Login
Section Education Accounting

Legal Protection for Underage Workers in Indonesia

Perlindungan Hukum bagi Pekerja di Bawah Umur di Indonesia
Vol. 20 No. 4 (2025): November:

Lidya Shery Muis (1), Auriel Nauvalia Putri (2)

(1) Program Studi Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia, Indonesia
(2) Program Studi Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia, Indonesia

Abstract:

Background: Child labor remains a persistent social and legal issue in Indonesia, challenging the state’s responsibility to protect children’s rights. Specific Background: Despite the existence of the Child Protection Act, many underage workers continue to experience exploitation without adequate legal enforcement. Knowledge Gap: Previous studies have focused on descriptive analyses of legal norms without assessing the practical application and effectiveness of protection mechanisms. Aim: This study aims to examine the legal framework and its implementation regarding the protection of underage workers in Indonesia. Results: The findings reveal that while Indonesia has a comprehensive legal basis, the enforcement is still weak due to limited supervision and social awareness. Novelty: The study provides a new interpretation of normative legal principles by emphasizing the synergy between legal regulations and social practices. Implications: The results highlight the need for stronger policy coordination and legal reinforcement to ensure that child protection laws are not only formal but also effectively implemented at all levels.


Highlights:
• The study identifies gaps in Indonesia’s legal protection for underage workers.
• Enforcement weaknesses hinder effective child protection implementation.
• Strengthening legal coordination is essential for policy improvement.


Keywords: Child Labor, Legal Protection, Normative Law, Child Rights, Indonesia

Downloads

Download data is not yet available.

Drone Use on Privacy Rights: Comparison of Indonesian and Dutch Law

[Penggunaan Drone terhadap Hak Privasi: Perbandingan Hukum Indonesia dan Belanda]

Auriel Nauvalia Putri 1), Lidya Shery Muis*,2)

1) Program Studi Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia

2) Program Studi Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia

*Email Penulis Korespondensi: lidyasherymuis@umsida.ac.id

Abstract . This article examines the effectiveness of drone regulations in protecting privacy rights in Indonesia and the Netherlands. Using normative legal and comparative approaches, the study highlights regulatory disparities between the two countries. In Indonesia, existing laws are still technical and lack strong enforcement, resulting in low public compliance and legal uncertainty in privacy violations involving drones. Conversely, the Netherlands integrates technical regulations with the GDPR, enabling structured oversight and sanctions. The study also presents a case of illegal drone use over the Yogyakarta Palace as evidence of regulatory gaps in Indonesia. The findings suggest the need for Indonesia to strengthen its legal framework, establish an independent data protection authority, and incorporate ethical standards in drone operations. The research aims to support legal reform in adapting to technological developments while ensuring the protection of human rights. This research produces analysis and recommendations that support legal reform efforts to address the dynamics of technological development without neglecting the protection of human rights.

Keywords - drone regulation, privacy rights, legal comparison

Abstrak.Artikel ini mengkaji efektivitas regulasi penggunaan drone dalam melindungi hak privasi di Indonesia dan Belanda. Melalui pendekatan hukum normatif dan perbandingan, penelitian ini menyoroti kesenjangan regulasi di antara kedua negara. Di Indonesia, regulasi yang ada masih bersifat teknis dan lemah dalam penegakan, sehingga kepatuhan masyarakat rendah dan pelanggaran privasi sulit diproses secara hukum. Sebaliknya, Belanda mengintegrasikan regulasi teknis dengan GDPR yang memungkinkan pengawasan dan sanksi yang terstruktur. Studi ini juga menyajikan kasus penggunaan drone ilegal di atas Keraton Yogyakarta sebagai bukti lemahnya perlindungan hukum di Indonesia. Hasil penelitian merekomendasikan perlunya penguatan regulasi, pembentukan otoritas perlindungan data independen, dan penerapan standar etika dalam pengoperasian drone. Penelitian ini menghasilkan analisis dan rekomendasi yang mendukung upaya reformasi hukum guna menghadapi dinamika perkembangan teknologi tanpa mengabaikan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

KataKunci-regulasi drone, hak privasi, perbandingan hukum

Pendahuluan

Perkembangan teknologi digital pada era Revolusi Industri 4.0 telah mendorong kemajuan signifikan dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk dalam bidang pengawasan dan pengumpulan data melalui perangkat pesawat udara tanpa awak, yang lebih dikenal sebagai drone atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Meskipun pada awalnya dikembangkan untuk kepentingan militer, drone kini telah berevolusi menjadi instrumen yang lazim digunakan dalam sektor sipil, seperti pertanian presisi, perfilman, pemetaan geospasial, pengiriman barang, bahkan pengawasan lalu lintas. Kelebihan drone terletak pada kemampuannya menjangkau area yang sulit diakses manusia secara langsung serta kemampuan mengambil data visual dan suara secara real-time. Tetapi dengan keunggulan tersebut muncul persoalan baru terkait aspek hukum dan etika, terutama dalam hal pelanggaran hak privasi individu.[1]

Hak privasi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi dan peraturan perundang- undangan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Penggunaan drone yang dapat merekam atau mengambil gambar tanpa sepengetahuan atau persetujuan dari subjek yang direkam menimbulkan kekhawatiran akan pelanggaran terhadap ruang privat warga negara. Hal ini menjadi semakin problematik ketika penggunaan drone dilakukan oleh pihak-pihak non-pemerintah seperti jurnalis, influencer media sosial, atau bahkan individu biasa untuk kepentingan komersial atau hiburan, tanpa memahami batasan hukum yang berlaku. Di Indonesia, regulasi mengenai pengoperasian drone saat ini diatur melalui Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 37 Tahun 2020 tentang Penggunaan Pesawat Udara Tanpa Awak di Wilayah Udara Indonesia. Peraturan ini mengatur aspek teknis penggunaan drone seperti zona larangan terbang, kewajiban registrasi, ketinggian maksimum penerbangan,

serta syarat administratif bagi operator. Namun, regulasi ini belum secara eksplisit mengatur perlindungan terhadap data pribadi atau ruang privat individu, serta belum menjangkau sanksi terhadap pelanggaran privasi.[2]

Sementara itu, di Belanda, pengoperasian drone diatur dalam kerangka hukum Uni Eropa melalui EU Regulation 2019/947 yang menetapkan ketentuan keselamatan dalam penggunaan sistem pesawat udara tanpa awak. Selain itu, perlindungan data pribadi yang terekam melalui drone tunduk pada General Data Protection Regulation (GDPR), yang mewajibkan adanya dasar hukum yang sah untuk pengumpulan data, kewajiban transparansi, dan perlindungan terhadap subjek data. Hal ini memberikan dasar hukum yang kuat bagi warga negara untuk menuntut jika terjadi pelanggaran terhadap hak privasi mereka.

Meskipun peraturan ini telah mengatur aspek teknis seperti zona larangan terbang dan kewajiban registrasi, ia belum memberikan perlindungan hukum terhadap hak privasi masyarakat, khususnya dari sisi sanksi atas pelanggaran, pengawasan operasional, serta mekanisme perlindungan data pribadi. Dalam praktiknya, pengoperasian drone di Indonesia mengharuskan operator untuk mengajukan izin terbang kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara jika berada di area terbatas, serta mematuhi batasan ketinggian maksimal 150 meter dari permukaan tanah. Operator juga wajib mendaftarkan drone ke otoritas penerbangan sipil. Namun, belum ada sistem yang secara efektif memantau kepatuhan ini secara real-time atau mekanisme aduan publik bila terjadi pelanggaran privasi.[3]

Di Belanda, otoritas penerbangan sipil (Inspectie Leefomgeving en Transport - ILT) mewajibkan semua operator untuk mengikuti klasifikasi risiko drone (Open, Specific, Certified) sebagaimana diatur dalam EU Regulation 2019/947. Operator drone kategori tertentu harus mendapatkan sertifikat kompetensi dan menyampaikan rencana terbang, termasuk analisis risiko, kepada otoritas. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pengawasan operasional di Belanda lebih matang dan terintegrasi dengan sistem perlindungan data pribadi.[4]

