dan ketepatan dalam bertransaksi menjadi salah satu daya tarik bagi masyarakat guna menggunakan produk ini, sehingga dari tahun ke tahun pengguna dari e-money akan semakin bertambah. Akan tetapi disisi lain, pengguna dari e-money juga mempunyai berbagai potensi tentang resiko keamanan.

Adapun potensi resiko yang dimaksud dalam pembayaran dengan menggunakan uang elektronik adalah seperti halnya pencurian kartu, duplikasi, dan pemalsuan kartu. Sehingga guna mengurangi resiko terjadinya penyalahagunaan yang dimaksud, dibutuhkan perhatian dari penyelenggara e-money dan harus mewujudkan kepastian hukum yang kuat, transparan dan mampu menjamin perlindungan terhadap para pemegang kartu uang elektronik.

Pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam menerbitkan uang elektronik harus mengutamakan prinsip perlindungan bagi nasabah dalam penyelenggaraan kegiatannya dengan menyampaikan informasi yang jelas, serta secara tertulis kepada pemegang kartu uang elektronik yang berlandaskan bahwa penyelenggara serta pemegang dari kartu memiliki kedudukan tidak sejajar serta bahwa kepentingan dari pemegang kartu e-money sangatlah rentan terhadap tujuan dari penyelenggara yang mempunyai pengetahuan dan keahlian yang tidak dimiliki oleh pemegang kartu.

Pada pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa konsumen mempunyai hak-hak yang harus dilindungi oleh para pelaku usaha [13] antara lain:

  1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan mengkonsumsi barang atau jasa;
  2. Hak untuk memilih barang / jasa serta mendapatkan barang atau jasa yang dimaksud sesuai dengan nilai tukar serta kondisi dan jaminan yang telah dijanjikan;
  3. Hak terhadap informasi yang benar, jelas serta jujur tentang kondisi serta jumlah barang atau jasa tersebut;
  4. Hak untuk didengar pendapat serta keluhanya atas barang atau jasa yang digunakannya;
  5. Hak untuk memperoleh advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
  6. Hak untuk memperoleh pembinaan dan pendidikan konsumen;
  7. Hak untuk memperoleh perlakuan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak ada diskrimnatif;
  8. Hak untuk diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.

Sementara dalam Pasal 1 angka (3) Peraturan OJK Nomor 1 Tahun 2013 menjelaskan bahwa Perlindungan Konsumen merupakan perlindungan terhadap konsumen dengan cakupan perilaku usaha jasa keuangan, lalu dikatakan peraturan ini bahwasanya perlindungan konsumen menerapkan prinsip transprasi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan serta keamanan data/informasi konsumen dan penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen sederhana, biaya terjangkau dan cepat.

Dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP Tahun 2009 tentang Uang Elektronik, maka diatur penyelenggaraan penerapan manajemen resiko operasional para penyelenggara kegiatan uang elektronik wajib untuk meningkatkan keamanan teknologi uang elektronik yang bertujuan untuk mengurangi tingkat kejahatan dan penyalahgunaan uang elektronik. Salah satu perlindungan yang diberikan kepada pemegang kartu uang elektronik ini menerapkan sistem proven technology [14].

Perlindungan hukum bagi pengguna e-money dapat dilakukan dengan cara antara lain: Perlindungan Hukum Secara Preventifyakni Perlindungan hukum yang diberikan dari Bank Indonesia melelaui mekanisme pengawasan terhadap kegiatan transaksi e-money yang bertujua untuk mencegah terjadinya pelanggaran, dan Perlindungan Hukum Secara RepresifPerlindungan hukum yang memiliki tujuan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi akibat perbedaan kepentingan.

Sementara bentuk perlindungan hukum yang bersifat prefentif bagi pemegang uang elektronik dapat diwujudkan dengan cara memperbaharui pengaturan ketentuan tentang penggunaan perjanjian standart atau perjanjian baku ayang lebih rinci tentang karakter, pembagian hak, hakekat serta kewajiban yang di tuangkan dalam bentuk undang-undang atau peratura yang lainnya, yang memberikan wadah atau tempat yang berlindung bagi pemegang kartu menggunakan aturan klausula-klausula dalam perjanjian dalam perjanjian baku syarat serta ketentuan pemegang uang elektronik.

