Login
Section Education Accounting

Comparative Study of Public Administration in the UK and Australia

Studi Perbandingan Administrasi Publik di Inggris dan Australia
Vol. 20 No. 4 (2025): November:

Angga Ariesandy Putra Pratama (1), Rifqi Ridlo Phahlevy (2)

(1) Program Studi Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia, Indonesia
(2) Faculty of Law, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Abstract:

Background: Comparative analysis in public administration provides a broader understanding of governance systems across nations. Specific Background: This study explores administrative structures and practices in the United Kingdom and Australia, two countries that share a historical connection yet implement distinct administrative systems. Knowledge Gap: Previous research has generally focused on single-country governance without a structured comparison highlighting administrative efficiency and decentralization. Aim: This study aims to analyze and compare the core characteristics of public administration in both nations. Results: The findings show that while the UK applies a centralized parliamentary system, Australia adopts a federal approach that emphasizes state autonomy. Novelty: The research offers a new perspective by linking theoretical aspects of public administration with practical differences between two developed democratic systems. Implications: The study provides insights that can serve as a reference for improving administrative governance and decentralization models in other countries, including Indonesia.


Highlights:
• Comparison of administrative systems between the UK and Australia
• Centralized versus federal governance structures
• Lessons for administrative reform and decentralization


Keywords: Public Administration, Comparative Study, Governance, United Kingdom, Australia

Downloads

Download data is not yet available.

Existence of Jakarta After the Enactment of Law Number 3 of 2022 Concerning the IKN (The Nation’s Capital)

[Eksistensi Jakarta Setelah Lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2022 Tentang IKN (Ibu Kota Negara)]

Angga Ariesandy Putra Pratama1, Rifqi Ridlo Phahlevy2

1 Program Studi Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia

2 Program Studi Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia

*Email Penulis Korespondensi: qq_levy@umsida.ac.id

Abstract. The relocation of the nation's capital from Jakarta to the IKN in Kalimantan is a method regulated in the IKN Law No. 3 of 2022. The author aims to analyze Jakarta's position after losing its status as the capital, examine the implementation of public services in the IKN, and compare the process of transferring the Indonesian capital with Australia's, which previously transferred from Melbourne to Canberra. The method used in this research is a juridical-normative. The results of this review explain that Jakarta still has its special status as a national economic center and a global city as stipulated in Law No. 2 of 2024 concerning the Special Capital Region of Jakarta Province. Meanwhile, the IKN was built as a new center of government with centralized authority and prioritizes the concept of smart government. This study also reveals that the relocation of the capital in Australia is gradual and the division of functions between the political and economic centers is more structured. These findings can be the basis for developing governance policies and public services during the transition period of the Indonesian capital.

Keywords: IKN, Jakarta, capital relocation, public services, Australia, regional autonomy

Abstrak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) mengatur keputusan strategis pemindahan ibu kota negara Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan. Penulis bermaksud membandingkan proses pemindahan ibu kota Indonesia dengan proses pemindahan ibu kota Australia yang sebelumnya berpindah dari Melbourne ke Canberra, mengkaji posisi Jakarta setelah kehilangan statusnya sebagai ibu kota, dan mengkaji bagaimana layanan publik diimplementasikan di ibu kota baru tersebut. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Temuan kajian ini memperjelas bahwa, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Jakarta tetap menjadi pusat perekonomian nasional dan kota global yang unik. Sementara itu, IKN dibangun sebagai pusat pemerintahan baru dengan otoritas tersentralisasi dan mengedepankan konsep smart government. Studi ini juga mengungkap bahwa pemindahan ibu kota di Australia bersifat bertahap dan membagi fungsi antara pusat politik dan ekonomi secara lebih terstruktur. Temuan ini dapat menjadi dasar pengembangan kebijakan tata kelola dan pelayanan publik dalam masa transisi ibu kota Indonesia.

Kata Kunci: IKN, Jakarta, pemindahan ibu kota, layanan publik, Australia, otonomi daerah.

I. Pendahuluan

Bentuk negara yaitu sekelompok yang melaksanakan dengan menyeluruh terkait dengan struktur pada negara. Hal ini meliputi berbagai bagian yang ada diantaranya penduduk, wilayah, dan pemerintahan. Negara bagian dapat diklasifikasikan sebagai federal atau kesatuan. Negara kesatuan adalah negara yang bersatu, merdeka, dan berdaulat dengan pemerintah pusat yang bertanggung jawab menjalankan urusan negara. Sebaliknya, negara federal terdiri dari beberapa negara bagian, yang masing-masing menyerahkan sebagian kewenangannya kepada negara federal untuk dikelola.[1] Bagian-bagian dari kekuasaan negara selalu terhubung antara satu sama lain dalam kegiatan sehari-hari. Kekuasaan eksekutif bertugas menjalankan peraturan yang sudah ada, sedangkan kekuasaan legislatif bertanggung jawab untuk membuat peraturan tersebut. Dalam negara yang menganut sistem pemerintahan demokratis, kekuasaan legislatif merefleksikan kekuasaan rakyat. Oleh karena itu, kekuasaan legislatif biasanya dijalankan oleh sebuah lembaga yang mewakili rakyat, yaitu parlemen, yang memiliki wewenang untuk mengawasi dan mengontrol kekuasaan eksekutif.[2] Bentuk pemerintahan merujuk pada kumpulan lembaga politik yang digunakan untuk mengelola negara dalam menjalankan kekuasaan atas berbagai politik yang ada. Sistem pemerintahan adalah dasar dari suatu negara, bagi negara tersebut berfungsi, serta sebagai penentu dalam melaksanakan sistem dalam pemerintahan negara itu. Terdapat beberapa tipe sistem pemerintahan yakni seperti halnya sistem presidensil, monarki, semi-presidensil, liberal, parlementer, demokrasi, federal serta banyak lagi. Konsep pemerintah sendiri diartikan sebagai badan, lembaga, atauinstansi yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Dengan kata lain, untuk mencapai dan mewujudkan tujuan negara, dibentuk suatu lembaga yang dikenal sebagai pemerintah yang tugasnya adalah melaksanakan serangkaian kegiatan pemerintahan di negara tersebut.[2]

Joeniarto (1990) mengidentifikasi tiga tipe sistem pemerintahan yang lebih sederhana, yakni: Klasifikasi demokrasi yang mencakup sistem parlementer, sistem pemisahan kekuasaan, serta sistem referendum, umumnya dikenal sebagai bentuk-bentuk sistem pemerintahan, yakni sistem parlementer, sistem presidensial, serta sistem pemerintahan campuran. Perdebatan tentang pemindahan ibu kota telah dimulai sejak pemerintahan Presiden Soekarno. Pada saat itu, alasan pemindahan ibu kota terkait dengan kondisi politik Jakarta yang masih membawa simbol penjajahan dan keinginan untuk meratakan pembangunan. Palangka Raya pernah menjadi pilihan lokasi yang diusulkan sebagai ibu kota baru karena letaknya yang strategis di tengah Indonesia, tetapi wacana ini hanya sebatas wacana (Novelino, 2019). Selanjutnya, selama masa orde baru, Presiden Soeharto juga membahas terkait pindahnya ibu kota. Jelasnya, Jakarta tidak lagi mencerminkan peran yang tepat sebagai ibu kota dan diperlukan kota baru yang lebih mampu untuk menjalankan fungsi pemerintahan, tanpa menghilangkan peran Jakarta sebagai pusat ekonomi. Ini menjadi lebih konkret ketika Presiden Soeharto menerbitkan Keppres No.1 Tahun 1997, sebagai target pada Jonggol sebagai calon dari lokasi ibu kota baru (Haryadi, 2019). Lain halnya rencana ini juga tak terwujud selama masa orde baru.[3]

Ide terkait pindahnya ibukota kembali meruak saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjabat, saat itu ada rencana untuk memindahkan ibukota ke luar Pulau Jawa. Konsep ini menjadi lebih nyata pada periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi, yang menyebutkan lokasi di Pulau Kalimantan, yaitu Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, sebagai kandidat utama untuk ibukota yang baru pada tahun 2019. Area ini direncanakan sebagai pusat pemerintahan baru yang tidak berfokus pada Jawa, sehingga terpisah dari pusat ekonomi yang ada di Pulau Jawa. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara telah disahkan pada Februari 2022, menandai dimulainya pelaksanaan rencana pemindahan ibu kota negara di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Meskipun undang-undang tersebut dan peraturan lainnya memindahkan ibu kota Jakarta ke Kalimantan Timur, pada kenyataannya, Jakarta tetap berfungsi sebagai ibu kota negara. Beberapa wilayah di Penajam Paser Utara dan sebagian wilayah Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur telah dipilih sebagai lokasi ibu kota negara Republik Indonesia di masa mendatang, menurut pernyataan yang dibuat oleh presiden negara tersebut pada hari Senin, 26 Agustus 2019. Status ibu kota negara telah ditetapkan dalam Undang-Undang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 29 Tahun 2007 dan sejumlah peraturan lain yang telah ada sebelum pengesahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.[4]

Salah satu inisiatif utama Presiden Joko Widodo, yaitu pemindahan ibu kota negara, tetap harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jakarta akan tetap menjadi ibu kota hingga Undang-Undang Ibu Kota Negara yang baru disahkan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.[5] Dapat disimpulkan bahwa penulis memiliki ketertarikan untuk menulis judul ini dengan tujuan mengetahui sistem layanan publik setelah membandingkan dengan Australia yang juga pernah berpindah ibukota seperti Indonesia saat ini dan melihat apakah ada perubahan dalam sistem peraturan pemerintah dan hal-hal terkait lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan kedudukan Jakarta setelah tidak lagi menjadi Ibukota serta menentukan apakah semua layanan publik harus berpindah ke ibukota baru setelah adanya peralihan dan mengevaluasi strategis yang tepat untuk mengelolah peralihan tersebut.