Melihat kondisi saat ini muncul kebutuhan untuk mengembangkan kerangka hukum yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga substantif dan progresif dalam merespons hal ini. Salah satu pendekatan yang dapat ditempuh adalah melalui studi perbandingan hukum dengan negara lain yang memiliki karakteristik sistem hukum serupa. Dalam hal ini, Belanda menjadi pilihan yang relevan sebagai negara pembanding. Selain memiliki sejarah panjang sebagai salah satu sumber hukum Indonesia selama masa kolonial, Belanda juga menganut sistem hukum civil law yang sama dengan Indonesia. Di samping itu, sebagai anggota Uni Eropa, Belanda telah mengadopsi regulasi yang progresif dan terintegrasi dalam pengelolaan teknologi digital, termasuk drone, yang tunduk pada EU Regulation 2019/947 dan General Data Protection Regulation (GDPR). Belanda menawarkan perspektif yang berharga dalam pengelolaan penggunaan drone, baik dari sisi keamanan, akuntabilitas, maupun perlindungan privasi individu. Dari sisi regulasi, baik Indonesia maupun Belanda sama-sama mewajibkan pendaftaran drone dan mengatur zona larangan terbang sebagai langkah dasar keselamatan penerbangan. Namun, terdapat perbedaan mendasar dalam pendekatan hukum. Regulasi di Indonesia masih berfokus pada aspek administratif dan keselamatan penerbangan, sementara di Belanda, pendekatannya lebih komprehensif karena mencakup perlindungan data pribadi dan akuntabilitas penggunaan drone. Belanda juga memberikan saluran pengaduan dan sanksi hukum yang jelas bagi pelanggaran privasi, sedangkan di Indonesia, aspek perlindungan privasi melalui drone masih belum menjadi prioritas utama dalam kebijakan pengawasan teknologi.

Kajian terdahulu yang membahas isu ini di Indonesia masih sangat terbatas, dan sebagian besar terfokus pada aspek teknis atau administratif pengoperasian drone. Ada yang mengulas lemahnya perlindungan data pribadi di Indonesia dalam menghadapi teknologi pengawasan, serta ada yang menyoroti potensi kejahatan melalui drone seperti pencurian data dan spionase. Kedua studi ini belum membahas secara komparatif pendekatan hukum antarnegara. Penelitian terdahulu membahas dimensi administratif pengoperasian drone menurut Peraturan Menteri Perhubungan, tanpa mendalami sisi yuridis dari pelanggaran privasi. Di lingkup internasional mengeksplorasi bagaimana pemerintah Belanda mendorong transparansi dalam penggunaan drone oleh institusi publik. Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat kesadaran atas risiko pelanggaran privasi melalui drone, pendekatan perbandingan hukum antara negara dengan sistem hukum yang serupa masih jarang dilakukan.[5]

Dari uraian literatur tersebut, dapat diidentifikasi adanya gap penelitian. Pertama, belum ada kajian yang menganalisis efektivitas regulasi drone dalam konteks perlindungan privasi di Indonesia dan membandingkannya dengan negara yang memiliki basis hukum serupa seperti Belanda. Kedua, belum adanya mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang kuat dalam kasus pelanggaran privasi melalui drone menimbulkan ketimpangan antara perkembangan teknologi dan kesiapan hukum nasional. Ketiga, sebagian besar kajian yang tersedia belum menjangkau aspek yuridis, khususnya yang menyangkut pertanggungjawaban hukum, sanksi pidana dan perdata, serta perlindungan hak korban pelanggaran privasi.

Penelitian ini menjadi penting dalam kerangka reformasi regulasi teknologi di Indonesia. Di tengah semakin masifnya penggunaan drone dalam kehidupan sehari-hari, sangat diperlukan kebijakan hukum yang tidak hanya menjamin keamanan penerbangan, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Selain itu, melihat sistem hukum Belanda dapat memberikan pencerahan terhadap praktik terbaik (best practices) dalam penataan teknologi yang beretika dan berkeadilan. Penelitian ini juga relevan dalam mendukung pencapaian Tujuan

Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) ke-16, yaitu membangun institusi yang kuat, inklusif, dan akuntabel, terutama dalam menjamin akses terhadap keadilan dan perlindungan hak-hak sipil warga negara.

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara yuridis efektivitas regulasi pengoperasian drone dalam melindungi hak privasi dan keamanan individu di Indonesia dan Belanda. Kajian ini juga bertujuan untuk membandingkan bentuk perlindungan hukum serta sanksi yang diatur dalam sistem hukum kedua negara terhadap pelanggaran privasi melalui drone, serta merumuskan rekomendasi kebijakan hukum yang lebih adaptif dan kontekstual bagi Indonesia. Melalui pendekatan hukum normatif dan perbandingan, artikel ini diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam pembaruan regulasi serta menjadi referensi penting bagi para pembuat kebijakan, akademisi, dan praktisi hukum dalam menghadapi tantangan teknologi digital yang terus berkembang.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan pendekatan perbandingan untuk menganalisis regulasi pengoperasian drone dalam menjamin hak atas privasi dan aspek keamanan individu di Indonesia dan Belanda. Data diperoleh melalui studi literatur terhadap peraturan perundang-undangan, dokumen resmi pemerintah, putusan pengadilan, artikel ilmiah, dan sumber media online yang kredibel. Fokus penelitian ini bersifat murni normatif tanpa pengumpulan data lapangan, dengan tujuan mengidentifikasi perlindungan hukum serta kelebihan dan kekurangan regulasi di kedua negara sebagai dasar penyusunan rekomendasi kebijakan di Indonesia.

Hasil dan Pembahasan

Efektivitas Regulasi Pengoperasian Drone dalam Melindungi Privasi dan Keamanan di Indonesia dan Belanda

Regulasi pertama yang secara khusus mengatur tentang operasional drone di Indonesia tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 180 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat UdaraTanpa Awak di Ruang Udara yang Dilayani Indonesia. Peraturan ini masih sangat umum dan bersifat sementara. Regulasi yang lebih sistematis baru hadir pada tahun 2020, melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 37 Tahun 2020, yang memberikan panduan teknis mengenai ketentuan terbang drone, batasan wilayah dan ketinggian operasional, serta persyaratan administratif bagi operator. Meski regulasi ini mengatur aspek teknis secara lebih terstruktur, tetapi aspek perlindungan privasi serta mekanisme hukum terhadap pelanggaran masih belum menjadi perhatian utama dalam kerangka yuridis nasional.[6]

Sementara itu, di Belanda, regulasi penggunaan drone mengalami perkembangan seiring dengan kebijakan bersama Uni Eropa. Belanda sebelumnya memiliki ketentuan nasional yang mengatur drone melalui Rijksluchtvaartdienst (RLD) dan otoritas penerbangan sipilnya, tetapi sejak 1 Januari 2021, Belanda sepenuhnya mengikuti EU Regulation 2019/947 dan 2019/945, yang diberlakukan oleh European Union Aviation Safety Agency (EASA). Aturan ini mengklasifikasikan drone dalam tiga kategori risiko (open, specific, dan certified), serta menetapkan kewajiban pendaftaran, sertifikasi operator, dan prosedur evaluasi risiko berdasarkan skema yang dikenal sebagai SORA (Specific Operations Risk Assessment). Di sisi lain, Belanda juga secara aktif menerapkan regulasi perlindungan data pribadi berdasarkan General Data Protection Regulation (GDPR) yang diberlakukan sejak tahun 2018. GDPR menjadi landasan penting dalam mengatur bagaimana data hasil perekaman drone yang berisi identitas atau aktivitas seseorang harus diproses dan dilindungi agar tidak melanggar privasi warga negara. Belanda tidak hanya melihat drone sebagai alat terbang, tetapi juga sebagai potensi ancaman terhadap kebebasan sipil yang perlu diawasi dengan sistem hukum yang berimbang.

