This research scrutinizes Constitutional Court Decision No. 65/PUU-XXI/2023, focusing on the intersection of campaign regulations and the fundamental right to electoral choice in a democratic society. Using a normative legal research methodology, the study delves into the legal concepts, principles, and norms governing electoral campaigns, particularly regarding their conduct in educational institutions and government facilities. This approach is both descriptive and normative, relying on existing legislation, court decisions, and supplementary academic sources to construct a comprehensive understanding of the subject. The research identifies a lack of clarity in current regulations about campaigning in educational spaces, as highlighted by the absence of specific legal guidelines in this area. The analysis of the Constitutional Court's decision and related electoral laws, including Article 280 of the 2017 General Election Law, reveals a need for more precise legal provisions to regulate campaign mechanisms and concepts effectively. The findings suggest that while existing laws aim to uphold citizens' political rights to free choice, they lack detailed implementation strategies, particularly concerning youth engagement in political processes. The study advocates for policymakers and government officials to develop legal frameworks that extend campaign outreach not only to the non-educational population but also to young voters, fostering their involvement and understanding of political contests. This would contribute to the national goal of informed and active citizenship.
Highlights:
Keywords: Electoral Campaign Regulation, Constitutional Court Decision, Political Rights, Youth Engagement, Legal Framework
Pemilihan umum adalah ciri khas utama dari negara yang meletakkan demokrasi sebagai sistem yang menjalankan roda pergerakannya. Dengan memilih perwakilan mereka untuk menjalankan pemerintahan, warga negara secara aktif terlibat dalam proses politik. Pemilihan umum menunjukkan dasar demokrasi, yang menekankan bahwa rakyat menjalankan pemerintahan dan melakukannya untuk kepentingan rakyat. “Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, serta anggota DPRD diadakan dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali,” kata Pasal 22E Konstitusi Republik Indonesia 1945.
Ketika pemilihan umum berlangsung, masyarakat memiliki hak sepenuhnya untuk secara langsung memilih individu yang akan memimpin selama periode 5 tahun mendatang. Masyarakat diberikan kebebasan langsung untuk memilih individu yang akan menjadi perwakilannya dalam jangka waktu 5 tahun mendatang. Maka, tidak heran apabila pemilihan umum juga disebut sebagai ‘pesta rakyat’ karena pada saat itu lah menang atau kalah mereka yang berkompetisi ditentukan oleh suara rakyat. Para kandidat yang berkontestasi pada pemilihan umum berebut menarik perhatian rakyat melalui pertemuan langsung maupun tidak langsung. Kampanye adalah kesempatan bagi setiap calon pemimpin untuk menampilkan citra, membangun kewibawaan, menjelaskan gagasan, dan meyakinkan pemilih untuk mendapatkan banyak suara pada saat hari pemilihan. Kampanye memberi tempat bagi peserta pemilihan umum untuk memaparkan visi misi dan adu gagasan. Segala upaya dan strategi disusun agar meraup banyak suara dan memenangkan kontestasi.
Kampanye dikemas dengan berbagai acara, seperti jalan kaki bersama, pertunjukan acara musik, pertunjukan seni, diskusi publik, dan segala bentuk acara yang semakin waktu semakin beragam bentuknya. Sama seperti yang dilakukan oleh Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, pada bulan Oktober 2023 mereka menyelenggarakan sebuah kegiatan berjalan kaki bersama di Kabupaten Sidoarjo. Dilansir dari Detik.com, “Cak Imin tampil lebih awal di panggung acara, diterima dengan sambutan hangat dari warga yang meminta jabat tangan dan berfoto bersamanya. Sementara itu, Anies Baswedan tiba kemudian dan juga disambut dengan antusias oleh hadirin. Acara tersebut diberi nama "Mlaku Bareng Amin Anies-Muhaimin" sebagai bagian dari upaya sosialisasi pasangan tersebut di Sidoarjo, Jatim. Beberapa figur terkenal tampaknya hadir dalam acara tersebut, termasuk Sekjen PKS Aboe Bakar Al Habsyi, Waketum PKB Jazilul Fawaid, Sekretaris Jenderal PKB Hasanuddin Wahid, dan Waketum Nasdem Ahmad Ali. [1]