Rumusan masalah: Bagaimana kedudukan Jakarta setelah tidak lagi menjadi ibukota, apakah semua layanan publik harus dipindah ke Ibukota baru setelah adanya peralihan serta bagaimana perbandingan sistem pemerintahan Indonesia dan Australia.

II. Metode

Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif dengan pendekatan statute approach. Metode yuridis normatif berorientasi pada kajian hukum positif dengan cara menelaah peraturan perundang-undangan, doktrin, serta literatur hukum yang relevan. Melalui statute approach, penelitian difokuskan pada pengkajian norma hukum yang mengatur pemindahan ibu kota negara, terutama ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 mengenai Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Tujuannya adalah untuk menganalisis kedudukan Jakarta setelah tidak lagi menyandang status sebagai ibu kota, menelaah peran IKN sebagai pusat pemerintahan baru, serta mengevaluasi implikasi hukumnya terhadap sistem pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan. Data penelitian diperoleh melalui studi pustaka dengan mengkaji regulasi, buku, jurnal, artikel ilmiah, serta melakukan perbandingan dengan pengalaman negara lain, seperti Australia, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih menyeluruh terkait dinamika hukum dan pemerintahan pasca pemindahan ibu kota.

III. Hasil dan Pembahasan

3.1. Kedudukan Jakarta pasca lahirnya Undang-Undang IKN No. 3 tahun 2022

Gagasan terkait dengan pindahnya Ibu Kota Negara ternyata telah ada sejak sebelum Indonesia meraih kemerdekaan (Rukmana, 2010). Saat itu, alasan utama yang melatarbelakangi wacana itu yakni terdapat posisi Jakarta yang berada di dataran rendah dekat pantai, serta rawan pada wabah penyakit menular seperti halnya malaria serta diare. Ide pemindahan ibu kota kembali mengemuka pada masa pemerintahan orde lama. Presiden Soekarno memprediksi bahwa Jakarta akan mengalami pertumbuhan yang tak terkendali dimasa mendatang. Beliau kemudian memilih Kota Palangkaraya sebagai calon ibu kota baru. Ada tiga alasan utama mengapa Soekarno memilih Palangkaraya. Pertama, Kalimantan merupakan pulau terbesar di Indonesia dan terletak di posisi geografis yang strategis di tengah-tengah kepulauan Nusantara. Kedua, pemindahan ini dimaksudkan untuk mengurangi dominasi Pulau Jawa dalam struktur pemerintahan. Ketiga, pembangunan di wilayah Jakarta dan Jawa kala itu masih kental dengan pengaruh kolonial Belanda, sehingga Soekarno ingin mewujudkan visi pembangunan nasional yang lebih otentik (Yahya, 2018). Namun, rencana pemindahan ibu kota pada era Orde Lama tidak dapat direalisasikan akibat perubahan situasi politik yang menyebabkan Soekarno lengser dari kursi kepresidenan. Di masa pemerintahan Presiden Soeharto, ide serupa pernah diangkat kembali, dengan Jonggol, Jawa Barat, sebagai lokasi alternatif ibu kota. Selanjutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga sempat penyampaian gagasan pemindahan ibu kota. Bahkan, SBY telah membentuk tim khusus guna melaksanakan kajian mendalam terkait dengan rencana tersebut (Djayanti et al., 2022). Terakhir, Presiden Joko Widodo melanjutkan wacana ini dan menyatakan keinginannya untuk memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2021).[6]

Ibu kota Republik Indonesia telah lama menjadi Provinsi DKI Jakarta. Karena statusnya yang unik, Jakarta memiliki sejumlah hak, kewajiban, tanggung jawab, dan tugas yang membedakannya dari provinsi lain. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, yang menetapkannya sebagai ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat klausul ini dalam Pasal 5. Jakarta bukan hanya pusat pemerintahan nasional, tetapi juga daerah otonom setingkat provinsi. Diperlukan analisis mendalam terhadap kebutuhan khusus pariwisata Jakarta, termasuk landasan hukum dan pertimbangan normatif untuk mempertahankan atau mengubah peraturan yang saat ini terkait dengan Jakarta sebagai ibu kota negara, karena status ibu kota sebagai pusat pemerintahan nasional tidak berlaku lagi karena Keputusan Presiden yang memindahkannya ke wilayah Penajam Paser Utara. Berlakunya Undang-Undang No. 3 tahun 2022 membawa implikasi penting terhadap sistem pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Undang-Undang ini menuntut adanya revisi dan penyesuaian terhadap ketentuan yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang No.29 tahun 2007, yang menetapkan Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan RI. Dalam peraturan tersebut, Jakarta dinyatakan memiliki kekhususan sebagai ibu kota sekaligus daerah otonom. Kekhususan ini mencakup penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang berbeda, termasuk sebagai lokasi kedutaan besar dan kantor perwakilan lembaga internasional.[7] Undang-Undang DKJ No. 2 tahun 2024 telah memberi kedudukan dan arah bagi Jakarta pasca pemindahan Ibu Kota Negara, yaitu: Pertama, Jakarta tetap menyandang status sebagai daerah dengan kekhususan. Kedua, Jakarta kini mengemban peran baru sebagai pusat kegiatan ekonomi nasional serta kota bertaraf global. Ketiga, untuk mendukung fungsi tersebut, Jakarta diberikan wewenang khusus dalam beberapa aspek urusan pemerintahan, struktur kelembagaan, manajemen kepegawaian, serta pengelola keuangan daerah. Status khusus Jakarta sebelumnya diakui dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2007, terutama karena Jakarta ditetapkan sebagai Ibu Kota Negara. Meskipun demikian, Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ) juga menetapkan status khusus Jakarta di tingkat provinsi. Provinsi Daerah Khusus Jakarta merupakan provinsi yang memiliki status khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 (1) Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ).[7]

Pertama, fungsi, status, dan peran Jakarta sebagai ibu kota tetap berlaku hingga Presiden secara resmi menetapkan pemindahan tersebut melalui Keputusan Presiden; kedua, semua ketentuan yang mengatur peran dan fungsi Jakarta sebagai ibu kota negara dalam Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ) dicabut dan dinyatakan batal demi hukum setelah Keputusan Presiden tersebut berlaku. Ketentuan-ketentuan ini merupakan bagian dari Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN), yang mengatur tahapan-tahapan pengalihan kewenangan pemerintah pusat, termasuk menetapkan waktu resmi pengalihan status ibu kota dari Jakarta menjadi ibu kota Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ), Jakarta akan terus memainkan peran penting dan strategis sebagai pusat perekonomian nasional dan kota metropolitan yang berpengaruh secara global. Peran ini menjadi dasar status istimewa Jakarta. Jakarta merupakan mata rantai vital dalam jaringan perekonomian Indonesia dengan kota-kota besar internasional, baik sebagai pusat perekonomian nasional maupun sebagai kota global. Jakarta memberikan kontribusi yang substansial bagi perekonomian nasional, kas negara, dan kesejahteraan warga Jakarta serta masyarakat Indonesia pada umumnya.[7]

