his study explores the transformative impact of the digital era, specifically Society 5.0, on the Indonesian legal system, focusing on the incorporation of Pancasila values as a universal ethical foundation. Adopting a normative legal research method with a conceptual approach, the study analyzes how the Indonesian legal system, predominantly influenced by the civil law system, adapts to the challenges posed by technological advancements and the emerging digital society. The research reveals that Indonesia's unique legal system, grounded in Pancasila, exhibits characteristics of religiosity, humanism, and social justice, enabling it to adapt to societal changes while maintaining core national values. The digital transformation, embodied in Society 5.0, necessitates a legal framework that balances economic development with social problem-solving through innovative and sustainable technology integration. The study highlights the increasing significance of cybersecurity awareness and the potential recognition of artificial intelligence as a new legal subject. Emphasizing the role of Pancasila's ethical principles, the study concludes that a consistent application of these values is crucial for developing a responsive legal system capable of addressing the complexities of a digital society. This alignment ensures that legal evolution aligns with societal aspirations, maintaining harmony and order within the framework of a rapidly evolving digital landscape. The findings underscore the importance of legal reform in legislative, human resources, institutional, and cultural aspects, advocating for a harmonized approach between technological advancements and existing or forthcoming regulations, guided by Pancasila's values.
Highlights:
Keywords: Society 5.0, Pancasila, Indonesian Legal System, Digital Transformation, Cybersecurity
Perubahan masyarakat merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan. Era revolusi industry 4.0 yang masih dan sedang berlangsung saat ini ditandai dengan pembauran (fusion) teknologi yang mampu menghapus batas-batas penggerak ekonomi, baik perspektif fisik, digital, maupun bilogi. Berbagai teknologi terapan dihasilkan dan mampu mengubah produksi dan bahkan model bisnis di berbagai sektor industry [1]. Revolusi industry 4.0 telah membawa dampak baik positif maupun negatif tergantung bagaimana menyikapinya. Seiring dengan berkembangnya era digital saat ini menuntut masyarakat harus cerdas dalam menggunakan teknologi. Teknologi telah mempengaruhi banyak aspek kehidupan manusia termasuk cara mereka berinteraksi satu sama lain, mencari informasi dan bahkan melakukan bisnis [2]. Salah satu sisi negatif dari perkembangan era digital ini tentunya berkaitan dengan pelanggaran hukum yang juga semakin meningkat. kejahatan cyber, penyebaran informasi palsu, peretasan data, pencurian identitas, dan sebagainya sudah marak di kalangan masyarakat kita. Tentunya ini berdampak pada stabilitas sistem hukum yang ada.
Belum selesai tantangan kita di era revolusi industry 4.0, sekarang sudah mulai berkembang istilah Society 5.0. Pertamakali muncul di Jepang dimana masyarakat merasa bahwa teknologi berkembang begitu pesat bahkan kehadiran manusia menjadi terdegradasi oleh kehadiran robot-robot cerdas pengganti peran manusia. Sehingga melalui Society 5.0 dikembangkan pemikiran bahwa masyarakat yang berpusat kepada manusia (human-centered). Bukti konkrit yang sekarang bisa kita ketahui bersama adalah berkembangnya Artificial Intelligence (AI) yang diharapakan mampu membantu manusia untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna. Mengenai gagasan ini tentunya harus juga ditopang dengan sistem hukum nasional yang baik dan mampu beradaptasi dengan transformasi yang terjadi dalam masyarakat.
Memikirkan kembali tentang bagaimana kesiapan sistem hukum nasional dalam menghadapi era digital Society 5.0 penting untuk dilakukan. Sistem hukum yang mampu mewujudkan keinginan masyarakat, membawa kedamaian dan keteraturan menjadi sangat diidamkan. Pancasila sebagai etika universal harus ditempatkan pada posisi yang tepat agar perubahan masyarakat yang sedang terjadi sejalan dengan pembangunan hukum yang dicita-citakan masyarakat.
Kajian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atau doktrinal. Penelitian doktrinal merupakan penelitian yang menjabarkan penjelasan secara sistematik peraturan yang mengarus sebuah kategori hukum tertentu, melakukan analisis hubungan peraturan menerangkan kesulitan daerahnya serta memungkinkan memperkirakan pembangunan di masa mendatang [3]. Pendekatan yang digunakan yaitu konseptual. Penelitian hukum dengan pendekatan konseptual ini beranjak dari doktrin dan pandangan yang berkembang dalam ilmu hukum [4].
