This study critically examines the mechanism of appointing the Acting Governor of Nusa Tenggara Barat (NTB), focusing on its alignment with the principles of a democratic legal state. Utilizing a normative legal research methodology, the study employs legislative and conceptual approaches, drawing from primary and secondary legal materials. The analysis incorporates descriptive analytical, prescriptive, and argumentative data analysis techniques. Findings reveal that the current mechanism, governed by the Ministry of Home Affairs Regulation No. 4 of 2023, mandates adherence to democratic legal state principles. However, it faces significant challenges in ensuring optimal public participation and safeguarding human rights (HAM). Although the process involves multiple stakeholders, including optional non-ministerial government agencies, the final decision remains centrally with the president. This centralistic tendency undermines direct public participation in political decision-making, a core tenet of democracy. Additionally, the mechanism lacks clear legal procedures for termination, posing a risk of violating HAM principles and affecting the legitimacy and continuity of the appointed official. The study recommends enhancing public and representative body involvement to better reflect democratic participation principles. It also suggests regulatory changes to mandate broader stakeholder involvement and establish clear termination mechanisms, thereby improving transparency, accountability, and legal certainty while upholding human rights protection. These improvements are crucial for bolstering the mechanism's democratic legitimacy and efficacy in NTB's governance.
Highlights
Keywords: Democratic Legal Principles, Public Participation, Human Rights, NTB Governor Appointment, Legal Transparency
Demokrasi pada hakikatnya adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, memiliki arti bahwa sesungguhnya kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat [1], hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Peran serta rakyat dalam mengambil keputusan terlihat ketika rakyat memilih pemimpin yang diharapkan dapat melaksanakan tugas sesuai dengan yang diamanahkan rakyat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku [2]. Salah satu bentuk realisasi dari kedaulatan rakyat di Indonesia yaitu adanya Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali dengan tujuan merotasi kekuasaan secara konstitusional dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil [3].
Pemilu adalah sarana untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menjalankan fungsi masing-masing [4]. Begitu juga untuk pemilihan kepala daerah dalam hal ini bupati, walikota, dan gubernur praktiknya dipilih secara langsung oleh rakyat tetapi konstitusi menyebutkan dipilih secara demokratis [5].
Pada tahun 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi menetapkan Pemilihan Umum serentak yang dituangkan melalui Keputusan KPU Nomor 21 Tahun 2022 tentang Hari dan Tanggal Pemungutan Suara Pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Serentak Tahun 2024 [6]. Pemilu serentak tersebut akan dilaksanakan pada Rabu, 27 November 2024 [7].
Adanya Pemilu serentak di 2024, maka konsekuensi hukumnya adalah akan ada beberapa daerah di Indonesia yang mengalami kekosongan jabatan kepala daerah dikarenakan masa jabatan kepala daerah definitif berakhir di tahun 2022 dan 2023. Contohnya di tahun 2022 ini, sebanyak 101 daerah yang jabatan Gubenur, Bupati dan Walikota definitif akan berakhir dan disusul pada tahun 2023 berjumlah 171 daerah. Sementara secara total terdapat 272 daerah yang akan mengalami kekosongan jabatan kepala daerah hingga pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di tahun 2024 [8]. Sehingga dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun menuju 2024, jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota definitif akan digantikan oleh penjabat sementara sesuai dengan ketentuan Pasal 201 ayat (9) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU No. 10 Tahun 2016).
Selanjutnya pemberian atribusi kepada pemerintah pusat untuk mengangkat penjabat kepala daerah provinsi yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya dan penjabat kepala daerah kabupaten/kota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan dilantiknya gubernur, bupati, dan walikota hasil pilkada serentak 2024 diatur dalam Pasal 201 ayat (10 dan 11). Pengisian jabatan kepala daerah ketika terjadi kekosongan memang diamanatkan secara langsung oleh konstitusi, karena jabatan kepala daerah memang tidak boleh dibiarkan kosong. Hal ini dimaksudkan agar seluruh fungsi penyelenggaraan pemerintahan berjalan aktif.