Frasa "Pusat Ekonomi Nasional" menggambarkan suatu kawasan yang berfungsi sebagai pusat perdagangan dan aktivitas ekonomi internasional yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang stabil. Di sisi lain, "Kota Global" adalah kota yang berfungsi sebagai pusat aktivitas dunia di berbagai bidang, termasuk perdagangan, investasi, pariwisata, budaya, pendidikan, dan kesehatan. Kantor pusat organisasi dan bisnis nasional, regional, dan internasional berlokasi di kota ini, yang juga memproduksi barang-barang strategis bernilai tinggi. Baik kota maupun sekitarnya terdampak secara ekonomi secara signifikan oleh fungsi ini. Provinsi Daerah Khusus Jakarta adalah kawasan dengan status khusus yang utamanya berfungsi sebagai pusat bisnis di tingkat nasional, regional, dan global serta di bidang perdagangan, jasa, dan jasa keuangan.[8]

Adapun perubahan status Jakarta yang berdasar pada Undang-Undang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ) No. 2 Tahun 2024, antara lain:

1. Status Jakarta sebagai pusat ekonomi serta kota global

Dalam Pasal 3 (2) menjelaskan menyatakan bahwa setelah Jakarta tak lagi menyandang status sebagai ibu kota kedudukannya berubah menjadi pusat ekonomi. Pemberian kewenangan khusus Jakarta untuk menjalankan fungsi sebagai pusat ekonomi serta kota global merupakan salah satu alasan Jakarta masih menyandang status kekhususan meskipun bukan lagi sebagai ibu kota. Selain itu, peranan Jakarta sebagai ibu kota negara menjadikan Jakarta semakin berkembang pesat terutama dalam segi perekonomian. Bahkan hingga saat ini Jakarta masih memegang peranan penting dalam aspek perdagangan nasional sampai internasional di Indonesia. Maka dari itu, Jakarta masih dipertahankan sebagai pusat perekonomian negara meskipun ibu kota negara bukan lagi Jakarta.

2. Status Kekhususan dalam Urusan Pemerintahan dan Kelembagaan

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 Ayat (2) sampai (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta, status kekhususan bagi Jakarta setelah pemindahan ibu kota negara juga memberikan kewenangan khusus bagi Jakarta dalam urusan pemerintahan dan kelembagaan. Pekerjaan umum dan penataan ruang, kawasan perumahan dan penanaman modal, perhubungan, pelestarian lingkungan hidup, sektor perindustrian, pariwisata dan ekonomi kreatif, perdagangan, pendidikan, pelayanan kesehatan, kebudayaan, pengendalian penduduk dan program keluarga berencana, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, kelautan dan perikanan, serta ketenagakerjaan merupakan beberapa bidang yang termasuk dalam kewenangan khusus Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai urusan pemerintahan. Disamping itu, dalam aspek kelembagaan, Pemerintah Jakarta mempunyai wewenang istimewa guna menetapkan struktur organisasi serta tata kerja pemerintahan daerahnya. Tak hanya itu, kewenangan khusus juga diberi dalam terlaksananya fungsi pendukung pemerintahan yang mencakup bidang kepegawaian serta mengelola keuangan daerah.

3. Status Kekhususan Jakarta terkait Adanya Dana Abadi Kebudayaan

Berdasarkan Pasal 31 (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Kewenangan Khusus Pemerintah Daerah Jakarta di bidang kebudayaan, pemerintah memberikan prioritas tinggi pada pengembangan budaya Betawi di samping budaya-budaya lain yang sudah ada dan sedang berkembang di Jakarta. Selain itu, masyarakat, lembaga adat, lembaga pendidikan, badan usaha, dan budaya Betawi juga turut berperan dalam pengembangan budaya.

4. Status Kekhususan Jakarta sebagai Kawasan Aglomerasi

Jakarta menjadi bagian dari kawasan aglomerasi setelah kehilangan statusnya sebagai Ibu Kota Negara. Sekalipun secara administratif berada di bawah pemerintahan yang terpisah, kawasan aglomerasi adalah kawasan yang memiliki ikatan fungsional antarwilayah dan terhubung oleh jaringan infrastruktur dan sistem regional yang terpadu. Di tingkat global, kawasan ini berkontribusi sebagai salah satu pusat perluasan ekonomi nasional. Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta memiliki kapasitas yang unik untuk mengoordinasikan pembangunan di wilayah Jakarta dengan pembangunan di wilayah sekitarnya karena statusnya sebagai kawasan aglomerasi. Pasal 51 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 memuat ketentuan terkait hal ini. Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi merupakan beberapa wilayah yang menjadi bagian dari kawasan aglomerasi. Integrasi dokumen tata ruang dan rencana pembangunan dari kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam wilayah aglomerasi merupakan cara untuk mewujudkan harmonisasi pembangunan.[9]

Alasan Jakarta Berkembang Menjadi Kota Ekonomi Global dan Nasional Ketentuan dalam Undang-Undang IKN menetapkan bahwa perubahan Undang-Undang DKI Jakarta akan tetap mengatur posisi unik Jakarta meskipun kota tersebut tidak lagi berfungsi sebagai ibu kota negara. Karena statusnya sebagai pusat ekonomi nasional, peran dan fungsi strategis Jakarta sebagai kota metropolitan bergantung pada sejumlah faktor, termasuk pertimbangan status uniknya sebagaimana diuraikan dalam Undang-Undang DKJ. Karena reputasinya sebagai kota dunia dan pusat ekonomi nasional, serta kewenangan khusus yang diuraikan dalam Undang-Undang DKJ, yang telah disahkan oleh presiden pada tanggal 25 April 2024, Jakarta memiliki status unik yang tidak dimiliki daerah lain. Implikasi dari transformasi ini diharapkan peran Jakarta dapat menjadi penyangga perekonomian nasional dengan memperluas sektor perdagangan sebagai Kota Global, Jakarta memegang posisi strategis sebagai representasi Indonesia di kancah internasional. Sebagai pusat aktivitas ekonomi, politik, dan budaya, Jakarta merefleksikan identitas nasional sekaligus menjadi etalase kemajuan dan dinamika Indonesia di mata dunia. Kekhususan yang dimiliki Jakarta dan tidak dimiliki daerah lain yaitu peran Jakarta yang dipandang layak sebagai pusat perekonomian Nasional dan kota global serta memiliki kewenangan khusus yang diatur dalam Undang-Undang DKJ yang disahkan oleh Presiden pada tanggal 25 April 2024. Diharapkan peran Jakarta dapat menjadi penyangga perekonomian nasional dengan memperluas sektor perdagangan sebagai Kota Global, Jakarta memegang posisi strategis sebagai representasi Indonesia di kancah internasional. Sebagai pusat aktivitas ekonomi, politik, dan budaya, Jakarta merefleksikan identitas nasional sekaligus menjadi etalase kemajuan dan dinamika Indonesia di mata dunia. Maka dari itu, peran Jakarta sebagai wajah Indonesia dalam pentas global menuntut pengelolaan yang adaptif, modern, dan selaras dengan standar kota-kota global negara lain. [10]

3.2 Eksistensi IKN Sebagai Pusat Layanan Publik

Pada 18 Januari 2022, di Gedung MPR-DPR RI, Senayan, Jakarta, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencapai kesepakatan politik mengenai pemilihan ibu kota negara. Keputusan ini memiliki tujuan khusus, terbukti dengan diterbitkannya Undang-Undang IKN No. 3 Tahun 2022 untuk Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur. Prawiradinata (2022) mengungkapkan, pemindahan Ibu Kota tidak sekedar memindahkan Pemerintahan dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Tapi lebih dari itu, ada tujuan besar untuk memastikan visi Indonesia Emas dapat tercapai di tahun 2045. Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara mengusung visi sebagai kota bertaraf global yang inklusif untuk seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan dan pengelolaannya diarahkan guna tercapai tiga tujuan utama, yaitu: pertama, mewujudkan kota yang berlandaskan prinsip keberlanjutan; kedua, menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan; dan ketiga, mencerminkan identitas nasional yang mencakup keberagaman budaya dan suku bangsa di Indonesia.[11]