Perbandingan antara Indonesia dan Belanda menunjukkan adanya kesenjangan dalam hal orientasi regulasi. Di Indonesia, regulasi lebih menekankan pada aspek keselamatan penerbangan dan keamanan ruang udara, sementara di Belanda, mencakup aspek etika digital, perlindungan data pribadi, dan akuntabilitas hukum dalam penggunaan teknologi. Selain itu, lembaga pengawas seperti Autoriteit Persoonsgegevens (AP) di Belanda berperan aktif dalam memastikan penggunaan teknologi, termasuk drone, tidak melanggar hak-hak privat warga. Sebaliknya, Indonesia hingga kini belum memiliki lembaga pengawas perlindungan data pribadi yang independen dan kuat, meskipun Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) telah disahkan pada tahun 2022. Ketiadaan mekanisme penegakan yang kuat di Indonesia menjadi salah satu kendala utama dalam menjamin efektivitas perlindungan hukum terhadap privasi yang terancam oleh pemanfaatan teknologi seperti drone.[7]

Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1, perbandingan regulasi drone di Indonesia dan Belanda menunjukkan perbedaan dalam aspek penegakan hukum, budaya hukum, substansi, dan struktur hukum.

Aspek Indonesia Belanda Persamaan
Penegakan Hukum Lemah, belum ada sistem pelaporan terpadu, sanksi tidak spesifik terhadap pelanggaran privasi drone Tegas, GDPRmemberi kewenangan AP menjatuhkansanksi administratif besar; kolaborasi antarlembaga kuat Sama-sama membutuhkan koordinasiantarotoritas, tapiimplementasi lebih baik di Belanda.
Budaya Hukum (Kultur) Kepatuhan rendah, sosialisasi minim, literasi hukum drone rendah Kepatuhan tinggi, masyarakat aktif melaporkan, sistemremoteIDditerapkan. Sama-sama menghadapitantangan edukasipublik dalam adopsi awal regulasi.
SubstansiStruktur Hukum Fokus pada aspek teknis (zona larangan terbang, ketinggian, pendaftaran); belum eksplisit soal privasiBelum ada integrasi antara regulasi drone dan UU PDP; pengawasan tersebar (Kemenhub, TNI AU, Kominfo). Fokus pada keselamatanoperasional +perlindungan data pribadi (melalui GDPR).Terintegrasi antara EU Regulation 2019/947dan GDPR;pengawasandilakukan olehlembaga khusus (AP, ILT). Sama-samamengatur registrasi drone dan zona terbang terbatas.Keduanya memiliki otoritas penerbangan sipil sebagairegulator teknis

Tabel 1. Perbandingan Indonesia dan Belanda

Regulasi teknis dan substansi perlindungan privasi dalam pengoperasian drone mencerminkan bagaimana sebuah negara menyeimbangkan antara kemajuan teknologi dan perlindungan hak asasi warga negara, terutama hak atas privasi. Di Indonesia, Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 37 Tahun 2020 menjadi dasar hukum utama dalam pengendalian dan pengoperasian drone di ruang udara nasional. Peraturan ini menekankan aspek keselamatan penerbangan dan keamanan ruang udara dengan menetapkan ketentuan teknis seperti ketinggian maksimal terbang, zona larangan udara, jarak horizontal dari objek vital, serta kewajiban pendaftaran dan perizinan bagi pengguna drone di atas berat tertentu. Secara struktural, regulasi ini masih bersifat administratif dan teknis, karena lebih berfokus pada tata cara penggunaan drone agar tidak membahayakan penerbangan umum dan fasilitas penting negara. Sayangnya, substansi perlindungan terhadap hak privasi belum menjadi perhatian utama dalam PM 37/2020. Tidak ditemukan klausul eksplisit yang mengatur larangan merekam individu tanpa izin, pengelolaan data hasil rekaman, maupun pertanggungjawaban hukum apabila terjadi pelanggaran privasi melalui penggunaan drone.[8]

Berbeda dengan Indonesia, Belanda sebagai bagian dari Uni Eropa telah mengatur operasional drone. Regulasi teknis diatur dalam EU Regulation 2019/947 yang diberlakukan oleh European Union Aviation Safety Agency (EASA). Regulasi ini mengkategorikan pengoperasian drone ke dalam tiga kelas risiko, yaitu open, specific, dan certified, masing-masing dengan syarat keamanan, kualifikasi operator, dan pengawasan yang berbeda. Selain itu, operator drone diwajibkan mengikuti pelatihan, mendaftarkan peralatan dan identitasnya secara daring, serta mematuhi batasan wilayah udara yang ditentukan otoritas nasional. Dalam praktiknya, regulasi ini memberikan kejelasan dan kerangka kerja standar di seluruh negara anggota Uni Eropa, termasuk Belanda, yang membuat penggunaan drone menjadi lebih terkendali dan terstruktur dari sisi teknis.

Kekuatan utama regulasi drone di Belanda bukan hanya aspek teknisnya, melainkan keterpaduannya dengan General Data Protection Regulation (GDPR), yang mulai berlaku di seluruh Uni Eropa sejak Mei 2018. GDPR menempatkan privasi sebagai hak dasar dan mengatur secara rinci bagaimana data pribadi, termasuk yang terekam melalui drone, harus diproses, disimpan, dan dilindungi. Jika sebuah drone digunakan untuk merekam aktivitas individu, operator wajib memastikan bahwa data tersebut dikumpulkan secara sah, dengan dasar hukum yang jelas seperti persetujuan (consent), kepentingan umum, atau kewajiban hukum. Drone yang dilengkapi kamera bukan sekadar perangkat teknis, tetapi diperlakukan sebagai alat pemroses data pribadi yang tunduk pada prinsip transparansi, minimalisasi data, dan akuntabilitas. GDPR juga memberikan hak kepada individu untuk mengakses,

memperbaiki, atau meminta penghapusan data yang dikumpulkan tentang mereka, serta menetapkan sanksi administratif yang tegas apabila terjadi pelanggaran, termasuk denda hingga jutaan Euro.[9]

Integrasi antara regulasi teknis (EU Regulation 2019/947) dan regulasi perlindungan data (GDPR) di Belanda menjadikan penggunaan drone tidak hanya aman dari sisi operasional, tetapi juga berkeadilan dari sisi perlindungan hak individu. Hal ini sangat kontras dengan kondisi di Indonesia yang belum memiliki mekanisme serupa meskipun telah memiliki Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). UU PDP sendiri masih dalam tahap awal implementasi dan belum secara teknis menyentuh penggunaan drone, serta belum terintegrasi dengan regulasi sektoral seperti PM 37/2020. Akibatnya, terdapat kekosongan hukum (legal gap) dalam menjawab pelanggaran privasi akibat pengoperasian drone, baik yang dilakukan oleh individu, lembaga, maupun pihak swasta.

Evaluasi terhadap efektivitas implementasi regulasi drone di Indonesia dan Belanda menunjukkan adanya perbedaan mencolok dalam hal tingkat kepatuhan masyarakat, mekanisme pengawasan, serta penegakan hukumnya. Di Indonesia, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap regulasi drone relatif rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain minimnya sosialisasi terhadap isi Peraturan Menteri Perhubungan PM 37 Tahun 2020, rendahnya literasi hukum teknologi di kalangan operator drone amatir, serta lemahnya kapasitas institusi pengawas. Banyak pengguna drone, khususnya kalangan kreatif dan hobiis, tidak mengetahui bahwa wilayah udara tertentu seperti area militer, kawasan strategis nasional, dan zona bandara termasuk dalam zona larangan terbang (no-fly zone). Bahkan, masih banyak pengguna yang tidak melakukan registrasi drone mereka, padahal ketentuan tersebut bersifat wajib jika berat drone melebihi ambang batas tertentu. Fenomena ini menunjukkan bahwa regulasi yang ada belum sepenuhnya membentuk kesadaran hukum di masyarakat.