Akan tetapi, mekanisme pengisian jabatan kepala daerah yang dipraktikkan Indonesia yaitu penunjukkannya langsung oleh Presiden dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) berpotensi menciderai nilai-nilai demokrasi. Sebab dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 terkait pemilihan (pengisian) kepada daerah diamanatkan wajib dilaksanakan secara demokratis. Demokratis artinya harus ada keterlibatan rakyat di dalam penunjukkannya.
Meskipun dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Wali Kota (Permendagri No. 4 Tahun 2023) telah diatur bahwa untuk Penjabat Gubernur masing-masing diajukan tiga orang oleh menteri dan DPRD, akan tetapi kewenangan mutlak dalam menunjuk Penjabat Gubernur berada di tangan Presiden berdasarkan hasil pembahasan Menteri Dalam Negeri bersama dengan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang lain (Pasal 5 Permendagri No. 4 Tahun 2023).
Sebagaimana halnya penunjukan Penjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), dalam proses penunjukannya merujuk pada Permendagri No. 4 Tahun 2023. Sebagai Penjabat Gubernur terpilih, Drs. H. Lalu Gita Ariadi, M.Si kemudian dilantik oleh Presiden melalui Mendagri pada hari Selasa, 19 September 2023 yang lalu [9].
Penunjukan Penjabat Gubernur NTB sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 4 Tahun 2023 di atas walaupun sudah mencerminkan asas partisipatif, namun masih memiliki kelemahan terkait kepastian hukum dan legitimasi menyangkut prinsip-prinsip demokrasi. Sebab penjabat berpotensi diberhentikan sewaktu-waktu tanpa melalui due process of law. Sebagaimana salah satu contoh kasus pemberhentian Penjabat Wali Kota Cimahi Dikdik Suratno Nugrahawan oleh Mendagri Tito Karnavian karena dianggap tidak sanggup menekan inflasi. Padahal Penjabat Wali Kota Cimahi tersebut baru menjabat beberapa bulan [10].
Berbeda halnya dengan penentuan penjabat melalui mekanisme yang lebih demokratis dengan pelibatan DPRD secara pasti dalam pembahasan dan pengambilan keputusan, maka penjabat yang terpilih akan lebih mempunyai legitimasi dan kepastian hukum sehingga tidak mudah diberhentikan secara sepihak. Sebab meskipun telah disebutkan keterlibatan lembaga kementerian lain selain Mendagri dan keterlibatan lembaga non kementerian, akan tetapi keterlibatan tersebut tidak bersifat wajib. Dalam Pasal 5 ayat (1) Permendagri No. 4 Tahun 2023 disebutkan bahwa: “Menteri melakukan pembahasan calon Pj Gubernur sesuai usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dari jumlah 6 (enam) nama menjadi 3 (tiga) nama dan dapat melibatkan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian”. Frasa “dapat” dalam rumusan Pasal 5 tersebut mengindikasikan bahwa keterlibatan lembaga kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian tidak bersifat wajib, atau dengan kata lain bukan keharusan.
Menurut paham Eropa Kontinental, untuk dapat disebut negara hukum yang demokratis, negara itu harus membagi atau memisahkan kekuasaan negara, menjamin dan melindungi hak asasi manusia (HAM), mendasarkan tindakannya pada undang-undang, diselenggarakannya undang-undang itu, dan diselenggarakannya suatu Peradilan Administrasi [11]. Salah satu ciri yang perlu digarisbawahi dalam perspektif negara hukum yang demokratis tersebut adalah adanya jaminan terhadap perlindungan HAM. Jaminan perlindungan terhadap HAM tersebut dapat merujuk pada dijaminnya hak setiap orang yang memenuhi syarat dalam mengajukan diri sebagai penjabat, diakomodirnya suara-suara rakyat melalui lembaga perwakilan untuk turut serta menentukan penjabat, serta perlakuan yang adil terhadap hak-hak penjabat agar tidak diberhentikan tanpa melalui due process of law.
