Intelectual Property Right
DOI: 10.21070/ijler.v19i2.1013

Legal Safeguards for Owners of Untapped Foreign Brands Under Indonesia's First-to-File Principle


Perlindungan Hukum bagi Pemilik Merek Asing yang Belum Dimanfaatkan Berdasarkan Prinsip First-to-File Indonesia

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Unregistered trademarks Legal protection Brand ownership Intellectual property rights First To File principle

Abstract

This study examines the risks associated with unregistered trademarks, particularly in the context of Indonesia's adherence to the First To File principle. Employing normative methods with a statistical and statutory approach, data was gathered from Supreme Court Decision and DGIP Brand websites to identify potentially problematic and non-problematic brands. Results reveal three layers of legal protection for foreign brand holders outlined in TRIPS regulations, the Paris Convention, and Law no. 20 of 2016, each with its own limitations. Moreover, the study delineates two forms of legal safeguarding for brands: preventive measures through regulatory frameworks and repressive actions via sanctions for infringements. These findings underscore the importance of registering trademarks for robust protection, emphasizing the need for comprehensive legal strategies to mitigate risks for brand owners in the global marketplace.

highlights :

  • The study elucidates the vulnerabilities associated with unregistered trademarks within the framework of Indonesia's First To File principle.
  • It identifies and examines the legal safeguards available to foreign brand holders under TRIPS regulations, the Paris Convention, and Indonesian Law no. 20 of 2016.
  • The research underscores the significance of comprehensive legal strategies, including preventive measures and repressive actions, to protect brand owners in the global marketplace.

Keywords: Unregistered trademarks, Legal protection, Brand ownership, Intellectual property rights, First To File principle.

Pendahuluan

Badan eksekutif Kemenkumham, Dirjen HKI, bertugas membuat dan melaksanakan ketentuan per-uu tentang KI. Misi dan peran pembentukan Ditjen KI serta didukung oleh per-uu semacam yang berlaku di Indonesia. Warga umum tidak mengetahui signifikan HKI.[1] Dalam perdagangan benda serta/ ataupun jasa, merk dagang merupakan sejenis hak atas KI yang bisa dinyatakan secara visual buat membedakan produk ataupun jasa yang dihasilkan dalam perdagangan oleh perorangan, korporasi, ataupun badan hukum. HKI hadir dalam berbagai bentuk. UU No. 7/1994 sudah dipakai untuk meratifikasi penerimaan Indonesia pada perjanjian internasional yang berkaitan dengan HKI. Memasukkan ketentuan TRIPS Agreement ke dalam hukum nasional ialah tujuan ratifikasi. [2] Jika suatu merek tidak didaftarkan, merek tersebut bisa dipakai oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab dan pihak yang tidak beri’tikad baik, sehingga pemilik merek tidak mendapatkan perlindungan, pihak lain sering memakai taktik yang tidak pantas atau ilegal buat memperoleh keuntungan dengan cepat dalam jumlah banyak. Salah satu teknik tersebut adalah dengan meniru atau memalsukan merek terkenal cara mendapatkan perlindungan adalah dengan mendaftarkan merek tersebut. [3] Indonesia menganut salah satu prinsip pengaturan dan perlindungan hak kepemilikan merek dengan menggunakan prinsip First To File. Merek dilindungi bagi pemilik atau pengguna merek jika merek tersebut tercatat di Dirjen HKI Kemenkumham, serta merek terdaftar harus memiliki kegunaan komersial bagi pengguna merek tersebut. [4] Kepemilikan hak merek dagang Indonesia harus terlebih dahulu didaftarkan berdasarkan prinsip/asas First To File. Setelah terdaftar, pemegang merek menerima perlindungan hukum, tetapi ada banyak perselisihan tentang merek terdaftar yang tidak digunakan untuk tujuan komersial yang membawa keuntungan komersial di pasar komersial. Sementara Amerika Serikat (AS) dengan menggunakan prinsip Intens To Use, dimana merek dagang dapat didaftarkan sebelum ada objek yang diperjual belikan, Amerika Serikat juga menerapkan persyaratan perlindungan merek seperti yang diterapkan di Eropa, Jepang, dan Indonesia. Persyaratan ini mencakup invensi baru yang menunjukkan tingkat inovasi yang dapat diterapkan di industri.

Sebuah merek memiliki banyak fungsi, diantaranya sebagai Brand Of Origin” Ini menunjukkan hak komersial yang signifikan serta menampilkan ikatan antara sumber benda ataupun jasa serta pihak yang mempunyai merk. [5].

DalamPasal 61 ayat 2 huruf A “Penghapusan pendaftaran Merek atas prakarsa Direktorat Jenderal dapat dilakukan jika Merek tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir, kecuali apabila ada alasan yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal” bagi Undang- Undang Merk 2001. UU No. 20 Tahun 2016 Dalam pasal 74 ayat 1” Penghapusan pendaftaran Merek atas prakarsa Direktorat Jenderal dapat dilakukan jika Merek tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir, kecuali apabila ada alasan yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal” dan bunyi Pasal 35 ayat 1 “Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum selama sepuluh tahun sejak tanggal penerimaannya.”. Akibatnya, pemilik merek tidak dapat menggunakan hak eksklusifnya karena UU Merek dan Indikasi Geografis tidak sepenuhnya mendefinisikan secara detail mengenai Hak eksklusif, dan melihat merek asing yang terdaftar digunakan untuk komersial dan merek asing yang terdaftar tetapi tidak dimanfaatkan untuk kegiatan komersial.Karena kasus di atas belum sepenuhnya melindungi pemilik merek terdaftar tetapi tidak digunakan secara komersial, dalam hal ini prinsip First-To-File di Indonesia bertujuan untuk melindungi merek terdaftar. Dalam hal ini PT Inter IKEA System BV Swedia mengajukan pendaftaran merk dagang sebelum terlibat dalam aktivitas komersial, salah satu prinsip dari Amerika yaitu prinsip Intens To Use karena telah dijelaskan di Trademark statues di pasal 43 ayat 7 Trademark Statues “orang tersebut telah membuat penawaran kepada pemilik merek atau pihak ketiga untuk mentransfer, menjual, atau menyampaikan nama domain untuk mendapatkan uang tanpa menggunakan atau berencana menggunakan nama domain dalam penawaran yang sah atas produk atau layanan apa pun, atau pengungkapan tindakan mereka di masa lalu pola perilaku. “

