Login
Section Education Accounting

Legal Protection of Hawker Children Working in MSMEs

Perlindungan Hukum bagi Anak-Anak Pedagang Kaki Lima yang Bekerja di Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UM
Vol. 20 No. 4 (2025): November:

Sri Budi Purwaningsih (1), Nabilla Angel Azzaroh (2)

(1) Program Studi Teknik Informatika, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia, Indonesia
(2) Program Studi Teknik Informatika, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia, Indonesia

Abstract:

Background: Child labor in Indonesia remains a complex social issue, especially within Micro, Small, and Medium Enterprises (MSMEs), where informal employment often overlooks children’s rights. Specific Background: Many hawker children in Sidoarjo Regency work without contracts, fair wages, or safety standards, violating labor law provisions. Knowledge Gap: Previous studies have discussed child labor broadly but have not specifically examined the enforcement of hawker children’s rights within MSME contexts through a legal lens. Aim: This study aims to analyze the legal protection and enforcement of hawker children’s rights under Indonesian labor law. Results: Findings show that child workers in MSMEs experience excessive working hours, sub-minimum wages, and lack of contracts or occupational safety measures, primarily due to low legal awareness among MSME owners and weak supervision. Novelty: The study uses a conceptual and statutory approach by linking MSME regulations with labor law principles. Implications: The research suggests the need for inclusive labor policies, consistent law enforcement, legal education for entrepreneurs, and empowerment programs ensuring children’s rights to education and welfare.


Highlights:
• Hawker children’s legal status in MSME labor relations
• Weak enforcement of child labor laws in informal sectors
• Policy recommendations for inclusive labor protection


Keywords: Child Labor, MSMEs, Legal Protection, Informal Sector, Indonesia

Downloads

Download data is not yet available.

Enforcement of the Rights of Hawk er Children as Employment in MSMEs from the Perspective of Employment Law

[ Penegakan Hak Anak Asongan Sebagai Ketenagakerjaan di UMKM Dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan ]

Nabilla Angel Azzaroh1), Sri Budi Purwaningsih*,2)

1)Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia

2) Program Studi Teknik Informatika, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia

*Email Penulis Korespondensi: sribudi@umsida.ac.id

Abstract . This study examines the enforcement of hawker children’s rights working in Micro, Small, and Medium Enterprises (MSMEs) from an employment law perspective. Using a conceptual and statutory approach, it analyzes legal protections for child laborers in the informal sector, focusing on working hours, wage adequacy, employment contracts, and education rights. Field findings in Sidoarjo Regency reveal violations of legal provisions, including excessive working hours, wages below the regional minimum, absence of contracts, and lack of occupational health and safety facilities. Key contributing factors are low legal awareness among MSME operators and weak government oversight. The study recommends reformulating inclusive labor policies, strict law enforcement, legal education for business actors, and family empowerment programs alongside access to education for child workers.

Keywords - Hawker children ; MSMEs ; labor law

Abstrak . Penelitian ini membahas penegakan hak anak asongan yang bekerja di sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam perspektif hukum ketenagakerjaan. Menggunakan pendekatan konseptual dan perundang-undangan, penelitian ini menganalisis perlindungan hukum bagi pekerja anak di sektor informal, khususnya terkait jam kerja, kelayakan upah, kontrak kerja, dan hak pendidikan. Hasil temuan lapangan di Kabupaten Sidoarjo menunjukkan adanya pelanggaran terhadap ketentuan hukum, termasuk jam kerja melebihi batas, upah di bawah UMK, ketiadaan kontrak kerja, serta minimnya fasilitas K3. Faktor dominan meliputi rendahnya kesadaran hukum pelaku UMKM dan lemahnya pengawasan pemerintah. Penelitian ini merekomendasikan reformulasi kebijakan ketenagakerjaan yang inklusif, penegakan hukum tegas, edukasi hukum bagi pelaku usaha, serta program pemberdayaan keluarga dan akses pendidikan bagi anak pekerja.

Kata Kunci - Anak asongan ; UMKM ; hukum ketenagakerjaan

I. Pendahuluan

Fenomena keterlibatan anak dalam sektor informal seperti asongan merupakan realitas sosial yang tak bisa dihindari di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang belum merata. Anak-anak yang bekerja sebagai asongan umumnya berasal dari keluarga dengan tingkat pendapatan rendah dan memerlukan tambahan penghasilan. Keberadaan mereka di ruang public baik di terminal, pasar, kawasan wisata, hingga pinggir jalan menunjukkan bahwa kerja anak telah menjadi bagian dari kehidupan ekonomi masyarakat bawah. Meskipun sebagian pihak memandang hal tersebut sebagai bentuk kemandirian, dari sudut pandang hukum, keterlibatan anak dalam kegiatan ekonomi menimbulkan problematika serius, terutama ketika dihadapkan pada aspek perlindungan hukum dan hak anak sebagai subjek hukum.

Menurut keterangan pers dari Badan Kebijakan Fiskal, angka kemiskinan pada Maret 2023 sebesar 9,03%, artinya sebanyak 25,22 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Banyak dari keluarga miskin yang terpaksa bekerja berjam-jam setiap hari dan menanggung beban berat yang melampaui kemampuan dan keterbatasan mereka. Padahal, anak-anak tersebut memiliki hak untuk bermain dan mengenyam pendidikan semaksimal mungkin.1 Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa sekaligus modal sumberdaya manusia bagi pembangunan nasional.2 Bahwa anak merupakan komponen penting dalam pembangunan nasional yang harus dilindungi demi kemajuan bangsa dan negara. Oleh karena itu, orang tua, masyarakat, dan pemerintah berperan aktif dalam menegakkan, melindungi, dan mempertanggungjawabkan tugas yang dibebankan kepadanya. Dalam era modern ini, keberadaan anak sebagai tenaga kerja di sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sering kali menjadi topik perdebatan yang kompleks. Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan, anak di bawah usia 18 tahun dianggap sebagai anak yang harus dilindungi dari pekerjaan berat dan berbahaya.

Dalam konteks hukum ketenagakerjaan Indonesia, anak-anak yang bekerja semestinya memperoleh perlindungan hukum yang jelas dan tegas. Namun, dalam praktiknya, banyak anak yang bekerja di bawah pelaku usaha kecil atau UMKM tanpa ikatan kerja formal, tanpa perlindungan jaminan sosial, dan tanpa pengawasan negara yang memadai. Pekerja informal termasuk anak-anak merupakan kelompok rentan yang harus dilindungi oleh negara sebagai perwujudan dari hak konstitusional warga negara. Sayangnya, perlindungan terhadap anak pekerja di sektor informal seperti asongan belum menjadi perhatian utama dalam kebijakan ketenagakerjaan nasional.

Setelah melakukan pencarian terhadap beberapa penelitian terdahulu memiliki fokus yang berbeda-beda, Pertama penelitian yang dilakukan oleh Adrina Pungkasari (2023) dengan judul “Problematika Ketenagakerjaan Anak Di Indonesia dan Cara Menanggulanginya’’Kesimpulan dari penelitian ini bahwa pekerjaan anak di bawah umur merupakan pelanggaran serius terhadap hak anak yang disebabkan oleh faktor sosial-ekonomi dan memerlukan penegakan hukum, peningkatan pendidikan, serta kolaborasi semua pihak untuk menanggulanginya secara efektif. Kemudian penelitian terdahulu kedua ditulis oleh Maya Sri Novita (2022) dengan judul “Penegakan Hukum Terhadap Maraknya Pekerja Anak Dibawah Umur Ditinjau Dari UU NO 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak” Kesimpulan dari penelitian ini adalah maraknya pekerja anak di bawah umur disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial, budaya, dan lemahnya pengawasan, sehingga diperlukan penegakan hukum yang efektif dan perlindungan komprehensif agar hak-hak anak dapat terpenuhi sesuai amanat Undang-Undang Perlindungan Anak.3 Penelitian terdahulu ketiga ditulis oleh Kristiawan Putra Nugraha (2023) dengan judul “Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Pekerja Anak: Kajian Implementasi dan Tantangan dalam Konteks Undang-Undang Perlindungan Anak” Kesimpulan dari penelitian ini Kesimpulan dalam satu kalimat dari penelitian tersebut adalah penerapan prinsip restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana anak melalui diversi di Kabupaten Bekasi belum berjalan optimal karena masih minimnya pemahaman aparat penegak hukum dan kendala struktural dalam pelaksanaannya. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan memiliki kebaharuan (novelty) yang terletak pada pendekatan konseptual dalam melindungi hak-hak pekerja anak sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang usaha mikro kecil menengah UMKM yang dimanfaatkan sebagai kesempatan kerja atau yang lebih umum dikenal sebagai sektor informal. Kesenjangan (gap) yang akan diisi oleh penelitian ini adalah terkait penegakan hak anak asongan sebagai ketenagakerjaan di UMKM dalam perspektif hukum ketenagakerjaan.

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai salah satu tulang punggung ekonomi nasional seringkali menjadi ruang yang paling banyak melibatkan tenaga kerja informal, termasuk anak. Namun demikian, pelaku UMKM umumnya tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai etika bisnis dan peraturan ketenagakerjaan yang berlaku.4 Praktik bisnis yang etis seharusnya mencakup tanggung jawab terhadap tenaga kerja dan pihak yang berkepentingan, termasuk kelompok rentan seperti anak-anak. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak pelaku UMKM tidak menyadari bahwa mempekerjakan anak tanpa kontrak kerja formal dan tanpa jaminan perlindungan hukum dapat dikategorikan sebagai eksploitasi anak.

Situasi ini diperparah oleh lemahnya pengawasan dari pihak pemerintah terhadap praktik ketenagakerjaan informal. Bahwa perlindungan hukum dan pembinaan terhadap pelaku usaha kecil, seperti pedagang kaki lima dan pelaku UMKM, masih sangat minim sehingga membuka ruang besar terjadinya pelanggaran hak-hak pekerja, terutama pekerja anak. Hal ini menunjukkan bahwa negara belum sepenuhnya hadir dalam memastikan hak anak terpenuhi dalam dunia kerja. Bahkan, tidak menutup kemungkinan pelaku usaha kecil kerap kali memperoleh pengecualian terhadap berbagai regulasi sebagai bentuk dukungan ekonomi, tetapi pengecualian ini dapat berdampak negatif apabila tidak disertai mekanisme pengawasan dan perlindungan sosial yang memadai, khususnya bagi anak-anak yang bekerja.5

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana anak asongan dapat didudukkan sebagai subjek hukum dalam relasi kerja dengan pelaku UMKM. Dengan memahami hak-hak anak dalam hukum ketenagakerjaan serta bentuk relasi kerja yang terjadi di lapangan, negara dapat membangun mekanisme perlindungan yang lebih adaptif dan berkeadilan. Hal ini juga sejalan dengan menekankan pentingnya pengembangan kompetensi kerja yang inklusif dan berkeadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk pekerja informal dan anak.6 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan bagi ilmu hukum, memperkaya literatur akademis terkait penegakan hak anak, dan memberikan pemahaman kepada pelaku UMKM mengenai kewajiban hukum terhadap pekerja informal, khususnya dalam konteks pedagang asongan di UMKM.

Rumusan Masalah

Apakah anak dapat didudukkan sebagai subjek hukum dalam ketenagakerjaan?

Pertanyaan Penelitian

  1. Apa saja hal yang perlu diperkuat untuk melindungi hak anak asongan dalam ketenagakerjaan?
  2. Apakah kontrak pekerja anak asongan mengikat?

Kategori SDGs: Sesuai ketentuan indikator Sustainable Development Goals (SDGs) ke-8 yaitu Decent Work and Economic Growth

II. Metode

Metode penelitian ini menggunakan kajian konseptual serta melalu pendekatan perundang-undangan (Statue approach) untuk mengkaji aspek hukum dan peraturan yang terkait dengan penegakan hak anak asongan sebagai ketenagakerjaan di UMKM dalam perspektif hukum ketenagakerjaan. Penulis akan menganalisis serta menyesuaikan dan mengidentifikasi dari pertauran-peraturan yang relevan tersebut untuk menjawab isu hukum penelitian. Adapun bahan hukum primer yang menjadi dasar penelitian yakni UU UMKM No.20 Tahun 2008, UU No.13 Tahun 2003, dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 2002, KUH Perdata, Konvensi ILO No. 138 dan No. 182 yang telah diratifikasi Indonesia, serta wawancara dengan pekerja anak di Sidoarjo. Selain itu juga menggunakan bahan hukum sekunder antara lain jurnal maupun lieratur yang relevan untuk mendukung analisis. Kemudian Analisa hukum yang digunakan yakni penalaran deduktif. Dengan demikian, analisis tersebut dapat digunakan untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

III. Hasil dan Pembahasan

  1. Hak-hak Anak Asongan Sebagai Pekerja UMKM Dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan

Anak merupakan individu yang secara hukum belum memiliki kecakapan penuh dalam melakukan tindakan hukum, termasuk dalam hal hubungan kerja. Dalam sistem hukum Indonesia, perlindungan terhadap anak sebagai subjek hukum telah ditegaskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa anak hanya dapat bekerja dalam pekerjaan ringan yang tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, dan sosialnya, serta hanya boleh dilakukan oleh anak berusia minimal 13 tahun dan maksimal 15 tahun dengan jam kerja terbatas. Ketentuan ini menegaskan posisi anak sebagai subjek hukum khusus yang memerlukan perlindungan maksimal. Namun dalam praktiknya, terutama di sektor informal seperti pekerjaan asongan, ketentuan ini sering kali diabaikan karena hubungan kerja yang terbentuk cenderung tidak berbasis hukum formal dan tidak dicatat secara administratif.