Berdasarkan uraian di atas, Peneliti tertarik untuk menganalisis mekanisme penunjukan Penjabat Gubernur NTB dalam perspektif negara hukum yang demokratis, serta mengkaji mekanisme ideal penentuan Penjabat Gubernur dalam perspektif negara hukum yang demokratis dengan tujuan bisa menjadi konsep hukum yang baru dalam penentuan Penjabat Gubernur di masa mendatang. Oleh karena itu, Peneliti mengangkat judul “Pengisian Penjabat Kepala Daerah Nusa Tenggara Barat dalam Perspektif Negara Hukum yang Demokratis”.Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini yakni sebagai berikut:
Pengisian Penjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan suatu proses yang krusial dalam konteks negara hukum yang demokratis. Dalam paradigma demokrasi, partisipasi publik dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) menjadi landasan utama. Untuk memahami mekanisme pengisian Penjabat Gubernur NTB secara holistik, perlu dilakukan analisis mendalam terhadap berbagai aspek demokrasi yang terlibat.[12] Hal ini mencakup evaluasi terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pengisian, kejelasan dan kepastian hukum yang melandasi mekanisme tersebut, serta pengamatan terhadap perlindungan HAM dalam setiap tahap pengisian.
Mekanisme pengisian Penjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) diatur oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 4 Tahun 2023. Menurut regulasi ini, proses penunjukan Penjabat Gubernur melibatkan beberapa tahapan. Pertama, Menteri Dalam Negeri melakukan pembahasan calon Penjabat Gubernur berdasarkan usulan yang diajukan, dengan mengurangi jumlah calon dari enam nama menjadi tiga nama. Pada tahap ini, keterlibatan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian bersifat opsional, tidak bersifat wajib. Meskipun dapat melibatkan pihak lain, keputusan akhir tetap berada di tangan presiden. Proses ini mencerminkan karakter sentralistik dalam penunjukan penjabat, di mana presiden memiliki kewenangan mutlak untuk menentukan calon yang akan diangkat.
Setelah melalui tahap pembahasan, kewenangan penunjukan Penjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) berada secara mutlak pada presiden, yang memiliki hak untuk memilih satu nama dari tiga calon yang diajukan. Meskipun regulasi memberikan ruang untuk melibatkan pihak lain dalam proses pembahasan calon, realitasnya adalah keputusan akhir tetap terpusat di tangan presiden. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat aspek partisipatif dalam proses tersebut, esensi dari pengisian Penjabat Gubernur tetap bersifat sentralistik. Dengan kata lain, meskipun terdapat langkah-langkah yang melibatkan beberapa pihak, keputusan akhir dan kontrol penuh terletak pada presiden, menegaskan dominasi dan kewenangan sentral dalam pengisian jabatan tersebut.
Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Wali Kota (Permendagri No. 4 Tahun 2023), mekanisme pengisian penjabat kepala daerah, termasuk Penjabat Gubernur, diatur secara rinci. Ketentuan tersebut menjadi panduan dalam pengisian jabatan kepala daerah ketika masa jabatan kepala daerah definitif berakhir. Sebagai contoh implementatif, pengisian Penjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) mengacu pada regulasi ini. Pada 19 September 2023, Drs. H. Lalu Gita Ariadi, M.Si terpilih sebagai penjabat Gubernur NTB setelah melalui tahapan pembahasan dan penunjukan oleh Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Dengan demikian, kebijakan yang tercantum dalam Permendagri No. 4 Tahun 2023 menjadi dasar hukum bagi mekanisme pengisian Penjabat Gubernur NTB, menciptakan landasan legal yang mengatur proses pengisian jabatan kepala daerah secara transparan dan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Salah satu pilar utama negara hukum yang demokratis adalah prinsip partisipasi atau keterlibatan rakyat dalam proses pengambilan keputusan oleh negara. Konsep ini sejalan dengan esensi demokrasi yang mengedepankan prinsip "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Dalam konteks mekanisme pengisian Penjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) yang diatur oleh Permendagri No. 4 Tahun 2023, penting untuk mengkaji lebih dalam sejauh mana peran rakyat melalui lembaga perwakilan dapat dilibatkan secara optimal. Dengan mengevaluasi sejauh mana partisipasi masyarakat dalam proses ini, dapat diidentifikasi langkah-langkah konkret untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi dalam penentuan Penjabat Gubernur NTB.[13]
Konsep ini sejalan dengan prinsip demokrasi yang menitikberatkan pada partisipasi, baik langsung maupun tidak langsung, masyarakat dalam proses pengambilan keputusan politik. Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 secara tegas menegaskan kewajiban untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara demokratis. Meskipun tahapan pembahasan yang melibatkan presiden dan menteri dalam negeri diatur, penunjukan langsung ini dapat dianggap tidak sepenuhnya mencerminkan prinsip demokrasi yang mengedepankan keterlibatan langsung masyarakat dalam proses pengisian jabatan kepala daerah.[14] Hal ini menimbulkan pertanyaan terkait sejauh mana proses tersebut memenuhi esensi demokrasi yang sesungguhnya, khususnya dalam konteks penetapan kepala daerah yang seharusnya mencerminkan kehendak dan aspirasi rakyat.