Pemerintah Daerah Ibu Kota Negara (IKN) merupakan badan pemerintahan daerah otonom dengan status khusus yang dapat secara bebas mengelola dan mengendalikan urusan pemerintahan sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur Ibu Kota Negara. Menurut pasal lain, Otoritas Ibu Kota Negara (OIKN) bertugas menyelenggarakan pemerintahan di wilayah khusus IKN dan berkedudukan setara dengan menteri. Kepala OIKN adalah kepala pemerintahan daerah khusus IKN yang kedudukannya setingkat menteri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sebagaimana disampaikan dalam pidatonya sebagai Wali Kota. Pengangkatannya dilakukan oleh Presiden melalui proses konsultasi dengan DPR, dan Presiden juga memiliki wewenang untuk memberhentikannya. Dari perspektif politik, OIKN diberi hak berguna dalam menetapkan regulasi yang terkait dengan terlaksananya pemerintahan daerah khusus IKN serta guna mengatur terlaksananya tahapan persiapan, pembangunan hingga pemindahan Ibu Kota Negara. Dalam kelembagaan IKN tidak terdapat dewan perwakilan yang berasal dari Masyarakat sebagaimana DPRD di di daerah setingkat provinsi lainnya sehingga tidak memiliki representasi politik di daerah. Penyusunan produk hukum IKN diselenggarakan melalui mekanisme penyusunan peraturan menteri/kepala lembaga. Dari sisi asimetris administrasi, kekhususan dapat dilihat dalam menjalankan kewenangan dan birokrasi, proses perencanaan pembangunan, konsep pelaksanaan pelayanan publik dan pengawasan. Dalam konsepnya, Naskah Akademik Undang-Undang No. 3 tahun 2022 menyebutkan bahwa untuk menjamin fleksibilitas pemerintahan khusus, OIKN berwenang atas seluruh urusan pemerintahan sepanjang bukan urusan pemerintahan absolut (politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal nasional, serta agama). OIKN memiliki otoritas penuh untuk berinovasi dalam mengendalikan pemerintahan. Fleksibilitas lainnya yang menjadi penekanan dari otoritas oleh OIKN terkait perizinan sehingga memegang kewenangan dan perizinan secara terpusat. IKN diharapkan menjalankan sistem administrasi baru yang mengadopsi 3 (tiga) paradigma pemerintahan dan manajemen publik dalam menerapkan pelayanan Masyarakat, yakni administrasi public tradisional, New Public Management (NPM), serta citizen - centred governance atau networked government. Untuk melaksanakannya, IKN harus menjadi pusat pemerintahan yang bercirikan simplifikasi proses birokrasi, efisiensi, dan efektivitas kerja serta kualitas pelayanan publik yang berkelas internasional.[12]

Struktur yang ada sangat tersentralisasi, bahkan jika Ibu Kota Negara Indonesia (IKN Nusantara) merupakan pemerintahan daerah. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya sistem komunikasi regional antara cabang legislatif dan eksekutif dalam proses pembuatan peraturan. Lebih lanjut, peraturan yang berlaku di wilayah IKN ditetapkan secara individual berdasarkan yurisdiksi unik yang dimiliki oleh otoritas IKN, alih-alih mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Karena tidak adanya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk membentuk peraturan daerah, bentuk kewenangan IKN Nusantara yang tersentralisasi membuatnya kurang tepat untuk disebut sebagai pemerintahan daerah. Pemerintah daerah mengawasi dan menjalankan operasi pemerintahannya sendiri sesuai dengan konsep panduan UUD 1945 tentang otonomi dan tugas pembantuan. Sesuai dengan asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintahan daerah sebagai penyelenggara urusan pemerintahan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014. Lebih lanjut, badan otoritas Kawasan Ibu Kota Negara Indonesia (IKN Nusantara) merupakan hal yang sepenuhnya baru dalam sejarah desentralisasi dan otonomi daerah Indonesia, menurut Bapak Armand Suparman, Pelaksana Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, 2022). Hal ini disebabkan oleh ketiadaan lembaga seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang umumnya terdapat di setiap kabupaten, kota, atau provinsi akibat adanya kendali bersama dengan pemerintah daerah, di kawasan IKN Nusantara.[13]

Strategi digitalisasi layanan publik adalah proses menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk menyampaikan layanan kepada masyarakat dengan cara yang lebih efisien. Langkah-langkah yang bisa diambil termasuk mengidentifikasi layanan yang bisa di digitalisasi, dengan fokus pada layanan yang permintaannya tinggi dan memiliki standar, membangun portal pemerintah sebagai sumber informasi dan jalur akses layanan, serta mengembangkan aplikasi mobile yang memudahkan masyarakat mendapatkan layanan publik melalui perangkat pintar. Selain itu, perlu ada penerapan sistem e-government untuk menyatukan administrasi dan layanan publik, didukung dengan digitalisasi proses layanan, sehingga pengajuan, pemrosesan data, dan pengiriman dokumen bisa dilakukan secara daring. Prioritas juga harus diberikan pada keamanan data dengan menerapkan enkripsi dan sistem autentikasi yang kokoh, serta memberikan pelatihan kepada petugas serta sosialisasi kepada masyarakat mengenai pemanfaatan layanan digital. Partisipasi masyarakat perlu didorong dengan menerima masukan, melibatkan mereka dalam pengembangan aplikasi, dan melakukan konsultasi publik agar layanan bisa lebih memenuhi kebutuhan pengguna. Selanjutnya, monitoring dan evaluasi harus dilakukan secara rutin untuk menilai penggunaan, kepuasan, efisiensi, dan dampak sosial dari digitalisasi, serta kerjasama dengan sektor swasta, termasuk perusahaan teknologi dan startup, sangat penting untuk mempercepat dan memperkuat pelaksanaan layanan publik yang berbasis digital.[14]

Saat ini, DKI Jakarta berguna sebagai pelaksana dalam mengurus urusan pemerintahan yang terkait dengan investasi serta mengelola perizinan serta non-perizinan di wilayahnya. Dinas Perhubungan Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DPMPTSP), yang merupakan bagian dari Daerah Khusus Ibukota Jakarta, memiliki kewenangan yang unik dibandingkan dengan DPMPTSP di provinsi lain. Meskipun struktur organisasi DPMPTSP tidak mengalami perubahan substansial akibat Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang baru maupun proses pemindahan ibu kota negara ke IKN, lembaga ini harus mampu berkembang dan beradaptasi untuk mendukung visi Jakarta sebagai pusat ekonomi regional, bahkan global. Peran organisasi publik DPMPTSP ditegaskan dalam sejumlah ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dalam rangka pengawasan pemanfaatan aset daerah, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dapat membentuk Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD) DKI Jakarta dalam bentuk Badan Layanan Umum Daerah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 ayat 1, 2, dan 3 Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Hal ini dilakukan dalam rangka mempertahankan posisi unik Jakarta sebagai pusat perekonomian nasional. BPAD juga diperbolehkan bekerja sama dengan perusahaan luar untuk mengelola aset-aset tersebut. Kedua, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta diberikan kewenangan khusus dalam berbagai urusan pemerintahan, termasuk penanaman modal, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 8 ayat 2. Bidang ini meliputi penciptaan iklim investasi, pemberian layanan investasi, pengawasan pelaksanaan investasi, serta pemeliharaan data dan informasi terkait penanaman modal. Secara khusus, Direktorat Jenderal Penanaman Modal Swasta (DPMPTSP) tetap bertanggung jawab untuk mengawasi perizinan penanaman modal, terlepas dari adanya RUU DKJ dan prosedur pemindahan ibu kota. Namun, mereka menuntut agar organisasi-organisasi ini meningkatkan efektivitas dan kinerja layanan publik, terutama dalam memperkuat posisi Jakarta sebagai pusat perusahaan dan ekonomi internasional yang kompetitif.[15]

Layanan PublikStatus Saat IniPeran IKNPeran Jakarta

Layanan Pemerintahan PusatSedang berproses dipindah (fase bertahap hingga 2045)Jadi pusat administrasi pemerintahan nasionalTidak lagi jadi pusat pemerintahan, hanya administratif lokal

Pelayanan Kependudukan (Dukcapil)Masih di Jakarta untuk sebagian besar urusan nasionalAkan disiapkan sistem pelayanan nasional berbasis digital di IKNTetap melayani penduduk Jakarta sebagai provinsi khusus

Kementerian/LembagaBeberapa sudah mulai membangun kantor perwakilan di IKNDipusatkan secara bertahap (Kemenko, Kemen PUPR, dll.)Beberapa fungsi cabang tetap di Jakarta sebagai “hub layanan”

Pendidikan & Kesehatan NasionalBelum berpindahAkan dibangun kampus, rumah sakit nasional (pilot project)Tetap menjadi pusat layanan utama nasional (sambil transisi)

Pelayanan Publik DaerahJakarta tetap memiliki fungsi sebagai provinsi khususOtorita IKN melayani masyarakat di kawasan IKNTetap berjalan penuh untuk warga DKI

