Login
Section Education Accounting

Administrative Violations: The Origin of Sidoarjo Regional Heads' Corruption Cases

Pelanggaran Administratif: Asal-Usul Kasus Korupsi Pejabat Daerah Sidoarjo
Vol. 20 No. 4 (2025): November:

Muhammad Rendy Rahadi (1), Rifqi Ridlo Phahlevy (2)

(1) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia, Indonesia
(2) Faculty of Law, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Abstract:

General Background Corruption is an extraordinary crime that continually threatens national stability and public trust in Indonesia. Specific Background This systemic threat is highlighted by the recurring corruption cases in Sidoarjo Regency, where three consecutive regional heads were implicated in a short period. Knowledge Gap Current literature lacks a focused, comparative analysis of these specific Sidoarjo cases through the specialized lens of State Administrative Law (HAN) to precisely identify the administrative roots of the crimes. Aims This study employs a normative juridical method with case and statutory approaches to trace the forms of administrative violations that precede and trigger criminal acts of corruption, and to analyze the preventive role of HAN. Results Findings confirm that all three regional heads committed violations in the aspects of authority, procedure, and policy substance, establishing acts of abuse of power and neglect of legal procedures as the core problem. Novelty This research offers a unique perspective by identifying a systemic pattern of administrative deficiencies spanning three successive administrations. Implications The results necessitate the urgent application of good governance principles and the substantial strengthening of the administrative supervision system to prevent future recurrences.


Highlights:




  • Systematic administrative abuse is the core cause of corruption involving three consecutive Sidoarjo regional heads.




  • Violations occurred in authority, procedure, and policy substance, transitioning to criminal acts.




  • Strengthening administrative supervision and good governance principles is critical for future prevention.




Keywords: Corruption, Regional Heads, State Administrative Law, Administrative Violations, Good Governance

Downloads

Download data is not yet available.

CorruptionbyRegionalHeadsinSidoarjofromthe Perspective of State Administrative Law

[Korupsi oleh Kepala Daerah di Sidoarjo dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara]

Muhammad Rendy Rahadi1), Rifqi Ridlo Phahlevy*2)

1)Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia

2)Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia

*Email Penulis Korespondensi: qq_levy@umsida.ac.id

Abstract . This study examines the corruption cases that ensnared three regional heads in Sidoarjo Regency, Win Hendarso, Saiful Illah, and Ahmad Muhdlor Ali, using the perspective of State Administrative Law. The main objective of this study is to trace the forms of administrative violations that trigger the emergence of criminal acts of corruption and to analyze the role of administrative law as a tool for prevention and law enforcement. Using the normative juridical method through a case study approach and a statutory regulatory approach, it was found that all regional heads committed violations in the aspects of authority, procedure, and policy substance, which then developed into criminal acts of corruption. This study confirms that acts of abuse of power, neglect of legal procedures, and deviations in public policy are the root of the problem. Therefore, the application of the principles of good governance and strengthening the administrative supervision system are very important to prevent the recurrence of similar corruption cases in the future.

Keywords C orruption; R egional H eads; S tate A dministrative L aw

Abstrak . Penelitian ini mengkaji kasus korupsi yang menjerat tiga kepala daerah di Kabupaten Sidoarjo Win Hendarso, Saiful Illah, dan Ahmad Muhdlor Ali dengan menggunakan sudut pandang Hukum Administrasi Negara. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menelusuri bentuk-bentuk pelanggaran administratif yang menjadi pemicu munculnya tindak pidana korupsi serta menganalisis peran hukum administrasi sebagai alat pencegahan dan penegakan hukum. Dengan metode yuridis normatif melalui pendekatan kasus dan pendekatan peraturan perundang- undangan, ditemukan bahwa seluruh kepala daerah tersebut melakukan pelanggaran dalam aspek kewenangan, prosedural, dan substansi kebijakan, yang kemudian berkembang menjadi tindak pidana korupsi. Penelitian ini menegaskan bahwa tindakan penyalahgunaan kekuasaan, pengabaian prosedur hukum, dan penyimpangan dalam kebijakan publik merupakan akar persoalan. Oleh sebab itu, penerapan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik serta penguatan sistem pengawasan administrasi menjadi hal yang sangat penting untuk mencegah terulangnya kasus-kasus korupsi serupa di masa depan.

Kata Kunci T indak P idana K orupsi; K epala D aerah; H ukum A dministrasi N egara

Pendahuluan

Di Negara Indonesia. Korupsi selalu mendapat perhatian lebih dari kejahatan lainnya di seluruh dunia. Mengingat efek negatifnya yang begitu besar, hal ini wajar. Setiap rakyat Indonesia yang ingin hidup damai dan merdeka menjadikan korupsi sebagai musuh bersama. Korupsi adalah masalah besar karena dapat mengancam stabilitas dan keamanan negara, kemajuan sosial ekonomi dan politik, dan prinsip dan etika demokrasi[1]. Jumlah korupsi di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Baik dari segi jumlah kasus, jumlah kerugian negara, maupun skala kejahatan, korupsi sudah merajalela di masyarakat. Kejahatan menyebar ke seluruh masyarakat dan menjadi lebih terorganisir. Mengingat kompleksitas masalah korupsi dan ancaman yang pasti akan muncul, korupsi dapat digolongkan sebagai masalah nasional dan perlu ditangani dengan keseriusan melalui tindakan yang tegas dan jelas dengan mempertimbangkan semua kemungkinan. khususnya lembaga negara dan penegak hukum[2].

Korupsi telah menjadi masalah yang besar dan keberlanjutan di Indonesia. Korupsi bisa saja mengakibatkan goyahnya kestabilan keuangan negara, merugikan keuangan negara, dan serta menghambat laju perekonomian di Indonesia. Korupsi tampaknya sudah menjadi budaya di Indonesia. Tidak hanya mengancam stabilitas politik, korupsi juga merusak kehidupan berbangsa dan bernegara. Gejala masyarakat yang sangat sulit untuk dihilangkan adalah korupsi. Korupsi telah terjadi hampir di semua negara dalam sejarah. Tak hanya "menjangkiti" pejabat publik yang menyalahgunakan otoritas mereka, korupsi sekarang menyebar ke individu[3].

Kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah di Sidoarjo. Membuktikan bahwa kejahatan ini bukan hanya merugikan secara finansial tetapi juga berdampak buruk pada tatanan politik dan sosial[4]. Korupsi telah masuk ke

berbagai aspek kehidupan masyarakat, melibatkan pejabat publik dan individu. Korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang berdampak merusak dan masih membutuhkan perhatian yang lebih besar.

Salah satu masalah besar yang masih dihadapi Indonesia adalah korupsi. Praktik ini merusak tatanan sosial, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan menghambat pembangunan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, Kabupaten Sidoarjo masih menghadapi masalah korupsi. Tiga bupati Sidoarjo telah terlibat dalam kasus korupsi dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir, menunjukkan masalah mendasar dalam tata kelola pemerintahan di kota tersebut.

Kasus Pertama ialah Win Hendrarso adalah Bupati Sidoarjo dari tahun 2000 hingga 2010. Win Hendrarso terlibat dalam kasus korupsi dana kas daerah yang menyebabkan kerugian miliaran rupiah bagi negara. Proses penggelapan dana alokasi khusus yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur di salah gunakan. Win akhirnya dinyatakan bersalah dan harus menjalani hukuman penjara. Ini adalah salah satu contoh nyata dari buruknya kinerja pengawasan dalam pengelolaan keuangan daerah.

Saiful Ilah, Bupati Sidoarjo dari tahun 2010 hingga 2021, adalah subjek kasus kedua. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Saiful Ilah pada tahun 2020 dan 2023. dalam operasi tangkap tangan (OTT). Ia terbukti menerima suap dari kontraktor terkait proyek-proyek infrastruktur di Sidoarjo. Uang yang disuap digunakan untuk kepentingan pribadi dan melibatkan banyak orang dalam jaringan pemerintahannya dan juga menerima gratifikasi. Vonis terhadap Saiful Ilah mengungkap praktik korupsi yang terorganisasi dan melibatkan jaringan yang luas.

Kasus terbaru adalah Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali, yang menjabat sejak 2021. Meskipun ia pernah dipandang sebagai pembawa perubahan, Ahmad Muhdlor Ali juga dikaitkan dengan dugaan korupsi. Aparat penegak hukum masih menyelidiki kasus ini karena tuduhan pemotongan dana Insentif ASN. Kasus ini menambah panjangnya daftar kepala daerah Sidoarjo yang bermasalah dengan hukum.

Fakta bahwa banyak kasus korupsi telah terjadi menunjukkan bahwa tata kelola pemerintahan dan integritas masih menjadi masalah utama di Kabupaten Sidoarjo. Selain itu, situasi ini menunjukkan bagaimana korupsi dapat menyebar di tingkat daerah bahkan setelah berbagai upaya telah dilakukan, termasuk oleh KPK. Untuk menghentikannya, diperlukan tindakan sistematis yang tidak hanya berfokus pada penindakan tetapi juga pada pencegahan dan peningkatan transparansi dan akuntabilitas di tingkat pemerintahan daerah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memeriksa perkembangan kasus korupsi di Sidoarjo, menemukan penyebab utamanya, dan memberikan saran praktis untuk mengatasi masalah tersebut.

Terkait penelitian tentang “Korupsi Kepala Daerah” ditemukan, penelitian yang ditulis oleh Moh. Djatmiko (2024) “Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Korupsi Oleh Kepala Daerah (Gubernur, Bupati / Walikota) Di Indonesia” hasil penelitiannya ialah penyebab-penyebab kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi[5]. Kemudian penelitian kedua ditulis oleh Fifink Praiseda Alviolita, Adiansyah Nurahman, dan Hartanto (2023) “Fenomena Kepala Daerah Berprestasi Kaitannya Dengan Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Kriminologi” hasil penelitiannya ialah mengetahui dan menganalisis fenomena ketidaksesuaian kepala daerah berprestasi kaitannya dengan tindak pidana korupsi dalam perspektif kriminologi [6].

