This research explores the principle of "Res Judicata Pro Varitate Habetur," a legal doctrine asserting that a judicial decision with legal authority must be considered correct and binding. Focusing on its application in the decisions of the Constitutional Court (MK) and the Supreme Court (MA) of Indonesia, the study emphasizes the authority and differences in the finality of their rulings. It proposes a conceptual update to "Res Judicata Pro Varitate Habetur" aimed at enhancing public access to legal truth, considering the need to balance legal certainty with judicial system improvements. The research employs a Juridical-Normative method, incorporating conceptual, juridical, and case study approaches. The conceptual approach underscores the importance of understanding legal concepts as a preliminary step in analyzing legal norms. This approach involves the analysis of legal texts, the objectives of the law, and the relevant legal system. The juridical approach involves understanding and analyzing law by referring to the applicable written norms, while the case study approach involves analyzing court decisions or relevant legal cases. The findings highlight the role of this principle in maintaining legal certainty, and suggest that its conceptual update could enhance public access to legal truth and contribute to legal thought on future judicial system reform.
Highlights:
Keywords: Res Judicata Pro Varitate Habetur, Indonesian Judiciary, Legal Certainty, Judicial Reform, Public Access to Justice
Salah satu asas dalam proses peradilan ialah prinsip “Res judicata pro varitate habetur”. Prinsip tersebut secara sederhana dapat dimaknai bahwa putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap harus dianggap benar dan mengikat. Asas ini berasal dari bahasa Latin yang berarti "putusan yang telah berkekuatan hukum tetap harus dianggap benar dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna"[1].
Dengan begitu, semua putusan hakim di kelembagaan kekuasaan kehakiman harus selalu dianggap benar sepanjang putusan tersebut sudah bersatatus berkekuatan hukum tetap. Harus dianggap benar bukan berarti semua keputusan hakim sudah benar. Akan tetapi, ada keterpaksaan untuk dapat menempatkan putusan tersebut sebagai sebuah Vonnis yang dianggap benar. Dengan begitu, ia dapat dilakukan eksekutorial terhadap isi dari perintah putusan tersebut.
Dalam konteks kekuasaan kehakiman di Indonesia, maka terdapat dua kelembagaan kehakiman. Keduanya ialah Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung (Beserta seluruh badan peradilan dalam linkungan peradilan militer, peradilan tata usaha negara, peradilan umum, dan peradilan agama)[2]. Keduanya memiliki kewenangan masing-masing yang berbeda antara satu kelembagaan dengan kelembagaan kehakiman yang lain.
Mahkamah Konstitusi (MK) berdiri independen dan sejajar dengan lembaga negara lainnya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24C UUD NRI 1945. Kedudukan independen ini menjamin objektivitas dan imparsialitas MK dalam menjalankan fungsinya. Kemandirian MK diperkuat dengan pengaturan mengenai keanggotaannya, keuangan, dan administrasi yang terpisah dari lembaga negara lainnya.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24C UUD NRI 1945 secara tegas mengamanatkan kewenangan MK sebagai berikut: Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) (Pasal 24C ayat (1) huruf a UUD NRI 1945)[3]. Kewenangan ini dikenal dengan pengujian undang-undang (judicial review) dan berfungsi sebagai penjaga gawang konstitusi, memastikan semua produk legislasi tidak bertentangan dengan norma tertinggi dalam hierarki perundang-undangan, Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD (Pasal 24C ayat (1) huruf b UUD NRI 1945). Kewenangan ini bertujuan menghindari tumpang tindih kewenangan dan menjaga harmonisasi hubungan antar-lembaga negara, Memutus pembubaran partai politik (Pasal 24C ayat (1) huruf c UUD NRI 1945). Kewenangan ini dimaksudkan untuk menjaga kestabilan sistem demokrasi dan memastikan partai politik menjalankan fungsinya sesuai dengan konstitusi, Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (Pemilu) (Pasal 24C ayat (1) huruf d UUD NRI 1945). Kewenangan ini berperan dalam menjaga integritas dan transparansi sistem Pemilu serta menjamin hak konstitusional warga negara atas Pemilu yang jujur dan adil[3].
Memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD (Pasal 24C ayat (2) UUD NRI 1945). Kewenangan ini, yang dikenal dengan impeachment, merupakan mekanisme kontrol DPR terhadap Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, memastikan keduanya menjalankan tugas sesuai konstitusi dan bebas dari pelanggaran[3].
Selain MK, Lembaga kekuasaan kahakiman juga dimiliki oleh Mahkamah Agung (MA) beserta badan peradilan yang berada di bawahnya. Kewenangan MA sangatlah luas dibandingkan dengan MK. Salah satu yang paling urgen ialah menjadi lembaga tinggi negara yang berfungsi untuk menjaga dan menegakkan hukum dan keadilan. Kewenangan MA diatur dalam Pasal 24A ayat (2) UUD NRI 1945, yakni melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman di semua lingkungan peradilan.
Secara khusus, MA diberi kewenangan untuk mengadili pada tingkat kasasi (Pasal 24A ayat (1) huruf b UUD NRI 1945) dan melakukan peninjauan kembali terhaap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 24A ayat (1) huruf c UUD NRI 1945). Kedua kewenagan tersebut merupakan upaya hukum lanjutan terhadap putusan yang diterbitkan oleh Lembaga kehakiman atau oleh hakim yang diberi tugas untuk mebuat sebuah keputusan. Simplifikasinya, kewenangan hakim di kelembagaan MA atau badan peradilan di bawahnya masih terdapat peluang untuk dapat ditinjau kembali.
Misalnya putusan pengadilan di tingkat yang paling bawah dapat dievaluasi oleh lembaga kehakiman di atasnya melaui proses banding dan kasasi[4]. Termasuk juga putusan hakim di proses peradilan di level yang paling tinggi, masih juga terdapat serangkaian proses untuk meninjau kembali, yakni melalui instrumen Peninjauan Kembali[4].
Berbagai level lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dan terdapatnya serangkaian proses upaya hukum lanjutan di kelembagaan MA, menggambarkan ahwa upaya pencarian terhadap kedailan dapat dijalankan dengan baik dan terkontrol. Hal tersebut dapat dijadikan argument dasar bahwa keadilan dengan leluasa digelar bebas karena putusan hakim bukan terminalisasi dari semua rangkain proses peradilan. Seandainya para hakim alpa dan absen dalam menghadirkan keadilan di dalam memberikan putusan, maka ia dapat mengupayakan keadilan pada lembaga kehakiman yang yang lain.
Prinsip “Res Judicata Pro Varitate Habetur” dengan sangat mudah diterapkan dan memenuhi syarat dasar untuk dapat dianggap benar jika didalilkan pada semua putusan hakim di kelembagaan MA. Hal tersebut disebabkan karena terdapatnya entitas lain yang berkaitan dengan upaya kontrol terhadap putusan hakim, oleh lembaga kehakiman yang lain. Keadilan, tidak hanya disandarkan kepada satu entitas lembaga kehakiman semata. Akan tetapi tergelar mono mazhab dalam memperoleh keadilan yang tersebar ke beberpa lemabaga. Dengan begitu, ada upaya ceks and balance, sehingga terbebas dari penumpukan kewenangan pada satu kekuasaan kehakiman. Artinya, jikapun terdapat kesalahan hakim dalam membuat sebuah putusan, maka masih terdapat upaya hukum lainnya untuk memperbaiki putusan yang salah tersebut.
Hal yang berbeda jika asas tersebut dilabelkan pada putusan hakim di kelembagaan MK. Sebab, proses peradilan di MK merupakan upaya hukum formil yang pertama dan terakhir. Ditambah juga oleh sifat dari putusan MK yang bercorak final and binding[5], yakni final dan mengikat. Final dan mengikat bermakna tidak ada upaya hukum lanjutan yang dapat ditempuh untuk mengoreksi putusan tersebut karena terminalisasi dari proses persidangan di MK ialah di MK itu sendiri[6]. Selain terminalisasi terpusat di lembaga yang sama, hal yang lainnya ialah tidak adanya upaya yang lain, yang dapat ditempuh untuk melakukan upaya control terhadap putusan MK. Oleh karenanya, akan menjadi problem yuridik manakala terdapat putusan MK yang salah dan tidak benar, tetapi kesalahan tersebut harus selalu dianggap benar karena terikat dengan dalil “Res Judicata Pro Varitate Habetur”.