Bentuk perlindungan hukum represif dapat dilalui oleh pihak, baik sebagai penerbit ataupun sebagai pemegang dari kartu melalui pola penyelesaian sengketa litigasi dan nonlitigasi.Selain penyelesaian sengketa dengan jalur Litigasi dan non litigasi terdapat juga dua bentuk penyelesaian sengketa yang berupa:

  1. The Binding Adjudicative Procedureadalah sebuah prosedur penyelesaian sengketa yang didalamnya memutuskan perkara hakim yang mengikat para pihak. Adapun bentuk dari penyelesaian sengketa yang dimaksud ini dapat dibagi menjadi empat macam yakni litigasi, mediasi, arbutrase dan hakim panitera.
  2. The Non Biding Adjudicative Procedure adalah Sebuah proses penyelesaian sengketa yang mana didalamnya memutuskan untuk perkara yakni hakim atau orang yang ditunjuk tidak mengikat oleh para pihak. Bentuk penyelesaian sengketa untuk model ini dapat dibagi menjadi enam yakni: mediasi, summary jury trial, konsiliasi, neutral expert fact-finding, mini trial, ,early expert neutral evaluation.

Upaya pencegahan atas pelanggaran kegiatan uang elektronik dilakukan untuk memastikan bahwa penyelenggara kegiatan e-money dengan objek pengawasan Bank Indonesia adalah kepada Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara, Acquirer, penyelenggara kliring atau penyelenggara penyelesaian akhir, dapat dilakukan dengan yang efisien, aman dan cepat dengan memperhatikan prinsip perlindungan konsumen khususnya pemegang kartu e-money. Pengawasan penyelenggara kegiatan e-money dikonsentrasikan pada penerapan aspek menejemen resiko, kepatutan terhadap ketentuan yang berlaku, termasuk juga kedalam kebenaran dan ketepatan penyampaian informasi dan laporan serta penerapan aspek perlindungan bagi nasabah.

Uang Elektronik (e-money)diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/8/PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/52/PBI/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Elektronik Money). Adapun penerbit e-money sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 adalah Bank dan Lembaga Selain Bank yang berbadan hukum dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) dan memiliki pengalaman serta reputasi baik dalam penyelenggaraan kartu prabayar di Indonesia minimal 2 tahun. Sementara Status/hubungan hukum antara pemegang dengan penerbit e-money adalah hubungan hukum yang didasarkan pada akad jual beli, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata. Untuk Perlindungan hukum bagi pengguna e-money dapat dilakukan dengan dua cara yakni: Perlindungan Hukum Secara Preventif yang diberikan dari Bank Indonesia melelaui mekanisme pengawasan terhadap kegiatan transaksi e-money dan Perlindungan Hukum Secara Represif yang memiliki tujuan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi akibat perbedaan kepentingan.

References

  1. Candrawati, Ni Nyoman Anita, “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Uang Elektronik Dalam Melakukan Transaksi E-money”, Tesis Program Pascasarjana, Denpasar: Universitas Udayana, 2013.
  2. Hariyani, Iswi, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2010.
  3. Hartono, Sri Rejeki, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Madar Maju, 2000.
  4. HS, Salim, Hukum Kontrak Teori dan Penyusunan Kontrak,Jakarta: Sinar Grafika,2006.
  5. Ibrahim, Johanes, Kartu Kredit Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, Bandung: Rafika Aditama, 2004.
  6. Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan Kadaluwarsa, Jakarta: Pelangi Cendikia, 2007.
  7. Sakti, Nufransa Wira, Buku Pintar E-commerce, Jakarta, Transmedia Pustaka, 2014.
  8. Suparni, Niniek,CyberspacePeoblematika dan Antisipasi Pengaturannya, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
  9. Dharfan Aprianto dkk, Jurnal Perkembangan Uang Elektronik dan Kartu Kredit di Indonesia Priode 2007-2012,
  10. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/2009/PBI Tentang Uang Elektronik
  11. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik
  12. Peraturan OJK Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
  13. Surat Ederan Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP Tahun 2009 tentang Uang Elektreonik
  14. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
  15. Undang-Uundang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen