This study delves into the critical need for explicit policy regulation within the Indonesian Government Administration Law (Law Number 30 of 2014), addressing a significant legal vacuum. Despite the law encompassing regulations related to discretion, it notably lacks specific terms or phrases for 'beleidsregel' (policy regulations), leading to legal uncertainties. Employing a normative legal research methodology, the research utilizes statutory and conceptual approaches to explore the interplay between the principle of discretion (freies ermessen) and policy regulations in the context of state administrative law. The findings reveal that while the principle of discretion and policy regulations are distinct entities, they are inextricably linked. The principle of discretion provides the foundational authority for state administrative officials to establish policies, whereas policy regulations represent the formal embodiment of these policies. The absence of beleidsregel in the current legislation leads to reliance on expert opinions (doctrine) and varying legal interpretations, fostering legal uncertainty (rechtsonzekerheid) and potential chaos (rechtsverwarring) in government administration. The study highlights the urgent need to regulate policy regulations within the Government Administration Law to ensure legal certainty and prevent administrative chaos, emphasizing the importance of formal legal frameworks in guiding and controlling the application of policy regulations by state officials. This research underscores the necessity of legislative reform to address the existing normative vacuum and stabilize the legal environment for effective governance in Indonesia.
Highlights:
Keywords: Policy Regulations, Legal Vacuum, Indonesian Administrative Law, Discretion Principle, Government Administration
Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat), sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang merupakan staatsgrundgesetz [1]bangsa Indonesia, sehingga dengan demikian segala aspek kehidupan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus didasarkan pada hukum dan segala produk perundang – undangan serta turunannya yang berlaku. Kemudian Willem Koninjnenbelt mengemukakan salah satu unsur penting gagasan negara hukum yaitu pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau undang-undang yang diakui (wetmatigheid van bestuur) [2], sehingga jika kewenangan untuk menjalankan pemerintahan atau perbuatan pemerintahan yang diberikan kepada pemerintah tidak berdasarkan Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang maka perbuatan pemerintah tersebut dianggap tidak sah (ongeldig). Namun Indonesia sebagai negara yang menganut konsep negara kesejahteraan (welfare state)sehingga tujuan negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945 juga menimbulkan konsekuensi terhadap penyelenggaraan pemerintahan yaitu pemerintah harus berperan aktif mencampuri bidang kehidupan sosial ekonomi masyarakat [3]. Untuk itu kepada pemerintah dilimpahkan bestuurszorg atau public service[4].
Agar servis publik dapat dilaksanakan dan mencapai hasil yang maksimal, kepada Badan/Pejabat Administrasi Negara diberikan suatu kemerdekaan tertentu secara atribusi oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan) untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan berbagai permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan secara cepat, sementara terhadap permasalahan itu tidak ada, atau masih belum dibentuk suatu dasar hukum penyelesaiannya oleh lembaga legislatif yang kemudian dalam hukum administrasi negara diberikan kewenangan bebas berupa diskresi atau freies ermessen[5].
Berdasarkan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yakni pada Pasal 1 ayat (9) terdapat definsi dari Kewenangan Diskresi yang mana dijelaskan bahwa:
“Diskresi merupakan keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.”
Berdasarkan definisi di atas dapat dilihat bahwa diskresi yakni sebagai kewenangan bertindak bebas yang dimiliki oleh pejabat pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bertujuan untuk memberikan ruang gerak bagi pemerintah dalam melakukan suatu perbuatan tanpa harus terikat sepenuhnya dengan peraturan perundang-undangan [6]. Dalam Ilmu Hukum Administrasi Negara, Freies Ermessen atau diskresi ini diberikan hanya kepada pemerintah atau pejabat administrasi negara baik untuk melakukan tindakan-tindakan biasa maupun tindakan hukum, dan ketika freies Ermessen ini diwujudkan secara konkret dalam instrumen yuridis yang tertulis, jadilah ia sebagai Peraturan Kebijakan (Beleidsregel) [7]. Pemerintah dalam praktiknya, seringkali menggunakan peraturan kebijakan sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan kebijakan atau penyelenggaraan pemerintahan. Peraturan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bentuknya bukan berupa salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang dikenal dalam Pasal 7 maupun pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) melainkan peraturan kebijakan memiliki bentuk-bentuk tersendiri. Menurut pendapat Jimly Asshidiqie, dalam praktiknya di Indonesia, peraturan kebijakan dapat dibuat dalam bentuk-bentuk seperti Surat Edaran (SE) ; Surat Perintah atau Instruksi; Pedoman kerja atau manual; Petunjuk Pelaksanaan (Juklak); Petunjuk Teknis (Juknis); Buku Panduan; Kerangka Acuan; Desain Kerja [8].
Salah satu contoh peraturan kebijakan yang pernah dikeluarkan oleh Pemerintah di Tahun 2012 adalah SE Dikti Nomor 152/E/T/2012 yang menetapakan publikasi jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan bagi mahasiswa strata 1, 2, dan 3. Substansi surat edaran tersebut yang berlaku umum bagi seluruh mahasiswa sangat sulit untuk dibedakan dengan sifat substansi peraturan perundang-undangan yang juga berlaku umum. Hal ini menunjukan secara praktis peraturan kebijakan juga seringkali digunakan sebagai peraturan yang memiliki kekuatan mengikat sehingga tidak berbeda dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan kebijakan dalam praktiknya tidak semata pula ditujukan pada badan atau pejabat administrasi negara sendiri sebagaimana pendapat Bagir Manan [9].
Walaupun substansi dan kekuatan mengikatnya tidak berbeda dengan peraturan perundang-undangan, tetapi arus besar pemikiran hukum tidak mengkategorikan peraturan kebijakan sebagai peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh pendapat Jimly Asshiddiqie bahwa peraturan kebijakan bukanlah peraturan perundang-undangan karena secara formal tidak berbentuk peraturan yang resmi [8]. Menurut Attamimi, peraturan kebijakan jika dilihat dari bentuk dan formatnya seringkali sama dengan peraturan perundang-undangan, lengkap dengan pembukaan berupa konsideran “menimbang”, dasar hukum “mengingat”, batang tubuh berupa pasal-pasal, bagian, bab, serta penutup yang serupa dengan peraturan perundang-undangan [10].
Pada praktik penyelanggaraan pemerintahanpun kerap kali terdapat kerancuan atau ketidakpastian hukum dari dikeluarkannya peraturan kebijakan. Sebagai contoh yakni pernah dikeluarkan peraturan kebijakan, namun berbentuk Peraturan Perundang-perundangan, menurut Bagir Manan, Peraturan tersebut yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1976 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyerahan Urusan-Urusan dari Daerah Tingkat I kepada Daerah Tingkat II. Menurut Bagir Manan, peraturan perundang-undangan ini digolongkan sebagai peraturan kebijakan dengan alasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah tidak mengatur dengan tegas mengenai penyerahan urusan Rumah Tangga Daerah Tingkat I kepada Daerah Tingkat II. Peraturan tersebut dapat digolongkan sebagai peraturan yang dibentuk atas dasar diskresi dan digolongkan sebagai peraturan kebijakan karena tidak terdapat pendelegasian wewenang untuk mengatur hal tersebut [9].
Selain itu, pernah juga dikeluarkan Peraturan Kebijakan oleh Pemerintah namun Peraturan Kebijakan tersebut memiliki materi muatan yang justru bertentangan dengan Undang-Undang (UU) bahkan ada yang membatasi hak warga negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD). Peraturan Kebijakan yang bertentangan dengan Undang-Undang contohnya yakni Surat Edaran (SE) Dirjen Mineral Batubara dan Panas Bumi No. 03/31/DJB/2009 yang materi muatannya bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Pertambangan Mineral dan Batubara), padahal Surat Edaran tersebut diterbitkan sehubungan dengan diundangkannya UU No.4 Tahun 2009.
Sedangkan Peraturan Kebijakan yang membatasi hak warga negara yang diatur dalam UUD yakni Peraturan Kebijakan terkait dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dituangkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19. Substansi yang terkandung dalam Inmendagri tersebut meliputi pembatasan terkait hak masyarakat dalam melakukan peribadatan, pekerjaan, dan kegiatan sehari-hari [11]. Pertanyaan yang timbul dari dikeluarkannya Peraturan Kebijakan dalam bentuk Inmendagri ini yakni apakah bisa peraturan kebijakan mengatur dan mengikat masyarakat secara umum sedangkan peraturan kebijakan bukanlah peraturan perundang-undangan?, kemudian sejauh mana materi muatan yang terkandung dalam peraturan kebijakan? Apakah boleh peraturan kebijakan tersebut mengatur hal-hal yang membatasi hak warga negara yang dijamin dalam konstitusi?