Dalam perspektif hukum perdata, anak dikategorikan sebagai pihak yang belum cakap hukum sehingga tidak memiliki kewenangan untuk membuat perjanjian secara sah. Oleh karena itu, keterlibatan anak dalam suatu hubungan kerja yang mengandung unsur kontraktual, seperti perjanjian kerja, haruslah mendapatkan persetujuan dari wali atau orang tua, dan dilakukan di bawah pengawasan negara. Dalam hal ini, negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk memastikan bahwa setiap bentuk pekerjaan yang melibatkan anak tidak melanggar hak-hak dasar mereka. Bahwa pekerja informal termasuk anak-anak memiliki hak konstitusional untuk memperoleh perlindungan negara dalam bentuk perlindungan hukum yang adil, seimbang, dan inklusif, sebuah pandangan yang menunjukkan pentingnya kehadiran negara dalam menjamin keadilan hukum bagi anak pekerja informal.

Lebih lanjut, realitas sosial menunjukkan bahwa keterlibatan anak dalam pekerjaan, termasuk sebagai asongan, sering kali dilatarbelakangi oleh tekanan ekonomi keluarga. Dalam kondisi demikian, pekerjaan dilakukan bukan atas dasar pilihan bebas anak, melainkan sebagai upaya bertahan hidup keluarga. Bahwa kontribusi pekerja anak sangat besar terhadap ekonomi rumah tangga, namun mereka mengorbankan hak-hak dasar seperti pendidikan, istirahat, dan kesehatan.7 Hal ini menandakan meskipun anak bekerja, status dan kebutuhan mereka sebagai anak tetap harus diutamakan. Oleh karena itu, melihat anak sebagai subjek hukum dalam ketenagakerjaan harus dilakukan dengan pendekatan yang tidak semata-mata legalistik, tetapi juga memperhatikan aspek sosiologis, ekonomi, dan hak asasi manusia.

Dalam setiap tahap kehidupannya, anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Kabupaten Layak Anak mengatur tentang upaya sistematis dan berkelanjutan dalam mewujudkan Kabupaten Sidoarjo sebagai wilayah yang ramah anak melalui perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi pembangunan berbasis hak anak. Perda ini bertujuan untuk menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, dunia usaha, media, serta pemerintah daerah secara terpadu. Berdasarkan prinsip non-diskriminasi kepentingan terbaik bagi anak berhak untuk hidup dan berkembang.8 Sebagai contoh seseorang anak yang bekerja sebagai pramusaji di sebuah bisnis catering. Meskipun mereka terkadang bekerja secara freelance, mereka berhak atas penggunaan perjanjian kerja yang jelas dan efisian sehingga tidak mengganggu waktu Pendidikan serta memperhatikan aspek kesehatan dan perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, serta diskriminasi dalam bentuk apapun. Begitu juga dengan hak anak asongan mereka berhak untuk mendapatkan hak yang sama diantaranya:

  1. Hak bermain bahwa anak-anak berhak untuk memanfaatkan waktu mereka untuk mengekspresikan diri sesuai dengan minat dan bakat.9
  2. Hak Pendidikan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan hak dalam Pendidikan yang dapat ditempuh dengan sekolah.10
  3. Hak Perlindungan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan hak perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi (baik ekonomi maupun seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan serta perlakuan salah lainnya.11

Oleh karena itu, setiap anak semestinya mendapatkan lingkungan yang aman dan kondusif untuk tumbuh secara fisik, emosional, sosial, dan spiritual. Namun dalam kenyataannya, tidak semua anak mendapatkan perlindungan yang layak. Masih banyak anak di Indonesia yang terpaksa bekerja demi membantu ekonomi keluarga. Salah satu bentuk pekerjaan anak yang paling terlihat di ruang publik adalah anak sebagai pedagang asongan dengan cara menjajakan barang dagangan seperti makanan ringan, minuman, tisu, mainan, dan aksesori di tempat-tempat umum. Mereka biasanya bekerja secara berpindah-pindah, tanpa tempat usaha tetap, dan sering kali di lokasi yang berisiko tinggi seperti pinggir jalan, lampu merah, terminal, stasiun, atau tempat wisata.

Kondisi ini sangat memprihatinkan karena anak-anak tersebut seharusnya berada di lingkungan belajar atau bermain, bukan di jalanan mencari nafkah. Mereka bekerja dalam kondisi yang tidak aman, sering kali menghadapi cuaca buruk atau tekanan dari orang dewasa, dan bahkan potensi kekerasan atau eksploitasi. Banyak dari mereka yang harus mengorbankan pendidikan, waktu bermain, dan masa kanak-kanak mereka demi bertahan hidup. Padahal, pendidikan merupakan hak dasar dan modal penting bagi masa depan mereka. Keterlibatan anak dalam aktivitas ekonomi seperti berdagang asongan tidak bisa dilepaskan dari kondisi struktural yang kompleks, seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, rendahnya pendidikan orang tua, dan kurangnya pengawasan serta perlindungan dari negara. Oleh karena itu, diperlukan intervensi serius dari berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dunia pendidikan, hingga masyarakat luas untuk memastikan hak-hak anak dipenuhi.

Anak-anak bukan hanya subjek yang perlu dilindungi, tetapi juga aset bangsa yang harus dikembangkan potensinya. Mereka berhak untuk berpikir, berekspresi, dan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianutnya, dalam bimbingan orang tua dan lingkungan yang mendukung. Maka, tugas bersama kita adalah memastikan bahwa tidak ada lagi anak yang harus mengorbankan masa depannya hanya demi bertahan hidup di jalanan sebagai pedagang asongan. Negara dan masyarakat memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menciptakan lingkungan yang menjamin tumbuh kembang anak secara utuh demi terciptanya generasi masa depan yang sehat, cerdas, dan bermartabat.

Anak asongan merupakan bagian dari pekerja anak yang bekerja di sektor informal dan sering kali tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.12 Meskipun Indonesia telah memiliki berbagai peraturan yang melarang eksploitasi anak dalam dunia kerja, implementasi dan pengawasan terhadap pelanggaran masih tergolong lemah. Untuk itu, beberapa komponen hukum perlu diperkuat guna melindungi hak anak asongan secara lebih efektif. Pertama, diperlukan penguatan regulasi yang secara spesifik mengatur perlindungan anak di sektor informal. Selama ini, fokus perlindungan hukum lebih banyak tertuju pada sektor formal, sementara anak asongan bekerja di lingkungan informal yang tidak memiliki sistem ketenagakerjaan yang jelas. Regulasi ini perlu mencakup batasan jenis pekerjaan, jam kerja, dan kondisi kerja layak yang sesuai dengan usia dan kemampuan anak. Selain itu, pengusaha wajib menjaga keselamatan dan kesehatan anak, serta memastikan adanya hubungan kerja yang jelas, termasuk pembayaran upah sesuai ketentuan. Menurut Konvensi ILO, anak berusia 15 tahun ke atas dapat dipekerjakan, tetapi mereka tidak boleh terlibat dalam pekerjaan yang berisiko membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral mereka.