Sebaliknya, di Belanda, tingkat kepatuhan masyarakat dan institusi terhadap regulasi drone tergolong tinggi. Hal ini tidak lepas dari sistem registrasi dan pelatihan daring yang terintegrasi dengan EASA Drone Portal, yang memungkinkan operator dengan mudah mendapatkan lisensi, memahami ketentuan zonasi, serta melaporkan aktivitas penerbangan. Selain itu, sistem identifikasi jarak jauh (remote ID) telah mulai diterapkan di beberapa wilayah yang memungkinkan otoritas dengan cepat melacak pemilik dan aktivitas drone secara real-time.Pendekatan yang berbasis transparansi dan keterlibatan publik menjadikan operator tidak hanya patuh karena kewajiban hukum, tetapi juga karena pemahaman atas risiko sosial dan hukum yang ditimbulkan jika drone disalahgunakan. Tingginya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengawas seperti AutoriteitPersoonsgegevens(otoritas perlindungan data pribadi) dan Inspectie Leefomgeving en Transport (pengawas transportasi dan lingkungan) juga berkontribusi terhadap keberhasilan implementasi regulasi drone secara menyeluruh.[10]

Dari sisi pengawasan dan penegakan hukum, Indonesia tidak terdapat lembaga khusus yang mengawasi pelaksanaan regulasi drone secara berkelanjutan. Fungsi pengawasan masih tersebar antara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, TNI AU (untuk wilayah pertahanan), serta Kominfo (jika terkait penyebaran konten). Ketidakterpaduan antar lembaga ini menyulitkan penanganan kasus pelanggaran privasi secara cepat dan efektif. Belum ada pula sistem pelaporan publik yang efektif untuk melaporkan pelanggaran penggunaan drone di ruang privat, yang membuat masyarakat sulit mendapatkan perlindungan hukum. Penegakan hukum dalam kasus drone sering kali tumpang tindih dengan ketentuan KUHP atau UU ITE, yang tidak dirancang khusus untuk mengatur teknologi pemantauan udara. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2, instrumen hukum yang mengatur penggunaan drone di Indonesia dan kaitannya dengan hak privasi memiliki fokus dan cakupan yang berbeda dibandingkan dengan Belanda.

In strumen Hukum Substansi Utama Kaita dengan Hak Privasi (Perspektif Hukum)
Peraturan Menteri Perhubungan No. 37 Tahun 2020 Mengatur teknispengoperasian drone (izin terbang, zona laranganudara, ketinggianmaksimal, registrasi) Tidak secara eksplisit melindungi privasi individu; fokus utamapada keselamatan penerbangan
Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan DataPribadi (UU PDP) Menjamin hak subjek data: mengetahui, mengakses, menghapus data pribadi yang diproses Belum terintegrasi denganregulasi drone; perlindungan hanya berlaku pada data yang diproses oleh sistem, bukanrekaman visual fisik langsung
Undang-Undang No. 1Tahun 2024 tentang Informasi danTransaksi Elektronik (ITE)Pasal 28G ayat (1) UUD 1945KUHP Pasal 167 Melarang distribusi konten pribadi tanpa izin,mengatur kejahatan digitalFokus pada keselamatanoperasional +perlindungan data pribadi (melalui GDPR).Mengatur laranganmemasuki pekarangan orang lain tanpa izin Dapat digunakan jika rekaman drone disebarluaskan tanpa izin, tapi tidak mengatur pengintaian atau pengambilan gambar tanpa sepengetahuanMenjadi dasar konstitusionalperlindungan privasi, tapi belum dijabarkan dalam undang-undang sektoral secara teknis terhadapteknologi drone.Dapat ditafsirkan sebagaipelanggaran privasi fisik jika drone masuk area pribadi, tapi belum ada pasal khusus untuk pelanggaran visual udara

Tabel 2. Instrumen Hukum Indonesia

Sebaliknya, Belanda memiliki struktur penegakan hukum yang relatif lebih mapan. Jika terdapat pelanggaran terhadap privasi individu akibat penggunaan drone, otoritas perlindungan data seperti Autoriteit Persoonsgegevens (AP) memiliki kewenangan menyelidiki, memberikan sanksi administratif, dan mengajukan pelanggaran ke pengadilan jika diperlukan. Selain itu, pengawasan dilakukan secara kolaboratif antara otoritas penerbangan, kepolisian, dan lembaga perlindungan konsumen. Pendekatan intersektoral ini memungkinkan respons hukum yang cepat dan terkoordinasi. Bahkan, dengan penerapan GDPR, setiap pelanggaran privasi, sekecil apa pun, dapat dikenakan denda signifikan yang efektif memberikan efek jera kepada pelaku.

Studi kasus yang terjadi di Indonesia mencerminkan lemahnya implementasi hukum terhadap penggunaan drone, khususnya dalam perlindungan hak privasi dan pengawasan wilayah sensitif. Misalnya, dalam kasus kontroversi penggunaan drone ilegal di langit Keraton Yogyakarta, sebuah drone dilaporkan terbang tanpa izin di atas kawasan Keraton yang merupakan kediaman Sultan sekaligus pusat budaya dan simbol kedaulatan adat. Tindakan tersebut tidak hanya mengganggu ketertiban ruang udara, tetapi juga berpotensi melanggar privasi keluarga Keraton dan nilai- nilai adat yang melekat pada wilayah tersebut. Meskipun insiden ini menimbulkan keresahan dan kritik dari berbagai pihak, tidak ada penindakan hukum yang tegas terhadap pelaku, baik berdasarkan hukum udara maupun perlindungan terhadap privasi dan kehormatan wilayah adat. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi yang ada seperti Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 37 Tahun 2020 belum cukup efektif dalam menjangkau persoalan yang bersifat sosial- kultural dan hak individu atas ruang privat. Ketiadaan mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang memadai menyebabkan potensi pelanggaran serupa dapat terulang tanpa konsekuensi yang jelas. Studi kasus ini menjadi bukti nyata perlunya penguatan sistem hukum di Indonesia agar sejalan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan perlindungan hak privat.[11]

Di sisi lain, Belanda menunjukkan pendekatan hukum dan kebijakan yang jauh lebih tegas dan terstruktur dalam merespons tantangan penggunaan drone, terutama yang berpotensi mengganggu keamanan dan privasi. Hal ini tercermin dalam keputusan pemerintah Belanda untuk mengakuisisi 22 unit sistem pertahanan udara Skyranger 30, yang secara khusus dirancang untuk menghadapi ancaman dari wahana udara tak berawak, termasuk drone sipil dan militer. Langkah ini bukan semata kebijakan pertahanan, tetapi juga mencerminkan keseriusan negara dalam mengantisipasi penyalahgunaan teknologi drone yang dapat mengancam wilayah strategis maupun ruang privat masyarakat. Sistem Skyranger dilengkapi dengan sensor canggih dan kemampuan intersepsi yang memungkinkan otoritas merespons secara cepat terhadap penerbangan ilegal atau membahayakan, sekaligus memperkuat kerangka hukum yang mendasarinya. Pendekatan seperti ini menegaskan bahwa perlindungan terhadap ruang udara dan privasi tidak hanya bergantung pada aturan normatif, tetapi juga pada kesiapan teknologi dan infrastruktur pengawasan yang terintegrasi.[12] Berbeda dengan Indonesia, yang dalam kasus drone di atas Keraton Yogyakarta tidak memiliki sistem deteksi dan penindakan yang memadai, Belanda justru menunjukkan keselarasan antara kebijakan, hukum, dan kesiapan operasional dalam mengelola risiko dari penggunaan drone secara menyeluruh. Perbandingan ini memperjelas bahwa perlindungan hak privasi dan ruang udara tidak dapat hanya mengandalkan regulasi pasif, melainkan perlu dilandasi oleh sistem hukum yang progresif dan didukung oleh teknologi pendukung yang memadai.

