Muhammad Yusuf Fanany Assidiqin (1), Rifqi Ridlo Phahlevy (2)
General Background: Environmental conservation is a crucial legal and ecological concern, especially regarding the protection of rare plants in conservation areas. Specific Background: Edelweiss (Anaphalis javanica) is one of Indonesia’s protected plants, yet violations continue to occur in the Mount Butak area. Knowledge Gap: Previous studies have not fully examined how Article 21 of Law No. 5 of 1990 is implemented in real practice and its enforcement challenges. Aims: This study aims to analyze the implementation of Article 21 in protecting Edelweiss within the Mount Butak conservation area. Results: The findings show that law enforcement remains weak due to limited public awareness and the absence of strict supervision from authorities.Novelty: The study integrates empirical and juridical perspectives to highlight the inconsistency between legal norms and field practices. Implications: Strengthening law enforcement and environmental education is recommended to enhance conservation effectiveness and ensure the sustainability of protected ecosystems.
Highlights:
Legal framework of environmental conservation in Indonesia
Protection of Edelweiss under Article 21 of Law No. 5/1990
Weakness of law enforcement in conservation areas
Keywords: Environmental Law, Conservation, Edelweiss, Article 21, Law Enforcement
Law Enforcement Against Trail Offenders in Conservation Areas Taman Hutan Raya Raden Soerjo
[ Penegakan Hukum Terhadap Para Pelaku Trail di Area Kawasan Konservasi Taman Hutan Raya Raden Soerjo ]
Muhammad Yusuf Fanany Assidiqin1), Rifqi Ridlo Phahlevy2)
1)Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia
2)Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia
*EmailPenulis Korespondensi: qq_levy@umsida.ac.id
Abstract . Trail activities in the Raden Soerjo Grand Forest Park (TAHURA) cause significant ecological damage to the conservation area. This study analyzes the effectiveness of law enforcement based on Law Number 32 of 2024, using empirical juridical methods through field observations and interviews with relevant stakeholders. The findings show that Law Number 32 of 2024 still inherits fundamental weaknesses from previous regulations, particularly the unclear parameters of damage and the operational definition of "changes to the integrity of the area", as well as disproportionate sanctions. Based on Soerjono Soekanto's theory of legal effectiveness, this study recommends an integrated approach including improving legal substance, strengthening institutions, developing facilities or infrastructure, educating the public to increase the importance of maintaining conservation areas and fostering a legal culture in the community.
Keywords - Law enforcement, Trail activities, Conservation area .
Abstrak. Aktivitas trail di taman hutan raya (TAHURA) Raden Soerjo menimbulkan kerusakan ekologis yang signifikan terhadap kawasan konservasi. Penelitian ini menganalisis efektivitas penegakan hukum berdasarkan UU nomor 32 tahun 2024, Dengan menggunakan metode yuridis empiris melalui observasi lapangan dan wawancara dengan stakeholder terkait. Temuan menunjukkan bahwa UU Nomor. 32 tahun 2024, masih mewarisi kelemahan mendasar dari regulasi sebelumnya, Khususnya ketidak jelasan parameter kerusakan dan definisi operasional “perubahan keutuhan kawasan”, Serta sanksi yang tidak proporsional. Berdasarkan teori efektivitas hukum Soerjono Soekanto, penelitian ini merekomendasikan pendekatan terpadu meliputi penyempurnaan substansi hukum, penguatan kelembagaan, mengembangkan fasilitas atau sarana prasarana, mengedukasi masyarakat guna meningkatkan akan pentingnya menjaga kawasan konservasi serta menumbuhkan budaya hukum pada masyarakat.
Kata Kunci - penegakan hukum, aktivitas trail, kawasan konservasi.
Indonesia adalah negara kepulauan dengan kompleksitas geografis yang menarik, Memiliki 127 gunung berapi aktif yang tersebar, kondisi geologis ini menciptakan ekosistem yang kaya serta beragam, membentuk habitat yang mendukung keanekaragaman hayati yang sangat luar biasa. Gunung menyediakan sumber daya alam yang sangat melimpah mulai dari alam bebas atau hutan liar, bahkan sebagian termasuk dalam kawasan konservasi sebagai tempat tinggal makhluk hidup mulai dari satwa liar sampai tumbuhan yang dilindungi1. Yang sejatinya bukan diperuntukkan untuk aktivitas manusia, kawasan konservasi merupakan area yang memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem serta melindungi keanekaragaman hayati.
Gunung Arjuno dan Gunung Welirang yang termasuk dalam kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA) Raden Soerjo, yang terletak di perbatasan Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Mojokerto dan Kota Batu, Jawa timur, Indonesia. Terdapat kawasan Cagar alam yang seluas 27.868,30 hektar di area Gunung Arjuno dan Gunung Welirang yang terkenal dengan kekayaan flora dan faunanya. Kawasan ini didominasi oleh hutan lindung yang mencakup area seluas 22.908,3 hektar. Kawasan konservasi atau cagar alam tersebut memiliki nilai ekologis yang tinggi, kawasan tersebut menjadi salah satu rumah bagi berbagai spesies flora maupun fauna termasuk beberapa yang langka dan terancam punah, kawasan ini juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem wilayah sekitarnya2, salah satu langkah penting dalam pelestarian lingkungan adalah konservasi sumber daya alam yang mencakup perlindungan berbagai ekosistem seperti hutan, serta sumber daya yang lainnya. Upaya ini dilakukan melalui pelestarian aset alam, menjaga keutuhan dan keaslian ekosistem serta memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana agar tetap tersedia bagi generasi mendatang, Pemeliharaan merupakan segala bentuk usaha yang dilakukan untuk menjaga kelestarian alam dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia3. Konservasi keanekaragaman hayati memiliki dua tujuan utama yang saling berkaitan, yaitu melindungi serta melestarikan sumber daya biologis agar tidak punah, serta memanfaatkan sumber daya tersebut secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan manusia tanpa merusak kelestariannya. Kedua tujuan ini diterapkan pada tiga tingkatan keanekaragaman hayati yang berbeda: tingkat ekosistem yang melindungi habitat dan lingkungan secara menyeluruh, tingkat spesies yang menjaga kelestarian berbagai jenis makhluk hidup, dan tingkat genetik yang mempertahankan keragaman gen dalam setiap spesies. Mengingat adanya tiga tingkatan keanekaragaman hayati yang memiliki karakteristik berbeda tersebut, maka peraturan hukum yang mengatur konservasi juga harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik masing-masing tingkatan4.