Oleh karenanya pengawasan dan penegakan hukum perlu ditingkatkan agar aturan yang sudah ada benar-benar bisa dijalankan. Saat ini, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Kedua undang-undang ini melarang anak-anak untuk bekerja dalam kondisi yang membahayakan keselamatan, kesehatan, atau mengganggu pendidikan mereka. Namun, di lapangan, pelanggaran masih sering terjadi. Banyak anak yang tetap bekerja di jalanan, termasuk menjadi pedagang asongan, tanpa ada tindakan dari pihak berwenang. Hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan dan kurangnya koordinasi antar lembaga. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih aktif melakukan pengawasan langsung, terutama di tempat-tempat yang sering menjadi lokasi anak bekerja, seperti terminal, pasar, atau lampu merah. Petugas dari Dinas Tenaga Kerja dan lembaga perlindungan anak perlu dilibatkan secara rutin untuk memantau dan menindaklanjuti setiap temuan. Selain itu, masyarakat juga perlu dilibatkan dalam pengawasan. Masyarakat bisa melaporkan jika melihat anak-anak bekerja di tempat yang berbahaya atau dieksploitasi. Pemerintah juga harus menyediakan layanan pengaduan yang mudah diakses oleh siapa saja. Jika pengawasan dilakukan secara serius dan menyeluruh, maka peluang anak untuk dieksploitasi bisa dikurangi. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku yang melibatkan anak dalam pekerjaan yang membahayakan juga penting agar ada efek jera. Dengan pengawasan dan penegakan hukum yang kuat, anak-anak akan lebih terlindungi dan bisa tumbuh dalam lingkungan yang lebih aman.

Demi memenuhi pelindungan hukum juga perlu mendorong adanya sistem perlindungan sosial dan program pemulihan bagi anak-anak yang sudah bekerja, terutama sebagai pedagang asongan. Melarang anak bekerja saja tidak cukup. Negara harus menyediakan bantuan nyata agar anak bisa kembali ke kehidupan yang layak. Misalnya, anak yang terpaksa berhenti sekolah karena bekerja, harus diberikan kesempatan untuk kembali belajar. Pemerintah bisa menyediakan beasiswa, pendidikan nonformal, atau program kesetaraan agar mereka tidak tertinggal jauh. Selain itu, anak-anak ini juga membutuhkan bantuan psikologis karena banyak di antara mereka yang mengalami tekanan, kelelahan, bahkan kekerasan saat bekerja. Konseling atau pendampingan sangat penting agar mereka bisa pulih secara mental dan emosional. Tidak kalah penting, keluarga anak juga perlu diberi dukungan, terutama jika mereka miskin. Bantuan berupa modal usaha kecil, pelatihan kerja bagi orang tua, atau bantuan sosial akan sangat membantu agar anak tidak perlu lagi turun ke jalan untuk mencari nafkah. Jika keluarga bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, anak bisa fokus pada pendidikan dan tumbuh kembangnya.

Anak-anak yang bekerja sebagai asongan di sektor informal sering kali tidak tercatat dalam sistem ketenagakerjaan formal, meskipun mereka melakukan pekerjaan yang bersifat rutin dan produktif. Dalam praktiknya, anak-anak ini terlibat dalam berbagai aktivitas ekonomi seperti menjajakan makanan, minuman, atau barang kecil di ruang publik yang terkadang merupakan bagian dari atau berkaitan langsung dengan aktivitas pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).13

Padahal, secara hukum, anak tidak boleh dipekerjakan secara bebas tanpa pengawasan dan ketentuan ketat. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 68 dengan jelas menyatakan bahwa anak hanya dapat bekerja dalam pekerjaan ringan yang tidak mengganggu kesehatan dan perkembangan. Penafsiran terhadap ketentuan ini secara tegas melarang pengusaha mempekerjakan anak, yang dalam hukum Indonesia merujuk pada individu yang berusia di bawah 18 tahun. Larangan ini merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap anak dari eksploitasi ekonomi yang dapat mengganggu pertumbuhan fisik, mental, sosial, dan pendidikan mereka. Namun, dalam konteks UMKM, peran anak cenderung tidak terikat oleh kontrak kerja atau pengawasan hukum apa pun. Adapun praktik tata kelola dalam UMKM seringkali dilakukan tanpa sistem dokumentasi atau pengawasan struktural yang memadai, sehingga tidak memperhatikan ketentuan ketenagakerjaan.

Pekerjaan yang dilakukan oleh anak dalam sektor ini tidak hanya melanggar hukum ketenagakerjaan, tetapi juga berpotensi menyalahi hak-hak anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak. Bahwa anak-anak yang bekerja di jalanan sering kali kehilangan hak dasar mereka seperti pendidikan, kesehatan, dan waktu untuk bermain. Hal ini menunjukkan ketimpangan serius antara norma hukum dan realitas sosial-ekonomi yang dihadapi oleh anak-anak pekerja di sektor informal.

  1. Perjanjian Kerja Antara Anak Asongan Dengan Pelaku UMKM

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki peran strategis dalam menggerakkan perekonomian nasional, terutama dalam menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran.14 Namun demikian, di balik kontribusi ekonominya, sektor UMKM juga menyimpan berbagai persoalan dalam aspek ketenagakerjaan, terutama terkait dengan ketidakformalan hubungan kerja. Banyak pelaku UMKM yang beroperasi tanpa memenuhi standar hukum ketenagakerjaan, seperti penyusunan perjanjian kerja, jaminan sosial tenaga kerja, serta sistem penggajian yang adil. Hal ini diperkuat bahwa pelaku usaha kecil sering mendapat pengecualian dari regulasi formal sebagai bentuk afirmasi ekonomi, namun pengecualian tersebut berpotensi melemahkan perlindungan terhadap pihak-pihak yang terlibat, termasuk pekerja anak.5

Perjanjian kerja merupakan elemen penting dalam hubungan kerja yang diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam konteks anak asongan yang bekerja di sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), perjanjian ini memiliki sejumlah aspek yang perlu diperhatikan untuk melindungi hak dan kewajiban kedua belah pihak. Dalam Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 mendefinisikan perjanjian kerja sebagai kesepakatan antara pekerja dan pengusaha yang mengatur syarat-syarat kerja. Penafsiran terhadap ketentuan ini anak asongan yang sering kali bekerja di sektor informal perlu diakui hak-haknya melalui perjanjian kerja formal. Hal ini penting untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan perlindungan hukum, baik dari segi upah, jam kerja, maupun kondisi kerja.

Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh Pasal 51 (1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis/lisan. Sedangkan dalam konteks pelaku umkm dimungkinkan menggunakan perjanjian kerja secara lisan, sehingga tidak dapat bukti yang kuat jika sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dari anak yang bekerja menjajakan dagangan umkm tersebut. Perjanjian kerja tersebut dibuat atas dasar:

  1. kesepakatan kedua belah pihak,
  2. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum,
  3. adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan
  4. pekerjaan yang diperjanjıkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku

(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan (3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan d batal demi hukum. Perjanjian kerja merupakan fondasi dari hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha, yang diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam konteks anak asongan yang bekerja di sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), perjanjian kerja memiliki peran krusial dalam melindungi hak-hak pekerja yang seringkali rentan terhadap eksploitasi.