Indonesia Implikasi Yuridis dan Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Pelanggaran Privasi oleh Drone: Perbandingan Indonesia dan Belanda

Hak privasi merupakan bagian integral dari hak asasi manusia yang bersifat universal dalam setiap individu. UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal 28G ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda. Meskipun tidak secara langsung menyebut “privasi”, norma ini memberikan landasan konstitusional untuk mengakui hak atas kehidupan pribadi yang bebas dari gangguan pihak lain. Selain itu, hak privasi juga tercermin dalam beberapa undang-undang sektoral seperti UU No. 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data

Pribadi (UU PDP). Dalam UU PDP, hak privasi lebih difokuskan pada pengendalian dan pemrosesan data pribadi, termasuk hak untuk mengetahui, mengubah, menghapus, dan membatasi distribusi data. Konsep privasi sebagai kebebasan dari pengawasan atau pengintaian secara fisik seperti dalam konteks penggunaan drone masih belum tertuang secara eksplisit. Penegakan terhadap pelanggaran privasi pun masih mengandalkan pasal-pasal pidana umum seperti Pasal 167 KUHP tentang memasuki pekarangan tanpa izin, atau Pasal 27 dan 45 dalam UU ITE yang menyangkut penyebaran konten pribadi tanpa persetujuan.[13]

Sementara itu, di Belanda, konsep hak privasi diakui secara eksplisit sebagai bagian dari kerangka hak asasi manusia dan telah mendapatkan perlindungan hukum yang lebih kuat dan spesifik. Perlindungan ini secara normatif bersumber dari Pasal 10 Konstitusi Belanda (Grondwet) yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas penghormatan terhadap privasinya. Hak ini diperluas dan diperkuat oleh keberlakuan General Data Protection Regulation (GDPR) yang secara langsung mengikat Belanda sebagai negara anggota Uni Eropa. GDPR mendefinisikan data pribadi secara luas dan mengatur prinsip-prinsip pemrosesan data yang sah, termasuk lawful basis, purpose limitation, dan data minimization. Dalam konteks fisik, tindakan seperti perekaman visual melalui kamera drone yang dapat mengidentifikasi seseorang secara langsung atau tidak langsung juga dikategorikan sebagai bentuk pemrosesan data pribadi yang harus tunduk pada aturan hukum. Selain GDPR, Belanda juga menerapkan Dutch Telecommunications Act dan beberapa regulasi tambahan yang memperkuat pengawasan aktivitas digital terhadap individu. Hak privasi di Belanda tidak hanya dilindungi secara formal, tetapi juga secara substantif melalui keberadaan lembaga independen seperti Autoriteit Persoonsgegevens (AP), yang memiliki kewenangan untuk menerima pengaduan, menyelidiki pelanggaran, dan menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelanggar hak privasi.[14]

Secara prinsipil terdapat perbedaan antara Indonesia dan Belanda dalam memahami dan mengimplementasikan hak privasi dalam sistem hukumnya. Di Indonesia, perlindungan hak privasi masih tersebar dan bersifat sektoral, serta cenderung baru merespons isu data pribadi digital, bukan pengawasan fisik secara menyeluruh. Penegakannya pun masih lemah karena belum terbentuknya infrastruktur kelembagaan yang mandiri seperti otoritas perlindungan data. Sementara di Belanda, hak privasi telah menjadi bagian dari norma hukum yang matang dan memiliki kekuatan penegakan yang nyata, baik melalui jalur administratif, perdata, maupun pidana. Kerangka hukum Belanda tidak hanya menyasar penyalahgunaan data oleh korporasi besar, tetapi juga oleh individu, termasuk dalam konteks penggunaan drone oleh masyarakat umum.

Kemampuan drone untuk terbang pada ketinggian rendah, bermanuver di ruang sempit, serta dilengkapi dengan kamera beresolusi tinggi dan sensor canggih menjadikannya alat yang sangat efektif untuk pemantauan visual, namun sekaligus rentan disalahgunakan untuk melakukan pelanggaran hak privasi. Pelanggaran privasi yang ditimbulkan oleh drone dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis utama. Pertama, pengintaian atau pemantauan diam-diam tanpa sepengetahuan subjek.[15] Jenis pelanggaran ini terjadi ketika drone digunakan untuk mengikuti atau merekam aktivitas seseorang dari jarak jauh, baik di ruang publik maupun ruang privat seperti halaman rumah, balkon apartemen, atau bahkan jendela kamar. Karena drone dapat beroperasi dengan suara yang minim dan tidak mudah terdeteksi, korban biasanya tidak menyadari bahwa dirinya sedang diawasi, sehingga hak atas rasa aman dan kebebasan dari pengawasan terganggu.

Kedua, perekaman tanpa izin terhadap individu maupun properti pribadi, yang meliputi pengambilan gambar, video, atau suara tanpa adanya dasar hukum atau persetujuan dari pihak yang direkam. Di ruang privat, hal ini merupakan bentuk pelanggaran paling serius terhadap privasi, karena dapat mengungkap aktivitas personal yang bersifat intim atau sensitif. Bahkan di ruang publik, perekaman individu dalam kondisi atau situasi tertentu (misalnya saat sedang bersedih, mengalami kecelakaan, atau berada dalam posisi rentan lainnya) juga dapat dianggap melanggar privasi apabila digunakan atau disebarluaskan tanpa persetujuan.[16]

Ketiga, penyimpanan dan penyebaran data rekaman tanpa kontrol, yang terjadi ketika hasil tangkapan drone seperti foto atau video diunggah ke media sosial atau dibagikan ke pihak ketiga tanpa otorisasi. Dalam konteks ini, pelanggaran privasi bukan hanya terjadi pada tahap pengambilan data, tetapi juga pada tahap distribusi. Risiko ini semakin besar dengan adanya teknologi pengenalan wajah (facial recognition) yang dapat mengidentifikasi subjek rekaman dan menghubungkannya dengan identitas digital mereka, sehingga berdampak pada reputasi, keamanan pribadi, bahkan risiko doxing (penyebaran informasi pribadi secara publik dengan niat merugikan).

Keempat, pelanggaran terhadap zona larangan udara atau wilayah dengan perlindungan khusus, seperti gedung pemerintahan, fasilitas militer, tempat ibadah, sekolah, dan rumah sakit. Di wilayah ini, drone tidak hanya melanggar ketentuan keselamatan penerbangan, tetapi juga berpotensi melanggar privasi kolektif masyarakat. Misalnya, pengambilan gambar di rumah sakit dapat mengekspos kondisi pasien, aktivitas medis, atau situasi darurat yang semestinya dirahasiakan. Pelanggaran di area ini dapat berdampak pada hak publik atas kerahasiaan dan kenyamanan lingkungan.

Kelima, penggunaan drone untuk pemetaan atau pemrosesan data spasial secara ilegal, termasuk pembuatan peta digital, model tiga dimensi bangunan, atau pengambilan data strategis dari wilayah tertentu. Meskipun bentuk pelanggaran ini lebih bersifat teknis, implikasinya terhadap privasi dan keamanan sangat besar jika data tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, spionase, atau bahkan kejahatan terorganisir.