Pemilihan lokasi pada penelitian kali ini didasarkan pada beberapa pertimbangan strategis. yang pertama, TAHURA Raden Soerjo Merupakan kawasan konservasi dengan nilai ekologis yang tinggi serta keanekaragaman hayati yang kaya, termasuk berbagai spesies flora dan fauna langka yang terancam punah, Kedua, Kawasan ini telah menjadi lokus utama aktivitas trail yang menimbulkan kerusakan lingkungan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. ketiga, Status hukum kawasan yang jelas sebagai area konservasi berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024 Perubahan Terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya. Memberikan landasan yuridis yang kuat untuk analisis penegakan hukum. Keempat, Lokasi ini memiliki aksesibilitas yang memadai bagi peneliti untuk melakukan observasi dan wawancara dengan berbagai pihak terkait, sehingga memungkinkan analisis yang komprehensif terhadap efektivitas penegakan hukum dari berbagai dimensi teori efektivitas hukum.
Pada era modern saat ini, pemanfaatan hutan untuk sektor wisata semakin banyak, sayangnya kawasan konservasi bukan termasuk tempat pariwisata5, Kawasan konservasi sering kali mengalami konflik dalam proses pengelolaan kawasan, seperti kerusakan hutan yang seringkali dipicu oleh benturan kepentingan antara aturan negara dan hak masyarakat yang merasa berhak memanfaatkan kawasan tersebut6, Kawasan koservasi secara fundamental tentunya berbeda dengan kawasan pariwisata dengan tujuan utama melindungi keanekaragaman hayati serta menjaga keseimbangan ekosistem alami, berbeda dengan destinasi wisata yang didesain untuk mengakomodasi aktivitas manusia seperti trail, Kawasan konservasi ditetapkan berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024 Perubahan Terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, untuk melestarikan kekayaan hayati yang sering kali mencakup spesies langka dan terancam punah, Intervensi manusia pada kawasan konservasi statusnya dibatasi secara ketat dengan akses diatur melalui perizinan khusus untuk keperluan penelitian, pendidikan, atau pengembangan ilmu pengetahuan. Namun dalam beberapa tahun terakhir kawasan konservasi tepatnya di Taman Hutan Raya Raden Soerjo menghadapi ancaman yang cukup serius dari aktivitas manusia yakni kegiatan trail7.
Menurut bapak Zidane (Polisi Kehutanan), “aktivitas kendaraan trail di kawasan konservasi seringkali merusak kawasan, mengganggu fungsi habitat alami bagi flora dan fauna, kemudian kerusakan fisik pada jalur yang telah dilalui akan mengurangi efektivitas perlindungan ekosistem serta seringkali disalahgunakan untuk kegiatan ilegal lainnya.” Selain itu, Suara bising dari motor trail mengganggu kehidupan satwa liar, menyebabkan perubahan perilaku, gangguan reproduksi, bahkan migrasi paksa dari habitatnya. Kemudian perubahan karakteristik pada tanah serta vegetasi juga mempengaruhi kelangsungan hidup spesies asli. Serta mengganggu pertumbuhan tanaman dan merusak habitat mikro yang penting, berdasarkan dampak-dampak tersebut kegiatan di kawasan konservasi dapat diklasifikasikan sebagai pelanggaran terhadap larangan yang tertera dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 24 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya terutama pada pasal 19. Aktivitas ini secara nyata mengubah keutuhan dan fungsi kawasan suaka alam dengan mengurangi serta menghilangkan fungsi esensialnya sebagai habitat alami dan pusat keanekaragaman hayati.
Pada penelitian yang ditulis oleh Irene Intan Cahyaning Tyas dan Fatma Ulfatun Najicha yang berjudul “Kebijakan Hukum Bagi Para Pemotor Trail Yang Melakukan Pengerusakan Bunga Edelweiss Sebagai Tumbuhan Yang Dilindungi”. Hasil dari penelitian tersebut berfokus pada bahasan terkait aspek kebijakan hukum serta perlindungan spesifik terhadap satu jenis tumbuhan lebih tepatnya bunga edelweis yang dilindungi8. Pada penelitian ini memiliki kebaharuan (novelty) dari penelitian sebelumnya dan akan membahas terkait pendekatan yang lebih komprehensif dengan menekankan pada aspek penegakan hukum. Dan dengan kebaharuan (GAP) ruang lingkup dampak yang dianalisis lebih luas tidak hanya terbatas pada kerusakan flora tertentu, tetapi mencakup mulai dari masalah perizinan masuk kawasan konservasi sampai dengan dampak terhadap keseluruhan ekosistem kawasan konservasi serta berfokus pada analisis Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024 Perubahan Terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, apakah masih relevan sampai saat ini. Penelitian ini berpotensi memberikan solusi preventif serta model penegakan hukum yang dapat diterapkan untuk mencegah pelanggaran serupa di masa depan, dengan demikian penelitian ini dapat diharapkan memberikan kontribusi signifikan dalam upaya perlindungan serta pengelolaan pada kawasan konservasi yang ada. Keindahan alam di kawasan konservasi menjadi daya tarik tersendiri, Namun keindahan tersebut akan kehilangan maknanya jika kawasan tersebut tidak memiliki kejelasan status hukum, kepastian hukum sangat penting agar pengelolaan kawasan hutan konservasi bisa berjalan dengan baik dan tidak disalahgunakan9.
Rumusan masalah
Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat ditarik sebuah rumusan masalah yaitu:
Pada penelitian ini mempunyai urgensi yang cukup tinggi dikarenakan menyoroti ancaman serius terhadap ekosistem. Kawasan konservasi ini berperan penting dalam menjaga keanekaragaman hayati, mengingat dampak yang ditimbulkan dari aktivitas trail sendiri cukup serius. Penelitian ini akan mengevaluasi bagaimana efektivitas penegakan hukum yang ada khususnya berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Tujuan utama penelitian ini Ialah menganalisis secara mendalam bagaimana penegakan hukum terhadap aktivitas trail di taman hutan raya Raden Soerjo. Secara khusus, Penelitian ini berupaya mengevaluasi efektivitas penegakan hukum yang telah berjalan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024, mengidentifikasi berbagai hambatan yang ada baik dari aspek regulasi maupun implementasi di lapangan, serta merumuskan rekomendasi yang konkret dan strategis untuk meningkatkan perlindungan kawasan konservasi di masa mendatang.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris dengan menggabungkan dua pendekatan utama yaitu pendekatan yuridis (normatif) yang menganalisis aturan hukum tertulis khususnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 Perubahan Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan pendekatan empiris yang melibatkan pengamatan langsung di lapangan serta interaksi dengan stakeholder terkait untuk mendapatkan data primer tentang implementasi penegakan hukum di lapangan. Metode ini dipilih untuk mengevaluasi bagaimana efektivitas penegakan hukum dalam melindungi kawasan konservasi Dari aktivitas serta mengidentifikasi kesenjangan antara ketentuan hukum yang berlaku dan praktik nyata di lapangan Sehingga dapat menghasilkan rekomendasi yang lebih tepat sasaran.