Ketidakterikatan pelaku UMKM pada regulasi ketenagakerjaan formal berdampak langsung pada hubungan kerja yang terjalin antara mereka dan para pekerja, termasuk anak-anak asongan. Dalam banyak kasus, tidak ada kontrak tertulis yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak, sehingga posisi pekerja khususnya anak menjadi sangat lemah secara hukum. Adapun tata kelola bisnis kecil, seperti stand atau booth usaha, sering berjalan tanpa pencatatan formal dan pengawasan struktural, sehingga cenderung abai terhadap hak-hak tenaga kerja.15 Akibatnya, tidak sedikit anak asongan yang bekerja tanpa perlindungan hukum yang memadai dan rentan terhadap eksploitasi atau penyalahgunaan.

Salah satu poin penting dalam perjanjian kerja adalah mengenai upah. Sesuai dengan Pasal 88 UU No. 13 Tahun 2003, pengusaha wajib membayar upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk upah minimum. Penafsiran terhadap ketentuan ini bahwa pengusaha tidak boleh membayar di bawah standar yang ditetapkan pemerintah, dan upah pekerja harus cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya secara manusiawi. Ini bagian dari jaminan hak ekonomi dan sosial pekerja. Anak asongan, sebagai pekerja yang sering kali tergolong dalam kategori rentan, perlu mendapatkan upah yang layak, sesuai dengan ketentuan upah minimum yang ditetapkan. Hal ini tidak hanya melindungi anak asongan, tetapi juga menciptakan iklim usaha yang sehat dan berkeadilan.Selain upah, Pasal 76 UU yang sama mengatur tentang jam kerja. Penafsiran dari ketentuan ini mengatur secara khusus terhadap jam dan syarat kerja anak yang bertujuan untuk menyeimbangkan perlindungan anak dengan kebutuhan ekonomi, tanpa mengorbankan hak pendidikan, kesehatan, dan keselamatan mereka. Ketentuan ini juga mengedepankan pengawasan orang tua dan negara dalam mencegah eksploitasi anak di dunia kerja.

Dalam perjanjian kerja, sebaiknya dicantumkan jam kerja yang jelas, sehingga anak asongan tidak dieksploitasi dengan jam kerja yang berlebihan. Perlindungan terhadap hak anak asongan untuk tidak bekerja melebihi batas jam kerja yang wajar juga penting untuk menjaga kesehatan dan keselamatan mereka. Selanjutnya, dalam perjanjian kerja, perlu juga diatur mengenai hak cuti dan libur. Pasal 79 UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa pekerja berhak atas cuti tahunan. Penafsiran terhadap ketentuan ini merupakan bentuk perlindungan kesejahteraan pekerja dengan menjamin hak atas waktu istirahat dan cuti yang layak. Pengusaha wajib memenuhi ketentuan ini untuk memastikan pekerja tidak mengalami kelelahan berlebihan dan tetap memiliki waktu untuk pemulihan fisik maupun aktivitas pribadi. Hak ini merupakan bagian dari standar minimum ketenagakerjaan dan tidak boleh dikurangi oleh pengusaha.

Dalam perjanjian kerja, pelaku UMKM perlu mencantumkan klausul yang melarang segala bentuk diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, usia, atau latar belakang. Selanjutnya pelaku UMKM diharapkan untuk menyusun perjanjian kerja yang jelas dan transparan, serta menjelaskan isi perjanjian tersebut kepada anak asongan dengan bahasa yang mudah dipahami. Dengan cara ini, anak asongan dapat lebih memahami hak dan kewajiban mereka serta peraturan yang berlaku.

Perlindungan hukum terhadap anak yang bekerja khususnya di sektor informal seperti asongan, harus dilihat dari dua pendekatan penting yaitu pendekatan normatif (hukum positif) dan pendekatan etis (tanggung jawab sosial pelaku usaha). Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah memberikan batasan yang jelas mengenai syarat dan jenis pekerjaan yang diperbolehkan bagi anak. Namun dalam praktiknya, perlindungan hukum ini belum menyentuh realitas anak-anak yang bekerja secara informal di lingkungan UMKM. Adapun etika bisnis bukan hanya soal kepatuhan terhadap aturan, tetapi juga soal bagaimana pelaku usaha bertindak adil terhadap semua pemangku kepentingan, termasuk pekerja anak.4 Artinya, perlindungan tidak cukup hanya melalui regulasi, tetapi juga melalui kesadaran moral dan tanggung jawab sosial dari pelaku usaha.

Dalam banyak kasus, pelaku UMKM cenderung mengabaikan aspek perlindungan pekerja anak karena ketidaktahuan terhadap hukum atau keterbatasan modal. Hal ini menciptakan kondisi di mana anak-anak bekerja tanpa jaminan keselamatan, kesehatan, dan pendidikan yang layak. Bahkan, dalam konteks tertentu, eksistensi ekonomi rakyat sering kali diposisikan berhadapan dengan regulasi negara. Ketegangan antara eksistensi ekonomi rakyat dan regulasi sering kali mengorbankan pihak paling lemah seperti anak-anak yang bekerja.16 Oleh karena itu, pendekatan perlindungan hukum terhadap anak harus memperhatikan konteks sosial-ekonomi yang melatarbelakangi keberadaan mereka di dunia kerja informal.

Untuk mengatasi persoalan ini diperlukan kebijakan yang holistik, tidak hanya dari pemerintah tetapi juga dari lembaga negara dan sektor swasta. Pengembangan kompetensi kerja seharusnya menjangkau seluruh lapisan masyarakat secara inklusif, termasuk mereka yang bekerja secara informal.17 Sebagai bentuk upaya pencegahan terhadap eksploitasi anak. Edukasi keterampilan yang tepat dan pembinaan yang konsisten kepada pelaku UMKM diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran akan pentingnya perlindungan anak dalam dunia kerja. Selain itu, program kemitraan sosial oleh lembaga negara seperti BUMN juga harus diarahkan pada peningkatan tanggung jawab sosial UMKM. Adapun program sosial dan kemitraan dari lembaga negara seperti BUMN seharusnya diarahkan untuk mendukung pelaku UMKM agar memiliki kesadaran dan kapasitas dalam memenuhi kewajiban sosial terhadap pekerja, termasuk anak-anak.

Akhirnya, keberhasilan dalam melindungi pekerja anak di sektor informal sangat ditentukan oleh kuatnya penegakan hukum dan keberpihakan kebijakan publik terhadap kelompok rentan. Hukum harus ditegakkan secara adil dan konsisten, bukan hanya sebagai alat formal, tetapi sebagai wujud nyata dari keadilan sosial dan perlindungan hak asasi manusia.

Secara normatif, perjanjian kerja yang sah harus dilakukan antara dua pihak yang cakap hukum. Dalam hal ini, anak sebagai subjek hukum belum memenuhi syarat kecakapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Oleh karena itu, setiap hubungan kerja antara anak dan pelaku UMKM tanpa persetujuan orang tua/wali dan pengawasan negara merupakan bentuk ketidakabsahan hukum yang berpotensi melanggar hak anak.