Dari penjelasan diatas perlu penelitian terdahulu digunakan sebagai acuan dalam penyusunan artikel ilmiah oleh penulis saat ini dan untuk membedakan antara penelitian saat ini dan penelitian sebelumnya, sehingga penelitian terdahulu oleh Rahmadia Maudy Putri Karina,Rinitami Njatrijani dengan judul " Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Merek Dagang IKEA Atas Penghapusan Merek Dagang" bertujuan untuk mengetahui kapan PT Inter IKEA System BV Swedia kehabisan hak merknya serta untuk mengetahui perlindungan.hukum yang jadi hak pemegang hak merk dagang IKEA. Kesimpulan studi ini Bersumber putusan MA Nomor. 264/ K/ Pdt. SUS- HKI/ 2015, PT Inter IKEA System BV di Swedia tidak lagi diperbolehkan mengenakan merek IKEA. PT Ratania Khatulistiwa mendapatkan otoritas untuk mengajukan permohonan pendaftaran merek IKEA dan penghapusan atas merk dagang IKEA yang tercatat di Dirjen HKI dari PT Inter IKEA System BV, walaupun PT Ratania Khatulistiwa bukan pendaftar pertama merk IKEA.[6]

Selanjutnyan di riset Zaenal Arifin dan Muhammad Iqbal dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Merk yang Terdaftar” bertujuan buat mengkaji serta menganalisis bagaimana dan mengapa merek terdaftar dilindungi secara hukum serta kapan perlindungan tersebut dapat berakhir. Temuan penelitian mengungkapkan bahwa permintaan, penghapusan, dan pendaftaran merek sekarang tidak relevan. Penghapusan merek dari Menteri setelah mendapat rekomendasi dari Komisi Banding Merek, dan adanya gugatan dari pihak ketiga. Jangka waktu proteksi merk selama 10 tahun bisa diperpanjang selama periode yang sama. Dengan adanya penindakan tuntutan secara Pidana,gugatan Perdata seperti Administratif berupa penolakan dan penghapusan merek.[7] Dalam penelitiann yang ditulis oleh Yohan Prawira Pakpahan dan Imam Harianto dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pemilik Merek Tidak Terdaftar Ditinjau Dari Prinsip Use In Commercemeriset apakah terdapat perlindungan terhadap merek- merek umum yang seolah- olah tidak terdaftar sementara itu terdapat pihak- pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mendaftarkan merek, guna mencegah pihak- pihak yang tidak beri’tikad baik mendapatkan hak atas merk itu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa registrasi palsu dan perlindungan palsu dilindungi, dalam keadaan seperti itu. Jenis perlindungan ini tidak digunakan oleh sistem merek dagang Amerika. Sebaliknya, mereka mempraktikkan perlindungan yang didukung oleh penggunaan, yaitu harus memenuhi kebutuhan agar dapat digunakan dalam perdagangan yang menguntungkan secara komersial. Indonesia seharusnya mengikuti undang-undang AS jika diterapkan dalam perdagangan, dapat membantu melindungi merek dagang yang tidak tercatat.[5] Dari kajian lain yang ditulis oleh Neisa Inses Tritanaya dan Wiwin Yulianingsih, dengan judul “Perbandingan Perlindungan Hukum Merek antara Prinsip First to File Hukum Indonesia dan Prinsip First to Use pada Hukum Australia” bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan antara kedua prinsip tersebut menemukan perbedaan antara kedua prinsip tersebut dan menentukan manfaat dan kekurangan masing-masing. Kesimpulan penelitian ini yaitu perbedaan Merek dari salah satu prinsip First to Use, studi ini menemukan kalau UU Merk dan Indikasi Geografis, bagaimanapun, telah diatur dalam hukum Australia. Aturan First to File di Indonesia lebih mudah dibuktikan daripada aturan First to Use di Australia. [8]

Dengan demikian posisi penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu, karena ini untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum pemegang merek asingyang tidak digunakan di IndonesiaBerdasarkan pemaparan diatas peneliti tertarik dengan dengan mengambil judul “Perlindungan Hukum Pemegang Merek Asing yang Tidak digunakan Ditinjau dari Prinsip First to File di Indonesia.“.

Metode

Penelitian ini termasuk menggunakan metode normatif dengan pendekatan Statistik dan Perundang-undangan, penelitian ini menggunakan sumber hukum primer dan sekunder. Sumber hukum primer yang digunakan antara lain UU No. 20 tahun 2016, Trademark statues, Trade Related Aspects Of Intelectual Property Rights, dan Paris Convention. Sedangkan sumber hukum sekunder melalui jurnal hukum, buku, serta dokumen yang berkaitan dengan riset hukum.

Mendapatkan sebuah data dengan cara mencari sejumlah kasus merek yang berpotensi bermasalah dan merek yang berpotensi tidak bermasalah di website dengan kelas merek Furniture, Makanan dan Minuman, setelah itu merek dicek di website untuk melihat keaktifan merek, lalu di screenshoot dan dimasukkan ke dalam Tabel merek yang berpotensi bermasalah atau tabel merek yang berpotensi tidak bermasalah kemudian data diolah sehingga menjadi sebuah kesimpulan.

Hasil dan Pembahasan

A. Konsep First To File dan First to Use.

Di Indonesia, hak atas merek didasarkan atas pemakaian pertama dari merek tersebut. Tujuan dari pendaftaran merek adalah memberi perlindungan untuk pendaftaran merek yang oleh undang-undang dianggap sebagai pendaftar pertama terhadap pemakai tidak sah oleh pihak lain. Dalam hukum merek, telah disebutkan di awal bahwa barang siapa yang memakai merek di Indonesia pertama kali berhak atas merek yang berarti mempunyai hak khusus atau “Exclusive Rightuntuk menggunakan merek itu. Mahkamah Agung mengedepankan prinsip “itikad baik” hal ini mengindikasikan dalam pemakaian merek terdapat persaingan curang dapat diadakan permintaan pembatalan.