Data penelitian terdiri dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan terkait konservasi, bahan hukum sekunder meliputi jurnal ilmiah dan buku teks hukum lingkungan, serta bahan hukum tersier berupa kamus hokum, artikel Ilmiah serta media massa atau publikasi online terkait isu hukum yang berlaku. Data empiris diperoleh melalui wawancara dengan tiga narasumber kunci yang dipilih secara purposive sampling yaitu Rudi Supriadi (Pengelola TAHURA Raden Soerjo), Zidane (Polisi Kehutanan), dan Syufaat (warga lokal), serta observasi lapangan di kawasan TAHURA Raden Soerjo.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dengan menganalisis peraturan perundang-undangan dan literatur akademik, penelitian lapangan melalui observasi partisipatif di zona inti, zona rimba, dan zona pemanfaatan TAHURA Raden Soerjo, serta wawancara dengan narasumber kurang lebih 10-15 menit. Data yang terkumpul diolah melalui transkripsi, dan kategorisasi berdasarkan bentuk pelanggaran hukum, dampak ekosistem, kendala penegakan hukum, efektivitas regulasi, kemudian divalidasi melalui triangulasi sumber, metode, dan waktu.
Analisis data menggunakan Teori Efektivitas Hukum Soerjono Soekanto yang mengkaji lima faktor yaitu faktor hukum (kualitas norma), faktor penegak hukum (kapasitas petugas), faktor sarana dan fasilitas (infrastruktur pengawasan), faktor masyarakat (kesadaran hukum), dan faktor kebudayaan (nilai-nilai lokal). Teknik analisis meliputi analisis deskriptif untuk menggambarkan kondisi aktual, analisis interpretif berdasarkan teori, analisis evaluatif untuk menilai efektivitas, dan analisis prediktif untuk merumuskan rekomendasi perbaikan sistem penegakan hukum konservasi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3. 1 . Bagaimana Kerangka Hukum Terkait Kawasan Konservasi
Kerangka hukum kawasan konservasi di Indonesia dibangun berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan yang dimulai dari tingkat konstitusional hingga teknis operasional. Pada tingkat konstitusi, Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. memberikan landasan fundamental bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat10. Landasan konstitusional ini menunjukkan bahwa negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi dan mengelola sumber daya alam11, termasuk kawasan konservasi, sebagai bagian dari hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya merupakan landasan hukum utama yang mengatur kawasan konservasi di Indonesia selama lebih dari tiga dekade. UU ini mendefinisikan konservasi sebagai pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman serta nilainya. Dalam konteks kawasan konservasi, undang-undang ini mengategorikan kawasan suaka alam menjadi cagar alam dan suaka margasatwa, serta kawasan pelestarian alam yang terdiri dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Khususnya untuk Taman Hutan Raya (TAHURA), UU ini mendefinisikannya sebagai kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Namun demikian, UU No. 5 Tahun 1990 memiliki beberapa kelemahan mendasar, khususnya terkait ambiguitas konsep "mengurangi dan menghilangkan fungsi kawasan" dalam Pasal 19 yang menimbulkan kesulitan dalam implementasi penegakan hukum di lapangan12. Merespons berbagai kelemahan dan perkembangan dinamika konservasi, pada tahun 2024 pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Perubahan mendasar dalam UU baru ini meliputi penyempurnaan definisi dan ruang lingkup konservasi yang lebih komprehensif, penguatan sanksi pidana, serta penambahan mekanisme pemulihan ekosistem sebagai bagian dari sanksi tambahan. Undang-undang baru ini memperkuat aspek kelembagaan dengan memberikan kewenangan yang lebih jelas kepada penyidik dalam konservasi dan memperkuat koordinasi antar instansi dalam penegakan hukum13.
Dalam konteks penegakan hukum, kerangka hukum konservasi mengadopsi pendekatan multi sanksi yang meliputi sanksi administratif, sanksi perdata, dan sanksi pidana. Sanksi administratif berupa teguran tertulis, penghentian kegiatan, pencabutan izin, serta denda administratif dapat dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang tanpa melewati proses peradilan. Sanksi perdata berupa kewajiban membayar ganti rugi dan biaya pemulihan lingkungan dapat diterapkan melalui kegiatan perdata atau class action yang Di ajukan oleh pihak yang dirugikan atau lembaga Swadaya masyarakat. Sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UU No. 32 Tahun 2024 memberikan ancaman yang cukup berat dengan klasifikasi berdasarkan jenis pelanggaran, dimana aktivitas yang dapat mengubah keutuhan kawasan konservasi dapat dikenai pidana penjara dan denda sesuai dengan tingkat kerusakan yang ditimbulkan. Namun demikian, sistem sanksi ini masih menghadapi kritik terkait ketidakproporsionalan antara jenis pelanggaran dengan sanksi yang diancamkan, dimana tidak ada gradasi yang jelas antara pelanggaran ringan dan berat.
3.2 . Kegiatan Trail di Kawasan Konservasi
Proses pengambilan data dilaksanakan secara sistematis melalui observasi lapangan, dengan menggunakan wawancara dengan beberapa pihak informan kunci yang mewakili berbagai perspektif stakeholder. Kegiatan trail di kawasan konservasi adalah aktivitas yang memanfaatkan jalur atau lintasan yang sudah ada di dalam kawasan tersebut, atau bahkan membuka jalur sendiri, Trail sendiri adalah kegiatan berkendara yang menggunakan kendaraan bermotor khusus off-road atau biasanya motor trail/enduro di jalur yang tidak beraspal seperti pegunungan, hutan, sungai dan medan berlumpur, atau biasa disebut trabas istilah “Trabas” sendiri berasal dari kata “Tembus” yang berarti menembus atau melewati jalur sulit yang tidak bisa biasa dilalui kendaraan umum kini telah menjadi aktivitas rekreasi yang popular, sayangnya popularitas ini membawa dampak negatif ketika dilakukan di area yang seharusnya dilindungi. Berdasarkan pengamatan, terdapat peningkatan yang signifikan pada aktivitas masyarakat yang menyalurkan hobi motor trail di kawasan konservasi. Menurut Rudi Supriadi selaku Pengelola TAHURA Raden Soerjo, “trend ini menjadi perhatian serius karena dampak negatifnya terhadap lingkungan.” Ia menjelaskan bahwa penggunaan motor trail secara masif menyebabkan kerusakan tanah yang parah, yaitu erosi. Kerusakan ini tidak hanya merusak vegetasi, tetapi juga mengganggu struktur tanah, kemudian aliran air hujan yang seharusnya diserap tanah menjadi mengalir deras di permukaan, meningkatkan risiko banjir bandang di hilir. Dalam jangka panjang, kondisi tanah yang tidak stabil akibat erosi juga menjadi pemicu utama terjadinya longsor.