Sedangkan Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD mengadakan Pesta Rakyat dan konser musik, seperti yang dilansir Detik.com, “Ribuan warga Purwakarta memenuhi area parkir Stadion Purnawarman dalam rangka menghadiri Pesta Rakyat Ganjar Mahfud #17. Acara konser musik ini tidak hanya menjadi momen hiburan bagi masyarakat, melainkan juga menjadi wadah untuk menggambarkan dukungan dan aspirasi masyarakat kepada Ganjar Pranowo dan Mahfud MD”.[2]
Komisi Pemilihan Umum memberi batasan pada peserta pemilu dalam mengadakan kampanye mengenai batas umur peserta kampanye, lokasi diadakannya kampanye, dan tata cara mengadakan kampanye. Hal ini perlu dilakukan sehingga kampanye terselenggara sesuai kaidah hukum dengan mengedepankan nilai ketertiban, integritas, jujur, dan adil. Kampanye menjadi kesempatan bagi peserta pemilihan umum untuk bertemu masyarakat secara langsung, berbagai kelompok masyarakat, dan membangun relasi seluas-luasnya. Di era yang serba digital seperti ini, hal tersebut tetap dibutuhkan agar masyarakat yang mempunyai hak pilih dapat mengetahui secara langsung siapa saja calon pemimpin yang dapat dipilih saat hari pemilihan umum. Pertemuan langsung saat kampanye juga dapat menjadi momen yang tepat bagi para peserta pemilihan umum untuk mendengar secara langsung, mengetahui dan mencermati secara langsung apa saja yang menjadi keluhan masyarakat. Mengumpulkan data dan informasi untuk merencanakan kebijakan yang akan ditetapkan apabila memenangkan pemilihan umum. Kampanye tidak hanya menjadi ajang pengenalan diri dan visi misi, kampanye adalah media paling besar dan efektif untuk menyusun kebijakan apabila terpilih selama satu periode berikutnya.
Secara faktual, pelaksanaan kampanye harus berjalan dengan teratur dan patuh terhadap ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini dilakukan karena tidak semua tempat dapat dijadikan lokasi diselenggarakannya kampanye. Sebagian besar masyarakat meyakini bahwa tempat pendidikan adalah tempat yang netral dari kepentingan politik praktis, khususnya politik praktis yang berkaitan secara langsung dengan penyelenggaraan pemilihan umum. Tempat pendidikan menjadi tempat yang secara utuh untuk menimba ilmu pengetahuan yang tidak ada kaitannya dengan strategi dalam meraih kekuasaan. Hal ini terbukti dari beberapa diskusi yang dibatalkan ketika salah satu narasumbernya adalah kandidat peserta pemilihan umum. Dilansir dari cnnindonesia.com, “Menurut panitia acara diskusi di Universitas Gadjah Mada (UGM), mereka tidak mendapatkan izin atau persetujuan rektorat kampus untuk mengundang Anies Baswedan, calon presiden nomor satu. Rektorat mengancam akan membubarkan acara di Auditorium MM UGM jika mereka terus memilih untuk mengundang calon presiden dari Koalisi Perubahan”. [3]
Pelarangan kampanye tidak hanya terjadi pada institusi pendidikan, institusi pemerintahan juga diharuskan menjadi tempat yang netral dari agenda politik praktis. Pegawai pemerintah, PNS, maupun pegawai BUMN dituntut menjadi netral dan tidak memihak di tengah kontestasi pemilihan umum yang sedang berlangsung. Pegawai negeri sipil sebagai pihak yang digaji menggunakan uang rakyat harus turut mengawal pemilihan umum dengan adil, jujur, dan bersih.
Pada saat yang sama, Handrey Mantiri dan Ong Yenni mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka memeriksa Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu, yang menjelaskan identitas dan posisi hukum kedua pemohon dalam permohonan tersebut. Pemohon I, Handrey Mantiri, adalah seorang warga negara yang juga seorang pemilih, dan Pemohon II, Ong Yenni, adalah seorang warga negara yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. "Pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilihan dilarang: h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan", kata Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu.
