This normative juridical research, utilizing statutory and conceptual approaches, aims to explore future policy models for the legal protection of children within the juvenile criminal justice system in Indonesia. Acknowledging various challenges in the current system, the study emphasizes the necessity of reforming policies to ensure legal certainty and justice for minors in conflict with the law. The proposed model advocates for a 'pure decriminalization' approach, which involves removing the punishable nature of certain criminal elements committed by juvenile legal subjects. This model is complemented by a protection policy that underscores preventative measures to decrease the involvement of children in the criminal justice system. A significant emphasis is placed on integrating technology into the system to enhance efficiency and security, thereby safeguarding children's rights more effectively. Additionally, the research highlights the need for increased inter-agency and cross-sectoral cooperation within the legal structure (police, prosecutors, and courts) to create a more coordinated and holistic approach in addressing juvenile justice issues. The findings suggest that these strategic efforts can contribute significantly to the improvement of procedural law applications for children, ensuring their human rights are not violated in future legal encounters.
Highlights:
Keywords: Juvenile Justice, Decriminalization, Legal Protection, Technology Integration, Inter-agency Cooperation
Kebutuhan manusia akan ketertiban, keharmonisan, ketentraman, dan kedamaian dipenuhi sesuai dengan peraturan yang ada. Untuk menjamin keamanan seluruh warga negara, aparat penegak hukum harus melakukan tindakan hukum terhadap pelaku tindak pidana. Proses hukum terhadap pelaku tindak pidana dilakukan dalam suatu sistem yang terdiri dari subsistem-subsistem yang saling berkaitan yang dikenal dengan sistem peradilan pidana atau dalam bahasa Inggris disebut Criminal Justice System.[1] Sistem peradilan pidana adalah suatu sistem dalam masyarakat yang menangani masalah kejahatan, bertujuan untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi, dan menyelesaikan sebagian besar laporan atau pengaduan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan cara membawa pelaku kejahatan ke pengadilan untuk dinyatakan bersalah dan dihukum.[2] Setelah itu, terhadap terjadinya suatu kejahatan dapat dilakukan pencegahan dan menanggulangi perbuatan.
Sistem peradilan pidana terdiri dari empat bagian: polisi, jaksa penuntut, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Keempat elemen ini bekerja sama untuk menegakkan keadilan. Tahapan dalam proses peradilan pidana adalah pra-persidangan (sebelum sidang peradilan) yang meliputi penyelidikan dan penyidikan, yudikasi (selama sidang peradilan) yang meliputi pemeriksaan dan pembuktian tuntutan jaksa, dan pasca-persidangan (setelah sidang peradilan) yang meliputi pelaksanaan putusan pengadilan seperti penempatan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Untuk mencapai penegakan hukum yang efektif, aparat penegak hukum harus dapat melaksanakan setiap kegiatan dengan saling bekerjasama satu sama lain, sehingga antar subsistem, terjadinya proses peradilan pidana yang memakan waktu lama dan biaya tinggi dapat dikurangi.
Adanya sistem peradilan pidana yang berbelit-belit mengurangi akan kepastian dan keadilan yang didapat oleh masyarakat, dikarenakan dengan maraknya kasus kejahatan yang setiap tahun makin bertambah maka diperlukan suatu terbosan sistem pemidanaan yang mengedepankan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Kejahatan yang terjadi dewasa ini tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, melainkan melibatkan anak yang masih di bawah umur, yang pada kedudukannya secara hukum masih belum bisa bertanggungjawab secara penuh, sehingga membutuhkan alur penyelesaian secara khusus melalui kebijakan sistem peradilan pidana anak. pengaturan terkait dengan sistem peradilan pidana anak tertuang dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Tujuan penerapan sistem peradilan pidana anak bukan semata-mata untuk menjatuhkan hukuman pidana kepada anak yang telah melakukan tindak pidana, tetapi lebih kepada upaya untuk mensejahterakan anak yang telah melakukan tindak pidana. Anak yang melanggar hukum banyak dipengaruhi oleh variabel luar seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain, dan lain sebagainya, karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak sering kali dipengaruhi oleh tindakan yang tidak baik dari orang dewasa atau orang lain di sekitarnya.[3]
Sistem peradilan pidana anak, menurut Pasal 1 angka 1 UU SPPA, adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Dalam proses pemidanaan untuk seorang yang berhadapan dengan hukum, tentunya kepastian hukum merupakan suatu tujuan utama yang ingin dicapai dengan mengedepankan keadilan. Dari sisi lain, proses peradilan pidana berlangung sangat cukup panjang yang kenyataannya harus dijalani oleh seorang anak yang melakukan tindak pidana, mulai dari proses investigasi polisi hingga berakhirnya hukuman di lembaga pemasyarakatan merupakan gambaran kesedihan seorang anak, dan merupakan pengalaman yang akan selalu diingat oleh anak. Masalah lain yang sering dihadapi anak ketika berhadapan dengan hukum adalah penghakiman masyarakat (stigmatisasi). Masyarakat umum masih percaya bahwa anak-anak yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana (melakukan tindak pidana) adalah pelanggar yang baru pertama kali melakukan tindak pidana atau akan melakukan tindak pidana lagi di kemudian hari. Stigma ini sangat sulit untuk dihilangkan dari persepsi masyarakat.