Kemudian penelitian ketiga yang ditulis oleh Nursasi Ata (2022) “Praktik Ijon Politik Pada Kasus Korupsi Kepala Daerah; Study Kasus Korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan di Kabupaten Malang” hasil penelitiannya ialah Hubungan politik kekuasaan ini mendukung pembentukan hubungan korup yang berkelanjutan antara pengusaha dan elit politik untuk menghasilkan keuntungan melalui berbagai proyek pembangunan di Kabupaten Malang selama dua periode, yaitu 2010-2015 dan 2016-2021[7].

Perbedaan penelitian terdahulu dan penelitian yang akan saya bahas terkait studi tentang korupsi oleh Kepala Daerah di Sidoarjo dalam perspektif Hukum Administrasi Negara. Dilakukan dari jaman Win Hendarso, Saiful Illah, dan yang terakhir Ahmad Mudhlor Ali. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kasus tindak pidana korupsi oleh Kepala Daerah di Sidoarjo dalam perspektif Hukum Administrasi Negara. Urgensi dilakukan Penelitian ini karena adanya kebutuhan penelitian mengapa tiga bupati terakhir di Sidoarjo selalu terjerat kasus tindak pidana korupsi dan mengkaji bagaimana lemahnya aspek administrasi dapat membuka ruang terjadinya korupsi di pemerintahan daerah. Kemudian adanya isu bagaimana korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah di Sidoarjo yang diidentifikasi, diatur, dan diatasi dalam kerangka hukum administrasi negara.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan kasus (Case Approach) dan perundang- undangan (Statue Approach) dalam menganalisis norma-norma yang mengatur dan memengaruhi tindakan korupsi kepala daerah berdasarkan Hukum Administrasi Negara [8]. Pendekatan yang digunakan mencakup dua jenis, pertama kasus (Case Approach) yaitu putusan No. 01/PID.SUS/2012/PT.SBY, Putusan No. 40/PID.SUS-TPK/2020/PT.SBY, dan Putusan No. 70/PID.SUS-TPK/2023PN.SBY. Dan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dengan menggunakan bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 76 ayat (1) dan Pasal 78 ayat (2). Dan putusan pengadilan Nomor: 01/PID.SUS/2012/PT.SBY, Nomor: 40/PID.SUS-TPK/2020/PT.SBY, dan Nomor: 70/PID.SUS-TPK/2023/PN.SBY.

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan primer, berupa putusan pengadilan yang diperoleh dari laman resmi Mahkamah Agung RI, serta bahan sekunder berupa buku, jurnal, artikel, penelitian terdahulu, dan tulisan ilmiah yang relevan. Data dan bahan hukum ini diolah dengan mengkaji rumusan masalah dalam konteks undang-undang dan putusan pengadilan yang terkait. Jenis analisis yang digunakan adalah deduktif, yang berawal dengan penjabaran tentang hal-hal umum kemudian menjurus ke hal yang khusus. Dengan langkah-langkah mengidentifikasi teori, perumusan hipotesis, pengumpulan data, kemudian di analisis data tersebut, dan membuat kesimpulan.

  1. Hasil dan Pembahasan
  1. Syarat dan Dasar Pengenaan Tindak Pidana Korupsi Perspektif Hukum Administrasi
    • Syarat dan Dasar Pengenaan Tindak Pidana Korupsi

Pengenaan tindak pidana korupsi di Indonesia mempunyai syarat yang harus terpenuhinya unsur hukum yang bersifat formil dan materil. Salah satu syarat formil adalah subjek hukum yang melakukan perbuatan yang diatur dan diancam pidana oleh undang-undang, adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan akibat yang ditimbulkannya, dan pemenuhan prosedur hukum selama proses pengadilan. Syarat materiil, menekankan pada substansi perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, yang biasanya melibatkan penyalahgunaan kewenangan, jabatan, atau sarana yang tersedia oleh pelaku untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok yang melanggar hukum. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 membentuk dasar hukum untuk tindak pidana korupsi. Dalam undang-undang ini, berbagai bentuk korupsi, elemen delik, dan ancaman pidananya dijelaskan. Selain itu, beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terutama yang berkaitan dengan kejahatan jabatan, dapat digunakan sebagai dasar untuk mengkualifikasi perbuatan korupsi. Undang- Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), bersama dengan peraturan lain seperti Undang-Undang tentang Peradilan Tipikor dan berbagai peraturan pelaksana yang mengatur prosedur teknis penanganan perkara, mendukung penegakan hukum korupsi di tingkat kelembagaan [9].

Unsur-unsur dalam penerapan tindak pidana korupsi diatur dalam UU No 20 Tahun 2001. Unsur Subjektif mencakup adanya niat atau kesenjangan (mens rea) dari pelaku untuk melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara atau menyalahgunakan jabatannya, sebagaimana diatur dalam pasal 3 dan pasal 12 UU No 20 Tahun 2001. Dan pelaku juga harus berstatus sebagai pejabat negara atau pegawai negeri sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3. Untuk unsur objektifnya meliputi adanya tindakan melawan hukum, timbulnya kerugian terhadap keuangan atau perekonomian negara pasal 2 ayat (1), serta adanya tujuan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi pasal 3[10].

Seseorang atau kelompok dapat dianggap melakukan tindak pidana korupsi jika memenuhi syarat-syarat yang sudah dijelaskan pada UU No. 20 Tahun 2001, sebagai berikut: penyalahgunaan wewenang pasal 3, kerugian keuangan negara atau perekonomian negara pasal 2 ayat (1) yang jelas dibuktikan oleh lembaga pemeriksa yang berwenang sesuai pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara atau kesengajaan atau niat untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi pasal 35 KUHP Adanya dasar yang mengatur tentang Tindak Pidana korupsi di berbagai Undang-undang yang berlaku di Indonesia yakni berdasarkan Hukum Pidana dan Hukum Administrasi. Dalam hukum pidana meliputi UU No 20 Tahun 2001 dan KUHP [11].

Korupsi secara umum merupakan tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok untuk keuntungan pribadi atau kelompok tersebut. Dengan cara yang bertentangan dengan hukum, norma, dan etika yang berlaku sehingga secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dasar Hukum dalam pengenaan Tindak Pidana Korupsi dalam UU No 20 Tahun 2001 meliputi berbagai bentuk tindakan seperti:

Contohnya ialah memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum, bisa dikatakan melakukan tindak pidana korupsi karena memenuhi beberapa syarat yakni ada perbuatan melawan hukum, pelaku memperkaya dirinya, dan negara mengalami kerugian keuangan / perekonomian. Dasar hukumnya yakni (pasal 2) dan pasal (3) UU No. 20 tahun 2001

Contohnya ialah tindakan memberikan atau menerima hadiah atau janji terkait jabatan, termasuk dalam tindak pidana korupsi karena memenuhi syarat yakni adanya hadiah atau janji, ada hubugan dengan jabatan publik, dan bertujuan agar berbuat ataupun tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya. Dasar hukumnya terdapat pada (pasal 5), (pasal 6), (pasal 11), dan (pasal 12) UU No. 20 Tahun 2001

Contohnya yakni menyalahgunakan wewenang untuk menggelapkkan uang atau barang. Memenuhi syarat tindak pidana korupsi dikarenakan dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara, menguasai uang atau barang karena jabatan, dan uang atau barang tersebut tidak dipertanggungjawabkan. Diatur dalam (pasal 8) UU No. 20 tahun 2001

Contohnya ialah memaksa pihak lain memberikan sesuatu dengan cara mengancam atau menggunakan tittle jabatan. Syaratnya ialah ada penyalahgunaan dalam jabatan dan adanya pemaksaan maupun ancaman. Dasar hukumnya ialah (pasal 12 huruf e) UU No. 20 tahun 2001

Tindakan ikut serta dalam oengadaan yang berkepentingan secara langsung. Memenuhi syarat jika pejabat publik yang mempunyai wewenang atau kekuasaan terkait pengadaan dan adanya kepentingan pribadi maupun melibatkan keluarga. Dasar hukunya terdapat pada (pasal 12 huruf i) No. 20 Tahun 2001

Tindakannya ialah mendapatkan hadiah atau pemberian yang ada hubungannya dengan jabatan dalam pemerintahan. Syaratnya ialah gratifikasi bernilai Rp 10.000.000,00 atau lebih bisa dianggap suap kecuali dibuktikan sebaliknya dan jika tidak ada nya laporan ke kpk dalam kurung waktu 30 hari. Dasar hukumnya ada pada (pasal 12 b) UU No. 20 Tahun 2001

  1. Merugikan keuangan negara
  2. Suap
  3. Penggelapan dalam jabatan
  4. Pemerasan oleh pejabat publik
  5. Kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa
  6. Gratifikasi
  7. Percobaan, permufakatan jahat, dan pembantuan

Contohnya ialah belum terjadi korupsi, namun adanya niat maupun upaya. Syarat pengenaanya ialah ada dua orang atatu lebih, dan telah sepakat atau berusaha melakuan tindak pidana korupsi. Dasar hukumnya terdapat pada (pasal 15) UU No. 20 Tahun 2001[12].

Korupsi Dalam Perskpektif Hukum Administrasi Negara

Korupsi dalam sudut pandang Hukum Administrasi Negara diartikan sebagai penyalahgunaan kewenangan atau jabatan yang dilakukan pejabat publik maupun aparatur negara untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau pihak tertentu yang merugikan negara atau merugikan kepentingan umum. Korupsi sering dihubungkan dengan pelanggaran-pelanggaran pada prinsip good governance (transparansi, akuntabilitas, dan integritas). Tindakan korupsi dalam HAN mencakup penyalahgunaan wewenang, seperti penggunaan kekuasaan yang melampaui kewenangan atau melanggar hukum yaitu pelanggaran prosedur administrasi seperti pengeluaran anggaran tanpa dasar hukum dan penyimpangan dari prinsip administrasi yang baik, seperti efisiensi, efektifitas, dan pelayanan publik. Selain itu, korupsi juga didefinisikan sebagai keterlibatan pejabat dalam konflik kepentingan jika kepentingan pribadi memengaruhi kebijakan atau keputusan yang dibuat [13].

Korupsi, menurut Hukum Administrasi Negara (HAN), merupakan bentuk penyimpangan pemerintahan yang serius dan sah secara hukum. Penyalahgunaan wewenang (abuse of power) oleh pejabat administratif yang diberi kekuasaan oleh hukum kemudian menggunakannya untuk kepentingan pribadi, seperti memanipulasi proses perizinan, pengadaan barang dan jasa, atau pembagian anggaran, adalah sumber utama dari korupsi. Ini jelas melanggar prinsip kepatutan dan legalitas administrasi pemerintahan. Selain itu, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), yang terdiri dari asas transparansi (karena dilakukan secara tertutup), asas akuntabilitas (karena tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum ataupun publik), asas profesionalitas-efisiensi (karena merugikan negara dan masyarakat), dan asas keadilan (karena menciptakan ketimpangan layanan publik), semuanya melanggar korupsi. Korupsi dilakukan secara rahasia, sulit untuk di pertanggungjawabkan, merugikan negara dan masyarakat, dan menyebabkan ketimpangan dalam pelayanan publik[14].

Maladministrasi juga merupakan salah satu bentuk pelanggaran dalam ranah hukum yang terjadi di Hukum Administrasi Negara. Dalam perspektif Hukum Administrasi Negara (HAN), maladministrasi termasuk dalam kategori tindakan administrasi yang cacat hukum, karena dilakukan tanpa dasar hukum yang sah, tidak profesional, tidak akuntabel, atau tidak transparan. Tindakan tersebut menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efektif, merugikan kepentingan masyarakat, dan dapat mengancam legitimasi pemerintahan. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia mendefinisikan maladministrasi secara yuridis seperti perilaku atau perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, penggunaan wewenang untuk tujuan yang berbeda dari yang dimaksud, kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum, dan tindakan lainnya yang melanggar hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik[15].

Berdasarkan Konteks HAN, pejabat publik memiliki tanggung jawab administratif atas tindakan-tindakannya. Akibatnya, pejabat yang terbukti melakukan tindakan korupsi dapat menghadapi sanksi pidana menurut Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi serta sanksi administratif seperti pencopotan jabatan, pembatalan keputusan administratif, atau kewajiban untuk memulihkan kerugian negara. Selain itu, korupsi memiliki potensi untuk mencemari kebijakan publik, membuatnya tidak netral dan menyimpang dari tujuan utama untuk menguntungkan semua orang. Oleh karena itu, HAN menekankan pentingnya reformasi birokrasi yang menyeluruh untuk mencegah korupsi. Reformasi ini termasuk perbaikan sistem penerimaan karyawan negara, penerapan standar operasional

prosedur (SOP) yang ketat, pengawasan internal yang kuat, dan pembentukan lembaga pengawas yang independen. Pemerintahan yang bersih dan berwibawa dapat dibentuk dengan menggunakan metode administratif yang kuat dan berintegritas.

Jika dilihat dari perspektif hukum administrasi negara, korupsi dapat dilihat melalui berbagai doktrin hukum yang memberikan kerangka normatif untuk menilai apakah tindakan pejabat publik sah atau tidak. Untuk menjelaskan batasan kekuasaan administratif dan konsekuensi yuridis dari penyimpangannya, doktrin-doktrin seperti

Dalam hukum administrasi negara, doktrin utama adalah doktrin ultravires, yang mengacu pada tindakan pejabat yang dilakukan diluar batas kewenangan hukum yang diberikan kepada mereka. Dalam hal ini, membuat keputusan atau melaksanakan tindakan administratif tanpa dasar hukum dapat dianggap sebagai korupsi.

Doktrin ini menyatakan bahwa setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada dasar hukum yang jelas. Pelanggaran asas legalitas menunjukan kemungkinan kejahatan korupsi dan menunjukan bahwa tindakan tersebut tidak sah secara administratif.

Pejabat publik terkadang diberikan keleluasaan melalui diskresi administratif, wewenang untuk mengambil keputusan dalam situasi yang tidak diatur secara eksplisit oleh peraturan. Namun, diskresi ini tidak boleh digunakan secara sewenang-wenang, jika digunakan secara tidak sah untuk kepentingan diri sendiri atau pihak tertentu, maka diskresi tersebut berubah menjadi penyalahgunaan wewenang.

Korupsi dapat di definisikan sebagai tindakan pemerintah atau pejabat yang menyalahgunakan wewenang mereka dengan cara yag merugikan negara atau warga negara. Pejabat yang melakukan perbuatan koruptif dapat digugat secara administratif untuk pemulihan atau ganti rugi serta dijerat dengan hukum pidana dalam hal ini. Maka metode ini menunjukan bahwa, sebelum memasuki ranah penegakan hukum pidana, dalam mencegah dan menindaklanjuti korupsi, hukum administrasi negara memainkan peran penting.

  1. Ultra vires (tindakan di luar batas kewenangan hukum)
  2. Legaliteitsbeginsel (legalitas)
  3. Discretionary power (diskresi)
  4. Onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan melawan hukum oleh pemerintah)
  5. Vertrouwensbeginsel (asas perlindungan terhadap kepercayaan sah)

Doktrin ini menekankan bahwa setiap orang berhak untuk percaya bahwa pemerintah bertindak adil, transparan, dan sesuai dengan hukum. Jika pejabat publik melakukan tindakan korup yang melanggar kepercayaan ini, seperti menerima suap dalam proses perizinan atau manipulasi data administratif, tindakan tersebut tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai prinsip keadilan dan kepastian hukum dalam administrasi negara.

Doktrin-doktrin tersebut sangat penting. Metode ini memberikan pondasi untuk memahami bahwa banyak tindakan koruptif sebenarnya merupakan bentuk pelanggaran administratif yang sistematis yang melibatkan pergeseran atau penyalahgunaan kewenangan negara[16].

Tindak pidana korupsi pada umunya disebabkan oleh penyalahgunaan wewenang, bukan sewenang-wenang. Jika pejabat administrasi negara menggunakan wewenang mereka dengan cara yang tidak sesuai dengan undang-undang yang diberikan, ini disebut penyalahgunaan wewenang. Legalitas, akuntabilitas, dan kepentingan umum adalah prinsip yang harus mendasari setiap wewenang administratif yang dimiliki oleh pejabat publik dalam kerangka HAN. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa penyalahgunaan wewenang dapat menyebabkan tindak pidana korupsi pada akhirnya. Ini terjadi ketika wewenang digunakan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu atau dilakukan secara tidak sah[17].

Berdasarkan perspektif HAN, seperti kaitannya dengan UU Administrasi Pemerintahan (UU No 30 Tahun 2014) adalah UUAP menjadi dasar hukum bagi administrasi di pemerintahan untuk menentukan keputusan dan suatu kebijakan, termasuk juga aspek pengawasan dan akuntabilitas. Dalam hal korupsi kepala daerah, Pasal 17 UUAP mengatur penyalahgunaan wewenang, yang menjadi dasar untuk tindakan administratif sebelum masuk ke ranah pidana dalam UU Tipikor[18]. Jika seorang kepala daerah terbukti menyalahgunakan wewenang mereka secara melanggar hukum, tindakan tersebut dapat dikenakan sanksi administrasi sebelum diproses sebagai tindak pidana korupsi.

Persepketif HAN kaitannya dengan UU Keuangan Negara (UU No 17 Tahun 2003) undang-undang tersebut menjelaskan keuangan negara sebagai segala hak dan kewajiban dari negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk juga pengelolaan anggaran. Dalam pasal 3 ayat (1) menjelaskan untuk pengelolaan keuangan negara harus dilakukan secara tertib, efisien, transparan, dan akuntabel. Kaitannya dengan UU Perbendaharaan Negara (UU NO 1 Tahun 2004) untuk mengatur tata kelola dan juga tanggung jawab bendahara negara dalam pengelolaan keuangan. Kepala daerah dapat dikenai sanksi administratif atau pidana dalam kasus korupsi kepala daerah jika terjadi penyalahgunaan dana selama proses penganggaran atau pencairan dana proyek tanpa adanya prosedur yang tepat. Pada pasal 18 UU

Perbendaharaan Negara ini mengatur pengawasan oleh aparat internal pemerintah dalam mencegah kasus tindak pidana korupsi[19].

Berdasarkan UU Pemerintahan Daerah (UU No 23 Tahun 2014) pasal 76 ayat (1) melarang kepala daerah melakukan penyalahgunaan wewenang, termasuk menerima gratifikasi dan terlibat dalam konflik kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa. Kemudian dalam UU Tindak Pidana Korupsi (UU No 20 Tahun 2001) undang-undang ini berfungsi sebagai payung hukum utama. Pasal 2 dan 3 mengatur tindak pidana yang menyebabkan kerugian keuangan negara karena penyalahgunaan jabatan. Jika terbukti ada unsur penyalahgunaan kewenangan yang merugikan negara, proses hukum pidana dapat dimulai dari sudut pandang hukum administrasi.

Menurut kajian Hukum Administrasi Negara (HAN), seseorang dapat dijerat dengan tindak pidana korupsi apabila sebagai pejabat publik atau aparatur negara, ia melakukan tindakan administratif yang menyimpang dari kewenangan yang dimilikinya. Penyimpangan tersebut biasanya berupa penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), yakni ketika seorang pejabat menggunakan kewenangannya tidak sesuai dengan tujuan yang ditetapkan oleh hukum, melanggar prosedur, atau dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi maupun pihak lain. Perbuatan semacam ini tidak hanya melanggar aturan hukum, tetapi juga bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), seperti asas legalitas, akuntabilitas, kepastian hukum, dan larangan penyalahgunaan wewenang[20]. Apabila tindakan tersebut mengakibatkan kerugian bagi keuangan negara atau perekonomian negara, maka pelakunya dapat diproses secara pidana berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara khusus, Pasal 3 dari undang-undang ini menyatakan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan karena jabatannya sehingga merugikan negara dapat dikenakan sanksi pidana. Oleh karena itu, dalam perspektif HAN, korupsi dipandang sebagai akibat dari pelanggaran kewenangan administratif yang terencana dan menimbulkan dampak negatif terhadap keuangan negara, sehingga menghubungkan antara ranah administrasi dan pidana dalam kerangka pertanggungjawaban publik.

Putusan Korupsi Bagi Bupati Sidoarjo Perspektif Hukum Administrasi

Kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah di Sidoarjo yang dilakukan oleh ketiga bupati Sidoarjo yakni Win Hendarso, Saiful Illah, dan Ahmad Mudhlor Ali merupakan masalah yang ada dalam tata kelola pemerintah dan pembangunan daerah. Kasus korupsi oleh kepala daerah bisa dilihat dari beragam aspek. Dalam kasus tipikor bupati Sidoarjo seperti:

Win Hendarso

Tindak pidana korupsi yang melibatkan mantan bupati Sidoarjo, Drs. Win Hendrarso, M.Si., yang didakwa bersama dengan pejabat lain telah menyalahgunakan kekuasaan dan merugikan keuangan daerah Kabupaten Sidoarjo sebesar 2.309.437.500 rupiah.

Pasal yang dikenakan

Primair:

Dikenakan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi “setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi dan merugikan keuangan negara dipidana…”. Win hendarso saat itu menggunakan jabatannya untuk mengambil keuntungan dan merugikan negara. Dan jo Pasal 55 ayat

(1) ke-1 KUHP yang berbunyi “orang yang melakukan, menyuruh melakukan, atau ikut serta melakukan tindak pidana…”. Win hendarso melakukan korupsi bersama orang lain, maka semua bisa dihukum sebagai pelaku utama. Serta jo Pasal 65 ayat (1) KUHP yang berbunyi “jika seseorang melakukan beberapa tindak pidana yang berhubungan dalam satu niat, maka dijadikan satu perkara”. Kasus korupsi Win hendarso terjadi pada tahun 2005 dan 2007 tetapi dengan satu pola perbuatan maka dihitung sebagai satu tindak pidana yang berlanjut.

Subsidair:

Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor berbunyi “Setiap orang yang menyalahgunakan wewenang, jabatan, atau sarana karena jabatannya dan merugikan keuangan negara, dipidana”. Dengan arti pejabat menyalahgunakan kekuasaan atau jabatannya, dan bisa merugikan keuangan negara, maka bisa dihukum.

Putusan Hakim

Pertimbangan Hakim

Saiful Illah

Pasal yang dikenakan

Putusan Hakim Kasus 2020

  1. Kasus Perkara
  2. Dakwaan primair, terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Dalam dakwaan subsidair, tindakan yang didakwakan memang terbukti namun, itu bukan tindak pidana, melainkan perbuatan perdata.
  3. Terdakwa dibebaskan dari semua tuntutan hukum, dan hak-haknya dipulihkan.
  4. Seluruh dana yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang terlibat telah dikembalikan ke kas daerah sebelum kasus bergulir, sehingga tidak ada bukti kerugian negara yang sebenarnya atau langsung.
  5. Dibandingkan dengan unsur-unsur delik dalam pasal yang didakwakan, tindakan terdakwa merupakan pelanggaran administratif atau perdata terhadap tata kelola keuangan daerah.
  6. Selain itu, majelis memutuskan bahwa terdakwa tidak bermaksud memperkaya diri secara melawan hukum, dan fakta persidangan tidak menunjukkan adanya niat untuk merusak negara[21].
  7. Kasus Perkara
    • Bupati Sidoarjo Saiful Ilah melakukan tindak pidana korupsi dalam hal menerima hadiah atau janji dari rekanan penyedia barang atau jasa di bawah pemerintahan Kabupaten Sidoarjo sebagai imbalan atas proyek pekerjaan tertentu. (2020)
    • Tindak pidana korupsi di mana Terdakwa, Saiful Ilah, sebagai bupati Sidoarjo, menerima gratifikasi atau hadiah yang tidak sah selama jabatannya sebagai pemimpin daerah. (2023)
    • Pasal 11 Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 yang berbunyi “setiap orang yang menerima hadiah atau janji karena kekuasaannya atau kewenangannya yang berhubungan dengan jabatannya…” sebagaimana dimaksud pejabat yang menerima hadiah atau janji, bukan karena langsung meminta, tapi karena jabatannya, maka sudah bisa dihukum pidana. jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang berbunyi “mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perubahn itu” sebagaimana dimaksud pelaku utama yang melakukan tindak pidana secara langsung, kemudian orang yang memerintahkan orang lain untuk melakukan tindak pidana, serta orang yang bersama-sama dengan pelaku utama melakukan tindak pidana (penyertaan/kesertaan). (kasus 2020)
    • Pasal 12B Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 yang berbunyi “Setiap gratifikasi kepada pejabat negara dianggap suap jika nilainya Rp 10 Juta atau lebih, kecuali dibuktikan sebaliknya bahwa itu bukan suap”. Dimaksud sebagai pejabat yang menerima hadiah atau pemberian apapun senilai Rp 10 juta atau lebih, maka otomatis dianggap korupsi (suap), kecuali bisa dibuktikan itu hadiah yang sah. Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP yang berbunyi “dalam hal perbuatan yang dilakukan merupakan suatu perbarengan, maka terhadap pelaku hanya dikenakan satu pidana, jika perbuatan-perbuatan itu dianggap sebagai satu perbuatan yang sama” sebagai mana dimaksud karena tindak pidana yang dilakukan berulang kali dalam waktu berbeda dan merupakan perbuatan yang berlanjut. (kasus 2023)
    • Menolak permohonan banding terdakwa.
    • Keputusan Pengadilan Tipikor Surabaya (Nomor 35/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Sby) harus diperkuat.
    • Pendakwaan terhadap Saiful Ilah terdiri dari:
      • Penjara tiga tahun dan enam bulan,
      • Hukuman denda sebesar Rp 200.000.000 dan hukuman penjara selama enam bulan, dan
      • Uang pengganti sebesar Rp600.000.000 untuk barang bukti yang disita dan dirampas
    • Terbukti bahwa terdakwa menerima uang dari rekanan penyedia proyek.
    • Hakim memutuskan bahwa meskipun terdakwa mengajukan banding, fakta dan bukti di persidangan tetap menunjukkan keterlibatannya..
    • Selain itu, hakim menekankan pentingnya memberikan keadilan yang seimbang kepada masyarakat, terdakwa, dan keluarganya.
    • Akibatnya, keputusan PN tetap dikuatkan; satu-satunya perubahan yang dilakukan adalah jangka waktu pidana yang dikurangi dari empat tahun menjadi tiga tahun enam bulan[22].

Kasus 2023

Penjara 5 tahun dan dengda Rp 500.000.000,00 subsider 3 bulan kurungan

Membayar kompensasi sebesar Rp44.468.802.754,24, atau, jika tidak dapat membayar, dikenakan pidana penjara 3 tahun dan setelah menjalani pidana pokok, hak untuk dipilih dalam jabatan publik dicabut selama tiga tahun.

  1. Menegaskan bahwa terdakwa terbukti bersalah atas sejumlah tindak pidana korupsi..
  2. Menjatuhkan pidana:
  3. Pidana tambahan
  4. Menyatakan bahwa terdakwa harus tetap ditahan dan membayar biaya perkara.
    • Sebagai kepala daerah, Terdakwa seharusnya tidak terlibat dalam korupsi tetapi berperan aktif dalam
    • Perbuatannya telah menimbulkan kerugian negara

Pertimbangan Hakim Kasus 2020

    Kasus 2023

    mencegahnya.

    1. Keadaan yang memberatkan
    2. Keadaan yang meringankan
      • Berperilaku sopan di persidangan
      • Memiliki tanggungan keluarga
      • Telah mengabdi lebih dari 20 tahun di Kabupaten Sidoarjo[23].

    B.3 Ahmad Mudhlor Ali

    1. Kasus Perkara

    Memotong dana insentif ASN dan mengantongi keuntungan sekitar Rp. 2,7 Miliar

    Pasal yang dikenakan

    Pasal yang dituduhkan kepada beliau yakni pasal 3 UU. No 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi atas penyalahgunaan wewenang yang berbunyi “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana…” yang dimaksud pejabat negara atau bupati yang menyalahgunkan wewenangnya (memotong daa di luar aturan) yang mengakibatkan kerugian negara. Serta dinilai melanggar prinsip good governance yang diatur dalam pasal 17 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi pemerintahan. Sebagai mana dimaksud penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah bertindak tanpa dasar hukum yang sah, penyalahgunaan wewenang mencakup melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan bertindak sewenang- wenang yang melanggar prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

    Putusan Hakim

    Dengan perbuatan tersebut, Ahmad Mudhlor Ali dijatuhi hukuman penjara 4 tahun 6 bulan.

    Pertimbangan Hakim

    Berdasarkan pertimbangan hakim tindakan pemotongan dana insentif yang dilakukan oleh Ahmad Mudhlor Ali tanpa ada dasar hukumnya yang menunjukan pelanggaran terhadap prinsip akuntabilitas dan kepastian hukum.

    Berikut ini rekapitulasi ringkasan mengenai kasus korupsi yang menjerat tiga bupati Sidoarjo, mencakup periode masa jabatan, bentuk tindak pidana, pertimbangan hukum, putusan akhir yang dijatuhkan, serta nomor register dalam persidangan. Untuk memberikan pemahaman menyeluruh terhadap pola pelanggaran serta tingkat akuntabilitas hukum masing-masing kepala daerah.

    No Nama Bupati Masa

    Jabatan

    Kasus Korupsi

    Pertimbangan Putusan / Petitum

    No. Register

    / Putusan

    Korupsi uang kas daerah sebesar Rp2,3 Miliar pada tahun 2005 &

    2007

    Kasus 1: Kasus suap pengadaan

    wewenang sebagai kepala daerah dengan cara yang bertentangan dengan prinsip good governance.

    Penyimpangan dana tersebut mengakibatkan kerugian negara, menunjukan lemahnya akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah

    Tindakan tersebut mencerminkan ketidakpatuhan terhadap

    5 tahun penjara dan denda sebesar Rp200 Juta subsider 6 bulan kurungan

    Kasus 1: Vonis penjara

    Nomor : 01/PID.SUS/

    2012/ PT.SBY

    Muhdlor Ali

    infrastruktur sebesar Rp600 Juta pada tahun 2020

    Kasus 2: Kasus gratifikasi mendapatkan keuntungan mencapai Rp44 Miliar pada tahun 2023

    Dugaan pemotongan dana Insentif ASN sebesar Rp2,7 Miliar pada tahun 2024

    asas transparansi dan akuntabilitas dalam administrasi pemerintahan, terutama dalam proyek infrastruktur yang sarat dengan banyak konflik kepentingan.

    Tindakan pemotongan dana insentif yang dilakukan oleh Ahmad Mudhlor Ali tanpa ada dasar hukumnya yang menunjukan pelanggaran terhadap prinsip akuntabilitas dan kepastian hukum

    selama 3 tahun Kasus 2: Vonis penjara selama 5

    tahun, denda Rp500 Juta subsider 3 bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti Rp44 Miliar

    Vonis penjara selama 4

    tahun 6 bulan

    Nomor : 40/PID.SUS- TPK/2020/ PT.SBY &

    Nomor : 70/PID.SUS- TPK/2023/ PN.SBY

    (Dalam proses banding)

    Korupsi yang ada di pemerintahan daerah adalah salah satu permasalahan dasar yang mengakibatkan terhambatnya capaian tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) di Indonesia. Kabupaten Sidoarjo ialah salah satu contoh nyata, terdapat 3 bupati Sidoarjo secara berturut-turut dari win hendarso, saiful illah, dan ahmad mudhlor ali terjerat dalam kasus korupsi selama menjabat sebagai bupati Sidoarjo. Kejadian tersebut berakibat menimbulkan kerugian negara secara materil dan juga mencerminkan lemahnya sistem oengawasan dan akuntabilitas dalam penyelenggaran di Indoensia.

    Terkait kasus korupsi ini, jika dilihat dan di analisis dari perspektif Hukum Administrasi negara, sebagai berikut:

    Win Hendarso

    Wewenang adalah komponen utama dalam hukum administrasi negara yang menentukan apakah tindakan pejabat publik sah. Atribusi, delegasi, atau mandat adalah tiga cara bupati dapat memperoleh wewenang[24]. Bupati Sidoarjo yakni Win Hendarso menyalahgunakan kewenangannya dalam pengelolaan keuangan daerah tanpa mengikuti prosedur yang sah dan melanggar prinsip-prinsip goodgovernanceseperti legalitas, akuntabilitas, dan kepastian hukum, tindakan yang dia lakukan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi. Selain itu, tindakannya termasuk dalam maladministrasi karena melibatkan penyimpangan dari wewenang hukum (ultra vires) dan bertentangan dengan prinsip umum pemerintahan yang baik (AUPB), seperti transparansi dan keadilan. Meskipun demikian, hakim memutuskan bahwa tindakannya tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 karena tidak terbukti adanya niat memperkaya diri sendiri atau kerugian negara, terutama karena dana yang dipermasalahkan telah dikembalikan ke kas daerah sebelum proses hukum dimulai. Oleh karena itu, tindakan Win Hendarso secara hukum tidak layak dipidana sebagai tindak pidana korupsi. Sebaliknya, ia harus digolongkan sebagai pelanggaran administratif yang serius menurut hukum administrasi negara.

    Menurut Hukum Administrasi Negara (HAN), prosedur administrasi adalah tahapan penting dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan publik, termasuk pengelolaan keuangan daerah seperti APBD[25]. Sebagai bupati Sidoarjo, tindakan Win Hendarso menunjukkan pelanggaran administrasi karena penggunaan dana kas daerah dilakukan tanpa mengikuti prosedur pengelolaan anggaran yang sah, seperti perencanaan, persetujuan DPRD, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban, yang seharusnya termasuk dalam sistem APBD. Selain itu, tindakan tersebut menunjukkan penyalahgunaan diskresi, yaitu penggunaan kewenangan secara sepihak untuk tujuan yang tidak sesuai dengan kepentingan daerah. Karena mengabaikan prinsip akuntabilitas dan transparansi, perbuatannya secara eksplisit termasuk dalam kategori maladministrasi karena melanggar tahapan formal dalam tata kelola keuangan daerah dan menyebabkan

    proses administrasi berjalan di luar batas hukum dan tata kelola yang seharusnya. Meskipun telah terjadi penyimpangan administratif yang signifikan, keputusan pengadilan menyatakan bahwa tindakan Win Hendarso tidak memenuhi unsur pidana korupsi karena tidak ada niat memperkaya diri dan tidak terbukti adanya kerugian negara secara nyata dan dana yang digunakan telah dikembalikan ke kas daerah sebelum proses hukum dimulai. Oleh karena itu, meskipun pelanggaran administratif dan maladministrasi ditemukan, dia tidak layak secara hukum untuk dikenai pidana korupsi.

    Secara substansi, tindakan administratif harus menjunjung keadilan, kepastian hukum, dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Karena kebijakan dan keputusan yang dibuat tidak mencerminkan nilai-nilai dasar hukum administrasi negara, seperti keadilan, akuntabilitas, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Maka tindakan Win Hendarso sebagai bupati Sidoarjo dapat dianggap sebagai pelanggaran administrasi. Kesalahan dalam menggunakan dana kas daerah tanpa dasar hukum yang sah adalah pelanggaran terhadap dasar kebijakan publik yang seharusnya mengutamakan kepentingan umum. Karena tindakannya telah menyalahgunakan kepercayaan publik (melanggar prinsip kepercayaan) dan melanggar legitimasi moral dan hukum pemerintahan daerah, tindakannya dikategorikan sebagai maladministrasi dalam konteks ini. Substansi kebijakan yang diterapkan bahkan tidak menguntungkan masyarakat dan bahkan merugikan integritas kelembagaan. Pengadilan memutuskan bahwa Win Hendarso tidak layak dipidana korupsi meskipun ada pelanggaran substansi administratif. Ini karena tidak ada unsur mensrea atau niat jahat untuk memperkaya diri sendiri atau merusak negara yang sebenarnya. Karena dana yang sempat disalahgunakan telah dikembalikan sebelum proses hukum dimulai, tindakannya dianggap sebagai pelanggaran administratif berat daripada tindak pidana korupsi.[26].

    Saiful Illah

    Jika ditinjau dalam hal wewenang, tindakan Bupati Saiful Illah terbukti melakukan pelanggaran administrasi karena ia menggunakan jabatannya untuk menerima suap dan gratifikasi dari perusahaan swasta yang terlibat dalam proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Dalam sistem pemerintahan daerah, bupati tidak memiliki wewenang langsung untuk menentukan pemenang proyek atau menerima imbalan atas kebijakan yang diterapkan. Oleh karena itu, tindakan ini berada di luar kewenangan yang sah dari bupati. Dia dianggap melampaui batas kekuasaan yang sah karena menyalahgunakan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

    Selain itu, tindakan ini melibatkan maladministrasi karena melanggar prinsip-prinsip legalitas, akuntabilitas, dan kepentingan umum yang seharusnya mendasari penggunaan kewenangan pejabat publik. Tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), Saiful Illah menggunakan jabatannya untuk keuntungan pribadi daripada untuk kepentingan umum. Ini menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan atau detournement de pouvoir[27].

    Karena telah memenuhi persyaratan yang tercantum dalam Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tindakan Saiful Illah memenuhi syarat untuk pidana korupsi secara hukum. Ia telah terbukti menerima suap dan gratifikasi senilai miliaran rupiah, memiliki niat untuk memperkaya diri sendiri, dan mengakibatkan kerugian keuangan negara. Oleh karena itu, pelanggaran yang dilakukan tidak hanya merupakan pelanggaran administratif dan maladministratif, tetapi juga memenuhi syarat untuk dikenai sanksi pidana sebagai tindak pidana korupsi dari sudut pandang wewenang.

    Berdasarkan analisis pada hal prosedur, Bupati Saiful Illah telah melakukan pelanggaran administrasi karena campur tangannya dalam proses pengadaan barang dan jasa tidak sesuai dengan mekanisme formal yang ada dalam sistem administrasi pemerintahan. Proses lelang proyek infrastruktur harus dilakukan secara objektif dan transparan oleh unit teknis melalui sistem LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik), bukan karena intervensi kepala daerah. Saiful Illah melanggar prosedur dengan menerima imbalan dari pihak rekanan proyek, padahal bupati tidak memiliki otoritas administratif untuk memilih pemenang lelang atau memberikan proyek kepada individu tertentu[28].

    Karena Saiful Illah menyimpang dari standar administrasi publik dan mengabaikan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan bebas dari konflik kepentingan, tindakan ini juga termasuk maladministrasi. Prinsip-prinsip good governance yang seharusnya mengatur prosedur pengadaan barang dan jasa, tetapi Saiful Illah justru menyalahgunakannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Karena prosedur formal diabaikan demi kepentingan pribadi dan merugikan keuangan negara, hal ini termasuk dalam kategori perbuatan melawan hukum oleh pejabat.

    Karena telah terbukti secara prosedural bahwa Saiful Illah menerima suap dan gratifikasi dari kontraktor yang bekerja pada proyek pemerintah, tindakannya layak dipidana korupsi secara hukum. Pasal 11 dan 12B

    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa tindakannya memiliki unsur pidana, seperti pemberian uang yang terkait dengan jabatannya dan upaya untuk mempengaruhi kebijakan atau keputusan pengadaan proyek. Dari perspektif prosedur, ia tidak hanya melanggar peraturan administratif, tetapi juga memenuhi syarat yang sah untuk dikenai hukuman pidana korupsi.

    Ditinjau dari hal substansi, Bupati Saiful Illah melakukan pelanggaran administrasi karena menerima suap dan gratifikasi dalam proyek pengadaan melanggar prinsip dasar administrasi pemerintahan yang baik. Kepentingan umum, keadilan, keuntungan, dan kepastian hukum harus menjadi fokus substansi kebijakan publik. Karena ia menyalahgunakan kepercayaan publik dan melanggar prinsip kepercayaan, tindakan ini juga termasuk dalam kategori maladministrasi. Seorang pejabat publik diharapkan oleh masyarakat untuk membuat kebijakan yang menguntungkan semua orang. Namun, pada kenyataannya, kualitas atau kebutuhan masyarakat bukanlah yang menentukan proyek infrastruktur; sebaliknya, yang menang lebih banyak uang. Tindakan Saiful Illah layak dipidana korupsi. Sebagai bupati, dia terbukti melanggar Pasal 11 dan 12B UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan menerima suap dan gratifikasi. Selain substansi kebijakannya yang menyimpang, ada juga unsur mensreaatau niat jahat, untuk memperkaya diri sendiri dan kelompok tertentu, yang mengakibatkan kerugian besar bagi negara. Oleh karena itu, tindakan Saiful Illah tidak hanya melanggar etika administrasi dan etika jabatan, tetapi juga memenuhi syarat untuk dikenakan pidana korupsi dari sudut pandang substansi.

    Ahmad Mudhlor Ali

    Dikarenakan mengurangi dana insentif ASN tanpa dasar hukum yang sah, Ahmad Mudhlor Ali dapat dikatakan sebagai melakukan tindakan melanggar administrasi. Meskipun bupati memiliki wewenang untuk mengelola keuangan daerah, tindakan tersebut melampaui wewenang yang diberikan oleh undang-undang, melanggar asas legalitas dan akuntabilitas. Perbuatannya juga termasuk dalam kategori maladministrasi. Penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran terhadap prinsip kepercayaan publik terjadi ketika insentif dikurangi tanpa mekanisme hukum yang jelas. Selain itu, bertentangan dengan prinsip umum pemerintahan yang baik (AUPB), termasuk transparansi, keadilan, dan kepastian hukum. Sesuai dengan unsur-unsur penyalahgunaan wewenang yang diatur dalam Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2001, layak dipidana korupsi. Karena tindakannya dilakukan secara sadar, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau pihak lain, dan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp2,7 miliar, ia layak dikenakan pidana korupsi secara hukum[29].

    Ahmad Mudhlor Ali melanggar prosedur administratif dengan memotong insentif ASN tanpa dasar hukum dan tanpa mekanisme anggaran yang sah. Peraturan tersebut sudah diatur dalam peraturan daerah dan Permendagri yang menetapkan transparansi, persetujuan DPRD, dan sistem distribusi yang jelas. Namun tidak dilakukan oleh Ahmad Mudhlor Ali. Perbuatannya juga termasuk maladministrasi karena dia tidak akuntabel, tidak transparan, dan mengabaikan prosedur hukum. Pemotongan dana secara sepihak tanpa payung hukum menunjukkan penyimpangan dari standar pelayanan publik yang baik dan pelanggaran terhadap prinsip due process dalam administrasi pemerintahan. dan layak dipidana korupsi karena ini adalah tindakan yang direncanakan, melibatkan penyalahgunaan proses jabatan, dan terbukti menyebabkan kerugian negara. Sebuah tindakan dapat dianggap sebagai tindak pidana korupsi jika unsur-unsur yang tercantum dalam Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2001 terpenuhi, yaitu penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan keuangan negara.

    1. Win Hendarso2000-2010
    2. Saiful Illah2010-2021
    3. Ahmad2021-2025
    4. Aspek Wewenang
    5. Aspek Prosedur
    6. Aspek Substansi
    7. Aspek wewenang
    8. Aspek prosedur
    9. Aspek substansi
    10. Aspek wewenang
    11. Aspek prosedur
    12. Aspek substansi

    Dari segi hal substansi, kebijakan pemotongan insentif ASN yang dibuat Bupati Ahmad Mudhlor Ali terbukti melakukan pelanggaran administrasi karena bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar administrasi publik seperti akuntabilitas, keadilan, dan kemanfaatan. Ini juga termasuk dalam kategori maladministrasi karena menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, melanggar prinsip kepercayaan masyarakat (vertrouwensbeginsel), dan merusak integritas dan kredibilitas birokrasi pemerintahan. Secara keseluruhan, kebijakan tersebut merugikan hak-hak ASN dan tidak menguntungkan masyarakat secara keseluruhan. Dengan adanya unsur penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara sebesar Rp2,7 miliar, tindakan Ahmad Mudhlor Ali layak dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 karena niat memperkaya diri sendiri dan kerugian keuangan negara yang signifikan.

    Kasus korupsi yang dihadapi oleh Bupati Sidoarjo menunjukkan kegagalan struktural dan kultural dalam menjalankan pemerintahan daerah yang efektif dari sudut pandang Hukum Administrasi Negara. Untuk mencegah kejadian serupa terjadi lagi, perlu dilakukan tindakan sistemik yang tidak hanya bergantung pada sanksi pidana tetapi juga memperkuat sistem administratif dan etika jabatan dalam tata kelola pemerintahan daerah.

    Pelanggaran administrasi sebagai pintu bagi pengenaan tindak pidana korupsi oleh kepala daerah

    Pengenaan tindak pidana korupsi yang menjadi awal pengenaan terhadap kepala daerah didasarkan oleh terpenuhinya unsur-unsur hukum, dari aspek administratif hingga pidana. Dengan titik berat pada penyalahgunaan wewenang, adanya niat meperkaya diri sendiri atau orang lain, serta timbulnya kerugian negara[30]. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang No 20 Tahun 2001 mengenai unsur-unsur meliputi unsur subjektif (mensrea)yakni adanya niat jahat atau kesengajaan pelaku untuk menyalahgunakan jabatan dan unsur objektif yaitu adanya penyalahgunaan wewenang / jabatan, adanya kerugian keuangan negara, penerimaan suap / gratifikasi / hadiah yang terkait jabatan, dan perbuatan melawan hukum seperti melanggar UU, melanggar prosedur administrasi, dan prinsip good governance[31].

    Selain itu, dari contoh kasus 3 bupati sidoarjo tersebut perbuatan yang dapat dikenakan tindak pidana korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan dalam mengelola keuangan daerah, menggunakan dana APBD di luar prosedur (win hendarso), kasus suap pengadaan infrastruktur dan menerima gratifikasi bernilai miliaran rupiah (Saiful Illah), dan memotong dana insentif ASN tanpa landasan hukum yang menyebabkan kerugian negara (Ahmad Mudhlor Ali). Jika terdapat elemen kesengajaan, penyalahgunaan jabatan, dan konsekuensi berupa kerugian keuangan negara, maka pelanggaran administratif dapat berubah menjadi tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, hukum administrasi negara berfungsi sebagai langkah awal untuk mengidentifikasi pelanggaran yang berpotensi masuk ke ranah hukum pidana.

    Secara keseluruhan, dari ketiga kasus yang menjerat Bupati Sidoarjo (Win Hendarso, Saiful Illah, dan Ahmad Mudhlor Ali), terbukti bahwa pelanggaran administrasi membuka jalan untuk tindak pidana korupsi. Kepala daerah yang awalnya melakukan tindakan administratif yang cacat dalam wewenang, prosedur, atau substansi. Pada akhirnya dapat dikenakan pidana korupsi menurut hukum administrasi negara. Dalam hukum administrasi negara, tindakan seseorang dapat dianggap melakukan pelanggaran jika melampaui batas kewenangan yang sah (cacat wewenang), melanggar prosedur formal (cacat prosedur), atau bertentangan dengan prinsip keadilan, kepentingan umum, dan akuntabilitas (cacat substansi). Pelanggaran administratif berubah menjadi tindak pidana korupsi jika dilakukan secara sengaja, digunakan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan mengakibatkan kerugian negara[32].

    Sesuai dengan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, pelanggaran administratif tersebut dinaikkan menjadi tindak pidana korupsi ketika dilakukan secara sadar (dengan niat), melanggar hukum, dan menyebabkan kerugian keuangan negara. Oleh karena itu, seseorang dianggap korup jika tindakan administratifnya melanggar wewenang, prosedur, dan substansi. Kemudian menjadi lebih buruk karena niat jahat (mens rea) dan kehilangan negara nyata. Ketiganya berfungsi sebagai dasar untuk sanksi pidana, bukan hanya sanksi administratif.

    Pada kasus perkara tipikor bupati Sidoarjo, yakni Win Hendarso, meskipun beliau telah mengembalikan uang ke kas daerah sebelum persidangan, hal ini tidak secara otomatis menghentikan proses pidana terhadapnya. Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengembalian kerugian negara tidak serta merta menghapus tindak pidana korupsi, jadi proses di pengadilan masih berlanjut. Tidak ada alasan untuk menggugurkan perkara, dikarenakan pengembalian uang itu hanya dianggap sebagai pengurangan hukuman atau pertimbangan dalam keputusan hakim.

    Terkait proses persidangan, majelis hakim menyatakan bahwa Win Hendarso tidak terbukti bersalah atas dakwaan primair Pasal 2 Undang-Undang Tipikor, karena tidak ditemukan adanya unsur kesengajaan untuk memperkaya diri sendiri maupun kerugian negara yang nyata. Sementara dalam dakwaan subsidair Pasal 3, tindakannya lebih dianggap sebagai pelanggaran bersifat administratif atau perdata, bukan sebagai tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, ia dinyatakan bebas dan seluruh hak-haknya dikembalikan. Namun demikian, alasan utama tetap disidangkannya perkara ini di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah untuk menjaga prinsip akuntabilitas dan memberikan efek jera dalam proses penegakan hukum. Negara tetap memiliki tanggung jawab untuk membuktikan terpenuhinya unsur pidana, agar tidak timbul persepsi bahwa tindakan korupsi dapat diampuni hanya dengan mengembalikan kerugian negara.

    Sementara itu, perlindungan terhadap kebebasan individu tetap dijaga. Proses peradilan tidak semata-mata ditujukan untuk menjatuhkan hukuman, melainkan untuk menilai dan memastikan apakah seseorang memang bersalah atau tidak. Dalam konteks ini, putusan untuk membebaskan Win menunjukkan adanya penghormatan terhadap hak asasi manusia serta penerapan prinsip keadilan yang substantif dalam sistem hukum[33].

    Jika dari sudut pandang perspektif Hukum Administrasi Negara, unsur mens rea dimaknai sebagai kesadaran dari pejabat publik atas tindakannya yang bertentangan dengan kewenangan, prosedur, atau prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik[34]. Tindakan Win Hendarso yang memanfaatkan dana kas daerah tanpa melalui prosedur penganggaran APBD yang sah menunjukkan adanya kesengajaan secara administratif, karena dilakukan di luar kerangka hukum yang berlaku.