Konsep “Res judicata pro varitate habetur” yang selama ini menjadi dasar bagi keberlakuan suatu putusan kekuasaan kehakiman dengan dalil utamanya menyatakan bahwa suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap harus dianggap benar dan tetap berlaku, meskipun putusan tersebut ternyata keliru; perlu dilakukan perbaharuan. Terutama dalam kontkes putusan Mahkamah Konstitusi. Sebab, dalam proses
Oleh karenaya, perlu dilakuakn pembaruan konsep tersebut untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat mendapatkan keadilan, sebagaia upaya perbaikan system peradilan ke depan. Jika dieri ruang yang tidak terbatas untuk memperoleh keadilan dan kebenaran pada proses-proses hukum di MK, maka masyarakat dapat mengajukan pengujian jika ternyata putusan hakim MK tersebut keliru. Metode Penelitian yang digunakan ialah Yuridis-Normatif: dengan pendekatan konseptual, yuridis, dan kasus [7].
Menurut Gustav Radbuch, substansi hukum harus mengandung idee des recht (cita hukum), yang meliputi unsur keadilan (gerechttigkeit), kepastian hukum (rechtscherheid), dan kemanfaatan (zweekmasigkeit)[8]. Isi hukum yang dimaksud tidak hanya terbatas pada aturan hukum atau norma hukum berupa peraturan perundang-undangan. Tetapi, berlaku juga pada sebuah jenis putusan hakim.[9] Dalam konteks positivisme, hukum dimakai sebagai perintah dari yang berdaulat. Hakim merupakan subjek pening yang memiliki wewenang untuk membuat putusan atas perkara yang ditangani. Oleh sebab itu, sebagai yang berdaulat dalam mebuat putusan, ia harus dapat mengintegrasikan semua cita hukum di atas ke dalam sebuah putusan.
Jika tidak mencerminkan ketiganya atau salah satunya, maka hukum berada pada posisi yang sudah sangat jauh dari tujuan hukum itu sendiri. Bahkan, dalam pandangan yang lain menyebutkan “lex iniusta non est lex”, hukum yang tidak adil bukan hukum[10]. Oleh karenanya, seorang hakim harus benar-benar menjadi subjek yang dapat menhadirkan putusan yang adil dan benar.
Menjadi petaka seandainya hakim tidak dapat menjalankan tugas mulia seperti yang sudah disebutkan di atas. Petakan tersebut dikarenakan putusan hakim hakim akan selalu dianggap benar. Apapun wujud dan isi dari putusan hakim akan selalu diabaikan dalam penerapan hukum karena sudah terlanjur menyandar putusan hakim harus selalu dianggap benar. Hal tersebut menjadi inti dari asas “Res Judicata”.
"Res judicata" adalah istilah hukum Latin yang secara harfiah berarti "hal yang sudah diadili." Istilah ini mengacu pada prinsip hukum yang menyatakan bahwa suatu keputusan yang sudah diambil dalam suatu perselisihan oleh pengadilan yang berwenang dan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak dapat diperiksa kembali atau diadili kembali oleh pengadilan yang sama atau pengadilan lainnya[11]. Prinsip res judicata bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum dan menghindari adanya tumpang tindih dalam penyelesaian sengketa. Seandainya hakim dalam membuat putusan mengacu pada kesaksian yang tidak benar oleh para saksi, maka putusan tersebut harus tetap dianggap benar sampai memperoleh kekuatan hukum tetap oleh lembaga kehakiman yang lebih tinggi, seandainya diminta banding dan kasasi[11].
Sistem hukum mengakui prinsip res judicata sebagai salah satu aspek penting dalam keadilan dan efisiensi penegakan hukum. Namun, prinsip tersebut dimaksudkan hanya untuk menjamin kepastian proses hukum secara formil bagi para pihak yang berperkara dan tidak selalu inheren dengan kebenaran substansial. Sebab, asas tersebut hanya untuk menjamin kepastian sementara dari proses peradilan yang sedang berlansung[12]. Secara formal, putusan hakim harus diterima dan dianggap benar bahwa dengan dijatuhkannya putusan sampai terdapat putusan yang membatalkan[12].