Sementara itu, Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang Pemilu memungkinkan peserta pemilu untuk menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan tanpa memiliki atribut kampanye pemilu, asalkan mereka diundang oleh pihak yang bertanggung jawab atas fasilitas tersebut. Menurut para pemohon, penjelasan ini telah menghambat atau mengurangi hak-hak mereka untuk memperoleh keadilan substansial dalam proses pemilihan. Mereka berpendapat bahwa pemberian izin kampanye di tempat ibadah akan membatasi partisipasi peserta pemilu secara keseluruhan, kecuali di tempat ibadah yang sesuai dengan agama mereka, yaitu Gereja Protestan untuk Pemohon I dan Vihara untuk Pemohon II. Mereka percaya bahwa pembatasan ini secara jelas akan menghilangkan hak konstitusional mereka, terutama hak untuk memilih calon dengan bebas dan adil.[4]
Prinsip pasal dan penjelasan pasal yang berbeda berpotensi memunculkan ketidakpastian hukum. Hal ini berdampak pada warga negara khususnya Para Pemohon untuk mengikuti kampanye di salah satu tempat tertentu. Dampaknya berpotensi rugi secara konstitusional. Membolehkannya pemanfaatan sarana Pemerintah dalam kampanye dapat mengakibatkan Pemerintah kesulitan untuk tetap netral terhadap semua calon dalam Pemilihan Umum. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa, Meskipun Presiden dan Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat, proses pencalonan tetap melibatkan dukungan dan usulan dari partai politik atau koalisi partai politik. Hal ini dapat menyebabkan Presiden dan Kepala Daerah memiliki kecenderungan dan keberpihakan terhadap kandidat yang dipilih oleh partai politik yang sama.
Jika ada kesempatan, Presiden dan kepala daerah dapat mengizinkan penggunaan fasilitas pemerintah seperti kantor, mobil dinas, alun-alun, dan lapangan upacara. Jadi, ada kekhawatiran bahwa hanya partai politik yang mendukung dan diusung oleh Presiden atau Kepala Daerah yang akan mendapatkan fasilitas tersebut dalam pemilu. Menggunakan sarana publik sebagai lokasi untuk promosi hanya berubah menjadi panggung bagi penguasa setempat. Oleh karena itu, Pemilu sebaiknya diselenggarakan di lingkungan yang bersifat netral dan tidak berbau agama guna memotivasi partisipasi penuh dari semua lapisan masyarakat. Selain itu, tidak mungkin untuk mewujudkan keadilan dalam kampanye melalui penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan institusi pendidikan dengan perlakuan yang sama di bawah hukum. Oleh karena itu, hal ini harus dijaga agar tidak terjadi.
Dalam kasus pengujian UU Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2017, diajukan oleh Handrey Mantiri dan Ong Yenny, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyetujui sebagian dari permohonan. Menurut Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu, kampanye menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dilarang. Pengujian ini menunjukkan hal ini. Menurut keputusan Mahkamah Konstitusi, bagian Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu yang menyatakan, "Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan" tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. UUD 1945. Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilihan Umum (UU Pemilu) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, kecuali jika diartikan sebagai "mengecualikan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan dengan syarat telah mendapatkan izin dari penanggung jawab tempat tersebut dan hadir tanpa menggunakan atribut kampanye pemilu". [5]
Peneliti mengamati adanya urgensi untuk menganalisis putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 untuk memperjelas aturan mengenai pasal yang membolehkan diselenggarakannya kampanye serta merefleksikan putusan mahkamah konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 dengan hak politik warga negara yakni kebebasan untuk memilih pemimpin negara dan/atau pemimpin negara secara langsung. Agar dapat menganalisis situasi tersebut, peneliti merumuskan pertanyaan pokok sebagai berikut:
Penelitian ini menerapkan pendekatan normatif [6][7]. Metode penelitian hukum normatif menitikberatkan pada konsep hukum, prinsip-prinsip hukum, dan norma-norma hukum. Penelitian hukum normatif menggunakan doktrin sebagai dasar untuk meneliti, di mana metode ini fokus pada analisis peraturan perundang-undangan yang berlaku dan relevan dengan permasalahan hukum yang sedang diteliti. Metode ini memiliki sifat deskriptif dan normatif, peneliti berfokus pada peraturan perundang-undang yang berlaku, putusan pengadilan yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan tersebut, serta bahan pendukung penelitian lainnya. Dalam menerapkan pendekatan perundang-undangan, penelitian ini akan memeriksa secara seksama undang-undang yang berlaku di berbagai yurisdiksi yang relevan dengan tanah virtual di metaverse. Pemahaman mendalam tentang konsep-konsep ini akan membantu mengidentifikasi kekosongan hukum, ketidakjelasan, atau potensi konflik norma yang dapat mempengaruhi implikasi putusan mahkamah konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023.