    Sebagai kepala daerah yang menjabat selama dua periode, Win Hendarso seharusnya memiliki pemahaman mendalam terkait sistem pengelolaan keuangan daerah. Oleh karena itu, kecil kemungkinan bahwa tindakan tersebut

    dilakukan secara tidak sadar. Terlebih lagi, penggunaan dana tersebut terjadi dalam dua tahun anggaran yang berbeda, yang menguatkan indikasi bahwa perbuatan itu dilakukan secara sadar dan berulang.

    Walaupun tidak ditemukan indikasi adanya tujuan untuk memperkaya diri sendiri. Konteks hukum administrasi menjelaskan, tindakan tersebut tetap mencerminkan adanya kesengajaan dalam melanggar ketentuan yang berlaku, sehingga dapat digolongkan sebagai pelanggaran administratif yang berat. Oleh sebab itu, tindakan Win Hendarso tidak dapat dibenarkan karena telah bertentangan dengan asas legalitas, akuntabilitas, dan kepastian hukum yang harus dijunjung tinggi oleh setiap pejabat publik.

    Simpulan

    Berdasarkan kajian terhadap tiga kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah di Sidoarjo yakni Win Hendarso, Saiful Illah, dan Ahmad Muhdlor Ali dalam sudut pandang Hukum Administrasi Negara, dapat diketahui bahwa permasalahan utama yaitu bersumber dari penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran terhadap prosedur administrasi, serta pengabaian terhadap asas legalitas, akuntabilitas, dan kepastian hukum. Meskipun bentuk pelanggaran yang dilakukan ketiganya beragam, seluruhnya mencerminkan praktik maladministrasi berat yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (goodgovernance). Dalam konteks hukum administrasi, tindakan- tindakan tersebut menggambarkan lemahnya sistem pengawasan birokrasi, dan berpotensi menjadi tindak pidana korupsi apabila dilakukan dengan sengaja serta berdampak pada kerugian keuangan negara. Oleh sebab itu, penerapan hukum administrasi perlu diperkuat sebagai sarana pengawasan dan pencegahan terhadap pergeseran pelanggaran administratif menjadi delik pidana.

    Ucapan Terima Kasih

    Dalam kesempatan yang berharga ini, saya sebagai penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar- besarnya kepada Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, terutama kepada Program Studi Hukum yang telah memberikan dukungan fasilitas dan kegiatan akademik yang baik selama proses penyusunan dan pelaksanaan penelitian ini. Penelitian ini tidak akan terlaksana dengan baik jika tidak adanya berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi dan dukungan dalam proses penyusunan penelitian ini. Saya juga mengucapkan Terima kasih sebesar- besarnya kepada kedua orang tua dan keluarga saya yang selalu mendoakan saya dan selalu memberikan dukungan serta kasih sayangnya yang begitu luar biasa. Ucapan terimakasih saya sampaikan juga kepada sahabat, teman-teman SMA saya, dan teman-teman angkatan di prodi Hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo yang selalu mendengarkan keluh kesah saya dan memberikan motivasi serta semangat dalam proses penyusunan penelitian ini. Tak lupa, ucapan terima kasih juga saya berikan kepada diri saya sendiri yang tidak putus semangat dalam mengerjakan penelitian ini hingga selesai.

    Referensi

    J.Ilm.Bid.Sos.Ekon.BudayaTeknol.DanPendidik., vol. 1, no. 2, pp. 21–30, Jan. 2022, doi: 10.54443/sibatik.v1i2.9.

    1. E. N. W. Aji, A. Sudono, N. F. N. Sutarsih, and R. E. Utami, “Kosakata Dalam Wacana Alat Peraga Kampanye Pemilu 2019 (vocabulary in Discourse 2019 Election Campaign Props),” Kandai, vol. 18, no. 2, pp. 233–245, 2022.
    2. R. Aiman, “Hukum Dan Korupsi: Tantangan Dan Solusi Dalam Pemberantasan Korupsi Di Indonesia,”Perad.J.LawSoc., vol. 3, no. 1, pp. 16–30, Jun. 2024, doi: 10.59001/pjls.v3i1.170.
    3. I. Setiawan and C. P. Jesaja, “Analisis Perilaku Korupsi Aparatur Pemerintah Di Indonesia (studi Pada Pengelolaan Bantuan Sosial Di Era Pandemi Covid-19),” J.MediaBirokrasi, pp. 33–50, Nov. 2022, doi: 10.33701/jmb.v4i2.2744.
    4. D. Jawa, P. Malau, and C. Ciptono, “Tantangan Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia,” J. USM LAW Rev., vol. 7, no. 2, p. 1006, Jul. 2024, doi: 10.26623/julr.v7i2.9507.
    5. M. Djatmiko, “Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Korupsi Oleh Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) Di Indonesia,” 2024.
    6. F. P. Alviolita and A. Nurahman, “Fenomena Kepala Daerah Berprestasi Kaitannya Dengan Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Kriminologi,” vol. 8, no. 2, 2023.
    7. N. Ata, “Praktik Ijon Politik Pada Kasus Korupsi Kepala Daerah; Studi Kasus Korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan: Pendahuluan, Kajian Teori, Metode Penlitian, Pembahasan, Dan Kesimpulan,” J. Gov. Innov., vol. 4, no. 1, pp. 65–83, Mar. 2022, doi: 10.36636/jogiv.v4i1.1187.
    8. S. F. Akbar and R. R. Phahlevy, “Neglected Elderly: Lacking Welfare Policies in Indonesian Local Governments,” Rechtsidee, vol. 8, Jun. 2021, doi: 10.21070/jihr.v8i0.969.
    9. W. Noviacahyani and E. Sudarti, “Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi,” PAMPAS J. Crim. Law, vol. 3, no. 3, pp. 264–282, May 2023, doi: 10.22437/pampas.v3i3.23585.
    10. A. Alhakim, “Analisis Penegakan Hukum Terhadap Pungutan Liar Oleh Juru Parkir Di Kota Batam, Indonesia,” 2021.
    11. I Gede Sayogaramasatya, I Made Minggu Widyantara, and Ida Ayu Putu Widiati, “Sanksi Pidana terhadap Pejabat Negara yang Melakukan Korupsi atas Penyalahgunaan Wewenang,” J.Interpret.Huk., vol. 2, no. 1, pp. 168–173, Mar. 2021, doi: 10.22225/juinhum.2.1.3089.168-173.
    12. “Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”
    13. Rahim, N. U. Safitri, N. Nurjanah, S. Anabah, and W. Nurhikmah, “Implementasi Hukum Administrasi Negara Dalam Mencegah Praktik Korupsi Di Indonesia,” JIIP-J.Ilm.IlmuPendidik., vol. 6, no. 8, pp. 5790– 5794, Aug. 2023, doi: 10.54371/jiip.v6i8.2572.
    14. A. Sofyanoor, “Peran Hukum Administrasi Negara Dalam Pemberantasan Korupsi Di Indonesia,” SIBATIKJ.
    15. S. Mandasari, R. Hanggara, and F. A. Jiwantara, “Konsep Maladministrasi Dalam Tindak Pidana Korupsi,” ARMADAJ.Penelit.Multidisiplin, vol. 1, no. 6, pp. 547–560, Jun. 2023, doi: 10.55681/armada.v1i6.614.
    16. Kennedy, W. H. Surya, S. R. Mustika, and F. Xaverius, “Sumber-Sumber Hukum Administrasi Negara Dalam Kerangka Good Governance Di Indonesia,” vol. 5.
    17. Maya and K. A. W, “Kewenangan Hukum Administrasi Terkait Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia,” J. Komunitas Yust., vol. 4, no. 3, pp. 990–996, Jan. 2022, doi: 10.23887/jatayu.v4i3.43738.
    18. Bagus Teguh Santoso, S. D. P. Nainggolan, J. Sinambela, and Kholilur Rahman, “Optimizing the Role of the State Administrative Court in Assessing Elements of Abuse of Authority Based on Law No. 30 of 2014 Jo. Supreme Courts No. 4 of 2015,” J. Gagasan Huk., vol. 5, no. 01, pp. 21–32, Jul. 2023, doi: 10.31849/jgh.v5i01.13158.
    19. A. Rahim, A. F. Hakim, A. Purnama, E. A. Hafitsyah, and F. Zahira, “Pengelolaan Keuangan Negara Berdasarkan Hukum Administrasi Negara Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003,” JIIP-J. Ilm. Ilmu Pendidik., vol. 6, no. 9, pp. 7012–7018, Sep. 2023, doi: 10.54371/jiip.v6i9.2847.
    20. Y. S. Pudyatmoko and G. Aryadi, “Pemberlakuan Ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Dalam Penanganan Korupsi,” Veritas Justitia, vol. 7, no. 2, pp. 297–324, Dec. 2021, doi: 10.25123/vej.v7i2.3780.
    21. Mahkamah Agung, “Putusan Mahkamah Agung Nomor 01/PID.SUS/2012/PT.SBY,” Surabaya, 2012.
    22. Mahkamah Agung, “Putusan Mahkamah Agung Nomor 40/PID.SUS-TPK/2020/PT.SBY,” Surabaya, 2020.
    23. Mahkamah Agung, “Putusan Mahkamah Agung Nomor 70/PID.SUS-TPK/2023/PN.SBY,” Surabaya, 2023.
    24. Sutan Rais Aminullah Nasution, Agusmidah, and A. S. Sembiring, “Kewenangan Pelaksana Tugas (plt) Kepala Daerah Dalam Pemerintahan Daerah Menurut Perspektif Hukum Administrasi Negara,” Mahadi Indones. J. Law, vol. 1, no. 1, pp. 140–153, Feb. 2022, doi: 10.32734/mah.v1i1.8320.
    25. R. R. Phahlevy, HukumTataNegaraI. Umsida Press, 2019. doi: 10.21070/2019/978-623-7578-04-8.
    26. V. L. Valentine, A. P. Eskanugraha, I. K. W. A. Purnawan, and R. S. B. Sasanti, “Penafsiran Keadaan Tertentu Dalam Tindak Pidana Korupsi: Perspektif Teori Kepastian Hukum,” J.ANTIKORUPSI, vol. 13, no. 1, p. 14, Jun. 2023, doi: 10.19184/jak.v13i1.40004.
    27. W. Proboretno and D. Budi Fariadi, “Analisis Peran Quantity Surveyor Pada Proyek Pembangunan Gedung Madrasah Aliyah Unggulan Tlasih Kabupaten Sidoarjo,” Semin. Keinsinyuran Program Studi Program Profesi Ins., vol. 2, no. 1, Aug. 2022, doi: 10.22219/skpsppi.v3i1.5027.
    28. L. D. Prasetio, “The Effort to Eradicate Corruption Crimes in the Procurement of Goods and Services in Indonesia,” vol. 02, no. 3, 2024.
    29. R. Khorisma, R. Fadlurrohim, S. I. Raihan, and D. H. Sudirman, “Tinjauan Aspek Hukum Kepegawaian Dalam Peningkatan Akuntabilitas Terhadap Perlindungan Data Pegawai Untuk Mewujudkan Good Governance,” vol. 12, no. 5, 2025.
    30. Atqo Darmawan Aji, “Analisis Yuridis Hukum Pidana Dan Hukum Administrasi Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Perspektif Critical Legal Studies,” LexRenaiss., vol. 9, no. 2, pp. 309–332, Dec. 2024, doi: 10.20885/JLR.vol9.iss2.art4.
    31. A. Fatah and E. R. Wati, BukuAjarHukumPidana. Umsida Press, 2020. doi: 10.21070/2020/978-623-6833- 81-0.
    32. T. K. Utami, S. Solihah, M. R. Maulana, I. R. Adawiah, and M. A. Firdaus, “Analisis Yuridis Terhadap Penerap Prinsip Legalitas Dalam Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia,” vol. 2, no. 3, 2025.
    33. R. Firman, D. A. Sari, and N. Faizal, “Efektivitas Penerapan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara,” J. Ar-Risal., vol. 3, no. 2, pp. 1–11, Jul. 2024, doi: 10.30863/arrisalah.v3i2.5555.
    34. M. A. Alti Putra, “Bentuk Penyalahgunaan Wewenang Pejabat Pemerintah Yang Tidak Dapat Dipidana,” JUSTISI, vol. 7, no. 2, pp. 118–136, Jul. 2021, doi: 10.33506/js.v7i2.1362.