Secara keseluruhan, karakteristik utama pelanggaran privasi oleh drone adalah sifatnya yang tidak kentara namun sangat invasif. Berbeda dengan kamera pengawas tetap (CCTV) yang diketahui keberadaannya, drone bersifat dinamis dan bisa menyusup ke ruang privat tanpa jejak fisik yang jelas. Di negara-negara dengan regulasi yang lemah, seperti Indonesia, celah hukum ini sangat rawan dimanfaatkan baik oleh individu, perusahaan media, maupun pelaku kriminal. Sebaliknya, di negara seperti Belanda, pelanggaran-pelanggaran tersebut dikategorikan sebagai pemrosesan data pribadi ilegal yang dapat dikenakan sanksi berat berdasarkan ketentuan GDPR dan hukum nasional.[17]

Perlindungan hukum terhadap pelanggaran privasi akibat penggunaan drone dapat diberikan melalui tiga jalur utama dalam sistem hukum, yakni hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administratif. Di Indonesia, jalur pidana digunakan untuk menangani pelanggaran yang dianggap membahayakan ketertiban umum dan melanggar hak individu secara serius. Meskipun belum terdapat ketentuan pidana khusus terkait pelanggaran privasi oleh drone, penegakan hukum masih bergantung pada pasal-pasal umum seperti Pasal 167 KUHP tentang memasuki pekarangan tanpa izin, Pasal 310–311 KUHP tentang pencemaran nama baik, dan pasal dalam UU ITE, terutama Pasal 27 ayat

(3) terkait distribusi konten yang melanggar kesusilaan atau mencemarkan martabat seseorang. Pendekatan ini dinilai kurang memadai karena tidak spesifik terhadap teknologi drone dan tidak mencerminkan perkembangan ancaman privasi di era digital. Dalam konteks hukum perdata, seseorang yang merasa hak privasinya dilanggar dapat mengajukan gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), dengan tuntutan ganti rugi atau permintaan penghentian penyebaran data. Ada kendala terbesar terletak pada pembuktian unsur kesalahan, kerugian, dan hubungan kausal dalam praktik peradilan.[18]

Di sisi administratif, Indonesia baru memiliki dasar perlindungan melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), yang memberikan hak kepada subjek data untuk mengetahui, mengakses, memperbaiki, serta meminta penghapusan data yang dikumpulkan tanpa izin. Meski UU ini merupakan langkah maju, implementasinya masih terbatas karena belum terbentuknya lembaga pengawas independen sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang tersebut. Saat ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) masih berperan sebagai regulator sekaligus pengawas perlindungan data pribadi, namun posisinya sebagai lembaga eksekutif dinilai kurang ideal karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Selain itu, pengawasan penggunaan drone secara teknis berada di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, sehingga koordinasi lintas sektor masih menjadi kendala dalam memberikan perlindungan hukum yang efektif terhadap privasi.

Berbanding terbalik, sistem hukum di Belanda telah menetapkan bentuk perlindungan hukum privasi yang jauh lebih terstruktur melalui instrumen hukum pidana, perdata, dan administratif yang terintegrasi dengan General Data Protection Regulation (GDPR). Dalam hukum pidana, pelanggaran berat terhadap privasi seperti perekaman rahasia atau distribusi data pribadi tanpa izin dapat dikenakan sanksi pidana sesuai Dutch Criminal Code (Wetboek van Strafrecht), terutama dalam pasal yang mengatur tentang pelanggaran terhadap integritas pribadi. Secara perdata, individu yang dirugikan memiliki hak kuat untuk mengajukan gugatan terhadap operator drone berdasarkan prinsip data subject rights dalam GDPR, yang mencakup hak untuk tidak dipantau, hak atas penghapusan data (right to be forgotten), serta hak untuk mendapatkan kompensasi. Sementara dalam konteks hukum administratif, GDPR memungkinkan dikenakannya sanksi denda administratif hingga jutaan Euro terhadap pelaku pelanggaran, baik perorangan maupun badan hukum, tanpa harus melalui proses pengadilan pidana atau perdata.[19]

Lembaga yang berwenang dalam pengawasan perlindungan privasi di Belanda adalah AutoriteitPersoonsgegevens (AP), yaitu otoritas perlindungan data yang bersifat independen dan otonom. AP memiliki kewenangan untuk menerima pengaduan dari publik, melakukan investigasi, mengeluarkan peringatan atau instruksi, serta menjatuhkan sanksi administratif secara langsung terhadap pelanggaran privasi, termasuk yang disebabkan oleh drone. Keberadaan lembaga ini menjamin adanya pengawasan yang objektif, berorientasi pada perlindungan hak warga negara, dan tidak tunduk pada tekanan politis. Sebaliknya, ketiadaan lembaga pengawasan sejenis di Indonesia menyebabkan perlindungan hak privasi cenderung lemah dan tidak konsisten dalam pelaksanaannya.

Perbandingan sanksi dan penegakan hukum terhadap pelanggaran privasi oleh drone antara Indonesia dan Belanda memperlihatkan perbedaan mendasar, baik dalam cakupan aturan, instrumen penegakan, maupun efektivitas sanksi yang diberlakukan. Di Indonesia, pendekatan hukum terhadap pelanggaran privasi oleh drone masih bersifat fragmentaris dan mengandalkan instrumen hukum umum, terutama dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah diperbarui melalui UU No. 1 Tahun 2024, serta Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Dalam kerangka pidana, pelaku pelanggaran dapat dijerat melalui pasal penghinaan, pencemaran nama baik, atau pemerasan berbasis elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 27A dan 27B UU ITE. Namun demikian, karena belum ada pasal spesifik mengenai pelanggaran privasi berbasis drone, proses penegakannya kerap terkendala dalam pembuktian intensi (niat jahat) dan bukti materiil yang valid, sehingga efektivitas hukuman pidana masih dianggap rendah.

Sementara itu, dalam konteks perdata, pihak yang merasa dirugikan secara privat dapat mengajukan gugatan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum. Akan tetapi, dalam praktiknya, gugatan perdata di Indonesia menghadapi berbagai hambatan, seperti biaya litigasi yang tinggi, proses peradilan yang lambat, serta beban pembuktian yang berada sepenuhnya di pihak penggugat. Hal ini membuat mekanisme perdata kurang

efektif sebagai saluran keadilan, terutama dalam kasus pelanggaran privasi yang bersifat non-material seperti rasa tidak nyaman, ketakutan, atau gangguan psikologis akibat pengintaian melalui drone.[20]

Sebaliknya, di Belanda, pendekatan penegakan hukum terhadap pelanggaran privasi oleh drone dilakukan secara lebih sistematis dan berbasis integrasi antara instrumen pidana, perdata, dan administratif. Dalam konteks administratif, pelanggaran terhadap privasi yang melibatkan pemrosesan data pribadi secara ilegal termasuk perekaman atau distribusi visual individu tanpa dasar hukum yang sah dapat dikenakan sanksi berdasarkan General Data Protection Regulation (GDPR). GDPR memberikan otoritas kepada Autoriteit Persoonsgegevens (AP) untuk menjatuhkan sanksi administratif berupa denda yang signifikan, yang dapat mencapai 20 juta Euro atau 4% dari omzet tahunan global perusahaan, tergantung mana yang lebih tinggi. Efektivitas sanksi administratif ini terbukti tinggi karena tidak memerlukan proses pengadilan, serta memberikan efek jera kepada individu maupun badan hukum pelaku pelanggaran.

Dalam jalur perdata, warga negara Belanda memiliki hak yang kuat untuk mengajukan gugatan kompensasi jika privasinya dilanggar. Prinsip yang digunakan dalam GDPR adalah "compensation for non-material damage", sehingga kerugian yang bersifat psikologis atau emosional tetap dapat diklaim dan diakui secara sah oleh pengadilan. Jalur ini sangat inklusif karena tidak membatasi gugatan hanya pada kerugian ekonomi langsung. Di sisi pidana, pelanggaran serius yang mengandung unsur kesengajaan, seperti pengintaian terus-menerus atau penggunaan drone untuk mengancam atau memeras, dapat dikenakan pidana penjara berdasarkan hukum nasional Belanda. Penegakan hukum ini diperkuat dengan penggunaan teknologi pelacakan drone serta sistem pengawasan terpadu yang memungkinkan aparat hukum untuk mengidentifikasi pelanggar dengan cepat dan akurat.

Perbedaan yang paling menonjol antara kedua negara terletak pada kecepatan dan keberanian dalam menjatuhkan sanksi. Di Belanda, tidak jarang sanksi administratif dijatuhkan hanya beberapa minggu setelah investigasi dimulai, sedangkan di Indonesia, penyelesaian kasus serupa dapat memakan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun tanpa kejelasan hasil. Hal ini mencerminkan bahwa efektivitas bukan hanya soal keberadaan aturan, tetapi juga sejauh mana aturan tersebut dijalankan secara konsisten dan didukung oleh infrastruktur hukum yang kuat.