Dari beberapa permasalahan dalam pelaksanaan proses sistem peradilan pidana anak mengahruskan untuk mengkaji kebijakan sistem peradilan pidana khususnya dengan mengedepankan pedoman kepastian hukum serta kebijakan keadilan yang termuat dalam SPPA. Dengan itu startegi untuk memberikan beberapa kemajuan dalam penerapan sistem hukum acara untuk anak yang berhadapan dengan hukum dapat bermanfaat serta tidak melanggar hak asasi seorang anak untuk dimasa yang akan datang. Dengan itu, sebagai bentuk keperdulian terhadap hak-hak seorang anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan pidana maka diperlukan kebijakan hukum pidana modern untuk mengatasi problematika yang terjadi. Sehingga pandangan-pandangan buruk dari masyarakat dapat berkurang.[4]
Dengan demikian, dalam penulisan ini terdapat uraian permasalahan yang dapat dikaji secara mendalam terkait dengan kebijakan dalam sistem peradilan pidana anak terhadap perkara anak yang sedang berhadapan dengan hukum dengan memberikan perlindungan, kepastian dan keadilan di masa yang akan datang, yang uraian permasalahan diantarannya bagaimana model kebijakan perlindungan hukum terhadap anak dalam sistem peradilan pidana di masa mendatang?
Penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis normatif [5]. Sedangkan metode yang digunakan oleh penelitian adalah sebagai upaya dalam konteks kegiatan penelitian untuk mengembangkan keterkaitan dengan yang diteliti atau pendekatan untuk memperoleh pemahaman tentang kesulitan penelitian.[6] Pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual adalah dua di antaranya.
Perlindungan anak merupakan suatu usaha melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.[7] Jika mereka telah matang pertumbuhan fisik maupun mental dan sosialnya maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.[8] Pemajuan hak-hak anak dalam sistem peradilan pidana merupakan hasil dari interaksi yang kompleks dari berbagai faktor yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Hal ini dimulai dengan mempertimbangkan komponen mental, fisik, sosial, dan ekonomi dalam pendekatan multidimensi.[9]
Setiap anak pelaku tindak pidana yang masuk ke dalam sistem peradilan pidana harus diperlakukan secara manusiawi, sebagaimana tertuang dalam ketentuan UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2003, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak. Secara internasional, Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) menjadi pedoman dalam pelaksanaan peradilan pidana anak. Inisiatif perlindungan anak dapat menjadi tindakan hukum yang berimplikasi hukum, mencegah anak-anak menjadi sasaran tindakan sewenang-wenang orang tua.[10]
Dalam setiap tingkatan proses sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan (legal strukture)), seorang anak yang sedang berhadapan dengan hukum mempunyai hak untuk dilindungi selama proses peradilan berlangsung sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 3 UU SPPA. Adanya hak-hak seorang anak yang harus dilindungi oleh pemerintah bersama aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana mulai dari tingkat kepolisian sampai dengan putusan pengadilan merupakan suatu kewajiban yang harus diperhatikan sehingga urgensi tercepainya perlindungan dalam sistem peradilan pidana yang berkepastian akan mendapatkan kemanfaatan bagi seorang anak yang sedang berhadapan dengan hukum. Sistem hukum dalam peradilan pidana memberikan perlindungan kepada seorang anak dengan memperhatikan reguliasi dalam hukum pidana, baik hukum acara yang bersifat khusus maupun yang bersifat umum yang melengkapi peraturan khusus, serta memperhatikan kebijakan-kebijakan penegakan hukum dalam memberikan perlindungan terhadap anak dalam sistem peradilan pidana.