Pengaturan HKI dalam perkembangannya menempatkan undang-undang tidak semata-mata bersifat tambahan melainkan juga bersifat memaksa, adapun prinsip HKI sebagai berikut:

a. Mempunyai jangka waktu terbatas. Dalam arti setelah habis masa berlaku, merek akan menjadi milik umum, tetapi dapat juga setelah masa berlaku habis bisa diperpanjang.

b. Bersifat eksklusif dan mutlak. Maksud dari sifat tersebut yaitu bahwa pemegang merek dapat mempertahankan dan melakukan penuntutan kepada seseorang pelanggaran yang dilakukannya.

c. Bersifat hak mutlak yang bukan kebendaan Pemilikkan HKI bukan terhadap barang melainkan hasil kreatif kegiatan intelektual yang dapat dilihat dan dapat digunakan secara praktis, serta memiliki manfaat dan berguna dalam kehidupan serta menunjang ekonomis.

Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disingkat HKI) adalah terjemahan resmi dari Intellectual Property Rights (IPR). Berdasarkan substansinya, HKI berhubungan erat dengan benda tidak berwujud serta melindungi karya intelektual yang lahir dari cipta, rasa dan karya manusia. WIPO (World Intellectual Property Organization), sebuah lembaga internasional di bawah PBB yang menangani masalah HKI. Menurut sistem hukum Anglo Saxon, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) diklasifikasikan menjadi Hak Cipta (Copyright) dan Hak Milik Perindustrian (Industrial Property Rights). Dari Hak Cipta dapat diturunkan lagi Hak Turunan (Neighbouring Rights). Menurut Convention Establishing The World Intellectual Property Organization (WIPO), Hak Milik Perindustrian diklasifikasikan menjadi: 1. Paten (Patent) adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. 2. Model dan Rancang Bangun (Utility Models) merupakan kegiatan menerjemahkan hasil analisa ke dalam bentuk paket perangkat lunak kemudian menciptakan sistem tersebut ataupun memperbaiki sistem yang sudah ada.

Dilihat secara historis, undang-undang mengenai HAKI pertama kali ada di Venice, Italia yang menyangkut masalah paten pada tahun 1470. Caxton, Galileo dan Guttenberg tercatat sebagai penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka. Hukum-hukum tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh Kerajaan Inggris di jaman Tudor tahun 1500-an dan kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris yaitu Statue of Monopolies (1623). Amerika Serikat baru mempunyai undang-undang paten tahun 1791. Upaya Harmonisasi dalam bidang HKI pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek dagang dan desain.(D. Djumhana, Muhammad, 1993). Dan selama sebelum kemerdekaan negara Indonesia menganut system kerajaan Belanda, Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan pasal 2 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945, maka ketentuan peraturan perundang- undangan HKI zaman penjajahan Belanda diteruskan keberlakuannya, sampai dengan dicabut dan diganti dengan undang-undang baru hasil produk legislasi Indonesia. Setelah 16 tahun Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1961, barulah Indonesia mempuyai peraturan perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual dalam hukum positif pertama kalinya dengan diundangkannya Undang-Undang Merek pada tahun 1961. Setelah mengalami beberapa kali perubahan sebagai konvensi Internasional, diantaranya perjanjian TRIP’s, Undang-Undang bidang Hak Kekakayaan Intelektual dari ketiga cabang utama tersebut salah satunya ialah Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016).[9]

Kemunculan prinsip first to file di Indonesia di awali Pada regulasi pemerintahan Indonesia setelah merdeka pada tahun 1961 yakni Undang-Undang Merek pada tahun 1961 yang memberikan perlindungan terhadap pemilik merek yang mendaftarkan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam UU No 20 tahun 2016 pasal 1 ayat 5 “hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.” Prinsip first to file merupakan system konstitutif sesuai dengan perjanjian TRIP’S.

Kemunculan prinsip first to use di dunia pada awal tahun 1470 dengan terbitnya Undang-undang HAKI di Italia. Pada awal siapa saja yang menggunakan merek pertama kali dialah diakui sebagai pemilik merek prinsip First to use merpakan system deklaratif , yang mana hak kepemilikan merek diberikan terhadap pihak yang pertama kali menggunakannya secara komersial tanpa melakukan pendaftaran secara resmi.

Salah satu prinsip terpenting dari Konvensi Paris adalah tentang persamaan perlakuan yang mutlak antara orang asing dengan warga negara sendiri atau prinsip assimilasi (Principle Of Assmilation) yaitu bahwa seorang warga negara dari suatu negara peserta UNI, akan memperoleh pengakuan dan hak-hak yang sama seperti seorang warga negara dimana mereknya didaftarkan.[10] Sistem pendaftar konstitutif disebut juga first to file principle. Artinya, merek yang didaftar adalah yang memenuhi syarat dan sebagai yang pertama karena tidak semua merek dapat didaftarkan. Keuntungan dari merek yang terdaftar bila dibandingkan dengan merek yang tidak didaftarkan apabila terjadi sengketa adalah merek yang telah terdaftar akan lebih mudah untuk pembuktiannya karena mempunyai bukti otentik berupa sertifikat yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal HKI dan dengan adanya sertifikat tersebut dianggap sebagai pemakai pertama merek tersebut sedangkan pada merek yang tidak terdaftar si pemakai akan mengalami kesulitan untuk membuktikan dirinya sebagai pemakai pertama karena tidak terdapat surat-surat yang diajukan sebagai bukti otentik di dalam pemeriksaan di pengadilan yang merupakan perbandingan antara perlindungan konstitutif ataupun perlindungan Deklaratif. Sesungguhnya, objektif dari pemakaian prinsip pendaftar awal adalah memastikan kepastian hukum yang sangat diperlukan untuk pelaku usaha, akan tetapi pemakaian sistem pendaftar awal pula tidak menutup mungkin atas kemampuan penyalahgunaan hak tersebut lewat pemakaian celah hukum dalam sistem registrasi merek secara Konstitutif. [11]

Undang-undang merek yang telah diperbaharui hingga saat ini menjadi UU No 20 Tahun 2016 menjelaskan bahwa negara Indonesia mengadopsi Prinsip First To File dalam konsep pendaftaran merek, baik merek barang maupun merek jasa. Di dalam Peraturan Perundang-Undangan yang dimiliki Indonesia, secara jelas mensyaratkan bahwa terkait pendaftaran tersebut dimaksudkan agar mendapatkan perlindungan hukum yang mengikat serta sebagai dasar untuk mencegah pihak lain agar tidak dapat menggunakan Merek terdaftar secara tidak sah.