Tabel 1.1 Pembagian Layanan Publik IKN dan Jakarta

3.3 Praktik Peralihan Ibukota di Australia

Australia merupakan sebuah negara yang mengadopsi sistem pemerintahan parlementer dalam kerangka federasi. Dalam sistem ini, Dewan Perwakilan bersama dengan Senat memiliki tanggung jawab atas kekuasaan legislatif, sedangkan kekuasaan eksekutif dipegang oleh para menteri yang ditunjuk serta bertanggung jawab kepada parlemen. Berbagai faktor penting mempengaruhi sejarah pembentukannya, dimulai dari kolonisasi Inggris pada akhir tahun 1700-an ketika koloni hukuman pertama didirikan di Sydney pada tahun 1788. Misi eksplorasi oleh James Cook yang tiba di Botany Bay pada tahun 1770 juga krusial, serta pemukiman dan ekspansi besar-besaran pada abad ke-19 setelah penemuan emas di Victoria pada tahun 1851. Proses federasi yang berlangsung pada tahun 1901 menggabungkan negara bagian menjadi Australia, diikuti dengan keterlibatan dalam Perang Dunia I dan II yang membentuk identitas serta kebijakan luar negeri negara ini. Setelah Perang Dunia II, kebijakan imigrasi dilonggarkan, yang membawa banyak pendatang dari beragam negara dan memperkuat karakter multikultural Australia, sementara dekolonisasi memberi kemerdekaan kepada wilayah seperti Papua Nugini pada tahun 1975. Di sisi lain, pengakuan hak-hak masyarakat adat Aborigin dan Torres Strait Islander menjadi isu penting yang terus berkembang hingga hari ini. Seluruh perjalanan sejarah ini memiliki peran signifikan dalam membentuk identitas, sistem pemerintahan, dan kebijakan sosial yang ada di Australia saat ini. [1]

Dengan Raja Charles sebagai kepala negara, berdomisili di Britania Raya, dan perwakilan di Australia yang menjalankan perintah menteri, pemerintahan Australia didasarkan pada cita-cita demokrasi. Meskipun Konstitusi Australia memberikan kekuasaan eksekutif tertinggi kepada Gubernur Jenderal, Gubernur Jenderal secara konstitusional berwenang untuk melaksanakan tugas-tugas ini. Misalnya, meskipun Perdana Menteri memprotes, Gubernur Jenderal tetap menggunakan wewenang ini untuk menggulingkan pemerintahan Whitlam selama krisis konstitusional. Australia memiliki tiga tingkatan pemerintahan:

1.Pemerintah Federal: Berpusat di Canberra dan dipimpin oleh Perdana Menteri, bertanggung jawab atas urusan nasional seperti pertahanan, hubungan luar negeri, dan perpajakan.

2.Pemerintah Negara Bagian dan Teritori: Masing-masing negara bagian dan teritori memiliki pemerintahan sendiri yang mengelola bidang seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi.

3.Pemerintah Lokal: Tingkat pemerintahan yang lebih kecil seperti dewan kota dan dewan wilayah yang mengurusi layanan dan infrastruktur di daerah masing-masing.

Sistem pemilihan umum di Australia berlandaskan pada prinsip demokrasi yang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih perwakilan mereka di parlemen, dengan tujuan memastikan adanya representasi yang merata dan inklusif. Dengan menggunakan sistem preferensi, pemilih diberikan lebih banyak pilihan untuk menentukan suara mereka, sehingga mendorong keterlibatan aktif dalam proses demokrasi. Pemilu di Australia mencakup pemilihan untuk anggota Parlemen Federal serta parlemen di tingkat negara bagian dan teritori. Struktur politik di Australia memiliki beberapa elemen penting, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang berfungsi sebagai parlemen pusat bikameral yang terdiri dari Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menjalankan kekuasaan legislatif dan mengesahkan undang-undang. Selain itu, terdapat Raja atau Ratu Inggris yang berfungsi sebagai kepala negara simbolis, dengan Gubernur Jenderal sebagai wakilnya yang menjalankan kekuasaan eksekutif atas saran dari Perdana Menteri, serta kekuasaan yudikatif yang mencakup Mahkamah Agung, pengadilan tinggi, pengadilan tingkat bawah di negara bagian, dan berbagai lembaga peradilan lainnya.[1]

Terdapat dua pandangan utama mengenai konsep pemisahan kekuasaan, yaitu pandangan John Locke & Baron de Montesquieu, yang masing-masing memberikan pengaruh berbeda terhadap karakter kekuasaan negara bagi negara yang mengadopsinya. John Locke berpendapat bahwa kekuasaan negara harus dibatasi dengan membagi fungsi kekuasaan menjadi tiga kategori, yaitu legislatif, eksekutif, dan federatif. Locke mengembangkan gagasan pembagian kekuasaan ini dengan menempatkan cabang legislatif pada posisi yang lebih utama dan dominan dibandingkan cabang eksekutif dan federatif. Hal ini disebabkan legislatif dianggap memiliki posisi lebih tinggi karena berasal dari wakil rakyat serta bertugas menetapkan aturan-aturan dasar yang menjadi landasan bagi pembentukan dan pelaksanaan kekuasaan negara. Sedangkan cabang eksekutif berfungsi sebagai pelaksana undang-undang.[16]

Perpindahan ibu kota dari Melbourne ke Canberra adalah hasil kompromi politik untuk menengahi persaingan antara Sydney dan Melbourne. Canberra dipilih sebagai lokasi netral dan dirancang khusus sebagai pusat pemerintahan Australia. Kota canberra dirancang pada abad ke-20 oleh seorang arsitek Amerika, Walter Burley Griffin, yang terinspirasi oleh konsep taman kota. Ruang terbuka memiliki peran unik dalam desain perkotaannya karena Griffin mencoba mencerminkan fitur lanskap alami lokasi tersebut dalam konsep desainnya sebagai identitas nasional. Ini berarti bahwa struktur spasial harus menghormati elemen lanskap yang ada seperti topografi dan semak belukar (istilah unik Australia untuk hutan asli). Sistem ruang terbuka Ibukota mencakup empat elemen utama: 1. perbukitan, punggung bukit, dan ruang penyangga; 2. koridor sungai; 3. pegunungan dan semak belukar; dan 4. Danau Burley Griffin dan pesisirnya. Sementara itu, beberapa lahan di Canberra diakui sebagai kawasan khusus karena mencakup gagasan awal Griffin yang mengidentifikasi kota tersebut sebagai Ibu Kota Nasional, misalnya, Segitiga Nasional dan Danau Burley Griffin.[17]

ACT (Australian Capital Territory) merupakan perwujudan adopsi federalisme Australia pada tahun 1901. Di masa Federasi, tidak ada ibu kota nasional yang diproklamasikan secara resmi. Parlemen federal pertama bersidang di Melbourne sementara pemerintah memutuskan lokasi ibu kota untuk menjamin keamanan dan juga tidak berpihak kepada Sydney maupun Melbourne. Pencarian lokasi yang cocok dipersempit menjadi sebuah titik di tengah-tengah antara dua kota yang bersaing tersebut, dan lokasi Canberra – di tanah milik masyarakat Ngunnawal – dipilih pada tahun 1908. Wilayah tersebut secara resmi diserahkan kepada Persemakmuran oleh NSW (New South Wales) pada tahun 1909. Pembangunan kota tersebut terhenti antara tahun 1914 dan 1918 akibat Perang Dunia I, dan parlemen akhirnya pindah ke Gedung Parlemen untuk sementara pada tahun 1927, gedung tersebut tetap berada di sana selama 61 tahun sebelum gedung permanen dibuka pada tahun 1988. Sebagai kota terencana yang menganut konsep modern seperti kepemilikan mobil pribadi dan kehidupan perkotaan, Canberra selalu dimaksudkan untuk menjadi pusat perhatian, pusat pemerintahan nasional di taman kota. Kota ini merupakan lokasi berbagai lembaga dan monumen nasional, serta instrumen pemerintahan, departemen pemerintah, dan badan terkait. Selama pembangunan kota, sebagian besar departemen layanan publik tetap berada di Melbourne, tetapi ketika Canberra selesai dibangun, tahap demi tahap, departemen-departemen tersebut pindah ke pusat pemerintahan. Bahkan hingga saat ini, banyak badan organisasi yang masih berkantor pusat di Melbourne. Tahun-tahun pasca Perang Dunia Kedua menyaksikan peningkatan populasi yang sangat pesat dengan perluasan departemen dan pembangunan perumahan dan fasilitas kota yang terkait. Antara tahun 1955 dan 1975, populasi ACT (Australian Capital Territory) meningkat sebesar 50 persen setiap lima tahun. Namun, pada akhir 1980-an, populasinya telah tumbuh hingga hampir 300.000 jiwa, dan persemakmuran, terlepas dari hasil referendum, memutuskan bahwa Australian Capital Territory harus menjadi yurisdiksi yang berpemerintahan sendiri. Hal ini membutuhkan empat Undang-Undang terpisah dari pemerintah Australia, yaitu: Australian capital territory (self-government) Act 1988 (Cth), (electoral) Act 1988 (Cth), (planning & land management) Act 1988 (Cth), self-government (consequential provisions) Act 1988 (Cth). Undang-Undang ini disahkan pada tanggal 6 Desember 1988. Undang-Undang pertama pada dasarnya merupakan konstitusi ACT (Australian Capital Territory) dan menetapkan kerangka kerja pemerintahan dan sistem pemerintahan. Undang-Undang Wilayah Ibu Kota Australia (Perencanaan dan Pengelolaan Lahan) 1988 mengawasi rencana Tata Ruang, yang menetapkan ketentuan pembangunan, dan berada di bawah naungan Otoritas Ibu Kota Nasional.[18]