Berdasarkan Pasal 5 Permendagri No. 4 Tahun 2023 yang mengatur mekanisme penentuan Penjabat Gubernur, proses ini dimulai dengan usulan enam calon dari Menteri Dalam Negeri dan enam calon dari DPRD Provinsi. Tahapan selanjutnya melibatkan Mendagri dalam melakukan pembahasan, yang juga melibatkan dua kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian. Dalam tahap ini, diputuskan tiga nama calon yang kemudian diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Penjabat Gubernur. Mekanisme ini menunjukkan adanya keterlibatan berbagai pihak, namun, perlu dicatat bahwa keterlibatan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian bersifat opsional, tidak bersifat wajib.[15] Oleh karena itu, meskipun ada upaya untuk melibatkan berbagai pihak dalam pembahasan, keputusan akhir tetap ditentukan oleh presiden, menandakan bahwa kendati ada langkah-langkah partisipatif, esensi pengisian Penjabat Gubernur tetap cenderung sentralistik.
Meskipun terdapat unsur partisipasi dengan melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mengusulkan nama calon, namun DPRD hanya memiliki peran sebagai pihak pengusul tanpa memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan akhir. Sebaliknya, Presiden dan Menteri Dalam Negeri tetap memegang kendali penuh dalam menentukan siapa yang akan menjabat Gubernur. Akibatnya, mekanisme ini belum dapat dianggap sepenuhnya demokratis. Dalam skema ini, wakil rakyat di DPRD tidak memiliki kewenangan substantif dalam proses pengambilan keputusan terkait pengisian jabatan penjabat, menyebabkan kurangnya representasi dan partisipasi yang signifikan dari rakyat. Dominansi elit politik pusat juga masih sangat kuat, mengakibatkan ruang partisipasi rakyat yang masih terbatas dan belum optimal dalam pengisian jabatan penjabat Gubernur.[16]
Selain belum maksimalnya kontribusi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), terdapat permasalahan lain dalam implementasi Permendagri No. 4 Tahun 2023 terkait prinsip negara hukum yang demokratis. Fokus utama berada pada isu legitimasi dan kepastian hukum terkait jabatan penjabat Gubernur. Kehadiran ketidakpastian ini disebabkan oleh potensi pemecatan atau penggantian penjabat Gubernur sewaktu-waktu tanpa melibatkan proses hukum yang jelas dan adil. Kondisi ini menciptakan keraguan terhadap stabilitas jabatan penjabat, mengingat ketidakpastian hukum tersebut dapat merugikan aspek legitimasi dan merongrong prinsip dasar negara hukum yang demokratis. [17]
Landasan legalitas ini mengacu pada Pasal 35 huruf c Permendagri No. 4 Tahun 2023, yang menyatakan bahwa pemerintah pusat berhak memberhentikan penjabat Gubernur jika terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang dapat diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, norma ini terlihat terlalu abstrak dan luas, meninggalkan potensi penyalahgunaan kekuasaan yang sewenang-wenang. Dalam perspektif negara hukum demokratis, pentingnya perihal pemberhentian penjabat melewati prosedur peradilan yang adil sangat ditekankan, bukan hanya melalui proses administratif yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan lembaga peradilan.