Prinsip pemisahan kekuasaan diperkenalkan oleh dua tokoh terkemuka dari Inggris dan Perancis, yakni John Locke dan Montesquieu. Teori Trias Politica, yang merupakan konsep pemisahan kekuasaan dari kedua pemikir ini, mengemukakan bahwa kekuasaan dapat dibagi menjadi tiga bagian, sebagaimana diuraikan oleh John Locke: [8]
Di antara dua perspektif ini, ada perbedaan pendapat antara John Locke dan Montesquieu. Locke menggabungkan kekuasaan yudisial ke dalam kekuasaan eksekutif, sementara Montesquieu menganggap kekuasaan pengadilan (yudisial) sebagai suatu entitas yang berbeda. [8] Montesquieu berpendapat bahwa dalam setiap bentuk pemerintahan, tiga bentuk kekuasaan harus dipisahkan baik dari segi tugas maupun alat perlengkapannya. Menurut prinsip ini, intervensi atau pengaruh saling menjauhkan antara satu sama lain tidak diizinkan. Maka, prinsip pemisahan kekuasaan menurut Montesquieu mengindikasikan bahwa tiga bentuk kekuasaan tersebut seharusnya terpisah secara jelas, baik dari segi lembaga maupun individu yang mengelolanya. [9]
John Locke membagi peran negara menjadi empat tugas: membuat undang-undang, membuat keputusan, menerapkan undang-undang secara internal, dan menggunakan kekuatan untuk melindungi masyarakat di tingkat internasional. Locke memberi nama kepada fungsi pertama sebagai "kekuasaan legislatif" dan fungsi ketiga dinamainya "kekuasaan eksekutif". Dia menyebut fungsi keempat sebagai "federative powers," yang mencakup kekuasaan dalam perang, perdamaian, dan hubungan luar negeri. Sementara itu, dia menilai bahwa membuat keputusan (fungsi yudisial) bukanlah kekuasaan. Maka menurutnya, tak perlu menjadikan wewenang pengambilan keputusan (the powers of judging) sebagai sesuatu yang individual dan terpisah, karena fungsi ini merupakan bagian integral dari pemerintahan tradisional suatu negara. John Locke juga percaya bahwa dengan menempatkan kekuasaan pada tangan yang berbeda, dapat tercapai suatu keseimbangan. [10]
Idea trias politica adalah sebuah aturan moral bahwa sebaiknya kekuasaan tidak diberikan kepada individu yang sama guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak berwenang. Dengan kata lain, konsep trias politik Montesquieu yang ditemukan dalam karyanya yang disebut L'esprit des lois (The Spirit of Laws). Kekuasaan yang terpisah ini disebut sebagai "trias politik". Bahasa Yunani berasal dari kata "tri", yang berarti "tiga", "as", yang berarti "poros" atau "pusat," dan "politika", yang berarti "kekuasaan." Konsep bahwa kekuasaan di suatu negara terbagi menjadi tiga bentuk: legislatif, eksekutif, dan yudikatif dikenal sebagai trias politica. Ketika triaspolitica diterapkan maka akan menghindari kekuasaan absolut. Karena kekuasaan didampingi oleh badan legislatif dan diawasi oleh badan yudikatif. Konsep trias politica bertujuan untuk memisahkan kekuasaan secara terpisah, namun dapat mengimangi satu sama lain, sekaligus saling mengawasi satu sama lain sehingga tidak terjadi kekuasaan yang terpusat dan tidak ada badan atau lembaga yang bertindak secara sewenang-wenang. Hal ini dinamakan check and balances.
Badan Legislatif bertugas mewakili kepentingan warga negara terutama saat pembuatan undang-undang, pemilihan petinggi instansi negara, perumusan kebijakan publik, membuat dan merancang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan berbagai kepentingan publik lainnya. Warga negara yang jumlahnya puluhan hingga ratusan juta orang tidak dapat secara langsung merumuskan undang-undang, atau memilih instansi negara langsung karena akan banyak menghabiskan waktu dan ruang jika agenda publik tersebut dilakukan secara langsung oleh warga negara. Dalam hal ini memunculkan suatu kebutuhan yang dinamakan “perwakilan rakyat”.