Berdasarkan analisis perbandingan antara Indonesia dan Belanda dalam hal regulasi, implementasi, dan perlindungan hukum terhadap privasi dari penggunaan drone, dapat disimpulkan bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam membentuk sistem hukum yang responsif terhadap kemajuan teknologi. Kelemahan utama terletak pada pendekatan regulatif yang masih bersifat teknis-administratif, belum terintegrasi dengan perlindungan hak privasi sebagai hak asasi manusia, serta minimnya efektivitas penegakan hukum akibat keterbatasan kelembagaan dan mekanisme pelaporan.

Sebagai langkah ke depan, Indonesia perlu mengadopsi beberapa praktik terbaik dari Belanda yang terbukti efektif dalam melindungi hak privasi masyarakat di tengah maraknya penggunaan drone dan teknologi digital lainnya. Pertama, diperlukan pembaruan regulasi sektoral khususnya PM Perhubungan No. 37 Tahun 2020 dengan menyisipkan pasal-pasal substantif yang secara eksplisit melarang perekaman, pengintaian, atau pemrosesan data visual tanpa dasar hukum yang sah, baik di ruang publik maupun privat. Hal ini penting untuk menghindari interpretasi hukum yang sempit dan memperluas cakupan perlindungan terhadap bentuk-bentuk pelanggaran privasi kontemporer. Kedua, integrasi regulasi drone dengan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) harus dilakukan secara sistematis. Artinya, setiap aktivitas drone yang berpotensi memproses data pribadi harus tunduk pada prinsip- prinsip pengolahan data yang sah, transparan, terbatas pada tujuan, serta memberikan hak kepada subjek data.

Mekanisme ini harus berlaku baik untuk operator individu maupun badan usaha, dan didukung oleh sanksi administratif yang proporsional terhadap pelanggaran.

Ketiga, Indonesia perlu segera membentuk lembaga otoritas perlindungan data yang independen, sebagaimana Autoriteit Persoonsgegevens di Belanda. Lembaga ini harus memiliki wewenang menyelidiki pengaduan masyarakat, melakukan audit kepatuhan, memberikan sanksi administratif, dan menerbitkan panduan etik terkait penggunaan drone yang berdampak pada privasi. Kelembagaan yang independen akan meningkatkan kepercayaan publik dan memperkuat ekosistem perlindungan data secara nasional.

Keempat, edukasi dan literasi hukum digital di kalangan pengguna drone juga harus ditingkatkan. Praktik di Belanda menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan tinggi bukan hanya akibat sanksi, tetapi juga karena adanya pemahaman sosial yang kuat mengenai etika privasi dan perlindungan data. Untuk itu, pemerintah Indonesia perlu menggandeng komunitas drone, institusi pendidikan, dan platform digital untuk menyebarluaskan panduan penggunaan drone yang etis dan sesuai hukum.

Kelima, dalam jangka panjang, Indonesia disarankan untuk menyusun kode etik penggunaan drone, terutama di sektor-sektor seperti jurnalisme, keamanan, dan pariwisata. Kode etik ini perlu mengatur batasan moral dan hukum atas penggunaan drone agar sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan prinsip negara hukum. Selain itu, penting untuk mengembangkan sistem pelacakan identitas drone (remoteID) secara bertahap, sebagaimana diterapkan di Uni Eropa, guna memudahkan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran.

Dengan menerapkan rekomendasi-rekomendasi tersebut, diharapkan Indonesia dapat membangun sistem regulasi drone yang lebih adaptif, berkeadilan, dan berpihak pada perlindungan hak asasi manusia. Studi perbandingan dengan

Belanda memberikan gambaran bahwa perlindungan privasi bukanlah hambatan bagi kemajuan teknologi, melainkan fondasi penting untuk memastikan bahwa pemanfaatan teknologi berjalan secara etis, legal, dan bertanggung jawab.

Simpulan

Regulasi penggunaan drone di Indonesia saat ini belum mampu memberikan perlindungan hukum yang optimal terhadap hak privasi individu karena pendekatannya masih bersifat teknis-administratif, belum menyentuh aspek substantif mengenai privasi, serta minimnya efektivitas penegakan hukum akibat belum terintegrasinya regulasi drone dengan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Ketiadaan otoritas perlindungan data yang independen dan kurangnya literasi hukum di kalangan pengguna drone semakin memperburuk kondisi tersebut. Untuk menjawab tantangan ini, diperlukan pembaruan regulasi yang memasukkan ketentuan eksplisit mengenai larangan perekaman tanpa izin, pengawasan berbasis teknologi seperti remoteID, serta pembentukan lembaga pengawas data pribadi yang independen dan berwenang. Langkah-langkah ini penting agar perlindungan terhadap privasi di era digital dapat diwujudkan secara menyeluruh dan menjamin hak asasi setiap warga negara.

Ucapan Terima Kasih

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang dengan rahmat dan karunia-Nya telah mengantarkan penulis hingga pada tahap akhir perjalanan akademik ini. Dengan penuh kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada Universitas Muhammadiyah Sidoarjo yang telah menjadi rumah ilmu, tempat bertumbuh, dan ruang untuk mengasah diri, baik secara akademis maupun pribadi. Ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada seluruh dosen dan staf Fakultas Hukum yang dengan sabar membimbing, mendukung, dan menyalurkan ilmu yang tak ternilai. Semoga segala kebaikan yang telah diberikan menjadi ladang pahala yang terus mengalir. Dengan hati yang penuh rasa haru, penulis mempersembahkan rasa terima kasih setinggi- tingginya kepada Abah, Bunda, dan Mas Ramadhan (calon suami penulis) tercinta—sumber kekuatan, doa, kasih sayang, serta dukungan moril maupun materiil yang tak pernah surut. Dari setiap tetes keringat, doa yang terpanjat di sepertiga malam, hingga pengorbanan yang tak terhitung, semua menjadi cahaya yang menerangi langkah penulis. Semoga Allah SWT senantiasa menjaga kesehatan, melimpahkan keberkahan, dan menghadirkan kebahagiaan bagi Abah, Bunda, Mas Ramadhan, serta adik-adik tersayang. Tak lupa, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada seluruh sahabat dan rekan seperjuangan, khususnya teman-teman Program Studi Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, yang telah mewarnai perjalanan ini dengan tawa, semangat, dan persahabatan. Terima kasih atas diskusi yang membangun, tangan yang selalu terulur saat dibutuhkan, serta kebersamaan yang akan selalu menjadi kenangan indah. Semoga ikatan ini tetap terjalin dan menguat, bukan hanya di bangku kuliah, tetapi hingga langkah kita menapak ke masa depan.

Referensi

Terorisme: Tinjauan pada Regulasi dan Prosedur Tetap Pengamanan,” Nakh.J.I.P., vol. 20, no. 1, pp. 43–58, Jun. 2021, doi: 10.35967/njip.v20i1.148.

no. 6.

doi: 10.30869/jtech.v11i2.1186.

Teknologi Penerbangan Drone untuk Fotografi,” JPKM, vol. 5, no. 01, pp. 39–45, Mar. 2024, doi: 10.54147/jpkm.v5i01.1046.

(Perspektif Wartawan Televisi Terhadap Etika Peliputan Menggunakan Drone),”

JMISHUMSEN, vol. 3, no. 1, pp. 54–60, Oct. 2019, doi: 10.24912/jmishumsen.v3i1.3531.

(DRONE) MELALUI UNDANG-UNDANG,” ILR, vol. 1, no. 2, pp. 103–120, Jun. 2021,

doi: 10.52249/ilr.v1i2.26.