References

[1] A. D. Aji, "Analisis Yuridis Hukum Pidana Dan Hukum Administrasi Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Perspektif Critical Legal Studies," Lex Renaissance, vol. 9, no. 2, pp. 309–332, Dec. 2024.

[2] A. Fatah and E. R. Wati, Buku Ajar Hukum Pidana. Umsida Press, 2020.

[3] A. Alhakim, "Analisis Penegakan Hukum Terhadap Pungutan Liar Oleh Juru Parkir Di Kota Batam, Indonesia," 2021.

[4] A. Rahim, A. F. Hakim, A. Purnama, E. A. Hafitsyah, and F. Zahira, "Pengelolaan Keuangan Negara Berdasarkan Hukum Administrasi Negara Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003," JIIP - Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, vol. 6, no. 9, pp. 7012–7018, Sep. 2023.

[5] A. Sofyanoor, "Peran Hukum Administrasi Negara Dalam Pemberantasan Korupsi Di Indonesia," SIBATIK Journal: Jurnal Ilmiah Bidang Sosial, Ekonomi, Budaya, Teknologi, dan Pendidikan, vol. 1, no. 2, pp. 21–30, Jan. 2022.

[6] B. T. Santoso, S. D. P. Nainggolan, J. Sinambela, and K. Rahman, "Optimizing the Role of the State Administrative Court in Assessing Elements of Abuse of Authority Based on Law No. 30 of 2014 Jo. Supreme Courts No. 4 of 2015," Jurnal Gagasan Hukum, vol. 5, no. 01, pp. 21–32, Jul. 2023.

[7] D. Jawa, P. Malau, and C. Ciptono, "Tantangan Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia," Jurnal USM Law Review, vol. 7, no. 2, p. 1006, Jul. 2024.

[8] E. N. W. Aji, A. Sudono, N. F. N. Sutarsih, and R. E. Utami, "Kosakata Dalam Wacana Alat Peraga Kampanye Pemilu 2019 (Vocabulary in Discourse 2019 Election Campaign Props)," Kandai, vol. 18, no. 2, pp. 233–245, 2022.

[9] F. P. Alviolita and A. Nurahman, "Fenomena Kepala Daerah Berprestasi Kaitannya Dengan Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Kriminologi," vol. 8, no. 2, 2023.

[10] I. G. Sayogaramasatya, I. M. M. Widyantara, and I. A. P. Widiati, "Sanksi Pidana Terhadap Pejabat Negara Yang Melakukan Korupsi Atas Penyalahgunaan Wewenang," Jurnal Interpretasi Hukum, vol. 2, no. 1, pp. 168–173, Mar. 2021.

[11] I. Setiawan and C. P. Jesaja, "Analisis Perilaku Korupsi Aparatur Pemerintah Di Indonesia (Studi Pada Pengelolaan Bantuan Sosial Di Era Pandemi Covid-19)," Jurnal Media Birokrasi, pp. 33–50, Nov. 2022.

[12] K. Kennedy, W. H. Surya, S. R. Mustika, and F. Xaverius, "Sumber-Sumber Hukum Administrasi Negara Dalam Kerangka Good Governance Di Indonesia," vol. 5.

[13] L. D. Prasetio, "The Effort to Eradicate Corruption Crimes in the Procurement of Goods and Services in Indonesia," vol. 02, no. 3, 2024.

[14] M. A. A. Putra, "Bentuk Penyalahgunaan Wewenang Pejabat Pemerintah Yang Tidak Dapat Dipidana," JUSTISI, vol. 7, no. 2, pp. 118–136, Jul. 2021.

[15] M. Djatmiko, "Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Korupsi Oleh Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) Di Indonesia," 2024.

[16] M. Maya and K. A. W., "Kewenangan Hukum Administrasi Terkait Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia," Jurnal Komunitas Yustisia, vol. 4, no. 3, pp. 990–996, Jan. 2022.

[17] Mahkamah Agung, "Putusan Mahkamah Agung Nomor 01/PID.SUS/2012/PT.SBY," Surabaya, 2012.

[18] Mahkamah Agung, "Putusan Mahkamah Agung Nomor 40/PID.SUS-TPK/2020/PT.SBY," Surabaya, 2020.

[19] Mahkamah Agung, "Putusan Mahkamah Agung Nomor 70/PID.SUS-TPK/2023/PN.SBY," Surabaya, 2023.

[20] N. Ata, "Praktik Ijon Politik Pada Kasus Korupsi Kepala Daerah; Studi Kasus Korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan," Jurnal Government Innovation, vol. 4, no. 1, pp. 65–83, Mar. 2022.

[21] R. Aiman, "Hukum Dan Korupsi: Tantangan Dan Solusi Dalam Pemberantasan Korupsi Di Indonesia," Peradaban: Journal of Law and Society, vol. 3, no. 1, pp. 16–30, Jun. 2024.

[22] R. Firman, D. A. Sari, and N. Faizal, "Efektivitas Penerapan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara," Jurnal Ar-Risalah, vol. 3, no. 2, pp. 1–11, Jul. 2024.

[23] R. Khorisma, R. Fadlurrohim, S. I. Raihan, and D. H. Sudirman, "Tinjauan Aspek Hukum Kepegawaian Dalam Peningkatan Akuntabilitas Terhadap Perlindungan Data Pegawai Untuk Mewujudkan Good Governance," vol. 12, no. 5, 2025.

[24] R. Rahim, N. U. Safitri, N. Nurjanah, S. Anabah, and W. Nurhikmah, "Implementasi Hukum Administrasi Negara Dalam Mencegah Praktik Korupsi Di Indonesia," JIIP - Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, vol. 6, no. 8, pp. 5790–5794, Aug. 2023.

[25] R. R. Phahlevy, Hukum Tata Negara I. Umsida Press, 2019.

[26] S. F. Akbar and R. R. Phahlevy, "Neglected Elderly: Lacking Welfare Policies in Indonesian Local Governments," Rechtsidee, vol. 8, Jun. 2021.

[27] S. Mandasari, R. Hanggara, and F. A. Jiwantara, "Konsep Maladministrasi Dalam Tindak Pidana Korupsi," ARMADA Jurnal Penelitian Multidisiplin, vol. 1, no. 6, pp. 547–560, Jun. 2023.

[28] S. R. A. Nasution, A. Agusmidah, and A. S. Sembiring, "Kewenangan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Daerah Dalam Pemerintahan Daerah Menurut Perspektif Hukum Administrasi Negara," Mahadi Indonesian Journal of Law, vol. 1, no. 1, pp. 140–153, Feb. 2022.

[29] T. K. Utami, S. Solihah, M. R. Maulana, I. R. Adawiah, and M. A. Firdaus, "Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Prinsip Legalitas Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia," vol. 2, no. 3, 2025.

[30] Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

[31] V. L. Valentine, A. P. Eskanugraha, I. K. W. A. Purnawan, and R. S. B. Sasanti, "Penafsiran Keadaan Tertentu Dalam Tindak Pidana Korupsi: Perspektif Teori Kepastian Hukum," Jurnal Anti Korupsi, vol. 13, no. 1, p. 14, Jun. 2023.

[32] W. Noviacahyani and E. Sudarti, "Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi," PAMPAS Journal of Criminal Law, vol. 3, no. 3, pp. 264–282, May 2023.

[33] W. Proboretno and D. B. Fariadi, "Analisis Peran Quantity Surveyor Pada Proyek Pembangunan Gedung Madrasah Aliyah Unggulan Tlasih Kabupaten Sidoarjo," Seminar Keinsinyuran Program Studi Program Profesi Insinyur, vol. 2, no. 1, Aug. 2022.

[34] Y. S. Pudyatmoko and G. Aryadi, "Pemberlakuan Ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Dalam Penanganan Korupsi," Veritas Justitia, vol. 7, no. 2, pp. 297–324, Dec. 2021.