Eksekutif sebagai pemegang kekuasaan tertinggi mengambil kebijakan menggunakan kekuasaan yang sesuai dengan visi misinya. Dalam merumuskan dan mengesahkan undang-undang, pemerintah membutuhkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Badan Eksekutif tidak dapat menjalankan secara terpusat sebab akan diawasi oleh badan legislatif dan badan yudikatif. Lembaga eksekutif memiliki peran utama dalam melaksanakan kebijakan pemerintah serta memelihara keamanan dan ketertiban umum di dalam negeri. Kewajiban lembaga pelaksana dijelaskan dalam regulasi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 yang mengatur Kementerian Negara. Beberapa fungsi kunci lembaga eksekutif mencakup menetapkan serta menjalankan kebijakan pemerintah, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan bimbingan serta pengawasan terhadap pelaksanaan tugas pemerintahan, dan mengelola hubungan internasional.
Badan yudikatif, atau lembaga kehakiman, berperan penting dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan menegakkan hukum serta keadilan dalam suatu negara. Sesuai Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, lembaga ini memiliki tugas utama, seperti menangani perkara pidana dan perdata, mengurus perkara tata usaha negara, serta menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum. Selain itu, badan yudikatif juga bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap kegiatan lembaga negara lainnya, menjadikannya pilar kunci dalam menjaga keseimbangan dan keberlanjutan sistem hukum suatu negara.
Pembagian kekuasaan dapat diuraikan menjadi dua jenis, yaitu pembagian kekuasaan secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal, terdapat pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah. Kekuasaan pusat terletak pada presiden, wakil presiden, dan seluruh staf pemerintahannya. Proses pemilihan presiden dan wakil presiden melibatkan partisipasi langsung dari rakyat, sementara presiden bertanggung jawab atas pembentukan kabinet dan penunjukan jabatan menteri. Pembagian kekuasaan daerah terdiri dari gubernur yang dipilih di tingkat provinsi, walikota atau bupati yang dipilih di tingkat kota atau kabupaten, dan staf khusus yang dipilih secara langsung oleh gubernur, walikota, atau bupati.
Pembagian kekuasaan secara horizontal merujuk pada pembagian kekuasaan berdasarkan fungsi. Dengan demikian, fokus pembagian kekuasaan lebih ditujukan pada perbedaan fungsi dalam pemerintahan, seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Perbedaan ketiga lembaga tersebut bertujuan untuk menjalankan kekuasaan secara terbagi sehingga satu badan tidak dapat mengambil kebijakan secara sewenang-wenang dan antar badan satu dengan badan yang lainnya dapat saling mengawasi satu sama lain. Pembagian kekuasaan yang diselidiki dalam penelitian ini merujuk pada pembagian kekuasaan secara horizontal. Ini mencakup distribusi kekuasaan berdasarkan tugas, jenis, dan fungsi, yang menghasilkan berbagai lembaga di dalam suatu negara, seperti lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Sebagai sebuah negara yang berlandaskan hukum dan mengadopsi demokrasi sebagai mekanisme penggeraknya, Indonesia memiliki peraturan tertulis yang mengatur mengenai pemilihan umum serta langkah-langkah pelaksanaannya. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22 E ayat (1) hingga ayat (6), proses pemilihan umum harus memenuhi syarat-syarat berikut: dilakukan secara langsung, terbuka untuk umum, bebas, tetap menjaga kerahasiaan suara, dilaksanakan dengan jujur dan adil, dan diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Tujuan dari pemilihan umum ini adalah untuk memilih para anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden beserta wakil presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Partai politik berperan sebagai peserta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sementara perseorangan menjadi peserta untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah. Pelaksanaan pemilihan umum dilakukan oleh suatu komisi pemilihan umum yang memiliki sifat nasional, tetap, dan independen. Rincian lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan umum diatur dalam Undang-Undang.Secara umum, pemilihan tampuk kekuasaan diberikan secara langsung oleh rakyat. Pemberian kekuasaan tidak berdasarkan pada ikatan darah seperti yang terjadi pada negara yang menjalankan sistem kerajaan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan konstitusi secara jelas memerintahkan bahwa pemimpin negara harus dipilih langsung oleh rakyat.
Secara khusus, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 1 angka 1, menetapkan bahwa pemilihan umum, juga dikenal sebagai pemilu, adalah proses di mana orang memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Wakil Presiden. Didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, proses pemilihan umum dilakukan secara langsung, terbuka untuk umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memberikan penjelasan komprehensif, jelas, dan mendalam tentang proses ini.