Maka daripada itu, pihak lain yang dengan sengaja dan atau berdasarkan itikad tidak baik kemudian mendaftarkan Mereknya dengan upaya mendompleng nama Merek yang telah terdaftar, dipastikan dapat dikenakan sanksi pidana maupun sanksi denda sesuai dengan apa yang termuat mengenai sanksinya dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Yang mengikuti System dari prinsip first to file atau system konstitusi. [12]

Bentuk dari prinsip first to use atau system deklaratif berdasarkan penggunaan merek pertama suatu merek dialah yang dianggap berhak menurut hukum. Bukti penggunaan merek pertama secara komersial adalah pemilikan yang sah. Dalam sistem pendaftaran deklaratif, pendaftaran merek bukan merupakan suatu keharusan, jadi tidak ada kewajiban untuk mendaftarkan merek. Pendaftaran hanya untuk pembuktian, bahwa pendaftar merek, adalah pemakai pertama dari merek yang bersangkutan. [13]

Sebagaimana bisa dilihat pada Tabel 1 merupakan perbandingan antara Prinsip First To File dengan Prinsip First To Use.

Perbandingan Hukum Dari Prinsip First To File Hukum Dari Prinsip First To Use
Kepemilkkan Hak Merek Kepemilikkan merek diberikan oleh pihak yang mendaftarkan Kepemilikkan merek didapatkan berdasarkan penggunaan pertama
Hak Ekslusif Mendapatkan hak eksklusif dengan merek telah terdaftar Mendapatkan hak eksklusif saat awal digunakan merek dengan berdasarkan bukti penggunaan di masyarakat
Pengawasan Mudah di awasi jika terjadi pelanggaran penggunaan merek oleh pihak lain Susah di awasi jika terjadi pelanggaran penggunaan merek oleh pihak lain
Sistem Sistem Konstitutif Sistem Deklaratif
Kewajiban dalam pendaftaran Pendaftaran merek wajib dilakukan Pendaftartan merek tidak wajib/tidak harus dilakukan
Table 1.Perbandingan Prinsip First To File dan First To Use

Sebagaimana bisa dilihat pada Tabel 1 merupakan perbandingan antara Prinsip First To File dengan Prinsip First To Use, dimana prinsip dari First To Use merupakan prinsip lama, sedangkan untuk prinsip First To File merupakan modernisasi dari system First To Use itu sendiri.

B. Perlindungan hukum pemegang merek asing yang tidak digunakan di Indonesia

Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya. Merek terkenal merupakan merek yang telah dikenal oleh kalangan masyarakat dan telah terdaftar di berbagai negara. Kriteria merek terkenal dalam Pasal 18 ayat (3) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek, yang menyatakan bahwa merek terkenal setidaknya harus memenuhi salah satu syarat sebagai berikut:

dengan mempertimbangkan:

a. tingkat pengetahuan atau pengakuan masyarakat terhadap Merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan sebagai Merek terkenal; b. volume penjualan barang dan/atau jasa dan keuntungan yang diperoleh dari penggunaan merek tersebut oleh pemiliknya; c. pangsa pasar yang dikuasai oleh Merek tersebut dalam hubungannya dengan peredaran barang dan/atau jasa di masyarakat; d. jangkauan daerah penggunaan Merek; e. jangka waktu penggunaan Merek,dll.

Dalam UU No 20 tahun 2016 pasal 21(1) bahwa pendaftaran merek akan ditolak jika terdapat unsur persamaan pada pokoknya, Terdapat kriteria-kriteria merek terkenal didalam Peraturan Menteri Kementrian Hukum dan Ham No 67 tahun 2016 pasal 18.

Perlindungan terhadap merek terkenal telah diatur didalam Paris Convention. Article 6bis (Marks: Well–Known Marks)dan the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (“TRIPS Agreement”) Article 16 Rights Conferred.[14] Kedua peraturan mensyaratkan negara anggota untuk melindungi merek terkenal bahkan merek tersebut tidak didaftarkan dan digunakan dinegara lain.

Setiap negara memiliki peraturan dan undang-undang yang berbeda dalam konteks perlindungan dan penggunaan merek, terutama merek asing yang tidak digunakan di Indonesia karena Indonesia menggunakan prinsip First to File atau system konstitutif yang mana merek harus terdaftar di Direktorat Jenderal HKI kemenkumham. Walaupun merek terkenal asing tidak didaftarkan di Indonesia tetap mendapatkan sebuah perlindungan hukum karena dalam peraturan Paris Convention (Article 6bis (Marks: Well–Known Marks) ayat 1) The countries of the Union undertake, ex officio if their legislation so permits, or at the request of an interested party, to refuse or to cancel the registration, and to prohibit the use, of a trademark which constitutes a reproduction, an imitation, or a translation, liable to create confusion, of a mark considered by the competent authority of the country of registration or use to be well known in that country as being already the mark of a person entitled to the benefits of this Convention and used for identical or similar goods. These provisions shall also apply when the essential part of the mark constitutes a reproduction of any such well–known mark or an imitation liable to create confusion therewit.” [15]

Perbedaan perlindungan hukum merek asing yang digunakan dan merek yang tidak digunakan perbedaannya jika merek yg terdaftar itu memilik perlindungan hukum berupa hak ekslusif sedangkan merek yang tidak digunakan hanya mendapat perlindungan apabila tidak ada pihak ketiga yang melakukan gugatan sebagaimana dimaksud pada pasal 74 ayat (1) dan tidak dihapus oleh Menteri sebagaimana pasal 72 ayat ayat (6) dan (7) merek tersebut tetap berlaku sampai 10 tahun (pasal 35 ayat (1)).