Pilkov, dengan sederhana mengartikan dan menghubungkan prinsip Res Judicata dengan prinsip finalitas. Menerutnya, finalitas sering digunakan dalam dua konteks[13]. Yang Dengan demikian, finalitas merupakan salah satu prasyarat agar res judicata dapat diterapkan sebagai asas dalam proses peradilan selanjutnya[13]. Konteks kedua dari penggunaan finalitas berkaitan dengan dampak suatu putusan dalam proses persidangan lainnya, yakni berupa putusan akhir, yang mempengaruhi hubungan para pihak[13]. Simplifikasinya, res judicata, dan oleh karena itu tetap tepat untuk digunakan terutama untuk menentukan kapan keputusan tersebut menjadi final dan mengikat[13].
Asas hukum ini berfungsi sebagai alat untuk menangani keraguan terhadap keputusan hakim. Sebagai contoh, jika ada putusan hakim yang ternyata tidak sesuai dengan undang-undang, hal ini mungkin menimbulkan keraguan[14]. Namun, asas ini menolak pandangan tersebut dengan menegaskan bahwa keputusan hakim seharusnya lebih tinggi nilainya daripada undang-undang, meskipun keunggulannya hanya berlaku untuk kasus tertentu yang sedang dihadapinya[14]. Oleh karena itu, pihak yang terlibat dalam persidangan seharusnya mempercayai putusan hakim sebagai kebenaran yang dicari, dan jika ada keraguan, mereka dapat mengajukan banding atau kasasi ke lembaga pengadilan yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa kebenaran yang dikejar harus sesuai dengan formalitas hukum, dan putusan hakim harus diakui sebagai keputusan yang perlu dipastikan kebenarannya karena hukum mengejar kepastian[14].
Bahkan sekalipun hakim dianggap sebagai mulut dari undang-undang, asas ini menegaskan bahwa keputusan hakim harus diberi keunggulan, dan apabila terjadi keraguan, proses banding atau kasasi merupakan jalur yang sesuai. Undang-undang dianggap sebagai produk hukum yang mengikat masyarakat, dan oleh karena itu, ruang lingkup keberlakuan undang-undang tidak sebanding dengan keberlakuan putusan hakim[14].
Dalam istilah hukum, dapat disimpulkan bahwa kata "Iudicata" adalah "Iudicatus," yang juga umum digunakan dalam konteks hukum. Lembaga yang menghasilkan putusan ini disebut sebagai lembaga yudikatif. Kesimpulan ini dapat ditarik dengan mempertimbangkan prinsip Trias Politica, di mana kekuasaan negara dibagi menjadi tiga pilar: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa istilah "iudicata" merujuk pada suatu hal yang diputuskan oleh lembaga yudikatif, yaitu putusan hakim[14].
Artinya, prinsip Res judicata merupakan bagian dari menifestasi dari pembagian kekuasaan yang secara klasik dikenal dengan trias politika. Trias Politika, atau "Pemisahan Kekuasaan," adalah konsep dasar dalam teori pemerintahan yang mengkluster atau melakukan pembagian kekuasaan negara menjadi tiga cabang independen: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Montesquieu dalam karyanya yang berjudul "The Spirit of the Laws" pada abad ke-18[15]. Trias Politica bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan menjaga keseimbangan antara pemerintah serta melibatkan partisipasi yang seimbang dari setiap cabang dalam proses pengambilan keputusan[16].
Cabang legislatif bertanggung jawab atas pembuatan undang-undang. Dalam suatu negara, lembaga legislatif, yang sering kali berupa parlemen atau kongres, memiliki peran utama dalam merancang, membahas, dan mengesahkan undang-undang. Keberadaan cabang legislatif menegaskan konsep partisipasi warga negara dalam proses pembuatan keputusan, sehingga memastikan representasi kehendak rakyat[15].
Cabang eksekutif, di sisi lain, bertugas melaksanakan undang-undang yang telah dibuat oleh legislatif. Kepala eksekutif, biasanya berupa presiden atau perdana menteri, memiliki peran dalam mengelola pemerintahan, menjalankan kebijakan, dan menjaga ketertiban umum. Cabang ini memastikan pelaksanaan undang-undang dengan cara yang efektif dan efisien[15].