Ketentuan yang mengatur bahwa seorang penjabat hanya dapat menjabat selama dua tahun hingga terpilihnya kepala daerah definitif pada Pilkada 2024 merupakan aspek yang sangat penting. Hal ini karena adanya potensi konsekuensi di mana program dan kebijakan yang diterapkan oleh penjabat secara sementara dapat dibatalkan oleh kepala daerah terpilih berikutnya. Dampak negatif dari situasi ini sangat merugikan masyarakat, mengingat program strategis yang diimplementasikan oleh penjabat mungkin memiliki dampak signifikan bagi kehidupan mereka.[18] Oleh karena itu, sangat krusial untuk menjamin kepastian bahwa program-program tersebut, yang dianggap mendesak dan penting untuk kesejahteraan masyarakat, dapat dilanjutkan dan dioptimalkan oleh kepala daerah definitif yang terpilih selanjutnya. Langkah-langkah perlindungan keberlanjutan program dan kebijakan yang strategis perlu diintegrasikan ke dalam regulasi untuk memastikan kontinuitas pelayanan dan manfaat bagi masyarakat dalam jangka panjang.
Dalam perspektif negara hukum yang demokratis, aspek penting lainnya adalah perlindungan hak asasi manusia (HAM). Dalam konteks pengisian Penjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), perlindungan HAM mencakup hak setiap individu yang memenuhi syarat untuk menjadi penjabat. Prinsip-prinsip nondiskriminasi menjadi esensial dalam memastikan bahwa setiap calon memiliki kesempatan yang sama tanpa adanya diskriminasi berdasarkan latar belakang, jenis kelamin, atau aspek lainnya. Keadilan juga menjadi unsur krusial, di mana proses pengisian harus adil dan transparan, serta mengedepankan nilai-nilai demokratis. Kepastian hukum dalam proses pengisian turut mendukung perlindungan HAM, menggaransi bahwa setiap individu yang memenuhi syarat dapat mengajukan diri tanpa takut akan ketidakpastian atau ketidakadilan dalam proses tersebut.[19] Dengan memastikan perlindungan HAM dalam pengisian Penjabat Gubernur NTB, negara hukum yang demokratis dapat memastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia menjadi landasan utama dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Meskipun Permendagri No. 4 Tahun 2023 memberikan panduan terkait pembahasan calon Penjabat Gubernur, kekhawatiran muncul terkait ketidakpastian hukum yang dapat timbul. Terdapat potensi bahwa Penjabat Gubernur dapat diberhentikan tanpa melalui proses hukum yang jelas, serupa dengan kasus pemberhentian Penjabat Wali Kota Cimahi yang terjadi dalam waktu singkat. Penghentian tanpa proses hukum yang transparan dan terperinci dapat dianggap sebagai potensi pelanggaran terhadap prinsip perlindungan hak asasi manusia (HAM), menciptakan ketidakpastian hukum dan mengancam legitimasi serta keberlanjutan program kerja penjabat.[20]
Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa mekanisme pengisian jabatan Penjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 4 Tahun 2023 masih menimbulkan sejumlah permasalahan dari perspektif negara hukum yang demokratis. Salah satu tantangan utama adalah kurangnya optimalisasi partisipasi masyarakat melalui perwakilan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang mencerminkan ketidakmaksimalan esensi demokrasi yang mengedepankan keterlibatan langsung masyarakat dalam pengambilan keputusan politik. Selain itu, aspek kepastian hukum dan jaminan terhadap legitimasi serta kelangsungan program kerja penjabat menjadi isu yang perlu diatasi dalam rangka memperbaiki mekanisme tersebut.[21]
Untuk menciptakan mekanisme yang lebih sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, dapat diusulkan perubahan dalam regulasi. Salah satu langkahnya adalah memastikan keterlibatan DPRD secara lebih pasti dalam pembahasan dan pengambilan keputusan terkait penunjukan Penjabat Gubernur. Ini dapat diimplementasikan dengan membuat keterlibatan DPRD menjadi suatu keharusan, bukan opsional, sehingga mekanisme tersebut menjadi lebih demokratis. Selain itu, perlu ditetapkan prosedur yang jelas terkait penghentian Penjabat Gubernur agar sesuai dengan prinsip due process of law dan tidak melanggar HAM. Langkah-langkah ini akan meningkatkan kepastian hukum, melibatkan lebih banyak pihak dalam proses pengisian, dan memastikan bahwa nilai-nilai demokrasi dan HAM tetap dijaga.