Didalam Undang-undang No 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis terdapat 3 cara penghapusan merek:

1. Pemilik merek mengajukkan penghapusan kepada Menteri (pasal 72 (1)) 2. Penghapusan dapat dilakukan atas prakarsa Menteri (pasal 72(6)),Penghapusan dapat dilakukan atas prakarsa Menteri yang mendapat rekomendasi dari Komisi Banding Merek(pasal 72(8)) 3. Penghapusan merek dapat diajukan oleh pihak ke-3 yang berkepentingan dengan alasan merek tidak digunakan selama 3 tahun berturut-turut sejak tgl pendaftaran/pemakaian terakhir (pasal 74(1))

Maka merek asing terdaftar yang tidak digunakan dalam pasar komersial akan mendapat sebuah perlindungan selama batas waktu 3 tahun berturut-turut saat merek tidak digunakan, jika merek tersebut tidak diketahui bahwa tidak digunakan dalam pasar perdagangan maka merek tersebut tetap mendapatkan sebuah perlindungan 10 tahun, karena syarat penghapusan di dalam pasal 74 jika terdapat merek yang tidak digunakan dalam 3 tahun berturut-turut maka akan ada pihak ke-3 yang berkepentingan untuk menggugat dan menggunakan hak merek tersebut.

Pada dasarnya peraturan paris convention Article 6bis [Marks: Well–Known Marks] ayat 2 A period of at least five years from the date of registration shall be allowed for requesting the cancellation of such a mark. The countries of the Union may provide for a period within which the prohibition of use must be requested.” Perlindungan merek terkenal yang tidak digunakan diberikan sampai periode 5 tahun. [15]

Didalam The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) Article 19 Requirement of Use perlindungan yang diberikan dari TRIPS jika merek terkenal yang tidak digunakan diberikan sampai pada 3 tahun bisa lebih jika terdapat alasan yang sah. [16]

Merek terkenal asing yang tidak didaftarkan masih dapat dilindungi selain berdasarkan pengetahuan umum masyarakat atau seberapa terkenal merek tersebut dikalangan masyarakat dan juga sesuai dengan peraturan Paris Convention. Yurisprudensi Mahkamah Agung R.I. Nomor 3485 K/pdt/1992 tertanggal 20 September 1995, memberikan kriteria "Bahwa dalam Konvensi Paris juga telah diisyaratkan kepada seluruh peserta memberikan perlakuan yang sama dalam rangka melindungi merek terkenal dari manapun asalnya, karena Indonesia sendiri sebagai peserta dan ikut meratifisir hasil Konvensi Paris bahkan tanpa reserve dan oleh karena itu hasil Konvensi Paris itu harus ditaati". Perlindungan hukum terhadap merek terkenal merupakan isu yang bersifat lintas batas negara karena tidak lagi menyangkut kepentingan satu negara di dalam yurisdiksinya.

Pada gambar 1 merupakan indikator merek yang berpotensi bermasalah dan merek yang berpotensi tidak masalah.

Figure 1.Indikator Merek Yang Berpotensi Bermasalah Dan Berpotensi Tidak Bermasalah

Sebagaimana bisa dilihat pada Gambar 1 merupakan kriteria merek, merek yang berpotensi bermasalah dan berpotensi bermasalah masing-masing memiliki 3 kriteria dalam indikatornya.

Data dari beberapa merek asing terkenal dari kelas merek furniture, makanan dan minuman Gambar 2-4 merek yang berpotensi bermasalah, sedangkan Gambar 5-8 merek yang berpotensi tidak bermasalah,

C. Merek yang Berpotensi Bermasalah dan Pihak yang Bermasalah

1. Kasus DC Comic yang beralamat di U.S.A melawan PT. Marxing Fam Makmur.

Figure 2.Kasus DC Comic yang beralamat di U.S.A melawan PT. Marxing Fam Makmur.

a. Kasus Dan Nomor Putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1105 k/Pdt.sus-HKI/2018. Bahwa Merek“Superman+Logo/Superman+Lukisan” yang didaftarkan oleh termohon ada persamaan pada pokoknya dengan merek milik Pemohon kasasi sehingga pemohon kasasi menginginkan untuk dibatalkan merek dari termohon kasasi agar merek dari pemohon kasasi dapat didaftarkan dan di terbitkan sertifikatnya

b. Pertimbangan Hakim Bahwa Mahkamah Agung menolak pemohon kasasi karena penerima kuasa telah melebihi kewenangan, pada awalnya permintaan penggugat hanya ditujukan untuk melakukan pembatalan merek saja sehingga gugatan ini adalah gugatan yang kabur.

2. Kasus PT Pepper Tree Investama melawan Gie Cristaline yang beralamat di Prancis

Figure 3.Kasus PT Pepper Tree Investama melawan Gie Cristaline yang beralamat di Prancis

a. Kasus Dan Nomor Putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor 959 k/Pdt.Sus-HKI/2018. PT PEPPER TREE INVESTAMA menggugat dengan alasan bahwa GIE CRISTALINE tidak menggunakan merek Cristaline selama 3 tahun berturut-turut.

b. Pertimbangan Hakim Bahwa Mahkamah Agung menolak gugatan yang diajukan oleh pemohon kasasi PT PEPPER TREE INVESTAMA. Karena sesuai fakta bahwa GIE CRISTALINE masih menggunakan merek dan masih diperpanjang masa berlakunya hingga 28 Januari 2024.