Cabang yudikatif, atau kehakiman, memiliki peran kritis dalam menegakkan hukum dan memastikan keadilan. Pengadilan dan lembaga kehakiman lainnya bertanggung jawab untuk menyelesaikan sengketa, menguji konstitusionalitas undang-undang, dan memberikan keputusan berdasarkan hukum. Independensi cabang ini menjadi kunci untuk memastikan bahwa hukum ditegakkan tanpa intervensi politik yang tidak pantas[16].
Dalam konteks trias politica, setiap cabang harus beroperasi secara independen, namun tetap saling mengawasi dan seimbang satu sama lain. Keberadaan mekanisme check and balances ini adalah landasan bagi stabilitas politik dan perlindungan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Dengan demikian, Trias Politica tidak hanya menjadi prinsip pemerintahan, tetapi juga sebuah upaya untuk menciptakan sistem yang adil, demokratis, dan stabil dalam struktur pemerintahan suatu negara[16].
Secara sederhana, walaupun hakim diberi kebebasan dalam menjatuhkan putusan dan bahkan, putusannya akan selalu dianggap benar, ia tetaplah terikat dengan kewenangan yang dimiliki. Tidak mungkin ia dengan sendiri meiliki kewenangan tersebut dan melakukan tindakan yang semena-mena dalam memberi putusan. Kewenagan inilah yang dalam trias politika terikat dengan kewenagan yang lain.
Artinya, jika seorang hakim atau lembaga pengadilan melampaui kewenagan yang ia miliki untuk membuat putusan, maka putusannya tetaplah tidak valid. Misalnya, sepertia yang sudah dijelaskan di atas bahwa kelembagaan kehakiman dibagi secara umum menjadi dua kelembagaan; MK dan MA. Di kelembagaan MA juga terdapat badan ajudikasi yang kewenagan sendiri-sendiri. Logikanya, MA tidak akan memutus sesuatu yang bukan menjadi kewenagannya. Dan jika terjadi hal yang demikian, maka tidak bias asas tersebut digunakan sebagai dalil yang melegitimasi kesalahan tersebut.
Dalam konteks penelitain ini misanya, putusan MK nomor 90/2023 tentang batasan usia calon presiden dan wakil presiden. Dari pasal yang disampaikan di atas, bahwa kewenangan MK ialah negative legislasi. Ia hanya berperan, salah satunya, sebagai kekuasaan kehakiman yang bertugas membatalkan norma hukum yang dianggap bertengtangan dengan konstitusi. Jika dalam prakteknya ia melampaui kewenagan yang diberikan oleh konstitusi dan mengambil alhi kewenagan lembaga lain dengan fungsi positif legislasi, maka dalil res judicata tidak dapat dipergunakan.
Apalagi, dari kajian sederhana ini didapat temuan bahwa kebenaran dari asas res judicata merupakan kebenaran formil, bukan kebenaran yang bersifat substansial. Dus, asas tersebut juga menginginkan adanya kelembagaan keukuasaan kehaiman lain yang dapat menguji putusan hakim yang dianggap tidak dapat menhadrikan kebenaran dakam meberi putusan.
kesimpulannya bahwa asas "Res Judicata Pro Varitate Habetur" menjadi instrumen penting dalam menjaga kepastian hukum dan mengatasi keraguan terhadap putusan hakim. Meskipun hakim dianggap sebagai penjaga keadilan, asas ini menempatkan keputusan hakim di posisi unggul, dan jika terjadi keraguan, terdapat mekanisme hukum lanjutan seperti banding atau kasasi yang dapat ditemui di proses peradilan di kelembaagan MA.
Pembaruan konsep asas ini, terutama dalam konteks putusan MK, perlu dipertimbangkan untuk memberikan kesempatan lebih besar bagi masyarakat mendapatkan keadilan. Meskipun prinsip finalitas tetap dihormati, pembaruan ini dapat mengakomodasi peninjauan lebih lanjut terhadap putusan MK yang mungkin keliru.