Pembatasan pada wilaya akses kendaraan bermotor di kawasan konservasi Didasarkan pada sistem zonasi yang telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Belum ada perubahan dalam UU 32/2024 mengenai zonasi dan pembatasan kendaraan bermotor. Zona inti, zona rimba, dan zona pemanfaatan masih merujuk pada UU 5/1990. Kawasan konservasi dibagi menjadi beberapa zona dengan tingkat pembatasan berbeda di mana zona inti melarang total akses kendaraan bermotor, zona rimba hanya memperbolehkan akses sangat terbatas dengan izin khusus, zona pemanfaatan mengizinkan akses kontrol sesuai daya dukung lingkungan. Kriteria pembatasan ini didasarkan pada sensitivitas ekologis seperti habitat satwa langka, topografi dengan kemiringan lereng tinggi, dan fungsi konservasi area tersebut. Temuan pada penelitian menunjukkan bahwasanya aktivitas trail memiliki pola pelanggaran yang sistematis serta terorganisir, dengan berbagai karakteristik mulai dari masuk kawasan tanpa izin, merusak vegetasi serta habitat, kemudian mencemari lingkungan bahkan mengganggu satwa liar hal ini dilakukan secara berkelompok mulai dari 10-20 orang, dengan menggunakan modus operandi terencana seperti masuk melalui jalur illegal atau tidak resmi pada waktu tertentu dan koordinasi melalui media sosial, yang berdampak pada kerusakan fisik jalur dengan lebar erosi 2-3 meter, kerusakan vegetasi, pencemaran tanah serta air, dan gangguan pola imigrasi bahkan sampai gangguan reproduksi satwa. Rusaknya koridor ekologi akibat aktivitas trail dapat berdampak pada konservasi satwa liar yang dilindungi14.
Kegiatan trail di kawasan konservasi tersebut telah menimbulkan berbagai permasalahan, mulai dari masalah perizinan masuk yang kebanyakan para pelaku trail tersebut ilegal yang artinya masuk tanpa izin memasuki kawasan konservasi tersebut, sampai dengan permasalahan lingkungan. Kegiatan trail di area konservasi dapat dikategorikan sesuai isi Pasal 19 dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024, secara umum menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan fungsi kawasan konservasi.
kegiatan trail yang dilakukan secara masif dan tidak terkontrol di dalam kawasan konservasi juga dapat dianggap sebagai bentuk perubahan fungsi kawasan secara ilegal, hal ini terjadi ketika aktivitas tersebut mengganggu atau merusak stabilitas ekosistem yang ada dan mengurangi kemampuan kawasan dalam menjalankan fungsi ekologisnya, apabila dilakukan secara berulang tanpa pengawasan serta tindakan hukum yang tegas sehingga pelanggaran tersebut menjadi kebiasaan yang dimaklumi oleh masyarakat sekitar, fenomena ini menunjukkan adanya normalisasi pelanggaran hukum akibat lemahnya penegakan sanksi15. Lemahnya penegakan hukum Juga menjadi salah satu bentuk pelanggaran secara tidak langsung yang memperburuk situasi, terbatasnya pengawasan dari aparat penegak hukum kemudian kurangnya kapasitas sumber daya manusia dan kurangnya sosialisasi aturan konservasi kepada masyarakat menyebabkan para pelaku tidak memahami atau tidak takut terhadap konsekuensi hukum dari tindakan mereka, yang akibatnya kawasan konservasi seperti TAHURA Raden Soerjo berisiko mengalami kerusakan ekologis jangka panjang jika bentuk-bentuk pelanggaran tersebut tidak segera ditindak lanjuti secara tegas dan konsisten oleh para pihak yang berwenang.
Dengan demikian bentuk pelanggaran hukum dalam kegiatan kawasan konservasi dapat diidentifikasi secara menyeluruh. terdapat kategori pelanggaran administratif atau tidak memiliki izin masuk kawasan konservasi, pelanggaran ekologis perusakan habitat dan tumbuhan bahkan sampai yang dilindungi, pelanggaran fungsi kawasan penggunaan untuk kegiatan ilegal.
3.3. Analisis Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024 Perubahan Terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya
Pada pasal (19) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati mengatur tentang larangan melakukan kegiatan yang dapat “mengurangi dan menghilangkan fungsi kawasan” pengertian ini mengandung ambiguitas fundamental yang menimbulkan permasalahan serius dalam implementasi penegakan hukum, kemudian konsep mengurangi fungsi kawasan tidak dijelaskan secara operasional sehingga sulit untuk menentukan batas aktivitas yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran. Undang-undang ini dinilai tidak lagi memadai. Salah satu kelemahan utama terletak pada Pasal 19 yang memuat larangan “mengurangi dan menghilangkan fungsi kawasan” tanpa memberikan definisi operasional yang jelas. Akibatnya, aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi apakah aktivitas trail, yang dapat menyebabkan erosi tanah, kerusakan vegetasi, dan gangguan terhadap satwa liar, termasuk dalam kategori pelanggaran hukum. Selain itu, UU No. 5 Tahun 1990 juga belum mengatur secara rinci tentang sistem zonasi kawasan konservasi, khususnya dalam membatasi akses kendaraan bermotor sesuai tingkat sensitivitas ekosistem.
Sebagai respons terhadap berbagai kekosongan hukum ini, pada tahun 2024 pemerintah mengesahkan UU No. 32 Tahun 2024 sebagai revisi terhadap UU sebelumnya. Pasal 19 (Baru) Isu Pembuktian dan Ambang Batas Kerusakan. Undang-undang yang baru berupaya memperjelas frasa "perubahan terhadap keutuhan kawasan." Namun, dalam konteks aktivitas trail, konsep ini masih dapat menimbulkan perdebatan hukum, Undang-undang ini tidak secara spesifik mendefinisikan "ambang batas" kerusakan. Misalnya, berapa luas area yang harus rusak agar bisa dikategorikan sebagai "perubahan keutuhan". Apakah satu motor trail yang melewati jalur secara tidak sengaja dapat dikenai hukuman yang sama dengan kelompok trail yang merusak area secara berulang-ulang, Ketidakjelasan ini dapat kembali membuka ruang interpretasi yang pada akhirnya membuat hakim sulit memutuskan sanksi yang tepat. Dalam konteks aktivitas trail ambiguitas ini menjadi sangat problematik karena aktivitas tersebut tidak selalu menyebabkan kerusakan fisik yang terlihat secara langsung, namun dampak aktivitas trail terhadap fungsi kawasan konservasi sering kali bersifat kumulatif dan jangka panjang, seperti gangguan terhadap satwa, kerusakan vegetasi akibat tindakan berulang, ketidak jelasan konseptual ini karena regulasi yang tidak jelas, penegak hukum bisa menafsirkannya sesuka hati, sehingga sanksi yang dijatuhkan jadi tidak sesuai.
Ketiadaan parameter yang jelas dalam UU No. 32 Tahun 2024 menjadi kelemahan mendasar yang menghambat efektivitas penegakan hukum. Sistem sanksi dalam UU No. 32 Tahun 2024 menunjukkan ke tidak proporsionalan yang signifikan antara jenis pelanggaran dengan sanksi yang diancamkan. Pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 11 tahun (sesuai Pasal 40 ayat 2 UU 32/2024), Denda Rp 200 juta–Rp 2 miliar (kategori IV–VII). untuk setiap pelanggaran terhadap ketentuan konservasi. Tidak adanya uraian rinci dan signifikan dalam pasal tersebut menimbulkan ketidakjelasan dalam norma hukum atau kekaburan norma (vague norm) yang mengakibatkan munculnya ketidak pastian hukum terkait peraturan tersebut16. Sanksi tersebut dirancang dengan pendekatan yang tidak membedakan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh berbagai jenis aktivitas, dalam konteks aktivitas trail penerapan sanksi maksimal sering kali tidak proporsional dengan tingkat kerusakan yang ditimbulkan seorang trailer yang melintas kawasan konservasi tanpa menyebabkan kerusakan fisik yang signifikan dapat diancam dengan sanksi yang sama dengan seseorang yang melakukan penebangan atau perburuan liar, Dalam UU No. 32 Tahun 2024, penyusunan rumusan tindak pidana menggabungkan berbagai macam perbuatan ke dalam satu kategori delik, meskipun perbuatan-perbuatan tersebut memiliki bentuk dan tingkat kejahatan yang berbeda-beda, Keseluruhan tindakan ini dikenai ancaman hukuman yang sama rata, padahal sesungguhnya ada perbuatan yang lebih berat konsekuensinya ketimbang perbuatan yang lain.
Ketidak profesionalan ini tidak hanya menimbulkan masalah keadilan tetapi juga dapat menurunkan legitimasi regulasi di mata masyarakat. Kegagalan implementasi regulasi dapat mengikis kepercayaan publik dikarenakan regulasi yang idealnya bertujuan menciptakan ketertiban, keadilan, serta kesejahteraan justru tidak efektif. Ketika regulasi memiliki legitimasi artinya diterima secara luas maka masyarakat akan patuh secara sukarela tanpa perlu penegakan hukum yang berlebihan, sehingga pada akhirnya mendorong ketertiban sosial. Sebaliknya, Regulasi yang gagal diterapkan secara efektif akan memicu ketidak percayaan publik, Merusak kredibilitas pemerintah dimata rakyat, dan mengikis fondasi legitimasi yang telah dibangun.
penelitian dalam bidang hukum pidana lingkungan menunjukkan bahwa sistem sanksi yang efektif harus mempertimbangkan tingkat kerusakan serta kemampuan pemulihan pelaku dalam UU No. 32 Tahun 2024 tidak menyediakan mekanisme untuk mengkategorikan pelanggaran berdasarkan tingkat dampaknya sehingga sulit bagi hakim untuk memberikan putusan yang adil dan proposional. Lemahnya regulasi ini telah menyebabkan aktivitas tersebut sering kali terjadi, para pelaku merasa aman dikarenakan ketidak jelasan aturan serta Inkonsistensi penegakan hukum, kondisi ini tidak hanya mengancam kelestarian kawasan konservasi tetapi juga melemahkan otoritas negara dalam perlindungan lingkungan. Meskipun UU No. 32 Tahun 2024 adalah sebuah langkah maju dalam memperkuat sanksi, masih mewarisi beberapa kelemahan mendasar dari UU yang lama, terutama terkait kerumitan perumusan delik dan sistem sanksi yang belum sepenuhnya proporsional. Agar penegakan hukum terhadap aktivitas trail di kawasan konservasi menjadi efektif, diperlukan lebih dari sekadar sanksi yang berat. Penegakan hukum juga harus adil, konsisten, dan didukung oleh aturan yang memiliki tingkatan jelas antara pelanggaran ringan dan berat.
3.4. Identifikasi Akibat Hukum dan Kendala Dalam Proses Penegakan Hukum
Mengingat bentuk pelanggaran hukum dalam kegiatan kawasan konservasi dapat diidentifikasi secara menyeluruh. terdapat kategori pelanggaran administratif atau tidak memiliki izin masuk kawasan konservasi, pelanggaran ekologis perusakan habitat dan tumbuhan bahkan sampai yang dilindungi, pelanggaran fungsi kawasan penggunaan untuk kegiatan ilegal. Konsekuensi hukum yang diberikan sekarang bermacam-macam dan tidak konsisten. Sanksi administratif, seperti teguran tertulis serta denda, dan penghentian kegiatan seringkali tidak memiliki efek jera, sementara sanksi Didasarkan pada Pasal 40 UU No. 32 Tahun 2024, aktivitas trail yang dilakukan di dalam kawasan konservasi terutama di zona inti atau zona rimba pantas dikenai pidana penjara, Pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 11 tahun (sesuai Pasal 40 ayat 2 UU 32/2024), Denda Rp 200 juta–Rp 2 miliar (kategori IV–VII). masih menghadapi kendala pembuktian, kuantifikasi kerugian, dan eksekusi putusan. Meskipun pendekatan persuasif dan restoratif melalui pelibatan komunitas lokal menunjukkan potensi positif namun belum terstruktur dengan baik, secara ringkas konsekuensi hukum bagi pelaku trail di kawasan konservasi TAHURA Raden Soerjo bersifat administratif atau sanksi ringan tanpa efek jera yang kuat. Oleh karena itu saya sajikan tabel 1. Yang memuat rangkuman data mengenai berbagai kendala penegakan hukum terhadap aktivitas trail di dalam kawasan konservasi Taman Hutan Raya (TAHURA) Raden Soerjo.