3. Kasus Rusdy Harianto melawan K-Swiss Inc yang beralamat di Amerika

a. Kasus Dan Nomor Putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor 991 k/Pdt.sus-HKI/2019. Bahwa merk“Supra” dalam kelas 3 merek dengan nomor IDM000279147 yang telah didaftar oleh Tergugat dengan merek “Supra” karena tidak terdapat jejak penggunaanya oleh tergugat, sehingga pihak ke 3 yaitu perusahaanK-Swiss Inc. menggugat dan bisa diperoleh hak milik merek”Supra”oleh K-Swiss Inc.

b. Pertimbangan Hakim Bahwa Mahkamah Agung brpendapat mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi:K-Swiss inc. karena Tergugat tidak berusaha untuk membela kepentingannya walau telah dipanggil secara patut

4. Kasus Ajinomoto.Inc yang beralamat di jepang melawan Matsui Koshi Limited yang beralamat di British Virgin Island.

Figure 4.Kasus Ajinomoto.Inc yang beralamat di jepang melawan Matsui Koshi Limited yang beralamat di British Virgin Island.

a. Kasus Dan Nomor Putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor 543k/Pdt.Sus-HKI/2019. Bahwa merek “Blendy” yang didaftarkan oleh tergugat memiliki kesamaan dengan merek milik penggugat atau pemohon kasasi dan dikelas merek yang sama.

b. Pertimbangan Hakim Bahwa Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi merek “Blendy” yang didaftarkan oleh tergugat masih aktif dan penggugat melakukan survey secara mandiri buka melalui Lembaga survey independent, lagipula merek “Blendy” milik tergugat telah diperpanjang.

Sebagaimana bisa dilihat pada Gambar 2-4 pengambilan data dari Putusan Mahkamah Agung tentang merek dan terdapat 4 merek asing yang berpotensi bermasalah adalah (2) merek asing terkenal yang terdaftar dan pada faktanya merek tersebut masih digunakan dan diperpanjang, (1) merek biasa yang menjadi perebutan kepemilikkan dengan pihak asing yang pemilik awal adalah seorang WNI karena mereknya tidak digunakan selama 3 tahun berturut-turut , (1) merek terkenal yang belum didaftarkan di Indonesia tetapi dari pihak penerima kuasa melebihi kewenangan.

Sebagaimana bisa dilihat pada Gambar 5-8 Merek Yang Berpotensi Tidak Bermasalah.

D. Merek yang Berpotensi Tidak Bermasalah dan Pihak yang Bermasalah

1. Kasus Agung Sindiro melawan Nilfisk A/S (Dahulu Bernama Nilfisk-Advance A/S) yang beralamat di Denmark.

Figure 5.Kasus Agung Sindiro melawan Nilfisk A/S (Dahulu Bernama Nilfisk-Advance A/S) yang beralamat di Denmark.

a. Kasus dan Nomor Putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor 790 k/Pdt.sus-HKI/2016. Merek “VIPER” kelas 42 dan 45 yang terdaftar atas namakepemilikkan agung sindiro memiliki I’tikad tidak baik dengan mendaftarkan merek yang sebenernya “VIPER” adalah perusahaan Nilfisk A/S (Dahulu Bernama Nilfisk-Advance A/S)

b. Pertimbangan Hakim Bahwa Mahkamah Agung menolak merek “VIPER” milik agung sindiro memiliki persamaan secara keseluruhan dan I’tikad tidak baik karena dapat menyesatkan masyarakat pada umumnya dengan merek kelas 7 dari “VIPER” adalah perusahaan Nilfisk A/S (Dahulu Bernama Nilfisk-Advance A/S)

2. Kasus Electrosteel Castings Limited yang beralamat di china. melawan Budiman Sugiarto

Figure 6.Kasus Electrosteel Castings Limited yang beralamat di china. melawan Budiman Sugiarto

a. Kasus dan Nomor Putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1164 k/Pdt.Sus-HKI/2017. Merek”Electrosteel” dari kelas 06,11,17,35,38 dan 42 dengan nomor IDM000198740 yang diajukan atau didaftarkan oleh Budiman Sugiarto dengan i’tikad tidak baik

b. Pertimbangan Hakim Bahwa Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari pemohonan kasasi Electrosteel Castings Limited bahwa Budiman sugiarto telah mendaftarkan merek” Electrosteel” dengan I’tikad tidak baik dan persamaan pada pokoknya .

Figure 7.Kasus Madia Dharma melawan perusahaan Shanghai M&G Stationery Manufacturing Inc. yang beralamat di China

a. Kasus dan Nomor Putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor 526 k/Pdt.Sus-HKI/2018. Merek “M&G” kelas 16 merek dengan nomor IDM000362830 yang diajukan atau didaftarkan oleh Madia Dharma dengan i’tikad tidak baik

b. Pertimbangan Hakim Bahwa Mahkamah Agung menolak gugatan yang diajukan oleh pemohon kasasi Media Dharma karena merek yang diajukan pemohon kasasi beri’tikad tidak baik dan memiliki persamaan pada pokoknya, sehingga merek “M&G” dimiliki sepenuhnya oleh perusahaan Shanghai M&G Stationery Manufacturing Inc

4. Kasus Richard Lityo melawan Shenzen Comix Group Co.,Ltd beralamat di China.

Figure 8.Kasus Richard Lityo melawan Shenzen Comix Group Co.,Ltd beralamat di China.

a. Kasus dan Nomor Putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor 832 k/Pdt.Sus-HKI/2018 Merek”Comix” dari kelas 16 dengan nomor IDM000388240 yang di daftarkan oleh Richard Lityo , dengan I’tikad tidak baik.

b. Pertimbangan Hakim Bahwa Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi Richard Lityo. Bahwa perusahaan Shenzen Comix Group Co.,Ltd mendaftarkan merek”Comix” melalui pemohon kasasi sehingga terdapat unsur i’tikad tidak baik dari pemohon kasasi untuk mendaftarkan merek”Comix” atas nama pribadi.

Sebagaimana bisa dilihat pada table 3 yang terdiri dari 4 merek, bahwa merek yang berpotensi tidak bermasalah adalah merek asing terkenal yang telah terdaftar di WIPO(World Intellectual Property Organizations) dan beberapa negara di luar negeri, serta telah menjadi merek terkenal dikalangan masyarakat, meskipun merek tersebut tidak/belum terdaftar di Indonesia dan merek asing terkenal tersebut didaftarkan oleh pihak lain dengan i’tikad tidak baik dan persamaan pada pada pokoknya.