Pemilihan umum yang dilakukan oleh peserta pemilihan umum dan warga negara dapat terselenggara dengan baik apabila warga negara dapat mengenali serta memahami peserta pemilihan umum dengan baik. Karenanya, diperlukan upaya pengenalan oleh peserta pemilihan umum kepada masyarakat, usaha ini bisa diidentifikasi sebagai 'kampanye'. Menurut Pasal 1 angka 35 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, kampanye pemilihan umum adalah kegiatan yang dilakukan oleh peserta pemilihan umum atau pihak yang ditunjuk oleh peserta pemilihan umum. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meyakinkan pemilih dengan memberikan visi, misi, program, dan/atau citra diri kepada peserta pemilihan umum. Kampanye diartikan sebagai upaya yang dilakukan oleh kepala daerah atau peserta pemilu untuk menarik sebanyak mungkin dukungan suara, sehingga suara yang diperoleh dapat berdampak pada dukungan terhadap partai yang menjadi afiliasi para peserta pemilihan umum.
Kampanye sebagai komunikasi politik harus menjadi wadah dan media yang menjadi pemersatu bangsa dan membangun kerukunan di tengah perbedaan pilihan politik saat masa-masa pemilihan umum. Kampanye memberikan peluang kepada calon pemilihan umum untuk memperlihatkan identitas, menampilkan diri, dan menyampaikan visi misi mereka kepada masyarakat secara menyeluruh. Kemampuan peserta pemilihan umum untuk persuasif terhadap calon pemilih penting untuk dilakukan karena itu adalah bagian strategi peserta pemilihan umum guna meraih suara yang sebanyak-banyaknya. Peserta dalam pemilihan umum akan mengenali audiensnya dan mengembangkan ide-ide kreatif serta merancang pesan yang sesuai dengan karakteristik umum dari target utamanya. Pentingnya pesan atau isu tersebut sangat terlihat dalam usaha meningkatkan pandangan positif. Mereka yang bersaing dalam pemilihan umum akan berusaha semaksimal mungkin untuk meyakinkan dan memenangkan dukungan masyarakat melalui pesan dan komitmen yang mereka sampaikan.
Saat politik dianggap sebagai usaha untuk meyakinkan pemilih guna meningkatkan daya tarik dan popularitas, maka kandidat harus memiliki rencana dan strategi yang terukur. Calon peserta dalam pemilu pasti memiliki metode kampanye yang berbeda dari pesaing mereka. Kampanye sebagai alat untuk mencapai tujuan politik memerlukan perencanaan strategis yang sangat krusial. [11] Kampanye politik adalah strategi politik yang dijalankan secara teratur oleh para ahli komunikasi yang disebut sebagai tim sukses, konsultan politik/kampanye, manajer kampanye, atau spin doctor. Kampanye politik seringkali menjadi momen yang bisa diubah menjadi dramatis. Para ahli spin berperan dalam menciptakan konten dalam berbagai bentuk, terkadang dengan sedikit distorsi fakta, atau mengubah hal-hal sederhana menjadi pesan yang menarik, berarti, dan menarik perhatian publik. Ahli strategi komunikasi politik atau konsultan hubungan masyarakat politik adalah orang yang memiliki keahlian dalam memahami opini publik, memobilisasi massa, dan mengendalikan media, sambil juga berperan sebagai perancang strategi politik dengan tujuan mempengaruhi. Posisi spin doctor memiliki signifikansi besar, terletak di tengah-tengah antara politisi yang perlu dipublikasikan dan wartawan/jurnalis yang bertugas mempromosikannya. Tidak hanya berfungsi sebagai perantara antara media dan partai politik, tetapi juga memainkan peran penting dalam persaingan kekuasaan politik. Kampanye politik bukanlah tindakan politik yang sederhana; itu adalah tindakan politik yang menuntut perencanaan yang cermat, dukungan sumber daya manusia, pembiayaan yang memadai, dan partisipasi dari berbagai pihak yang terlibat dalam situasi kerja yang penuh konflik dan ketegangan. Seorang politisi perlu seorang komunikator ahli sebagai pengatur acara yang dapat mengelola kampanye, merancang pidato, menyusun agenda, dan menyusun pernyataan politik untuk kandidat, terutama dalam konteks kampanye politik di era demokrasi modern. [12]
Meskipun kampanye merupakan bagian integral dari agenda peserta pemilihan umum, pelaksanaannya harus mematuhi norma hukum dan tata krama untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat. Pelaksanaan kampanye diatur oleh UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, terutama Pasal 280. Pasal tersebut dengan tegas melarang pihak yang terlibat, baik pelaksana, peserta, maupun tim kampanye pemilu, untuk melakukan serangkaian tindakan yang melanggar norma hukum dan etika. Larangan-larangan tersebut mencakup, antara lain: meragukan dasar negara Pancasila, membuka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia; melakukan aktivitas yang dapat membahayakan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia; menghina individu, agama, suku, ras, golongan, calon, atau peserta pemilu lainnya; menghasut dan menimbulkan perpecahan di antara individu atau masyarakat; mengganggu ketertiban umum; mengancam atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada individu, kelompok masyarakat, atau peserta pemilu lainnya; merusak atau menghilangkan alat peraga kampanye peserta pemilu; dan menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, serta tempat pendidikan. Dengan demikian, pengaturan yang cermat terhadap kampanye diperlukan guna menjaga integritas proses demokratis dan mencegah potensi kerusuhan atau ketegangan dalam masyarakat.
Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa terdapat situasi tertentu ketika kampanye diadakan di lingkungan universitas. Penelitian ini bertujuan untuk melindungi hak warga negara untuk memilih sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 43, yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk mengambil bagian dalam pemilihan umum, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon, dengan prinsip persamaan hak melalui proses pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak pilih juga diakui dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), suatu perjanjian internasional yang telah diakui oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Pasal 25 ICCPR dengan jelas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan memiliki kebebasan untuk ikut serta dalam urusan pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas. Ini termasuk hak untuk memberikan suara dan menjadi calon dalam pemilihan umum yang diadakan dengan jujur, dengan hak pilih yang universal dan setara, serta melalui pemungutan suara rahasia untuk memastikan kebebasan menyatakan kehendak para pemilih. Selain itu, pasal tersebut juga menegaskan hak warga negara untuk mengakses pelayanan umum di negaranya berdasarkan prinsip persamaan.
UU Nomor 39 Tahun 1999 menggambarkan tekad pemerintah dalam memastikan perlindungan Hak Asasi Manusia, terutama bagi penduduk Indonesia. Hak Asasi Manusia tidak hanya berfokus memenuhi kebutuhan dasar seperti dilindungi dari rasa takut, hak hidup, seperti makan dan minum namun juga hak untuk menunjukkan hak pilihnya. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2022 menyajikan ketentuan tertulis mengenai persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi pemilih. Pasal 4 dari peraturan tersebut memaparkan kriteria yang harus dipenuhi oleh Warga Negara Indonesia (WNI) agar dapat terdaftar sebagai pemilih. Pertama, calon pemilih harus memiliki usia 17 tahun atau lebih pada hari pemungutan suara, status perkawinan, atau pernah menikah. Kedua, hak pilihnya tidak boleh dicabut berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Ketiga, calon pemilih harus memiliki tempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dapat dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el). Keempat, untuk calon pemilih yang tinggal di luar negeri, mereka harus dapat membuktikan tempat tinggalnya melalui KTP-el, Paspor, dan/atau Surat Perjalanan Laksana Paspor. Kelima, jika belum memiliki KTP-el sesuai dengan persyaratan huruf c dan huruf d, pemilih dapat menggunakan Kartu Keluarga. Terakhir, calon pemilih tidak diizinkan menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pada syarat pertama dituliskan bahwa pemilih harus memiliki usia setidak-tidaknya genap usia 17 tahun. Pada usia tersebut, sebagian besar warga negara Indonesia yang berusia 17 tahun masih menempuh pendidikan menengah atas atau masih dalam mengenyam pendidikan pada tingkat universitas. Jika kampanye tidak boleh dilakukan pada tempat pendidikan, maka hal itu akan mempersempit pemilih yang berusia 17 tahun untuk mengenal peserta pemilihan umum. Pembatasan tempat dilaksanakan kampanye tidak mendukung urgensi pentingnya generasi muda memahami isu politik. Generasi muda memiliki potensi besar untuk menyukseskan kontestasi politik. Sebagai generasi penerus bangsa, generasi muda menjadi pihak yang akan meneruskan cia-cita bangsa, maka sudah sepatutnya generasi muda tidak memiliki jarak yang jauh dengan perpolitikan yang terjadi di negaranya.