Sistem hukum merupakan kesatuan utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri atas bagian atau unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan berkaitan secara erat dimana untuk mencapai suatu tujuan, kesatuan tersebut diperlukan kerjasama, rencana, dan pola tertentu [5]. Dalam suatu sistem terdapat lebih dari dua sub sistem dan setiap sub sistem terdiri dari lagi sub sistem lebih kecil dan begitu seterusnya. Sistem mempunyai kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri (self-regulation). Setiap negara mempunyai tata cara ber-hukumnya sendiri-sendiri. Sehingga setiap negara tentunya memiliki sistem hukumnya masing-masing. Sistem hukum utama (The World’s Major Legal System) yang berlaku dalam masyarakat bangsa-bangsa dapat dikelompokkan dalam beberapa, antara lain yang sering kita kenal adalah civil law system dan common law system. Sebenarnya ada juga yang lain seperti Islamic law system, sub saharaarrican system dan far east system [6]. Namun yang sering disandingkan dengan sistem nasional adalah civil law dan common law system.
Sistem hukum akan menentukan bagaimana proses penegakan hukum yang berlaku di suatu negara. Hal ini tentunya berimplikasi kepada pembangunan hukum yang ada di negara yang bersangkutan. Sistem civil law atau juga bisa disebut dengan sistem Kontinental (Eropa Kontinental) lebih mengutamakan rechtsstaat, yang dimaksud hukum adalah yang tertulis (administratif). Sehingga mengutamakan adanya kepastian hukum. Civil law mengacu kepada undang-undang yang tersusun sistematis dalam sebuah kodifikasi hukum yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum. Hakim tidak terikat pada presedent sehingga undang-undang menjadi sumber hukum yang terutama [7]. Hal ini berbeda dengan common law system. Prinsip utama common law adalah yurisprudensi atau keputusan pengadilan. Sehingga sumber hukum yang digunakan yaitu yurisprudensi tersebut. Point 1 menghasilkan point 2 yaitu keputusan hakim terdahulu menjadi acuan keputusan hakim yang sekarang atau disebut sebagai the binding force of precedent. Doktrin ini disebut sebagai stare decisis, dimana menyebabkan hakim memiliki kewenangan yang luas untuk memberikan tafsir peraturan hukum dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai pegangan bagi hakim selanjutnya. Terdapat adversary system dalam proses peradilan. Adversary system merupakan cara penanganan perkara dengan melakukan perundingan atau negosiasi dengan para pihak antara tertuduh dan penuntut umum, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan sistem penegakan hukum yang berlaku, sehingga cara ini merupakan prosedur formal dan legal [8].
Sistem hukum di Indonesia dianggap cenderung mengikuti sistem civil law karena terpengaruh sistem hukum negara-negara Eropa yang notabene pernah menjajah Indonesia. Namun jika kita lihat lebih jauh lagi maka terdapat juga beberapa sistem hukum yang mempengaruhi sistem hukum yang ada di Indonesia yaitu Hukum Adat dan Hukum Islam, yang akhirnya mengacu kepada suatu sistam hukum gabungan baru yang berlandaskan pada Pancasila. Disebut juga dengan Sistem Hukum Pancasila, sistem hukum ini memiliki keunikan tersendiri. Sistem ini didasarkan pada nilai-nilai Pancasila yang merupakan cerminan dari budaya dan jiwa bangsa Indonesia. Tiga ciri utama Sistem Hukum Pancasila yaitu ciri religius yang mencerminkan nilai-nilai ketuhanan, ciri humanis yang mencirikan nilai-nilai kemanusiaan dan ciri sosial yang mencerminkan nilai keadilan sosial [9]. Dalam perkembangannya Sistem Hukum Pancasila juga mengakui pentingnya hukum adat sebagai sumber hukum. Sistem Hukum Pancasila mempunyai keunggulan dalam fleksibilitas dan adaptabilitasnya terhadap perkembangan zaman dan masyarakat.
Era Society 5.0 merupakan era yang mengusung visi transformasi masyarakat menuju masa depan yang lebih baik melalui pemanfaatan teknologi digital. Pertama kali pemikiran tentang Society 5.0 disampaikan oleh Kabinet Jepang mengeluarkan Rencana Dasar Sains dan Teknologi Ke-5 [10] yang berawal dari kebutuhan untuk memecahkan tantangan yang menghambat pembangunan berkelanjutan. Bertujuan untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi dan penyelesaian masalah sosial dengan sistem yang lebih terintegrasi antara dunia maya dan dunia nyata. Society 5.0 menciptakan masyarakat yang berkelanjutan, inklusif dan inovatif dengan memanfaatkan kecerdasan buatan (artificial intelligence), internet of things (IoT), big data dan teknologi lainnya. Transformasi digital ini melibatkan perubahan pada berbagi aspek kehidupan [11]. Cara berkomunikasi kita telah berubah, dulu hanya melalui telepon atau surat sekarang sudah bisa menggunakan berbagai aplikasi, media sosial dan sebagainya. Cara bekerja kita juga berubah karena bantuan teknologi digital. Tidak lagi yang namanya bekerja harus keluar rumah. Di dalam rumah pun orang bisa bekerja dan menghasilkan uang. Dengan mudah orang bisa mendapatkan uang, termasuk akhirnya juga mempengaruhi bagaiman cara berbelanja seseorang. Melalui e-commerce setiap orang dengan mudah memilih barang yang diinginkan dan kemudian membelinya hanya dengan menekan tombol klik. Selain itu di era Society 5.0 ini teknologi dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai masalah sosial dan lingkungan.