Kerentanan pekerja informal terhadap ketidakpastian hukum dan perlindungan negara sangat tinggi, terutama bagi anak-anak yang belum cakap hukum secara formal.18 Dalam praktik UMKM, hubungan kerja dengan anak sering kali terjadi secara informal hanya berdasarkan kepercayaan atau kebutuhan ekonomi sesaat, tanpa perjanjian atau perlindungan.

Situasi ini diperparah oleh rendahnya kesadaran pelaku usaha tentang tanggung jawab sosial mereka. Dimana etika bisnis menuntut adanya kesadaran pelaku usaha terhadap keadilan dan perlindungan pihak lemah, termasuk pekerja anak.4 Namun, kenyataannya, UMKM cenderung lebih fokus pada efisiensi biaya tanpa mempertimbangkan dampak sosial terhadap pekerja rentan seperti anak-anak.

Melihat realitas yang ada, diperlukan adanya reformulasi kebijakan dan pendekatan baru terhadap isu pekerja anak dalam UMKM. Pemerintah harus memperkuat regulasi yang bersifat preventif dan represif dimulai dari pemerintah daerah maupun pemerintah provinsi untuk meningkatkan edukasi hukum bagi pelaku UMKM. Penegakan hukum yang lebih tegas juga dibutuhkan agar prinsip negara hukum tidak hanya menjadi slogan normatif.Bahwa penegakan hukum merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan negara hukum dan mencapai tujuan negara.3 Dalam konteks ini, pelanggaran terhadap hak anak dalam dunia kerja tidak bisa hanya diselesaikan melalui pendekatan sosial semata, tetapi harus melalui penindakan hukum dan pembinaan struktural yang berkesinambungan.Di sisi lain juga menekankan pentingnya pengembangan kompetensi kerja secara menyeluruh yang mencakup aspek inklusif dan perlindungan terhadap kelompok rentan terkait peraturan tentang pengembangan kompetensi kerja harus diarahkan untuk memastikan akses dan perlindungan terhadap seluruh lapisan pekerja, termasuk pekerja anak yang selama ini tersisih dari sistem formal.

  1. Temuan Lapangan Pekerja Anak UMKM di Kabupaten Sidoarjo

Setelah menguraikan ketentuan normatif terkait perlindungan pekerja anak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, penting untuk melihat realitas implementasinya di lapangan. Penelitian ini tidak hanya menelaah aspek yuridis secara konseptual, tetapi juga memotret kondisi aktual pekerja anak di sektor UMKM sebagai ilustrasi adanya kesenjangan antara hukum dan praktik.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis, diperoleh tiga narasumber pekerja anak yang bekerja di sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di wilayah Kabupaten Sidoarjo:

  • Silvia (18 tahun, perempuan) memiliki pendidikan terakhir SMP dan telah bekerja selama kurang lebih satu tahun sebagai penjaga stand makanan pisang crispy yang beralamat di desa Sambungrejo, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo. Ia bekerja rata-rata 6-8 jam per hari selama enam hari dalam seminggu dengan gaji sebesar Rp1.200.000-1.500.000 per bulan. Kesepakatan kerja dilakukan secara lisan tanpa kontrak tertulis, dan tidak mendapatkan tunjangan atau bonus tambahan.
  • Farkhatus (17 tahun, perempuan) memiliki pendidikan terakhir SMP dan telah bekerja selama delapan bulan sebagai penjaga kedai roti bakar yang beralamat di desa Kedungcangkring, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo. Jam kerja yang dijalani adalah 5-8 jam per hari selama enam hari dalam seminggu, dengan gaji sebesar Rp1.400.000 per bulan. Tidak ada kontrak kerja tertulis, dan ia tidak menerima fasilitas kesehatan atau keselamatan kerja.
  • Amanda (18 tahun, perempuan) memiliki pendidikan terakhir SMP dan telah bekerja selama satu tahun sebagai penjaga stand makanan dimsum yang beralamat di desa Larangan, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo. Ia bekerja rata-rata 5-6 jam per hari selama enam hari dalam seminggu dengan gaji sebesar Rp1.200.000 per bulan. Perjanjian kerja dilakukan secara lisan, tanpa jaminan sosial, tanpa mendapatkan tunjangan dan pelatihan keselamatan kerja.

Ketiga narasumber tersebut menunjukkan kesamaan pola kerja, yaitu jam kerja panjang dengan rata-rata (5-8 jam/hari) dengan gaji yang berada di bawah atau hanya sedikit di atas Upah Minimum Kabupaten (UMK) Sidoarjo. Tidak adanya kontrak kerja tertulis yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 51 UU Ketenagakerjaan yang mewajibkan perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan dengan persyaratan tertentu, demi melindungi hak pekerja. Dari aspek jam kerja, Pasal 68 jo. Pasal 69 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa pekerja anak hanya boleh melakukan pekerjaan ringan dengan jam kerja maksimal 3 jam per hari. Fakta bahwa para narasumber bekerja selama 5-8 jam per hari menunjukkan indikasi pelanggaran ketentuan tersebut.

Dari sisi kelayakan upah, ketiga narasumber menerima gaji di bawah ketentuan UMK Sidoarjo, sehingga bertentangan dengan Pasal 90 UU Ketenagakerjaan yang melarang pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Selain itu, ketiadaan fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan pelanggaran terhadap Pasal 86 UU Ketenagakerjaan. Dalam konteks hak anak ketiga narasumber juga berhak memperoleh kesempatan pendidikan sebagaimana diamanatkan Pasal 9 UU Perlindungan Anak, karena seluruhnya melakukan pekerjaan dengan jangka waktu yang lama, sehingga waktu untuk belajar kurang optimal.

Temuan ini memperlihatkan bahwa pekerja anak di sektor UMKM Kabupaten Sidoarjo berada dalam kondisi rentan dan tidak terlindungi secara hukum. Minimnya kesadaran pelaku UMKM mengenai kewajiban hukum dan lemahnya pengawasan dari pemerintah menjadi faktor dominan terjadinya pelanggaran ini. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan ketenagakerjaan yang inklusif dan adaptif terhadap realitas sektor informal, disertai penegakan hukum yang tegas, program pemberdayaan ekonomi keluarga, serta penyediaan akses pendidikan formal maupun nonformal bagi anak yang telah terlanjur bekerja.

Berdasarkan hasil wawancara dengan ketiga narasumber, terlihat jelas bahwa praktik ketenagakerjaan anak di sektor UMKM Kabupaten Sidoarjo belum sejalan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pelaku umkm belum dapat memenuhi hak dan ketentuan sebagaimana mencakup jam kerja, pemberian upah, kontrak kerja tertulis, dan tidak tersedianya fasilitas K3. Fakta ini memperkuat analisis bahwa perlindungan hukum bagi pekerja anak di sektor informal belum optimal. Oleh karena itu, data lapangan ini menjadi dasar penting untuk merumuskan rekomendasi kebijakan dan langkah penegakan hukum yang lebih efektif, sekaligus menegaskan urgensi keterlibatan pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat dalam memastikan terpenuhinya hak-hak pekerja anak. Berdasarkan hasil tersebut, berikut ini disajikan Tabel 1 yang memuat perbandingan kondisi kerja narasumber dengan ketentuan hukum.