  1. M. Z. Firmansyah and P. Puspitasari, “Pemanfaatan Drone sebagai Bagian dari Kontra
  2. M. G. Nainggolan and D. N. Karamoy, “Pengoperasian Pesawat Tanpa Awak (Drone) di Ruang Udara Indonesia Ditinjau Dari Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 20201 Oleh: Sri Gita2,”
  3. J. Nelson and T. Gorichanaz, “Trust As An Ethical Value In Emerging Technology Governance: The Case Of Drone Regulation,” Technology in Society, vol. 59, p. 101131, Nov. 2019, doi: 10.1016/j.techsoc.2019.04.007.
  4. R. E. Respati and I. Irwansyah, “‘Smart Flight’ sebagai Bentuk Pelatihan Pilot Drone oleh Pasukan Drone Bogor Indonesia,” J.Komunikasi, vol. 14, no. 1, pp. 1–14, May 2020, doi: 10.21107/ilkom.v14i1.5503.
  5. E. Rengganis and H. Agustian, “Pengenalan Dunia Dirgantara Melalui Edukasi Regulasi Penggunaan Drone Untuk Videografi Di SMA Muhammadiyah I Karanganyar”.
  6. A. Nina, “Efektifitas Drone Sebagai Media Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan Kesehatan Tanaman,” JTech, vol. 11, no. 2, pp. 50–55, Oct. 2023,
  7. M. Pratiwi P, E. Rosnawati, M. T. Multazam, and N. F. Mediawati, “Personal Data Collection: Recent Developments in Indonesia,” KSS, Aug. 2022, doi: 10.18502/kss.v7i12.11503.
  8. M. A. Ramadhan and R. Fikri, “Penggunaan Drone Dalam Kejahatan: Tinjauan Terhadap Penggunaan Teknologi Uav Untuk Pencurian Data Dan Serangan Fisik,” vol. 2, no. 6, 2024.
  9. L. P. C. Darmayanti, “Pengaturan Pengoperasian Kapal Udara Tanpa Awak (Drone) Di Wilayah Negara Indonesia,” vol. 11, no. 2.
  10. G. Gamin, “Implementasi Kebijakan Penggunaan Drone Pada Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan,” j.analisis.kebijak.kehutan., vol. 18, no. 2, pp. 125–143, Nov. 2021, doi: 10.20886/jakk.2021.18.2.125-143.
  11. E. Rosnawati and M. T. Multazam, “Buku Ajar Hukum Lingkungan”, UMSIDA PRESS Jl. Mojopahit 666 B Sidoarjo ISBN: 978-623-464-035-9
  12. “BPN-Juknis-UAV-Tahun-2017, Direktorat Jenderal Infrastruktur Keagrariaan Kementerian Agraria Dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional, Nomor : 02 /JUKNIS-300/2017 Tanggal : 21 Juni 2017
  13. D. F. E. Putri and L. Y. Prakoso, “Peran Teknologi Drone Dalam Meningkatkan Pertahanan Keamanan Laut Di Indonesia,” vol. 22, 2024.
  14. R. A. Widagdo, D. W. Widodo, A. Noorwahyu, and G. Aviantara, “Pengenalan
  15. M. G. Yoedtadi, “Penggunaan Drone Pada Peliputan Berita Televisi
  16. “Penggunaan Teknologi Drone dalam Monitoring dan Pengelolaan Lahan Pertanian.pdf.”
  17. M. Al Huda, “PENGUATAN PENGATURAN PESAWAT UDARA TANPA AWAK
  18. E. Rengganis and H. Agustian, “Pengenalan dunia dirgantara melalui edukasi regulasi penggunaan drone untuk videografi di SMA Muhammadiyah I Karanganyar”.
  19. S. D. Panjaitan, Y. S. K. Dewi, M. I. Hendri, R. A. Wicaksono, and H. Priyatman, “A Drone Technology Implementation Approach to Conventional Paddy Fields Application,” IEEE Access, vol. 10, pp. 120650–120658, 2022, doi: 10.1109/ACCESS.2022.3221188.
  20. B. J. Silalahi, F. T. H. Feryandi, and P. Sidabutar, “Pemanfaatan Teknologi Citra Satelit dan Drone untuk Pengelolaan Pertanahan di Wilayah Perbatasan Indonesia,” j. pertanah., vol. 11, no. 1, Jul. 2021, doi: 10.53686/jp.v11i1.12.

References

[1] A. Hastarini, “Keabsahan Perjanjian Kerja yang Dilakukan Anak di Bawah Umur,” Jurnal Wacana Hukum, vol. 25, no. 1, p. 19, May 2019, doi: 10.33061/1.jwh.2019.25.1.2953.

[2] B. Suyanto, “Perlindungan Sosial Bagi Anak-Anak Miskin di Perkotaan,” 2013, [Online]. Available: https://www.neliti.com/publications/604/perlindungan-sosial-bagi-anak-anak-miskin-di-perkotaan

[3] M. Sri Novita, “Penegakan Hukum Terhadap Maraknya Pekerja Anak di Bawah Umur Ditinjau dari UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,” Jurnal Ilmiah Hukum dan Keadilan, vol. 9, no. 1, pp. 13–23, Mar. 2022, doi: 10.59635/jihk.v9i1.177.

[4] B. Prihatminingtyas, Etika Bisnis: Suatu Pendekatan dan Aplikasinya Terhadap Stakeholders, CV. Irdh, 2019.

[5] D. Apriani and Z. Idris, “Relevansi Pengecualian Terhadap Pelaku Usaha Kecil Menurut Hukum Persaingan Usaha Indonesia di Era Globalisasi Ekonomi,” vol. 17, no. 4, 2020.

[6] H. Wulandari, “Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2020 Tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja,” vol. 7, 2021.

[7] F. R. Silvida, Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Master, 2018.

[8] N. Khotimah, D. Ana, and D. Setiawan, “Persepsi Anak Jalanan Terhadap Kebutuhan Belajar dan Bermain (Hak Anak) di Sekolah Kolong Langit Gunung Brintik Kota Semarang,” Wisdom: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, vol. 3, no. 1, pp. 74–101, Jun. 2022.

[9] A. Herniawati, “Metode Bermain: Upaya Mengembangkan Kemampuan Kognitif Anak di Era Kurikulum Merdeka,” Jurnal Intisabi, vol. 1, no. 1, pp. 10–18, Jul. 2023.

[10] W. Tan, “Pemenuhan Hak Pendidikan Anak Jalanan di Kota Batam: Tantangan Dalam Mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs),” Supremasi Hukum: Jurnal Penelitian Hukum, vol. 29, no. 1, pp. 46–59, Aug. 2020.

[11] R. Fitriani, “Peranan Penyelenggara Perlindungan Anak dalam Melindungi dan Memenuhi Hak-Hak Anak,” vol. 11, 2016.

[12] M. A. Ambara, I. M. Udiana, and I. N. Mudana, “Perlindungan Hukum Pekerja Anak Pada Usaha Asongan di Sayan Delodan Mengwi Badung,” 2016.

[13] M. A. B. Murti, “Kegiatan di Ruang Publik dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau: Studi Kasus Alun-Alun Kota Bogor,” Hierarchi: Jurnal Arsitektur dan Perkotaan, vol. 21, no. 1, 2024.

[14] K. N. Djati and S. B. Purwaningsih, “Akibat Hukum dari Tindakan Menyimpang dalam Perjanjian Pembiayaan Modal Usaha dengan Pelaku UMKM,” Jurnal Custodia Law, vol. 1, no. 3, p. 13, Jul. 2024.

[15] Buku Tata Kelola dan Perilaku Bisnis Stand Booth Container, 2020.

[16] E. W. Djuwitaningsih, “Manajemen Konflik Pemerintah Daerah terhadap Eksistensi Pedagang Kaki Lima di Kawasan Alun-Alun Kabupaten Ponorogo,” Jurnal Transformative, vol. 2, 2016.

[17] S. M. Juhro and M. M. Ridhwan, “Beberapa Perspektif Pembangunan Ekonomi Inklusif di Era New Normal,” 2021.

[18] L. Nursita and B. S. Edy P., “Pendidikan Pekerja Anak: Dampak Kemiskinan pada Pendidikan,” Jambura Economic Education Journal, vol. 4, no. 1, pp. 1–15, Jan. 2022.