Pendidikan dan politik tidak seharusnya dipisahkan, justru dapat dikolaborasikan menjadi bahan diskursus yang menyenangkan dan sarat ilmu pengetahuan. Pemilih muda dapat menajamkan pikiran kritisnya ketika dihadapkan dengan banyak pilihan dan visi misi. Berpikir kritis dan detail tidak bisa diasah secepat membalikkan telapak tangan, melainkan melalui proses yang bertahap dan panjang. Dengan kekayaan modal dan semangat yang dimiliki oleh generasi muda, penting bagi para pemimpin, terutama dalam konteks memperkenalkan demokrasi, politik, dan lembaga negara yang berfokus pada politik dan pemerintahan, untuk mengoptimalkan pemanfaatan tersebut. Saat ini, generasi muda memiliki keahlian yang signifikan dalam penggunaan teknologi, gawai, serta aktif di media sosial dan berbagai kegiatan ekonomi kreatif modern. Generasi muda yang paham politik tidak dibentuk dengan instan melainkan dengan banyak pemahaman, konteks yang dilewati sehingga pemahaman politik yang dimiliki generasi muda menjadi energi yang dapat mengantarkan negara pada cita-cita berkehidupan bangsa dan negara.
Oleh karena itu, uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, atau UU Pemilu, yang diajukan oleh Handrey Mantiri dan Para Pemohon, membutuhkan perhatian khusus. Keputusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, karena artikel tersebut berdampak luas dan tidak terbatas pada individu tertentu. Ini berarti bahwa tidak dapat diajukan upaya hukum terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi karena itu berlaku untuk semua warga negara. Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), pemohon menanyakan tentang larangan kampanye menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan institusi pendidikan.
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menilai kesesuaian undang-undang dengan konstitusi. Penilaian terhadap undang-undang ini dilakukan dengan merujuk pada ketentuan Undang-Undang Dasar. Penilaian dapat dilakukan baik secara substansial maupun formal. Demokrasi Indonesia yang akan diatur adalah bentuk demokrasi yang sesuai dengan norma-norma konstitusi yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Di sini, demokrasi Indonesia tidak diartikan secara harfiah sebagai "suara rakyat adalah suara Tuhan" dan juga tidak dianggap sama dengan keyakinan bahwa suara mayoritas selalu mencerminkan kebenaran mutlak. Ketepatan dalam demokrasi Indonesia diukur oleh norma hukum konstitusi. Untuk memastikan bahwa langkah-langkah demokrasi sejalan dengan landasan konstitusi, peran Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga konstitusi sangat penting. MK perlu terus menjaga agar demokrasi berjalan sesuai dengan norma-norma konstitusi. [13]
Sebagaimana putusan mahkamah konstitusi yang tidak dapat diajukan upaya hukum maka peneliti berpendapat bahwa putusan mahkamah konstitusi nomor 65 tahun 2023 telah sesuai dengan hak kebebasan memilih warga negara namun kepastian mengenai teknis penyelenggaraan kampanye pada tempat pendidikan belum diatur secara jelas. Sehingga perlu adanya regulasi untuk mengatur mekanisme kampanye yang lebih lengkap dan detail.
Kampanye menjadi bagian penting dalam kontestasi pemilihan umum sebab kampanye adalah media paling efektif bagi peserta pemilihan umum untuk mengajak dan mendapatkan perhatian pemilih agar mendapatkan suara yang sebanyak-banyaknya. Namun demikian, perlu adanya regulasi yang jelas mengenai mekanisme dan konsep penyelenggaraan kampanye. Hal ini diatur dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), dan keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 65 tahun 2023 mengenai aturan yang melarang kampanye di fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan lembaga pendidikan juga mendukung dipenuhinya hak politik warga negara untuk memilih dengan bebas. Peneliti mendorong kepada pemangku kebijakan dan pemerintah untuk melahirkan payung hukum agar kampanye tidak hanya menjangkau generasi yang sudah tidak berada di lingkungan pendidikan namun juga menjadi kampanye sebagai wadah pemilih generasi muda untuk belajar mengikuti dan memahami kontestasi politik demi cita-cita berbangsa dan bernegara.