Tabel 1. Perbandingan Kondisi Kerja Narasumber dengan Ketentuan Hukum

Aspek Ketentuan Hukum Silvia Fa rkhatus Amanda Analisis Kepatuhan
Usia Pekerja UU No. 13/2003 Pasal 68 jo. 69: Pekerja anak <18 tahun hanya untuk pekerjaan ringan dengan syarat tertentu 18 tahun 17 tahun 18 tahun Semua termasuk kategori pekerja anak, sehingga harus memenuhi syarat khusus pekerjaan ringan
Jam Kerja Maks. 3 jam/hari (pekerjaan ringan) 6-8 jam/hari 5-8jam/hari 5-6 jam/hari Melanggar Pasal 69 karena melebihi batas jam kerja
Kontrak Kerja Pasal 51: Wajib perjanjian kerja tertulis/lisan dengan persyaratan tertentu Lisan, tanpa kontrak formal Lisan, tanpa kontrak formal Lisan, tanpa kontrak formal Tidak memenuhi syarat perlindungan kerja
Upah Pasal 90: Tidak boleh di bawah UMK (UMK Sidoarjo 2025: ±Rp4.300.000) Rp1.200.000-1.500.000 Rp1.500.000 Rp1.200.000 Upah jauh di bawah UMK, melanggar Pasal 90
K3 (Keselamatan & Kesehatan Kerja) Pasal 86: Wajib melindungi K3 pekerja Tidak ada fasilitas K3 Tidak ada fasilitas K3 Tidak ada fasilitas K3 Tidak memenuhi ketentuan K3
Hak Pendidikan Pasal 9 UU Perlindungan Anak: Anak berhak atas pendidikan Masih Bersekolah Masih sekolah Masih sekolah Hak pendidikan tidak terpenuhi dikarenakan kurang nya waktu untuk belajar
Tunjangan/Bonus Tidak diatur wajib, namun bagian dari perlindungan kesejahteraan Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada dukungan kesejahteraan tambahan

Tabel ini memperlihatkan bahwa seluruh narasumber bekerja dalam kondisi yang bertentangan dengan beberapa ketentuan hukum, khususnya terkait jam kerja, kelayakan upah, perjanjian kerja, K3, dan hak pendidikan. Hal ini menunjukkan lemahnya perlindungan hukum bagi pekerja anak di sektor UMKM Kabupaten Sidoarjo, serta perlunya penegakan hukum yang lebih ketat dan kebijakan khusus untuk sektor informal.

Selain menggali informasi dari pekerja anak, penelitian ini juga melakukan wawancara dengan tiga pemilik UMKM di Kabupaten Sidoarjo untuk memperoleh gambaran mengenai sejauh mana kesadaran pelaku usaha terhadap perlindungan hak pekerja, khususnya pekerja anak. Hasil wawancara menunjukkan bahwa para pelaku UMKM pada umumnya memahami bahwa pekerja anak seharusnya mendapatkan perlindungan hukum, namun pemahaman mereka masih terbatas dan cenderung bersifat praktis sesuai kebutuhan usaha.

Pemilik UMKM pertama, yang bergerak di bidang penjualan makanan pisang dengan Nomor Induk Berusaha 1111220037xxx sudah terdaftar sebagai klasifikasi Usaha Mikro industri kue basah, menyatakan bahwa ia tidak keberatan menerima pekerja anak karena mereka dianggap rajin, tepat waktu, konsisten dan bersedia bekerja dengan upah yang relatif rendah. Menurutnya, selama anak tersebut tidak dipaksa dan diberi waktu istirahat yang cukup, hal itu sudah dianggap memenuhi perlindungan. Namun, ia mengakui tidak mengetahui secara detail aturan hukum tentang batasan usia maupun jam kerja anak.

Pemilik UMKM kedua, seorang pedagang makanan roti bakar dengan Nomor Induk Berusaha sebagai berikut 0507230190xxx sudah terdaftar sebagai klasifikasi Usaha Mikro kedai makanan, menyampaikan bahwa mempekerjakan anak dipandang sebagai bentuk bantuan kepada keluarga yang membutuhkan penghasilan tambahan. Ia berpendapat bahwa selama ada kesepakatan antara pemilik usaha, pekerja anak, dan orang tuanya, maka hubungan kerja tersebut sah secara moral. Ia juga menambahkan bahwa kondisi usaha kecil sulit memenuhi standar upah minimum atau memberikan fasilitas kesehatan, karena keterbatasan modal dan keuntungan.

Sementara itu, pemilik UMKM ketiga dengan Nomor Induk Berusaha 0711220043xxx sudah terdaftar sebagai klasifikasi Usaha Mikro kedai makanan yang menjalankan usaha makanan dimsum mengungkapkan bahwa ia berusaha lebih memperhatikan hak pekerja anak dengan memberikan jam kerja yang tidak terlalu panjang, kesempatan untuk tetap sekolah, serta bonus kecil pada waktu-waktu tertentu. Namun demikian, ia mengakui bahwa semua pengaturan itu dilakukan berdasarkan kebiasaan dan kesepakatan lisan, tanpa mengacu pada regulasi formal yang berlaku.

Berdasarkan klasifikasi usaha, ketiga pemilik UMKM yang diwawancarai masih tergolong dalam skala Usaha Mikro, karena jenis usahanya berupa kedai makanan kecil dengan omzet terbatas dan jumlah pekerja yang sedikit. Hal ini berimplikasi pada keterbatasan kemampuan finansial mereka dalam memberikan upah sesuai UMK maupun menyediakan fasilitas ketenagakerjaan secara optimal.

Setelah melakukan wawancara dengan ketiga pemilik UMKM tersebut, dapat disimpulkan bahwa meskipun usaha mereka telah memiliki legalitas berupa NIB, kesadaran dan pemahaman mereka terhadap kewajiban hukum dalam melindungi hak pekerja, khususnya pekerja anak, masih sangat minim. Para pemilik UMKM cenderung melihat pekerja anak dari sisi kebutuhan tenaga kerja dan kondisi ekonomi keluarga, bukan dari perspektif hukum yang mengatur hak anak. Perlindungan yang diberikan bersifat informal dan subyektif, sehingga tidak dapat menjamin terpenuhinya hak-hak dasar pekerja anak seperti upah layak, jam kerja sesuai aturan, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, maupun hak atas pendidikan. Hal ini memperkuat analisis bahwa lemahnya pengetahuan hukum dan keterbatasan sumber daya pelaku UMKM menjadi faktor utama terjadinya praktik ketenagakerjaan anak yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