Data diperoleh dari dan .

E. Upaya Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Merek

Terdapat 2 (dua) bentuk upaya perlindungan hukum: upaya preventif dan upaya represif. upaya preventif adalah segala yang diupayakan untuk mencegah suatu hal terjadi. Dalam konteks hukum, upaya preventif adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah adanya pelanggaran hukum. Perlindungan preventif bertujuan untuk meminimalisasi peluang terjadinya pelanggaran merek dagang.[17] Langkah ini difokuskan pada pengawasan pemakaian merek, perlindungan terhadap hak eksklusif pemegang hak atas merek dagang terkenal, serta anjuran-anjuran kepada pemilik merek untuk mendaftarkan mereknya agar haknya terlindungi. Pendaftaran menurut Undang-Undang Merek No.20 tahun 2016 memberikan perlindungan berupa hak eksklusif (pasal 1 ayat 5) kepada pemilik merek guna mencegah pihak-pihak untuk memasarkan produk-produk yang berlabel sama dan jangka waktu perlindungan (pasal 35 ayat1). Merek didaftarkan untuk mendapatkan landasan hak sekaligus perlindungan hukum melalui kewenangannya mencegah pihak lain menggunakan merek yang sama atau sama pada pokoknya (Soelistyo, 2017). Pendaftaran merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dan/atau keseluruhan dengan merek terkenal sehingga menimbulkan sebuah kebingungan di masyarakat dan harus ditolak oleh DITJEN HKI. Adanya ketentuan dari Protokol Madrid yang telah memudahkan bagi merek (termasuk merek terkenal) untuk didaftarkan di beberapa negara sekaligus, tentu akan memudahkan merek dari negara lain baik yang terkenal maupun tidak terkenal untuk terdaftar di Indonesia. Protocol Madrid yang telah memudahkan bagi merek (termasuk merek terkenal) untuk didaftarkan di beberapa negara sekaligus tentu akan memudahkan merek dari negara lain baik yang terkenal maupun tidak terkenal untuk terdaftar di Indonesia. [18]

Upaya represif adalah upayah untuk menekan, Jika diartikan secara sederhana, upaya represif bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan yang mengalami gangguan. Dalam konteks merek, perlindungan secara represif artinya upaya hukum terakhir apabila terjadi pelanggaran sesuai dengan tata cara dan aturan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan apapbila terjadi sengketa bisa digugat baik secara pidana maupun perdata. [19] Pemegang hak atas merek dagang terkenal asing memperoleh perlindungan hukum terhadap pelanggaran hak atas merek baik dalam bentuk gugatan pembatalan maupun tuntutan pidana. Perlindungan represif diberikan dengan pembatalan pendaftaran merek oleh pengadilan. Yurisprudensi yang ada tentang merek terkenal berhasil diidentifikasi beberapa upaya pengadilan mengatasi kekosongan pengaturan hukum, antara lain, yaitu merek memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek milik orang lain, itikad baik dalam pendaftaran merek, melindungi kepentingan masyarakat luas, menegakkan ketentuan tentang persaingan usaha yang sehat dengan mencegah praktik persaingan curang, dan kepentingan negara lain dalam kaitannya dengan perdagangan internasional. Asas good faith sebagai bagian dari kewajiban pihak pendaftar merek untuk berbuat jujur ketika mengajukan pendaftaran, yaitu dengan tidak membonceng ketenaran merek pihak lain yang terkenal.

Seseorang yang melakukan pendaftaran suatu merek yang memiliki persamaan dengan merek terkenal tiada lain telah memiliki itikad buruk untuk membonceng (Passing Off) ketenaran merek terkenal tersebut. Membonceng ketenaran merek orang lain, terutama merek terkenal, merupakan tindakan yang beritikad buruk dan melawan hukum sehingga pengadilan dapat membatalkan pendaftarannya bentuk perlindungan hukum secara Represif dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016. Yang pertama Dalam Bab XII Penghapusan dan pembatalan merek dalam pasal 72-79. Selanjutny Bab XV Buku kesatu tentang Gugatan atas pelanggaran merek dalam pasal 83-85. Dan dalam Bab XVIII ketentuan pidana dalam pasal 100. Dan contoh upaya repesif ialah dengan :

1. Penarikan Kembali Keputusan tentang Pendaftaran Merek (Sertifikat Merek) oleh Kantor Merek. Pasal 72 sampai 75Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 menetapkan kaidah tentang siapa yang dapat melakukan penghapusan merek.

2. Pembatalan Pendaftaran Merek atas kekuatan putusan pengadilan (Pasal 76 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016). “Gugatan pembatalan Merek terdaftar dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 danlatau Pasal 21”

Simpulan

Bahwa perlindungan hukum pemegang merek asing yang tidak digunakan selama 3 tahun berturut-turut memiliki 3 (tiga) jenis peraturan perlindungan. Pertama dalam TRIPS Agreement terdapat waktu 3 tahun atau bisa lebih jika ada alasan yang disahkan terkait tidak digunakannya merek terdaftar, kedua dalam UU Nomor 20 tahun 2016 Negara memberikan sebuah perlindungan selama 3 tahun setelah merek terdaftar dan/atau sejak pemakaian terakhir, ketiga dalam perjanjian Paris Convention memberikan waktu perlindungan selama 5 tahun setelah pendaftaran merek dan merek tidak digunakan. Terdapat dua bentuk upaya perlindungan hukum merek, yang pertama Upaya perlindungan secara preventif upaya preventif adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah adanya pelanggaran hukum. Pembentukan Undang-Undang No 20 Tahun 2016 merupakan salah satu bentuk upaya preventif. Upaya perlindungan represifperlindungan secara represif artinya upaya hukum terakhir apabila terjadi pelanggaran dalam penyelesaian sesuai dengan tata cara dan aturan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perlindungan represif diberikan dengan cara gugatan penghapusan dan pembatalan pendaftaran merek ,serta sanksi pidana yang diberikan oleh pengadilan.