Dengan representasi yang terbatas di parlemen nasional, Australian Capital Territory memiliki hubungan yang kompleks dan seringkali menegangkan dengan pemerintah federal. Pemerintahan mandiri membuatnya lebih mampu berpartisipasi dalam sistem hubungan antar pemerintah federal Australia, melalui keterlibatannya dalam badan hubungan antar pemerintah puncak, dewan Pemerintahan Australia / Council of Australian Governments (COAG). Namun, Australian Capital Territory memiliki kekurangan terkait dengan lokasi bersama, karena menjadikan Canberra sebagai ibu kota nasional sekaligus Canberra sebagai entitas tersendiri. Setelah pemerintahan sendiri, Komisi Pengembangan Ibu Kota Nasional digantikan oleh Otoritas Ibu Kota Nasional / National Capital Authority (NCA). National Capital Authority adalah badan pemerintah federal yang bertanggung jawab atas pembangunan Canberra yang berkelanjutan. Kewenangan ini mencakup pelepasan lahan untuk pembangunan, pelestarian rencana Burley Griffin untuk kota, dan pemeliharaan integritas historis ibu kota. Oleh karena itu, pemerintah ACT (Australian Capital Territory) harus beroperasi di bawah naungan National Capital Authority untuk semua keputusan perencanaan dan pembangunan. Adapun yang memperumit hubungan antara Australian Capital Territory dan pemerintah federal adalah kenyataan bahwa Segitiga Parlemen berada di bawah kendali federal. Kawasan ini (puncaknya adalah Gedung Parlemen, yang dibatasi oleh Commonwealth dan Kings Avenue serta pesisir utara Danau Burley Griffin) mencakup Gedung Parlemen Lama dan Baru, Perpustakaan Nasional, Pusat Sains, Galeri Seni dan Arsip, Pengadilan Tinggi, dan beberapa gedung layanan publik utama (termasuk Kementerian Keuangan dan Departemen Keuangan, serta kantor Komisi Pemilihan Umum Australia). Lokasinya dekat dengan pusat kota, yang memiliki implikasi signifikan terhadap perencanaan wilayah. Pemerintah ACT (Australian Capital Territory) tidak memiliki yurisdiksi di kawasan ini, kecuali untuk penyediaan layanan kota.[18]

Berikut beberapa layanan yang ada di canberra :

BidangLayanan Utama

PemerintahanPerizinan, catatan sipil, layanan komunitas

TransportasiBus, light rail, tiket MyWay+, subsidi harian

KesehatanRumah sakit publik, klinik, ambulans, layanan spesialis

PendidikanSekolah negeri, universitas, TAFE/CIT

PerumahanBantuan sewa, hunian publik, dukungan sosial

LingkunganSampah, daur ulang, taman kota, pengendalian emisi

KeamananPolisi ACT, pemadam kebakaran, layanan darurat

DigitalPortal terpadu Access Canberra, smart city, layanan online

Setelah Canberra diangkat sebagai ibu kota resmi pada tahun 1927, banyak layanan pemerintahan berpindah dari Melbourne ke Canberra. Di antara layanan yang pindah adalah Parlemen Federal Australia, yang terdiri dari Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu, Kantor Perdana Menteri beserta kabinetnya, serta berbagai departemen dan kementerian penting seperti Departemen Keuangan, Departemen Luar Negeri dan Perdagangan, dan Departemen Pertahanan juga ikut pindah, meskipun beberapa tetap memiliki kantor di Melbourne dan Sydney. Di samping itu, lembaga pengatur seperti Komisi Layanan Publik Australia dan Komisi Pemilihan Australia beroperasi di Canberra. Sementara itu, Melbourne terus menjadi pusat bagi Pemerintahan Negara Bagian Victoria, yang bertanggung jawab atas layanan lokal seperti sekolah negeri, rumah sakit publik, dan transportasi setempat. Beberapa lembaga federal besar masih memiliki kantor di Melbourne dan kota-kota besar lainnya untuk memberikan pelayanan lebih baik kepada masyarakat, termasuk Centrelink, Australian Taxation Office, NDIS, serta kantor regional Kepolisian Federal Australia. Selain itu, Melbourne dan Sydney tetap menjadi pusat bisnis dan keuangan yang utama, karena Canberra tidak mengambil alih peran tersebut dalam bidang komersial. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem layanan yang berpindah dari melbourne ke canberra ialah pusat pemerintahan federal (parlemen, kabinet, dan beberapa kementerian utama). Kemudian untuk sistem layanan yang tetap berada di melbourne ialah semua layanan negara bagian, sebagian kantor pelayanan federal, serta fungsi ekonomi dan bisnis. Alasan dibagi nya sistem tersebut yakni karena layanan publik di Australia dibagi antara Canberra dan Melbourne (juga Sydney dan kota lainnya) karena sistem pemerintahan Australia menganut sistem federalisme, di mana kekuasaan dibagi antara Pemerintah Federal (nasional) berbasis di Canberra dan pemerintah negara bagian dan teritori seperti pemerintah negara bagian victoria yang berbasis di Melbourne. [18]

3.4 Analisis perbandingan mengenai peralihan ibukota yang terjadi di Indonesia dan Australia

Tujuan pemindahan ibu kota Indonesia dan Australia memiliki perbedaan, Indonesia bertujuan mengurangi ketergantungan pada Pulau Jawa dan Jakarta, yang telah menghadapi masalah kepadatan penduduk dan infrastruktur. Sedangkan, Australia memindahkan ibukotanya ke Canberra sebagai jalan tengah politik antara Sydney dan Melbourne, serta untuk menciptakan pusat pemerintahan nasional yang tidak berpihak dan terencana dengan baik. Perpindahan ibu kota di Australia berlangsung secara berangsur dan memakan waktu yang cukup lama. Parlemen berpindah ke Canberra pada tahun 1927, tetapi hingga beberapa dekade selanjutnya, sejumlah lembaga federal masih beroperasi di Melbourne. Proses ini mencerminkan peralihan bertahap dan adanya pemisahan yang jelas antara fungsi pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Di Indonesia, pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur juga direncanakan secara bertahap, dengan target pemindahan administratif pada tahun 2045. Namun, pendekatan yang diambil Indonesia lebih menekankan pembentukan satu kesatuan pemerintahan baru yang khusus (Otorita IKN), tanpa adanya DPRD seperti yang biasanya ada di pemerintah daerah lainnya. Ini menunjukkan bahwa pendekatan ini lebih terpusat dibandingkan dengan model federal yang diterapkan di Australia.[1]

Australia menerapkan sistem federal yang jelas memisahkan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah negara bagian. Meskipun ibu kota federal berpindah, pemerintah negara bagian tetap dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Tanggung jawab seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi masih ditangani oleh negara bagian, contohnya adalah Victoria di Melbourne. Sementara itu, Indonesia merancang IKN sebagai suatu entitas yang memiliki pemerintah sendiri dengan kewenangan langsung di bawah Presiden. Struktur Otorita IKN tidak memiliki lembaga legislatif lokal (DPRD), sehingga menjadikannya unik dan berbeda dari sistem desentralisasi yang umumnya ada di daerah lain. Dalam konteks Australia, meskipun sejumlah besar layanan federal penting telah dipindahkan ke Canberra, layanan publik di tingkat negara bagian, pusat keuangan, serta banyak institusi swasta tetap ada di Melbourne dan Sydney. Canberra tidak berfungsi sebagai pusat ekonomi, tetapi lebih sebagai pusat administrasi pemerintahan. Di sisi lain, Indonesia melihat Jakarta terus menjadi pusat ekonomi dan kota global, seperti yang dinyatakan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Jakarta diberikan kekuasaan khusus dalam aspek ekonomi, budaya, dan pengembangan wilayah, sehingga tetap mempertahankan posisinya yang penting meskipun bukan lagi sebagai ibu kota negara. [2]

AspekIndonesia (Jakarta ke IKN)Australia (Melbourne ke Canberra)

Sistem PemerintahanNegara kesatuan dengan desentralisasi asimetrisNegara federal dengan pembagian kekuasaan pusat dan negara bagian