Tabel 1.Kendala Penegakan Hukum Aktivitas Trail di Kawasan Konservasi TAHURA Raden Soerjo
Pada Tabel 1. Proses penegakan hukum menghadapi beberapa kendala yang cukup kompleks mulai dari kendala teknis berupa keterbatasan sumber daya manusia atau penegak hukum mengingat kawasan konservasi Taman Hutan Raya Raden Soerjo sangat luas, kemudian keterbatasan sarana prasarana ini poin yang penting dikarenakan akses geografis yang cukup sulit, kendala administratif berupa proses hukum yang panjang dan rumit, koordinasi antar instansi yang belum memadai atau belum optimal, keterbatasan anggaran operasional dan kendala struktural berupa peraturan yang dianggap sudah tidak relevan, kemudian lemahnya dukungan masyarakat dan rendahnya budaya hukum masyarakat. Dalam konteks penegakan hukum terhadap para pelaku trail di area kawasan konservasi Taman Hutan Raya Raden Soerjo, lemahnya penegakan hukum menjadi pelanggaran tidak langsung yang memperparah situasi ekosistem kawasan konservasi. Sejumlah kasus studi di Indonesia menunjukkan pola serupa yaitu lemahnya pengawasan, dan kurangnya koordinasi antar lembaga penegak hukum, hingga rendahnya kesadaran masyarakat menjadi hambatan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana sehingga pelanggaran tersebut terus terjadi atau terulang17.
Salah satu kendala fundamental dalam penegakan hukum adalah rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pelestarian lingkungan serta pemahaman mengenai regulasi yang mengatur kawasan tersebut sebagaimana yang terjadi di taman hutan raya raden soerjo, masyarakat menganggap bahwasanya kawasan taman hutan raya dapat dimanfaatkan hasil hutannya dan boleh masuk kawasan tersebut, persepsi keliru ini menunjukkan bahwasanya masyarakat belum sepenuhnya memahami status kawasan konservasi sebagai area dilindungi dan memiliki fungsi ekologis vital yang harus dijaga kelestariannya, rendahnya kesadaran hukum masyarakat ini tidak terlepas dari faktor pendidikan serta sosialisasi yang belum optimal. Dampak dari rendahnya kesadaran masyarakat ini tidak hanya terlihat pada aspek penegakan hukum tetapi juga pada efektivitas program konservasi secara keseluruhan, ketika masyarakat tidak memahami urgensi pelestarian kawasan konservasi mereka cenderung tidak mendukung upaya-upaya penegakan hukum dan akan dapat menjadi resistensi terhadap program konservasi yang dijalankan pemerintah, hal ini menciptakan lingkaran setan di mana penegakan hukum menjadi semakin sulit dilakukan karena tidak adanya dukungan dan partisipasi aktif dari masyarakat lokal yang seharusnya menjadi mitra utama dalam menjaga kelestarian kawasan konservasi tersebut18.
3. 5 . Rekomendasi Peningkatan Efektivitas
Efektivitas penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu hukum, penegak hukum, sarana dan fasilitas, masyarakat, dan kebudayaan. Rekomendasi peningkatan efektivitas penegakan hukum terhadap aktivitas trail di kawasan konservasi TAHURA Raden Soerjo perlu disusun secara komprehensif dan terintegrasi. Soekanto mengemukakan bahwa efektivitas hukum tidak hanya bergantung pada satu dimensi saja, melainkan pada interaksi sinergis antara kelima dimensi tersebut, dimana kelemahan pada salah satu dimensi akan mempengaruhi efektivitas keseluruhan sistem hukum. Kelima faktor ini saling berkaitan dan hanya akan efektif jika berjalan seimbang sebagai satu kesatuan sistem19.
Dalam konteks penelitian ini, temuan menunjukkan bahwa ketidak efektivitasan penegakan hukum konservasi disebabkan oleh permasalahan yang kompleks, mulai dari lemahnya substansi, keterbatasan struktur kelembagaan, fasilitas sarana prasana yang kurang memadahi, kurangnya tingkat kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat, hingga rendahnya budaya hukum masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto, efektivitas penegakan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor utama, yakni: faktor hukum itu sendiri yang mencakup peraturan perundang-undangan sebagai landasan normatif, faktor penegak hukum yang meliputi pihak-pihak yang menyusun dan menerapkan hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum, faktor masyarakat sebagai lingkungan sosial tempat hukum diberlakukan, serta faktor kebudayaan yang mencerminkan hasil karya, cipta, dan rasa manusia yang terbentuk dalam kehidupan bermasyarakat20, Kerja sama lintas sektor, untuk mencapai sinergi dan keterpaduan program sejak dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi sangat diperlukan21.
1. Rekomendasi penyempurnaan substansi sebagai bagian prioritas utama mengingat UU No. 32 Tahun 2024 tentang Konservasi menunjukkan kelemahan fundamental dalam menghadapi perkembangan aktivitas trail modern. Ambiguitas konsep "mengurangi dan menghilangkan fungsi kawasan" dalam Pasal 19 telah menciptakan ketidakpastian hukum yang signifikan, dimana penegak hukum kesulitan menentukan batas-batas aktivitas yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran. UU No. 32 Tahun 2024 sebagai perubahan atas UU No. 5 Tahun 1990 permasalahan ketidak sesuaian sistem sanksi justru semakin kompleks. Meskipun ada penambahan pidana tambahan untuk pemulihan, struktur sanksi masih bersifat punitive-oriented tanpa memberikan porsi yang memadai untuk pendekatan restoratif yang mempertimbangkan kemampuan pemulihan pelaku dan dampak terhadap masyarakat. Perubahan dalam UU No. 32 Tahun 2024 menunjukkan pendekatan "pemberatan sanksi" tanpa memperbaiki arsitektur sistem penegakan hukum yang mendasar, Pasal 40 UU No. 32 Tahun 2024 merupakan pasal yang mengatur sanksi pidana, yang kini jauh lebih berat dibandingkan undang-undang sebelumnya. Peningkatan ini menjadi sumber kritik karena dianggap berlebihan dan berpotensi menciptakan ketidakadilan, meskipun di sisi lain, pemerintah berupaya untuk memberikan perlindungan yang lebih kuat terhadap lingkungan hidup. sehingga justru memperparah ketidak proporsionalan dan menambah kompleksitas implementasi yang pada akhirnya dapat mengurangi efektivitas penegakan hukum. Revisi regulasi harus mencakup penyempurnaan definisi operasional terhadap aktivitas yang dilarang, dengan memberikan parameter yang jelas dan terukur untuk mengkategorikan berbagai jenis pelanggaran berdasarkan tingkat dampaknya terhadap ekosistem22. Sistem zonasi kawasan konservasi juga perlu diperjelas dengan kriteria pembatasan akses kendaraan bermotor yang lebih spesifik, mengingat kawasan dibagi menjadi zona inti yang melarang total akses kendaraan bermotor, zona rimba dengan akses sangat terbatas, dan zona pemanfaatan dengan akses terkontrol sesuai daya dukung lingkungan.