Dalam Kebijakan penegakan hukum, seperti halnya kebijakan legislatif, merupakan komponen dari kebijakan sosial. Kebijakan penegakan hukum mencakup kebijakan kriminal. Semua komponen sistem hukum terlibat dalam pelaksanaan kebijakan penegakan hukum yang bertujuan untuk pencegahan kejahatan. Kebijakan penegakan hukum adalah suatu bentuk upaya untuk memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat (orang perorangan) dalam sistem peradilan pidana.
Menurut firedman, Sistem hukum mencakup seluruh spektrum hukum, termasuk sistem peradilan pidana. Istilah "hukum" sering kali digunakan untuk merujuk pada peraturan dan regulasi. Menurut Friedman, sistem hukum membedakan antara sistem peraturan dan regulasi, struktur, institusi, dan proses.[12] Ada tiga aspek yang menentukan bagaimana hukum bekerja dalam sebuah sistem: struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum adalah lembaga yang menegakkan hukum melalui semua prosesnya.[13] Polisi, jaksa, peradilan, dan lembaga-lembaga pemasyarakatan semuanya terlibat. Substansi hukum adalah seperangkat norma dan pola perilaku manusia yang terdapat dalam sistem hukum, yang mencakup hukum tertulis (law in the book) dan hukum yang ada dalam masyarakat (living law). Budaya hukum mengacu pada sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum. Ketiga bagian dari hukum tersebut saling berhubungan dan memainkan peran yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya agar sistem hukum yang ada dapat berfungsi dengan baik.
Keterlibatan masyarakat juga sangat berpengaruh dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak sebagai upaya dari adanya respon terhadap anak yang berhadap dengan hukum. Karena pada dasarnya budaya hukum yang terjadi dewasa ini, masyarakat seringkali memberikan stigmatisasi terhadap seorang anak sehingga memberikan dampak buruk terhadap psikis dan kelangsungan hidup berkelanjutan bagi seorang palaku/korban. Dibandingkan dengan pengakuan yang diberikan hukum kepada masyarakat dan lingkungan, masyarakat atau lingkungan memiliki dampak yang lebih besar dalam pembentukan hukum. Keadaan ini muncul ketika tidak ada konsensus masyarakat dalam pengesahan suatu peraturan hukum.
Dengan itu, maka diperlukan model kebijakan terbaru dalam SPPA khususnya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang sedang berhadap dengan hukum. Dimana selama ini kita mengenal restorative justice dan diversi sebagai bentuk perlindungan serta pencegahan terhadap seorang dari pidana penjara. Hal demikian menurut penulis masih belum dilaksanakan secara maksimal oleh aparat penegak hukum yakni kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. model kebijakan yang direkomendasikan oleh penulis untuk perlindungan anak dalam siistem peradilan pidana dimasa mendatang yakni dengan menerapkan model dekriminalisasi Murni.
Penghapusan ancaman hukuman atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang yang sah berdasarkan karakteristik kriminal tertentu dari suatu pelanggaran dikenal sebagai dekriminalisasi murni.[14] Sebaliknya, dalam dekriminalisasi meruni, sifat dapat dihukumnya suatu delik yang dilakukan menjadi hilang terhadap seluruh unsur-unsur pidana dari delik tersebut. Model dekriminalisiasi yang dapat dilakukan dalam sistem peradilan pidana anak yakni dengan mereformulasi ulang kebijakan terhadap syarat-syarat Diversi yang tetruang dalam ketentuan Pasal 7 ayat 2 UU SPPA yang mendefinisikan Diversi digunakan jika tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh (7) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Ketentuan yang terdapat pada Pasal 7 ayat 2 UU SPPA demikian sangat tidak sesuai dengan asas perlindungan, keadilan, kepentingan terbaik bagi Anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak, dan perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir. Ketidak sesuaian dengan yang terdapat dalam asas sistem peradilan pidana anak demikian, terletak dari masih terdapatnya kriminalisasi dari substansi hukum. Hal demikian dapat dipertimbangkan bahwa seorang anak pada kenyataannya masih belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan sehingga kebijakan dalam pasal 7 ayat 2 UU SPPA sangat menjembatani seorang anak dengan sistem peradilan pidana yang berujung pada pidana penjara. Maka dengan itu, diperlukan refomulasi ulang kebijakan yang terdapat dalam ketentuan syarat diversi tersebut, dengan mengengedepankan kebijakan dekriminalisasi murni terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, sehingga pidana penjara dapat dihindarkan.