Istilah dan model yang muncul dalam literatur akademis dan praktis seperti smart city pada dasarnya adalah masyarakat digital, versi yang spesifik dan intuitif, dan model yang jelas dari model masyarakat digital [12]. Era Society 5.0 menawarkan potensi besar untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat. Namun untuk mencapainya diperlukan kolaborasi berbagai pihak. Di sisi Pemerintah harus menciptakan kebijakan yang mendukung pengembangan teknologi digital dan memastikan bahwa teknologi tersebut digunakan untuk kepentingan masyarakat secara luas. Prinsip utama dari era Society 5.0 yaitu kemanusiaan, inovasi, keberlanjutan dan keterhubungan.
Era Society 5.0 mendambakan kehidupan masyarakat yang menikmati hidup secara maksimal. Pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi ada untuk tujuan itu, dan bukan untuk kemakmuran segelintir orang [13]. Namun di sisi lain tentu ada sebagian orang memanfaatkan era digital ini dengan hal-hal yang negatif dan demi keuntungannya sendiri. Kemudahan yang diberikan oleh teknologi ini justru oleh sebagian orang dimanfaatkan untuk melakukan kejahatan. Kejahatan siber(cybercrime) atau disebut juga dengan kejahatan mayantara sudah menjadi pembicaraan di banyak tempat sejak lahirnya era revolusi industry 4.0. Cybercrime ini menjadi sisi gelap dari pesatnya pekembangan teknologi sehingga kejahatan ini tidak boleh dianggap remeh.
Di Indonesia sudah memiliki cyber law yaitu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) No 11 Tahun 2008. Namun ternyata hal ini tidak cukup untuk menghilangkan cybercrime. Evolusi teknologi telah memberikan dampak yang signifikan terhadap kejahatan dunia maya, baik dari segi jenis kejahatan yang terjadi, kompleksitas serangan, maupun tingkat kerentanan. Evolusi kejahatan perkembangan teknologi telah menciptakan jenis kejahatan dunia maya yang semakin kompleks dan canggih. Misalnya, serangan phishing, ransomware, dan serangan denial-of-service (DDoS) terdistribusi menjadi lebih umum dan kompleks karena kemajuan teknologi [14]. Kejahatan akan tetap menjadi kejahatan apabila masing-masing dari manusia itu tidak memiliki kesadaran hukum. Sebagai salah satu usaha yang bisa dilakukan adalah melakukan pencegahan agar tidak terjadi cybercrime. Kesadaran keamanan cyber harus ditingkatkan. Dengan memahami bahaya kejahatan digital dan mengambil langkah-langkah pencegahan yang tepat, masyarakat dapat secara proaktif melindungi diri mereka sendiri dan mengurangi risiko terhadap serangan kejahatan digital. Peningkatan kesadaran dan pemahaman akan pentingnya keamanan digital harus menjadi prioritas untuk masyarakat di era digital ini.
Salah satu kajian menyebutkan bahwa ke depan kemungkinan untuk mengakui artificial intelligence (AI) sebagai subyek hukum baru dalam sistem hukum pidana Indonesia [15]. Pada perkembangannya AI akan memiliki pikirannya sendiri yang kemungkinan akan melebihi kecerdasan manusia. Pada saat itu, maka kemungkinan akan dibenarkan menjatuhi pertanggungjawaban pidana kepada AI. Ini gambaran singkat apabila kita melihat dari sisi hukum pidana. Kajian berikutnya berkaitan dengan hukum perdata misalnya belum dilakukan. Namun hal ini menunjukkan bahwa perkembangan masyarakat digital bisa sangat kompleks mempengaruhi perkembangan sistem hukum.
Transformasi masyarakat ini perlu ditopang dengan sistem hukum nasional yang baik. Norma hukum yang ada harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi, tetapi kemudian bukan berarti harus menanggalkan nilai-nilai yang dianut. Perubahan hukum mempunyai banyak aspek dan karena itu cukup rumit. Tidak hanya perubahan terhadap undang-undang, struktur melainkan juga perilaku subtansial. Berbicara mengenai sistem hukum tentu kita tidak bisa terlepas dari konsep Friendman bahwa terdapat didalamnya struktur hukum, subtansi hukum dan juga budaya hukum. Kita bisa melihat dari ketiga sub sitem tersebut.