Mekanisme pengisian penjabat Kepala Daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) seharusnya memenuhi prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis, namun, dalam praktiknya, terdapat kelemahan dan tantangan yang perlu diidentifikasi. Mekanisme pengisian Penjabat Kepala Daerah termasuk Gubernur di NTB mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Bupati dan Walikota (Permendagri No. 4 Tahun 2023). Jika melihat kembali mekanisme di aturannya, proses diawali dari usulan enam calon Mendagri dan enam calon dari DPRD yang kemudian dibahas untuk menjaring tiga calon terbaik yang diajukan ke Presiden. Presidenlah yang kemudian menetapkan salah satu dari tiga nama calon tersebut sebagai Penjabat Gubernur hingga terpilihnya Gubernur definitif pada Pilkada 2024 mendatang.
Dalam konteks partisipasi politik rakyat, kendati Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terlibat dalam mengusulkan calon, peran mereka tidak memiliki dampak substansial dan keputusan akhir tetap menjadi kewenangan Presiden atas usul Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Hal ini menandakan bahwa skema yang diterapkan kurang optimal dalam menampung aspirasi politik masyarakat melalui perwakilan di DPRD. Kesenjangan ini bertentangan dengan prinsip demokrasi yang mengadvokasi pembagian kekuasaan yang seimbang antara lembaga legislatif dan eksekutif.[14] Dengan dominasi keputusan yang masih terpusat pada Presiden dan Mendagri, pelaksanaan nilai-nilai demokrasi dan partisipasi publik belum dapat diwujudkan secara optimal, mengingat pentingnya keterlibatan rakyat melalui wakilnya dalam pengambilan keputusan politik yang bersifat fundamental.
Salah satu masalah krusial yang perlu diatasi adalah terkait kepastian hukum dan perlindungan hak penjabat yang masih lemah. Permasalahan muncul karena Pasal 35 huruf c Permendagri No. 4 Tahun 2023 memberikan kewenangan untuk memberhentikan penjabat secara sewenang-wenang jika terbukti melakukan tindak pidana, tanpa proses hukum yang jelas. Ketidakjelasan norma ini berpotensi disalahgunakan oleh penguasa, menciptakan ketidakpastian hukum dan merugikan hak-hak penjabat. Selain itu, batasan waktu maksimal dua tahun dalam menjabat sebagai penjabat meningkatkan risiko pembatalan program kerja oleh Gubernur definitif terpilih, yang pada gilirannya dapat merugikan masyarakat. Diperlukan jaminan perlindungan hukum yang lebih kuat untuk mengamankan hak dan keberlangsungan program kerja penjabat, serta perbaikan pada formulasi norma untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
Kelemahan tambahan dalam mekanisme pengisian penjabat Kepala Daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah adanya sentralisasi kekuasaan. Meskipun proses melibatkan tahapan pembahasan calon penjabat, namun keputusan akhir tetap berada di tangan presiden. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan dalam pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah, tidak sepenuhnya mencerminkan prinsip demokrasi yang menekankan keterlibatan langsung atau tidak langsung masyarakat dalam pengambilan keputusan politik. Dengan keputusan akhir yang terpusat pada presiden, terdapat risiko penurunan legitimasi dan partisipasi masyarakat dalam proses penentuan kepala daerah, mengurangi esensi demokrasi yang seharusnya melibatkan berbagai pihak dalam pengambilan keputusan politik di tingkat lokal.[22]
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 4 Tahun 2023 menetapkan keterlibatan DPRD sebagai opsional dalam pembahasan calon penjabat, menimbulkan kekhawatiran akan rendahnya keterlibatan perwakilan rakyat dalam proses tersebut. Pada dasarnya, untuk mencerminkan esensi demokrasi yang menekankan partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan politik, keterlibatan DPRD seharusnya dijadikan suatu keharusan, bukan suatu pilihan. Keputusan strategis terkait penunjukan penjabat Gubernur NTB memiliki dampak yang signifikan pada masyarakat dan wilayah yang bersangkutan, oleh karena itu, melibatkan DPRD sebagai badan perwakilan rakyat seharusnya menjadi langkah penting dalam memastikan keputusan tersebut mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang lebih luas. Dengan mewajibkan keterlibatan DPRD, proses penentuan penjabat Gubernur dapat lebih transparan, akuntabel, dan demokratis, mengurangi potensi risiko ketidakpuasan masyarakat terhadap keputusan yang bersifat sentralistik.