Selain model kebijakan dekriminalisasi murni untuk sistem peradilan pidana anak dimasa mendatang, maka perlu juga mencerminkan komitmen untuk melindungi hak-hak anak dan memastikan keadilan dalam setiap tahapan proses hukum. Pendekatan yang holistik dan berbasis hak asasi manusia menjadi landasan utama dalam merancang model ini. Kebijakan tersebut harus memastikan bahwa anak-anak yang terlibat dalam sistem peradilan pidana diperlakukan dengan adil, mempertimbangkan kebutuhan dan karakteristik khusus mereka. Perlindungan terhadap hak privasi, pemisahan dari tahanan dewasa, dan akses terhadap pendidikan serta layanan rehabilitasi harus diutamakan.
Selain itu, model kebijakan ini harus mengintegrasikan aspek pendekatan restoratif yang memungkinkan anak-anak terlibat secara aktif dalam proses penyelesaian konflik, dengan tujuan mendidik dan mendukung pemulihan mereka. Dalam konteks ini, pelibatan komunitas dan lembaga non-pemerintah juga perlu diperkuat untuk memberikan dukungan tambahan kepada anak-anak yang terlibat dalam sistem peradilan pidana. Keseluruhan, model kebijakan ini harus dirancang dengan memperhatikan perkembangan terkini dalam hukum, psikologi anak, dan prinsip-prinsip hak asasi manusia untuk menciptakan lingkungan hukum yang adil dan peduli terhadap anak-anak di masa mendatang.
Di masa mendatang, model kebijakan perlindungan hukum terhadap anak dalam sistem peradilan pidana juga perlu menekankan upaya pencegahan untuk mengurangi jumlah anak yang terlibat dalam sistem tersebut. Pencegahan dapat dilakukan melalui program-program edukasi, pemberdayaan keluarga, dan upaya-upaya komunitas yang bertujuan untuk mengatasi faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan anak terlibat dalam perilaku kriminal. Selain itu, model kebijakan ini harus mendorong inovasi dalam pendekatan rehabilitasi yang efektif, dengan mempertimbangkan perbedaan budaya dan konteks sosial yang mungkin memengaruhi anak-anak yang terlibat dalam sistem peradilan pidana.
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah integrasi teknologi dalam sistem peradilan pidana untuk meningkatkan efisiensi dan keamanan, sekaligus memastikan bahwa hak-hak anak terlindungi dengan baik. Penerapan teknologi harus dilakukan dengan mempertimbangkan etika dan privasi, serta memastikan bahwa anak-anak tidak menjadi korban dari perkembangan teknologi yang tidak terkendali. Selain itu, kerjasama antar-lembaga dan lintas-sektoral perlu ditingkatkan guna menciptakan sistem yang terkoordinasi dan holistik dalam menangani masalah anak dalam peradilan pidana. Peningkatan kapasitas dan pelatihan bagi para profesional yang terlibat, seperti hakim, pengacara, dan petugas rehabilitasi, juga menjadi bagian integral dari model kebijakan ini.
Dengan merancang model kebijakan perlindungan hukum terhadap anak dalam sistem peradilan pidana dengan pendekatan yang komprehensif yakni salah satunya adalah dekriminalisasi murni, masyarakat dapat berharap adanya perubahan positif dalam perlakuan terhadap anak-anak yang terlibat dalam proses hukum, serta menciptakan dasar yang kuat bagi masa depan yang lebih adil dan berpihak pada hak-hak anak. sehingga pemenuhan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh seorang anak dapat dilakukan dengan upaya diversi dan restorative justice tanpa mengacu pada syarat yang bersifat kriminalisasi.
Bahwa model kebijakan perlindungan hukum terhadap anak dalam sistem peradilan pidana anak dimasa mendatang yakni dengan menerapkan model dekriminalisasi Murni dengan menghilangkan sifat dapat dihukumnya suatu delik yang dilakukan oleh subjek hukum berdasarkan unsur-unsur pidana tertentu dari suatu delik, serta model kebijakan perlindungan yang menekankan upaya pencegahan untuk mengurangi jumlah anak yang terlibat dalam sistem peradilan pidana dengan mengedepakan integrasi teknologi dalam sistem peradilan pidana untuk meningkatkan efisiensi dan keamanan, sekaligus memastikan bahwa hak-hak anak terlindungi dengan baik. Selain itu, kerjasama antar-lembaga dan lintas-sektoral (struktur hukum) perlu ditingkatkan guna menciptakan sistem yang terkoordinasi dan holistik dalam menangani masalah anak dalam sistem peradilan pidana.