2. Rekomendasi penguatan kelembagaan dalam dimensi struktur hukum menjadi sangat penting mengingat temuan penelitian menunjukkan keterbatasan sumber daya manusia, Peningkatan kapasitas SDM pengelola tidak hanya dalam aspek kuantitas tetapi juga kualitas, melalui program pelatihan komprehensif yang mencakup teknik pengawasan modern, pemahaman regulasi terbaru, dan kemampuan koordinasi antar instansi. Koordinasi antar instansi yang selama ini belum optimal perlu diperkuat melalui pembentukan task force terpadu yang melibatkan Balai TAHURA, Polhut, Polri, dan instansi terkait lainnya, dengan mekanisme koordinasi yang jelas dan sistem pelaporan yang terintegrasi. Sistem patroli terpadu antar instansi dapat meningkatkan efektivitas operasi lapangan sekaligus mengatasi keterbatasan sumber daya masing-masing instansi.
3. Rekomondasi fasilatas yakni dengan modernisasi sistem pengawasan berbasis teknologi menjadi kebutuhan mendesak untuk mengatasi keterbatasan akses geografis yang sulit dan modus operandi pelanggar yang semakin canggih melalui koordinasi media sosial. Implementasi sistem monitoring real-time, penggunaan drone untuk patroli udara, dan pemasangan sensor elektronik di jalur-jalur rawan dapat meningkatkan efektivitas pengawasan secara signifikan. Peningkatan anggaran operasional juga menjadi prasyarat untuk mendukung modernisasi sistem pengawasan dan peningkatan kapasitas SDM, mengingat keterbatasan anggaran operasional menjadi salah satu kendala utama dalam penegakan hukum23.
4. Mengingat rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pelestarian kawasan konservasi menjadi salah satu kendala fundamental dalam penegakan hukum. Program edukasi masyarakat harus dirancang secara komprehensif dan berkelanjutan24, tidak hanya memberikan informasi tentang regulasi yang berlaku tetapi juga menumbuhkan pemahaman mendalam tentang nilai ekologis kawasan konservasi dan dampak jangka panjang dari aktivitas trail yang bukan pada tempatnya. Temuan penelitian menunjukkan bahwa masyarakat menganggap kawasan tersebut dapat dimanfaatkan hasil hutannya dan boleh diakses secara bebas, persepsi keliru ini menunjukkan kurangnya sosialisasi yang efektif tentang status kawasan konservasi sebagai area dilindungi. Kerjasama dengan komunitas trail mungkin menjadi strategi penting untuk mengubah perilaku pelaku dari dalam, melalui pendekatan persuasif yang melibatkan tokoh-tokoh dari komunitas untuk menjadi agen perubahan. Penyediaan alternatif lokasi trail yang legal dapat mengurangi tekanan terhadap kawasan konservasi sekaligus mengakomodasi kebutuhan rekreasi masyarakat, dengan syarat lokasi alternatif tersebut memiliki daya dukung lingkungan yang memadai dan tidak mengganggu fungsi ekologis. Program ini harus didukung dengan pengembangan infrastruktur yang memadai dan promosi yang efektif untuk mengalihkan aktivitas trail dari kawasan konservasi ke lokasi yang legal.
5. Dalam dimensi budaya hukum, Strategi pencegahan terhadap aktivitas trail di kawasan konservasi TAHURA Raden Soerjo dapat difokuskan pada penguatan kearifan lokal serta pembangunan kesadaran kolektif, Pertama kearifan lokal perlu dihidupkan kembali sebagai nilai dasar yang mengatur perilaku masyarakat terhadap hutan, tradisi dan kepercayaan lokal yang memandang hutan sebagai ruang sakral atau sumber kehidupan dapat dijadikan pedoman moral guna memperkuat kepatuhan pada aturan konservasi. Dengan melibatkan tokoh adat dan pemuka masyarakat sebagai agen perubahan, nilai lokal tersebut akan lebih mudah diterima serta di internalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua kesadaran kolektif masyarakat harus diperkuat agar pelestarian hutan dipandang sebagai tanggung jawab bersama bukan hanya kewajiban aparat, Hal ini dapat diwujudkan dengan menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap kawasan konservasi, kemudian membangun solidaritas sosial untuk menolak aktivitas trail di kawasan konservasi, Serta menumbuhkan stigma negatif terhadap pelanggaran lingkungan, Dengan demikian budaya hukum yang tumbuh dari kearifan lokal dan kesadaran kolektif akan membentuk perilaku masyarakat yang lebih peduli terhadap kelestarian lingkungan.
Efektivitas implementasi rekomendasi sangat bergantung pada pendekatan holistik yang mengintegrasikan kelima dimensi teori Soekanto secara sinergis. Penyempurnaan substansi hukum tanpa didukung penguatan struktur kelembagaan dan transformasi budaya hukum masyarakat tidak akan memberikan hasil yang optimal. Demikian pula, penguatan struktur tanpa perbaikan substansi dan peningkatan kesadaran hukum masyarakat akan menghadapi kendala implementasi yang serius. Transformasi budaya hukum mungkin memerlukan waktu yang relatif lama serta konsistensi dalam implementasi melalui program edukasi, sehingga diperlukan komitmen jangka panjang dari semua stakeholder terkait. Keberhasilan peningkatan efektivitas penegakan hukum konservasi tidak hanya diukur dari berkurangnya jumlah pelanggaran, tetapi juga dari tumbuhnya kesadaran kolektif masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian kawasan konservasi untuk generasi mendatang25.
Penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas trail di kawasan konservasi tepatnya TAHURA Raden Soerjo menimbulkan kerusakan ekologis signifikan, mencakup perusakan vegetasi, gangguan habitat satwa liar, pencemaran tanah dan air, serta perubahan fungsi kawasan. Aktivitas tersebut umumnya dilakukan tanpa izin, terorganisir, dan memanfaatkan celah pengawasan. Meskipun UU No. 32 Tahun 2024 telah memperkuat sanksi dibandingkan UU No. 5 Tahun 1990, masih mewarisi beberapa kelemahan mendasar dari UU yang lama yaitu terdapat beberapa kelemahan mendasar berupa ambiguitas norma, ketiadaan parameter kerusakan yang jelas, dan sistem sanksi yang belum proporsional. Lemahnya struktur kelembagaan, terbatasnya sumber daya manusia dan anggaran, serta rendahnya kesadaran hukum masyarakat semakin menghambat efektivitas penegakan hukum. Oleh karena itu, peningkatan perlindungan kawasan konservasi memerlukan pendekatan terpadu yang mencakup penyempurnaan substansi hukum, penguatan kelembagaan, modernisasi pengawasan, serta transformasi budaya hukum masyarakat. Sinergi kelima dimensi ini menjadi kunci untuk mencegah pelanggaran berulang dan memastikan kelestarian kawasan konservasi bagi generasi mendatang.
Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, khususnya Program Studi Hukum, atas dukungan fasilitas dan lingkungan akademik yang kondusif selama proses penyusunan dan pelaksanaan penelitian ini. Penelitian ini tidak akan dapat terwujud tanpa dukungan dan kontribusi dari berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dan kerjasama yang sangat berharga. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada. Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada para Narasumber. Tidak lupa, penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada keluarga dan sahabat, yang senantiasa memberikan dukungan moral, motivasi, dan doa selama proses penelitian berlangsung.
Url: https://share.google/tqGdsN6QsyQKUZdh7
Doi: https://doi.org/10.38011/Jhli.V2i2.23.
Doi: https://doi.org/10.29303/Jbl.V6i2.895.
URL : https://www.antaranews.com/berita/3058973/tahura-r-soerjo-larang-aktivitas-motor-trail-di-kawasan-konservasi
Doi: https://doi.org/10.24967/Jaeap.V2i02.2152.
URL : https://bhl-jurnal.or.id/index.php/bhl/article/view/149
URL : https://www.mkri.id/public/content/infoumum/regulation/pdf/UUD45%20ASLI.pdf
Doi: https://doi.org/10.31078/Jk1524.
URL : https://peraturan.bpk.go.id/Details/46710/uu-no-5-tahun-1990
URL : https://peraturan.bpk.go.id/Details/295135/uu-no-32-tahun-2024
Doi: https://doi.org/10.51878/Cendekia.V4i3.3114.
URL : https://oiolink.com/IB5GdGqm16
[16]E. Cristiana, “Perlindungan Kawasan Taman Nasional Menurut Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Analisis Kasus Kebakaran Bromo Tengger Semeru),” Vol. 10, No. 1, 2024.
URL : https://share.google/v0ucksa0UpdXe4uHp
URL: https://etd.usk.ac.id/index.php?p=show_detail&id=58890
Doi: https://doi.org/10.38035/Jihhp.V5i4.4234.
Doi: https://doi.org/10.31328/Wy.V7i3.5076.
URL : https://jurnal.iainambon.ac.id/index.php/THK/article/view/9294
Doi: https://doi.org/10.35965/Ijlf.V3i2.642.
Doi: https://doi.org/10.46799/Jsa.V5i10.1662.
URL: https://share.google/bkt8o73nTOySQFgdj
[1] M. A. Alwi, “Implementasi Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya Dalam Perlindungan Bunga Edelweiss (Studi di Gunung Buthak),” Universitas Islam Malang, vol. 28, 2022.
[2] P. Pudiansa, R. Gumanti, M. Melian, R. Reflis, and S. Utama, “Penurunan Debit Air Danau Dendam Tak Sudah Untuk Irigasi Persawahan Setelah Perubahan Status Cagar Alam Menjadi Taman Wisata Alam,” Insologi Journal of Science and Technology, vol. 3, no. 3, pp. 255–261, Jun. 2024, doi: 10.55123/Insologi.V3i3.3477.
[3] E. Rosnawati and M. T. Multazam, Buku Ajar Hukum Lingkungan. Umsida Press, 2022, pp. 1–209, doi: 10.21070/2022/978-623-464-035-9.
[4] S. Samedi, “Konservasi Keanekaragaman Hayati di Indonesia: Rekomendasi Perbaikan Undang-Undang Konservasi,” Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, vol. 2, no. 2, pp. 1–28, Feb. 2021, doi: 10.38011/JHLI.V2i2.23.
[5] J. G. J. Saputro and F. U. Najicha, “Analisis Upaya Penegakan Hukum dan Pengawasan Mengenai Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat,” Jurnal Yuridika, doi: 10.35586/JYUR.V6I2.1076.
[6] I. M. Safitri et al., “Faktor-Faktor yang Mendorong Masyarakat Desa Labuhan Ratu VII Ikut Serta dalam Kemitraan Konservasi di Taman Nasional Way Kambas,” Jurnal Belantara, vol. 6, no. 2, pp. 147–156, Aug. 2023, doi: 10.29303/JBL.V6i2.895.
[7] “Tahura R Soerjo Larang Aktivitas Motor Trail di Kawasan Konservasi,” Antara News, 2023. [Online]. Available: https://www.antaranews.com/berita/3058973/tahura-r-soerjo-larang-aktivitas-motor-trail-di-kawasan-konservasi
[8] I. I. C. Tyas and F. U. Najicha, “Kebijakan Hukum Bagi Para Pemotor Trail yang Melakukan Pengrusakan Bunga Edelweiss Sebagai Tumbuhan yang Dilindungi,” Audi Ap Journal of Legal Research, vol. 2, no. 2, pp. 135–141, Aug. 2023, doi: 10.24967/JAEAP.V2i02.2152.
[9] A. Sadikin, “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Pasca Berlakunya Perdirjen KSDAE Tentang Kemitraan Konservasi,” BHL Journal, vol. 5, 2021. [Online]. Available: https://bhl-jurnal.or.id/index.php/bhl/article/view/149
[10] “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.” [Online]. Available: https://www.mkri.id/public/content/infoumum/regulation/pdf/UUD45%20ASLI.pdf