Kelemahan terakhir dalam mekanisme pengisian penjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) terkait dengan keharusan keterlibatan lembaga lain. Meskipun mekanisme ini melibatkan beberapa pihak dalam pembahasan calon penjabat, keterlibatan tersebut bersifat opsional. Pasal 5 ayat (1) Permendagri No. 4 Tahun 2023 menyatakan bahwa kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dapat dilibatkan, tetapi kata "dapat" menunjukkan bahwa keterlibatan ini tidak bersifat wajib. Keberadaan opsi ini dapat mengurangi kualitas partisipatif dan demokratis dalam mekanisme pengisian, karena tidak menjamin keterlibatan yang optimal dari pihak-pihak terkait.[20] Dengan demikian, perlu dipertimbangkan untuk mengubah kata "dapat" menjadi "wajib" dalam regulasi tersebut atau memberikan insentif yang lebih besar kepada lembaga untuk berpartisipasi secara aktif, sehingga dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas serta memperkuat prinsip demokrasi dalam proses pengisian penjabat Gubernur NTB.
Berdasarkan uraian kelemahan di atas, terlihat bahwa mekanisme pengisian Penjabat Kepala Daerah NTB belum sepenuhnya mencerminkan prinsip-prinsip negara hukum demokratis. Masih terdapat dilema untuk menyeimbangkan kepentingan penguasa dengan partisipasi warga negara. Di satu sisi, penguasa menginginkan stabilitas melalui skema top-down pengisian jabatan penjabat agar berjalan efektif. Di sisi lain, rakyat menginginkan aspirasi dan suaranya diakomodasi lebih optimal melalui wakilnya di DPRD dalam proses bottom-up pengambilan keputusan.
Tantangan selanjutnya dalam konteks ini adalah menghadapi upaya untuk mencapai keseimbangan antara stabilitas kepemimpinan penjabat dan kepastian serta perlindungan haknya. Dari satu sisi, pemerintah pusat berkeinginan untuk memiliki legalitas penuh dalam memecat penjabat jika dianggap tidak kompeten atau melakukan pelanggaran hukum, untuk menjaga integritas kepemimpinan. Di sisi lain, sebagai pejabat publik yang dipilih, penjabat memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan jaminan bahwa program kerjanya dapat dilanjutkan tanpa interupsi yang tidak sah. Menjembatani dua kepentingan yang bertolak belakang ini merupakan tantangan kompleks, mengingat perlu adanya mekanisme yang adil dan transparan untuk menilai kinerja penjabat, sekaligus menjaga hak-hak dan kepastian hukum yang setara untuk menjalankan tugasnya secara efektif. [23]
Tantangan selanjutnya yang dihadapi adalah menjaga kehati-hatian yang diperlukan dalam proses penghentian penjabat. Meskipun prinsip perlindungan hak asasi manusia (HAM) seharusnya menjadi landasan utama, implementasinya menimbulkan risiko penghentian tanpa proses hukum yang jelas. Studi kasus pemberhentian Penjabat Wali Kota Cimahi memberikan contoh nyata bahwa penjabat dapat dihentikan tanpa melibatkan due process of law, yang dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak individu.[24] Oleh karena itu, perlu dicari solusi untuk memastikan bahwa setiap penghentian penjabat dilakukan dengan mematuhi prosedur hukum yang adil dan transparan, sehingga tidak hanya mempertahankan prinsip HAM tetapi juga memberikan kepastian hukum serta menjaga legitimasi dari tindakan tersebut. Evaluasi mendalam terhadap regulasi yang mengatur penghentian penjabat perlu dilakukan untuk meminimalkan risiko pelanggaran HAM dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap mekanisme tersebut.