Bagaimana kita bisa melakukan pengembangan sistem hukum kita disaat kita dihadapkan pada persoalan-persoalah hukum yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi atau era digital yang sedang berjalan ini. Dalam perubahan yang sangat cepat, peran masyarakat, organisasi pemerintah dan lembaga lainnya juga berubah dengan cepat. Mereka perlu beradaptasi dan bertahan dari tekanan hidup [16]. Dalam hal ini menjaga kaidah hukum sebagai landasan utama merupakan kunci untuk mengatasi tantangan tersebut [2]. Kaidah hukum yang jelas dan diterapkan secara konsisten dapat membantu memperkuat kepercayaan masyarakat pada sistem hukum dan pemerintah. Pancasila sebagai ideologi bangsa sekaligus juga dasar negara tentu akan menjadi pegangan bagi negara Indonesia untuk menjalankan kehidupan bernegara tidak terkecuali dalam pembangunan hukum atau sistem hukum. Pancasila memiliki nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai visi hidup bangsa dan negara untuk menghadapi segala ancaman globalisasi. Tentu tidak terkecuali menghadapi Society 5.0 mendatang.
Pancasila sebagai paradigm of appreciation harus ditempatkan pada posisi yang tepat. Pada proses pembentukan teori dan praktek hukum di Indonesia harus bertumpu pada etika universal yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila [17]. Ajaran moral Pancasila menjadi dasar etika kebangsaan Indonesia yang antara lain Pancasila mengandung Nilai Ketuhanan (religiusitas) sebagai sumber etika dan spiritualitas; nilai kemanusiaan yang bersumber dari hukum tuhan, hukum alam dan sifat-sifat sosial manusia menjadi etika politik kebangsaan dan hubungan internasional; nilai persatuan dan kesatuan bangsa sebagai sumber etika sosial untuk membangun harmonisasi kehidupan kebangsaaan dalam kondisi masyarakat yang plural; nilai kedaulatan rakyat yang didasarkan atas semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan menjadi sumber etika berdemokrasi; dan nilai keadilan sosial yang menjadi sumber etika dalam membangun kekuatan ekonomi kebangsaan untuk mewujudkan negara Sejahtera sebagai tujuan negara [18].
Persoalan-persoalan dalam bidang hukum mulai dari perencanaan hukum, proses pembuatan hukum, penegakan dan pembinaan kesadaran hukum dapat dipecahkan dengan baik apabila kita menggunakan strategi yang tepat berupa reformasi hukum (dalam bidang legislasi, sumber daya manusia, kelembagaan dan budaya hukum). Pembangunan hukum harus responsif, tidak lagi melihat hukum sebagai entitas yang berdiri sendiri melainkan harus mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan untuk mengadopsi kepentingan-kepentignan yang ada di masyarakat. Pembangunan hukum yang dilakukan baik melalui rekonstruksi maupun harmonisasi antara kemajuan teknologi dan regulasi yang sudah ada maupun yang akan dibuat selayaknya memberikan manfaat positif dengan membingkainya dalam hukum yang sesuai Nilai-nilai Pancasila [19].
Prinsip utama dari era Society 5.0 antara lain kemanusiaan, inovasi, keberlanjutan dan keterhubungan. Kemanusiaan memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan manusia dalam pengembangan teknologi. Inovasi mendorong pengembangan teknologi yang inovatf dan berkelanjutan untuk memecahkan masalah sosial. Keberlanjutan, memastikan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Keterhubungan, mengintegrasikan teknologi dengan kehidupan sehari-hari manusia untuk meningkatkan efisiensi dan kenyamanan.
Transformasi masyarakat menuju Digital Society 5.0 tentu tidak bisa bendung. Kehadiran teknologi pada masyarakat selain menimbulkan dampak positif juga menimbulkan dampak negatif. Menghadapi Society 5.0 mendatang tidak cukup hanya dengan meingkatkan pemahaman kita terhadap teknologi, cara pencegahan atau penanganan jika terjadi cybercrime dan sebagainya. Kita membutuhkan penguatan sistem hukum nasional khususnya dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila menjadi etika universal secara konsisten. Nilai-nilai Pancasila sebagai norma dasar negara mempunyai peran sebagai etika universal yang mampu mewujudkan tujuan negara. Etika universal sangat penting dalam menghadapi transformasi digital Society 5.0. Upaya memperkuat sistem hukum nasional dalam menghadapi transformasi digital Society 5.0 dapat kita lakukan dengan menerapkan nilai praktis yang terkandung dalam Pancasila antara lain Nilai Ketuhanan, Nilai Kemanusiaan, Nilai Persatuan, Nilai Kedaulatan Rakyat, dan Nilai Keadilan Sosial. Apabila nilai ini dapat kita terapkan dengan konsistem maka proses pembangunan hukum dapat berjalan dengan baik, sesuai dengan yang dicita-citakan masyarakat.