Alasan PemindahanBeban Jakarta terlalu tinggi, pemerataan pembangunan, simbol nasional baruKompromi politik antara Sydney dan Melbourne, lokasi netral dan terencana

Model Pemerintahan di Ibu Kota BaruOtorita IKN (khusus, tidak ada DPRD, di bawah Presiden langsung)Pemerintah ACT (Australian Capital Territory) dengan self-government

Tahapan PemindahanBertahap hingga 2045, dimulai dari pemindahan lembaga pemerintahanBertahap sejak 1913, resmi 1927, lembaga federal pindah secara progresif

Fungsi Jakarta / Melbourne Saat IniJakarta tetap sebagai pusat ekonomi dan kota global dengan kekhususan (UU DKJ)Melbourne tetap sebagai pusat ekonomi dan markas lembaga federal non-pemerintahan

Kelembagaan LokalTidak ada DPRD di IKN, regulasi dipusatkan pada OtoritaACT memiliki parlemen lokal dan otoritas pembangunan (NCA)

Layanan PublikFokus digitalisasi dan efisiensi di IKN; layanan ekonomi tetap di JakartaPemerintah federal di Canberra, layanan negara bagian tetap di Melbourne

Sistem Perencanaan WilayahTerpusat, diatur melalui OIKN tanpa keterlibatan legislatif daerahBerbasis rencana tata kota federal dan ACT dengan pengawasan NCA

Ciri Khusus Ibu Kota BaruSmart city, kota berkelanjutan, simbol masa depan IndonesiaGarden city, tata ruang lanskap alami, simbol netralitas nasional

Tabel 1.2 Tabel Perbandingan Indonesia dan Australia

Pemindahan pusat pemerintahan Indonesia dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara adalah langkah besar dalam sejarah negara kita. Saya berpendapat bahwa perpindahan ini bukan hanya tentang memindahkan lokasi pemerintahan, tetapi juga melambangkan perubahan dalam cara mengelola pemerintahan, arah pembangunan, serta pembentukan identitas bangsa yang baru. Tindakan pemerintah yang menetapkan IKN Nusantara sebagai tempat pemerintahan lewat Undang-Undang No. 3 Tahun 2022 seharusnya mendapatkan pujian, karena mengedepankan prinsip desentralisasi, pemerataan pembangunan, dan penguatan integrasi nasional. Meski demikian, pemindahan kota ibu harus dilakukan dengan hati-hati dan melalui tahapan yang teratur, terbuka, serta bisa dipertanggungjawabkan. Proses ini harus menghindari perbedaan yang besar antara daerah dan memastikan pelayanan publik tetap berlanjut dengan baik.[2] Jakarta, sebagai kota yang memiliki sejarah panjang, tetap memainkan peran krusial dalam susunan negara. Penulis percaya bahwa menjadikan Jakarta sebagai Pusat Ekonomi Nasional dan Kota Global melalui Undang-Undang DKJ No. 2 Tahun 2024 sebagai pilihan yang benar. Ini menegaskan bahwa peran-peran strategis Jakarta tetap dijaga dengan cara yang fleksibel terhadap perubahan global dan domestik. Dalam hal ini, Jakarta dapat terus menunjukkan kemajuan Indonesia di tingkat internasional. Meskipun begitu, penulis ingin menekankan tentang sistem pemerintahan di IKN yang diatur oleh Otorita tanpa kehadiran lembaga legislatif daerah seperti DPRD. Ini menimbulkan pertanyaan mengenai prinsip demokrasi lokal serta tanggung jawab publik. Pemerintahan yang terlalu terpusat dapat mengabaikan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, yang sebenarnya adalah inti dari sistem desentralisasi yang diterapkan di Indonesia. [19]

Mengambil pelajaran dari pengalaman Australia yang telah memindahkan ibu kotanya dari Melbourne menuju Canberra, penulis berpendapat bahwa cara bertahap dan pemisahan tugas antara pusat pemerintahan dan pusat ekonomi adalah strategi yang berhasil. Australia berhasil mempertahankan keseimbangan antara fungsi ibu kota yang lama dan yang baru dengan cara yang stabil. Maka dari itu, penulis merekomendasikan kepada Indonesia untuk mengikuti prinsip serupa dengan tidak menempatkan semua fungsi di IKN sekaligus. Terakhir, penerapan digitalisasi dalam layanan publik di IKN harus benar-benar didukung oleh kesiapan infrastruktur dan staf yang berkualitas. Pemerintah harus memastikan bahwa inovasi dalam pelayanan bukan hanya sekadar kata-kata, tetapi memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, termasuk yang berada di daerah penyangga.[20]

VII. Simpulan

Jakarta masih merupakan Provinsi Daerah Khusus dengan posisi strategis sebagai kota global dan pusat perekonomian nasional, tetapi bukan lagi ibu kota negara setelah Undang-Undang Ibu Kota Negara disahkan. Di bidang kelembagaan, kebudayaan, pemerintahan, dan aglomerasi metropolitan, Jakarta diberi kewenangan khusus. IKN Nusantara dibentuk sebagai pusat pemerintahan baru dengan struktur pemerintahan tersendiri melalui Otorita IKN. Pemerintahan ini bersifat tersentralisasi tanpa adanya lembaga legislatif daerah (DPRD), dan mengedepankan digitalisasi layanan publik dengan konsep administrasi modern yang terintegrasi dan efisien. Pemindahan ibu kota di Indonesia dan Australia memiliki kesamaan dalam hal tujuan desentralisasi dan simbol kebangsaan, namun berbeda dalam struktur pemerintahan. Australia tetap membagi fungsi pemerintahan federal dan negara bagian secara seimbang, sedangkan Indonesia membentuk struktur pemerintahan baru yang bersifat khusus dan eksklusif di IKN. Pemindahan ibu kota perlu mempertimbangkan aspek pelayanan publik, kesiapan infrastruktur digital, dan transisi kelembagaan secara bertahap agar tidak menimbulkan kekosongan peran atau ketimpangan antar wilayah.

Ucapan Terima Kasih

Dengan penuh rasa syukur, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Universitas Muhammadiyah Sidoarjo yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan bagi saya untuk menimba ilmu, serta menciptakan lingkungan akademik yang kondusif dan memberikan dukungan yang sangat berarti selama proses studi. Kepada kedua orang tua saya, terima kasih atas segala doa, kasih sayang, dan dukungan yang tiada henti, yang menjadi sumber kekuatan dalam setiap langkah yang saya tempuh. Kepada istri saya yang setia mendoakan dan menemani saya sehingga saya bisa menyelesaikan karya ilmiah ini. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Referensi

[1]A. S. Maulida, D. D. Sepkamala, S. Herayani, dan W. H. Ikrima, “ANALISIS PERBANDINGAN ADMINISTRASI PUBLIKNEGARA INGGRIS DAN AUSTRALIA,” PENTAHELIX, vol. 1, no. 2, Art. no. 2, Okt 2023, doi: 10.24853/penta.1.2.163-174.

[2] S. Sampe, “PERBANDINGAN SISTEM PEMERINTAHAN”.

[3]F. Fauzi dan S. Sujadi, “Wewenang Otorita Ibu Kota Nusantara Selaku Pemegang Hak Pengelolaan Kawasan Ibu Kota Nusantara,” Tunas Agraria, vol. 6, no. 3, Art. no. 3, Sep 2023, doi: 10.31292/jta.v6i3.246.

[4]“Jurnal Diskresi.” Diakses: 29 Mei 2025. [Daring]. Tersedia pada: https://scholar.googleusercontent.com/scholar?q=cache:34j0RTVDF70J:scholar.google.com/&hl=id&as_sdt=0,5&as_ylo=2020&as_yhi=2025&scioq=eksistensi+ibukota+setelah+peralihan

[5]A. G. Mahardika dan R. Saputra, “PROBLEMATIKA YURIDIS PROSEDURAL PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA BARU DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA,” legacy, vol. 2, no. 1, hlm. 1–19, Feb 2022, doi: 10.21274/legacy.2022.2.1.1-19.

[6]B. Amal dan A. Y. Sulistyawan, “DINAMIKA KETATANEGARAAN PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM,” Masalah-Masalah Hukum, vol. 51, no. 4, hlm. 346–354, Okt 2022.

[7]“E-Book_Jakarta-Pasca-Pemindahan-Ibu-Kota-Negara.pdf.” Diakses: 7 Juli 2025. [Daring]. Tersedia pada: http://eprints2.ipdn.ac.id/id/eprint/1184/1/E-Book_Jakarta-Pasca-Pemindahan-Ibu-Kota-Negara.pdf

[8]R. Beni, “Peran Baru dan Kewenangan Khusus Jakarta Pasca Pemindahan Ibu Kota Negara,” JHP, vol. 54, no. 2, Jun 2024, doi: 10.21143/jhp.vol54.no2.1621.