VII. Simpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa anak asongan yang bekerja pada sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), khususnya yang masih berada pada skala mikro, berada dalam kondisi rentan karena hak-hak ketenagakerjaannya belum dapat dipenuhi secara optimal. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa keterbatasan modal dan minimnya pemahaman hukum dari pelaku UMKM menyebabkan pekerja anak hanya menerima upah jauh di bawah ketentuan, jam kerja yang melebihi batas, serta tanpa jaminan keselamatan maupun kontrak tertulis. Hal ini tidak semata-mata mencerminkan pelanggaran yang disengaja, tetapi lebih pada keterbatasan finansial dan pengetahuan pelaku usaha. Meski demikian, seiring berkembangnya omzet usaha di masa depan, sudah selayaknya peningkatan pendapatan juga diikuti dengan perbaikan upah serta perlindungan kerja bagi para pekerja. Dengan demikian, diperlukan kebijakan yang lebih inklusif, edukasi hukum, dan pembinaan yang berkelanjutan agar hak-hak dasar anak pekerja tetap dapat terjamin meskipun mereka berada di sektor informal. Terkait Perjanjian kerja yang terjalin antara anak dan pelaku UMKM pada umumnya tidak sah secara hukum, mengingat anak belum cakap hukum untuk membuat perikatan tanpa perwakilan yang sah. Kondisi ini dapat menimbulkan konsekuensi hukum, baik bagi pelaku usaha maupun bagi negara yang belum menghadirkan sistem pengawasan yang efektif. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih inklusif dan terintegrasi dengan sistem perlindungan anak, disertai peningkatan edukasi hukum bagi pelaku UMKM. Serta dibutuhkan support dari pemerintah yang sangat penting, tidak hanya sebatas penyusunan regulasi, tetapi juga melalui penegakan hukum yang konsisten melalui pembinaan, serta pemberdayaan sosial-ekonomi agar mampu memberikan hak pekerja anak secara lebih baik.

Ucapan Terima Kasih

Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, kesehatan, dan kemudahan yang diberikan, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penegakan Hak Anak Asongan sebagai Ketenagakerjaan di UMKM dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan” dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pelaku UMKM di Kabupaten Sidoarjo yang telah memberikan waktu dan berbagai informasi literatur lainnya yang diperlukan penulis selama proses pengerjaan berlangsung.

Referensi

References

[1] A. Hastarini, “Keabsahan Perjanjian Kerja yang Dilakukan Anak di Bawah Umur,” Jurnal Wacana Hukum, vol. 25, no. 1, p. 19, May 2019, doi: 10.33061/1.jwh.2019.25.1.2953.

[2] B. Suyanto, “Perlindungan Sosial Bagi Anak-Anak Miskin di Perkotaan,” 2013, [Online]. Available: https://www.neliti.com/publications/604/perlindungan-sosial-bagi-anak-anak-miskin-di-perkotaan

[3] M. Sri Novita, “Penegakan Hukum Terhadap Maraknya Pekerja Anak di Bawah Umur Ditinjau dari UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,” Jurnal Ilmiah Hukum dan Keadilan, vol. 9, no. 1, pp. 13–23, Mar. 2022, doi: 10.59635/jihk.v9i1.177.

[4] B. Prihatminingtyas, Etika Bisnis: Suatu Pendekatan dan Aplikasinya Terhadap Stakeholders, CV. Irdh, 2019, [Online]. Available: https://digilib.politeknik-pratama.ac.id/assets/dokumen/ebook/feb_5d7bc5a21f9327ecc2575ca288be62d2aaf6c6ca_1649647092.pdf

[5] D. Apriani and Z. Idris, “Relevansi Pengecualian Terhadap Pelaku Usaha Kecil Menurut Hukum Persaingan Usaha Indonesia di Era Globalisasi Ekonomi,” vol. 17, no. 4, 2020, [Online]. Available: https://repository.uir.ac.id/2852/

[6] H. Wulandari, “Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2020 Tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja,” vol. 7, 2021, [Online]. Available: https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/113551646/478234447-libre.pdf

[7] F. R. Silvida, Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Master, 2018, [Online]. Available: https://core.ac.uk/download/pdf/52893944

[8] N. Khotimah, D. Ana, and D. Setiawan, “Persepsi Anak Jalanan Terhadap Kebutuhan Belajar dan Bermain (Hak Anak) di Sekolah Kolong Langit Gunung Brintik Kota Semarang,” Wisdom: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, vol. 3, no. 1, pp. 74–101, Jun. 2022, doi: 10.21154/wisdom.v3i1.3606.

[9] A. Herniawati, “Metode Bermain: Upaya Mengembangkan Kemampuan Kognitif Anak di Era Kurikulum Merdeka,” Jurnal Intisabi, vol. 1, no. 1, pp. 10–18, Jul. 2023, doi: 10.61580/itsb.v1i1.2.

[10] W. Tan, “Pemenuhan Hak Pendidikan Anak Jalanan di Kota Batam: Tantangan dalam Mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs),” Supremasi Hukum: Jurnal Penelitian Hukum, vol. 29, no. 1, pp. 46–59, Aug. 2020, doi: 10.33369/jsh.29.1.46-59

[11] R. Fitriani, “Peranan Penyelenggara Perlindungan Anak dalam Melindungi dan Memenuhi Hak-Hak Anak,” vol. 11, 2016, [Online]. Available: https://ejurnalunsam.id/index.php/jhsk/article/view/42

[12] M. A. Ambara, I. M. Udiana, and I. N. Mudana, “Perlindungan Hukum Pekerja Anak pada Usaha Asongan di Sayan Delodan Mengwi Badung,” 2016, [Online]. Available: https://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=1332711

[13] M. A. B. Murti, “Kegiatan di Ruang Publik dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau: Studi Kasus Alun-Alun Kota Bogor,” Hierarchi: Jurnal Arsitektur dan Perkotaan, vol. 21, no. 1, 2024, [Online]. Available: https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/hierarchi/article/view/6040

[14] K. N. Djati and S. B. Purwaningsih, “Akibat Hukum dari Tindakan Menyimpang dalam Perjanjian Pembiayaan Modal Usaha dengan Pelaku UMKM,” Jurnal Custodia Law, vol. 1, no. 3, p. 13, Jul. 2024, doi: 10.47134/jcl.v1i3.3062.

[15] Buku Tata Kelola dan Perilaku Bisnis Stand Booth Container, 2020.

[16] E. W. Djuwitaningsih, “Manajemen Konflik Pemerintah Daerah terhadap Eksistensi Pedagang Kaki Lima di Kawasan Alun-Alun Kabupaten Ponorogo,” Jurnal Transformative, vol. 2, 2016, [Online]. Available: https://transformative.ub.ac.id/index.php/jtr/article/view/134

[17] S. M. Juhro and M. M. Ridhwan, “Beberapa Perspektif Pembangunan Ekonomi Inklusif di Era New Normal,” 2021, [Online]. Available: https://ideas.repec.org/p/pra/mprapa/115855.html

[18] L. Nursita and B. S. Edy P., “Pendidikan Pekerja Anak: Dampak Kemiskinan pada Pendidikan,” Jambura Economic Education Journal, vol. 4, no. 1, pp. 1–15, Jan. 2022, doi: 10.37479/jeej.v4i1.11894.