Tantangan tambahan yang perlu diatasi adalah keterbatasan keterlibatan masyarakat dalam mekanisme pengisian. Meskipun demokrasi menekankan partisipasi aktif rakyat dalam proses politik, mekanisme ini cenderung lebih mengandalkan keterlibatan institusi-institusi negara dan pihak yang memiliki kekuasaan formal. Keterbatasan ini dapat mengurangi legitimasi mekanisme di mata masyarakat dan merugikan prinsip demokrasi yang mengedepankan keterlibatan seluas-luasnya dari berbagai lapisan masyarakat.[25] Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengisian, seperti penyediaan informasi yang lebih transparan, pelibatan lembaga perwakilan rakyat secara lebih aktif, dan upaya untuk mendekatkan proses pengisian kepada kepentingan dan aspirasi masyarakat secara umum.
Tantangan terakhir yang dihadapi adalah terkait dengan kekurangan jaminan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Meskipun telah ada upaya untuk menciptakan perlindungan HAM dalam regulasi, ketidakpastian hukum tetap menjadi kendala utama. Risiko penghentian penjabat tanpa proses hukum yang jelas dan terdokumentasi menjadi nyata, mengundang kekhawatiran akan pelanggaran HAM. Oleh karena itu, sangat penting untuk menyusun mekanisme yang memberikan jaminan perlindungan HAM yang lebih kuat, termasuk merinci prosedur yang jelas dan terstruktur untuk penghentian penjabat.[26] Ini akan membantu mengatasi ketidakpastian hukum, mengurangi risiko pelanggaran HAM, serta memastikan bahwa setiap penghentian dilakukan dengan keadilan dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Evaluasi dan perbaikan dalam aspek ini akan mendukung pencapaian sistem pengisian dan penghentian penjabat yang lebih sesuai dengan standar negara hukum yang demokratis.
Berdasarkan pemaparan dapat disimpulkan bahwa diperlukan terobosan kebijakan baru agar pengisian jabatan penjabat kepala daerah ke depannya bisa lebih demokratis dengan pelibatan publik dan DPRD yang lebih besar, sekaligus memberikan kepastian serta perlindungan hukum memadai bagi para penjabat yang ditunjuk. Dengan penyempurnaan metode dan mekanisme pengisian jabatan penjabat berbasis prinsip-prinsip negara hukum demokratis, diharapkan stabilitas pemerintahan daerah hingga pelaksanaan Pilkada 2024 dapat terjaga secara optimal di tengah suasana politik daerah yang dinamis.
Studi menunjukkan adanya kekurangan demokratis yang melekat. Meskipun peraturan tersebut mengatur proses pencalonan multi-tahap yang melibatkan partisipasi opsional dari berbagai lembaga pemerintah dan non-kementerian, kekuasaan pengambilan keputusan tertinggi berada di tangan presiden, yang mengarah pada proses yang tersentralisasi dan dapat dikatakan tidak demokratis. Sentralisasi ini membatasi keterlibatan publik dan perwakilan, menyimpang dari cita-cita demokrasi tentang partisipasi aktif warga negara dalam pemerintahan. Selain itu, kurangnya kerangka hukum yang jelas untuk penghentian peran penjabat gubernur menimbulkan risiko terhadap perlindungan hak asasi manusia, menciptakan ketidakpastian hukum dan berpotensi merusak legitimasi dan efektivitas pemerintahan. Studi ini menyarankan agar reformasi di masa depan harus berfokus pada peningkatan partisipasi publik dan keterlibatan perwakilan dalam proses penunjukan agar lebih sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Selain itu, memperkenalkan partisipasi wajib dari berbagai badan pemerintah dan menetapkan prosedur hukum yang jelas untuk pemberhentian dapat meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan kepastian hukum. Penelitian ini menggarisbawahi perlunya eksplorasi lebih lanjut tentang bagaimana prinsip-prinsip demokrasi dapat lebih efektif ditanamkan dalam struktur pemerintahan di daerah seperti NTB, dengan perhatian khusus pada peran dan hak-hak masyarakat lokal dan perlindungan hak asasi manusia.