References

  1. N. Yanti and D. S. H. Marpaung, "Penyelesaian Sengketa Merek PS Glow Melawan MS Glow Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa," Oct. 2022. doi: 10.5281/Zenodo.7212660.
  2. E. V. Setyoningsih, "Implementasi Ratifikasi Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (Trips Agreement) terhadap Politik Hukum di Indonesia," J. Penegakan Huk. Dan Keadilan, vol. 2, no. 2, pp. 117–129, Nov. 2021. doi: 10.18196/jphk.v2i2.11749.
  3. F. Anugraha, "Perlindungan Hukum bagi Pemegang Hak Merek dikaitkan dengan Prinsip Itikad Baik dalam Proses Pendaftaran Merek," J. Somasi Sos. Hum. Komun., vol. 1, no. 1, pp. 68–83, Jul. 2020. doi: 10.53695/js.v1i1.33.
  4. E. Sugito and E. Syahruddin, "Sejarah Perbandingan Sistem Pendaftaran Paten Di Amerika Serikat Dengan Di Indonesia," Batulis Civ. Law Rev., vol. 2, no. 1, p. 16, May 2021. doi: 10.47268/ballrev.v2i1.459.
  5. Y. P. Pakpahan and I. Haryanto, "Perlindungan Hukum Terhadap Pemilik Merek Tidak Terdaftar Ditinjau Dari Prinsip 'Use In Commerce,'" Dialogia Iurid. J. Huk. Bisnis Dan Investasi, vol. 12, no. 2, pp. 22–35, Apr. 2021. doi: 10.28932/di.v12i2.3337.
  6. R. M. P. Karina and R. Njatrijani, "Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Merek Dagang Ikea Atas Penghapusan Merek Dagang," J. Pembang. Huk. Indones., vol. 1, no. 2, pp. 194–212, May 2019. doi: 10.14710/jphi.v1i2.194-212.
  7. Z. Arifin and M. Iqbal, "Perlindungan Hukum Terhadap Merek Yang Terdaftar," journals.usm.ac.id, vol. Vol 5, No 1, 2020. doi: http://dx.doi.org/10.26623/jic.v5i1.2117.
  8. N. I. Tritanaya and W. Yulianingsih, "Perbandingan Perlindungan Hukum Merek antara Prinsip First to File Hukum Indonesia dan Prinsip First to Use pada Hukum Australia," Yust. Tirtayasa J. Tugas Akhir, vol. 2, no. 3, p. 229, Dec. 2022. doi: 10.51825/yta.v2i3.16987.
  9. A. M. Utama and D. R. Masrur, "Perlindungan Merek Terkenal Yang Telah Di Daftarkan Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis," jca.esaunggul.ac.id, vol. 1, no. 1, 2016.
  10. A. P. Pangestu, "Pelaksanaan Prinsip First To File Dalam Perlindungan Merek Asing Yoshimura Di Indonesia," eprints.unram.ac.id, 2021. [Online]. Available: http://eprints.unram.ac.id/id/eprint/27671.
  11. V. I. Sitepu, "Pelaksanaan Prinsip First To File Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Dagang Asing Di Pengadilan (Study Kasus tentang Gugatan Pencabutan Hak Merek oleh BreadTalk Pte.Ltd No: 02/Merek/2011/Pn.Niaga/Medan)," Premise Law J., 2015. [Online]. Available: http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/36673.
  12. R. Alexander, "Penerapan Prinsip 'First To File' Pada Konsep Pendaftaran Merek Di Indonesia," Kertha Semaya J. Ilmu Huk., vol. 10, no. 9, p. 2110, Jul. 2022. doi: 10.24843/Ks.2022.v10.i09.p12.
  13. E. Yunita, "Implementasi Prinsip First To File Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Merek Dagang Crystal X Pada Pengadilan Negeri Semarang (Studi Kasus Putusan Nomor 7/Pdt. Sus-Hki/2018/Pn Smg)," walisongo.ac.id, 2022. [Online]. Available: eprints.walisongo.ac.id.
  14. L. P. Lobo and I. Wauran, "Kedudukan Istimewa Merek Terkenal (Asing) Dalam Hukum Merek Indonesia," Masal.-Masal. Huk., vol. 50, no. 1, pp. 70–83, 2021. doi: 10.14710/mmh.50.1.2021.70-83.
  15. M. Dowie-Whybrow, "Paris Convention for the Protection of Industrial Property," in Core Statutes on Intellectual Property, London: Macmillan Education UK, 2013, pp. 516–543. doi: 10.1007/978-1-137-35471-6_5.
  16. ——, "Standards Concerning The Availability, Scope And Use Of Intellectual Property Rights," in The WTO Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights, Edward Elgar Publishing, 2014, pp. 239–240. doi: 10.4337/9781781006047.00026.
  17. M. Nafri, "Perlindungan Hukum Terhadap Pemalsuan Merek Dagang Terkenal Asing Di Indonesia," Male Law J., vol. 2, no. 1, Jul. 2018. [Online]. Available: https://jurnal.unismuhpalu.ac.id/index.php/MLJ/article/view/254.
  18. L. P. Lobo and I. Wauran, "Kedudukan Istimewa Merek Terkenal (Asing) Dalam Hukum Merek Indonesia," Masal.-Masal. Huk., vol. 50, no. 1, pp. 70–83, Jan. 2021. doi: 10.14710/mmh.50.1.2021.70-83.
  19. A. A. N. B. B. Prasetia, I. N. P. Budiartha, and N. M. P. S. Ujianti, "Perlindungan Hukum Merek Terkenal Terkait dengan Persaingan Usaha Tidak Sehat," J. Konstr. Huk., vol. 1, no. 1, pp. 13–18, Aug. 2020. doi: 10.22225/jkh.1.1.2122.13-18.
  20. Pemerintah Republik Indonesia, "Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis," 25 Nov. 2016.
  21. ——, "Peraturan Menteri No.67 Tahun 2016 Tentang Pendaftaran Merek Kemeterian Hukum Dan Ham," 30 Des. 2016.
  22. Amerika Serikat, "Trademark Statutes Pasal 43 ayat 7," Trademark Law, 11 Jul. 2015.