[9]A. M. Putri, “Implikasi Pemindahan Ibu Kota Negara Terhadap Kedudukan Daerah Jakarta,” bachelorThesis, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2025. Diakses: 27 Juli 2025. [Daring]. Tersedia pada: https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/84485

[10]S. S. Fauziah dan N. K. Winayanti, “KEWENANGAN KHUSUS PROVINSI DAERAH KHUSUS JAKARTA (DKJ) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 02 TAHUN 2024 TENTANG PROVINSI DAERAH KHUSUS JAKARTA,” Audi Et AP : Jurnal Penelitian Hukum, vol. 4, no. 02, Art. no. 02, Jun 2025, doi: 10.24967/jaeap.v4i02.4080.

[11]“(PDF) Implementasi E-Government Di IKN Nusantara: Adaptasi Teknologi Digital Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan,” ResearchGate. Diakses: 28 Juli 2025. [Daring]. Tersedia pada: https://www.researchgate.net/publication/376856458_Implementasi_E-Government_Di_IKN_Nusantara_Adaptasi_Teknologi_Digital_Dalam_Penyelenggaraan_Pemerintahan

[12]A. D. Ariyanti dan S. Pramono, “Memahami Kekhususan Ibu Kota Nusantara dalam Perspektif Sistem Pemerintahan Asimetris,” Syntax Literate ; Jurnal Ilmiah Indonesia, vol. 9, no. 11, hlm. 6888–6900, Nov 2024, doi: 10.36418/syntax-literate.v9i11.52278.

[13]“Nugroho: Bentuk Dan Kekhususan Ibu Kota Negara Nusantara... - Google Scholar.” Diakses: 29 Juli 2025. [Daring]. Tersedia pada: https://scholar.google.com/scholar?cluster=12695947051738386086&hl=id&as_sdt=0,5

[14]O. Purba dkk., Dasar Hukum & Analisis Tata Kelola Ibu Kota Negara Dari Berbagai Bidang. PT. Sonpedia Publishing Indonesia, 2023.

[15]R. Hanandy dan E. Sakapurnama, “Forecasting Policy Pelayanan Sektor Publik Pasca Pemindahan Ibukota Negara: Studi Pada Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) DKI Jakarta,” agregasi, vol. 12, no. 2, Art. no. 2, Jun 2024, doi: 10.34010/agregasi.v12i2.12210.

[16]R. R. Phahlevy, “Hukum Tata Negara I,” Umsida Press, hlm. 1–116, 2019, doi: 10.21070/2019/978-623-7578-04-8.

[17]F. Mofrad, M. Ignatieva, dan C. Vernon, “The discourses, opportunities, and constraints in Canberra’s Green Infrastructure planning,” Urban Forestry & Urban Greening, vol. 74, hlm. 127628, Agu 2022, doi: 10.1016/j.ufug.2022.127628.

[18]R. Tennant-Wood, “Australian Capital Territory,” Mar 2024, Diakses: 30 Juli 2025. [Daring]. Tersedia pada: https://oercollective.caul.edu.au/aust-politics-policy/chapter/australian-capital-territory/

[19]L. E. N. Syayyidah, “Perbandingan penerapan yurisprudensi di Indonesia dan Australia,” Maliki Interdisciplinary Journal, vol. 2, no. 7, hlm. 70–75, Jul 2024.doi : https://urj.uin-malang.ac.id/index.php/mij/article/view/9009/3418

[20]P. Prijanto dan R. V. Sagala, “Eksistensi Oposisi dalam Sistem Pemerintahan di Negara Indonesia dan Australia,” Jurnal sosial dan sains, vol. 4, no. 8, hlm. 816–828, Agu 2024, doi: 10.59188/jurnalsosains.v4i8.1518.

References

[1] A. S. Maulida, D. D. Sepkamala, S. Herayani, and W. H. Ikrima, “Analisis Perbandingan Administrasi Publik Negara Inggris dan Australia,” Pentahelix, vol. 1, no. 2, Oct. 2023, doi: 10.24853/penta.1.2.163-174.

[2] S. Sampe, “Perbandingan Sistem Pemerintahan.”

[3] F. Fauzi and S. Sujadi, “Wewenang Otorita Ibu Kota Nusantara Selaku Pemegang Hak Pengelolaan Kawasan Ibu Kota Nusantara,” Tunas Agraria, vol. 6, no. 3, Sep. 2023, doi: 10.31292/jta.v6i3.246.

[4] “Jurnal Diskresi,” accessed May 29, 2025. [Online]. Available: https://scholar.googleusercontent.com/scholar?q=cache:34j0RTVDF70J:scholar.google.com

[5] A. G. Mahardika and R. Saputra, “Problematika Yuridis Prosedural Pemindahan Ibu Kota Negara Baru Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,” Legacy, vol. 2, no. 1, Feb. 2022, doi: 10.21274/legacy.2022.2.1.1-19.

[6] B. Amal and A. Y. Sulistyawan, “Dinamika Ketatanegaraan Pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia dalam Perspektif Hukum,” Masalah-Masalah Hukum, vol. 51, no. 4, Oct. 2022.

[7] E-Book Jakarta Pasca Pemindahan Ibu Kota Negara, accessed Jul. 7, 2025. [Online]. Available: http://eprints2.ipdn.ac.id/id/eprint/1184/1/E-Book_Jakarta-Pasca-Pemindahan-Ibu-Kota-Negara.pdf

[8] R. Beni, “Peran Baru dan Kewenangan Khusus Jakarta Pasca Pemindahan Ibu Kota Negara,” Jurnal Hukum dan Pembangunan, vol. 54, no. 2, Jun. 2024, doi: 10.21143/jhp.vol54.no2.1621.

[9] A. M. Putri, “Implikasi Pemindahan Ibu Kota Negara Terhadap Kedudukan Daerah Jakarta,” Undergraduate Thesis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2025.

[10] S. S. Fauziah and N. K. Winayanti, “Kewenangan Khusus Provinsi Daerah Khusus Jakarta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2024,” Audi Et Ap: Jurnal Penelitian Hukum, vol. 4, no. 2, Jun. 2025, doi: 10.24967/jaeap.v4i02.4080.

[11] “Implementasi E-Government di IKN Nusantara: Adaptasi Teknologi Digital dalam Penyelenggaraan Pemerintahan,” ResearchGate, accessed Jul. 28, 2025.

[12] A. D. Ariyanti and S. Pramono, “Memahami Kekhususan Ibu Kota Nusantara dalam Perspektif Sistem Pemerintahan Asimetris,” Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia, vol. 9, no. 11, Nov. 2024, doi: 10.36418/syntax-literate.v9i11.52278.

[13] “Nugroho: Bentuk dan Kekhususan Ibu Kota Negara Nusantara,” Google Scholar, accessed Jul. 29, 2025.

[14] O. Purba et al., Dasar Hukum & Analisis Tata Kelola Ibu Kota Negara Dari Berbagai Bidang, PT. Sonpedia Publishing Indonesia, 2023.

[15] R. Hanandy and E. Sakapurnama, “Forecasting Policy Pelayanan Sektor Publik Pasca Pemindahan Ibu Kota Negara,” Agregasi, vol. 12, no. 2, Jun. 2024, doi: 10.34010/agregasi.v12i2.12210.

[16] R. R. Phahlevy, Hukum Tata Negara I, Umsida Press, 2019, doi: 10.21070/2019/978-623-7578-04-8.

[17] F. Mofrad, M. Ignatieva, and C. Vernon, “The Discourses, Opportunities, and Constraints in Canberra’s Green Infrastructure Planning,” Urban Forestry & Urban Greening, vol. 74, p. 127628, Aug. 2022, doi: 10.1016/j.ufug.2022.127628.

[18] R. Tennant-Wood, “Australian Capital Territory,” accessed Mar. 2024. [Online]. Available: https://oercollective.caul.edu.au/aust-politics-policy/chapter/australian-capital-territory/

[19] L. E. N. Syayyidah, “Perbandingan Penerapan Yurisprudensi di Indonesia dan Australia,” Maliki Interdisciplinary Journal, vol. 2, no. 7, Jul. 2024, doi: https://urj.uin-malang.ac.id/index.php/mij/article/view/9009/3418

[20] P. Prijanto and R. V. Sagala, “Eksistensi Oposisi dalam Sistem Pemerintahan di Negara Indonesia dan Australia,” Jurnal Sosial dan Sains, vol. 4, no. 8, Aug. 2024, doi: 10.59188/jurnalsosains.v4i8.1518.