Pertanyaan - pertanyaan dan contoh-contoh permasalahan di atas timbul dikarenakan adanya kekosongan hukum terkait pengaturan peraturan kebijakan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terlebih khusus dalam UU Administrasi Pemerintahan yang merupakan payung hukum bagi Undang-Undang lain dan segala tindakan pemerintah atau Pejabat Administrasi Negara terkait dengan Administrasi Pemerintahan. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka sangat penting untuk membahas urgensi diaturnya peraturan kebijakan dalam UU Administrasi Pemerintahan.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yakni metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sementara pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Pendekatan perundang-undangan yaitu suatu pendekatan yang digunakan untuk mengkaji dan menganalisa semua undang-undang dan pengaturan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani [12]. Sementara pendekatan konseptual merupakan gambaran bagaimana hubungan antara konsep-konsep yang akan diteliti [13]. Artinya pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji konsep-konsep dan pandangan para ahli berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.
Asas diskresi (freies ermessen) dan peraturan kebijakan merupakan substansi yang berbeda, tetapi memiliki hubungan yang sangat erat dalam lingkungan hukum administrasi negara. Hubungan diantara kedua substansi tersebut dapat digambarkan dalam suatu pernyataan bahwa asas diskresi (freies ermessen) tidak mungkin dapat diselenggarakan tanpa eksistensi peraturan kebijakan. Hubungan asas kebebasan bertindak (asas diskresi atau freies ermessen) dengan peraturan kebijakan (beleidsregel) dapat diterangkan dengan bertitik tolak dari sifat-sifat kebijakan yang diambil oleh pejabat administrasi negara [14].
Dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, pemerintah atau pejabat administrasi negara dapat mengambil kebijakan-kebijakan yang bersifat terikat (gebonden beleids) dan tidak terikat (vrijbeleid) [15]. Kebijakan – kebijakan yang bersifat terikat merupakan kebijakan yang ditetapkan pejabat administrasi negara sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan (wettelijke regels) [15]. Kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan merupakan kewenangan pejabat administrasi negara yang pertama dan terutama dalam suatu negara hukum. Kewenangan tersebut lahir demi memenuhi tuntutan asas legalitas sebagai salah satu unsur negara hukum. Asas legalitas menghendaki supaya setiap tindakan pemerintah atau tindakan pemerintahan harus selalu berdasarkan pada peraturan perundang-undangan atau hukum yang sudah lebih dahulu ada sebelum suatu tindakan pemerintahan dilakukan.
Menurut teori hukum administrasi negara, legalitas tindakan pemerintahan pertama-tama ditetapkan oleh badan legislatif dalam bentuk undang-undang (dalam arti formal). Hal ini mengandung arti bahwa legalitas tindakan pemerintah sebagai pelaksanaan fungsi eksekutif pertama-tama bersumber dari legalitas yang diberikan oleh badan legislatif [16]. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika badan legislatif sering terlambat mengikuti perkembangan masyarakat, badan legislatif sebagai pemilik kewenangan asli (original authority) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan melimpahkan sebagian dari kewenangannya (delegated authority) kepada badan eksekutif sehingga badan eksekutif ikut pula dapat membentuk peraturan perundang-undangan. Hal ini merupakan perkembangan revolusioner dari teori Trias Politica Montesquieu yang menempatkan pemerintah hanya sebagai pelaksana undang-undang [17].
Kebijakan yang ditetapkan pemerintah atau pejabat administrasi negara berdasarkan wewenang yang bersumber dari peraturan perundang-undangan (undang-undang dasar atau undang-undang), kemudian dituangkan dalam berbagai bentuk-bentuk hukum yang di Indonesia termasuk golongan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia, bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang disebut di atas beraneka ragam dan antara lain mencakup sebagai berikut [18]:
“Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden yang berisi peraturan, Keputusan Menteri yang berisi peraturan, Keputusan Lembaga pemerintah nondepartemen yang berisi peraturan, Keputusan Direktorat Jenderal Derpartemen yang berisi peraturan, Keputusan Badan Negara yang dibentuk dengan Undang-Undang yang berisi peraturan, Peraturan Daerah tingkat I, Keputusan Gubernur, Peraturan Daerah tingkat II, dan Keputusan Bupati/Walikota.”
Selain kebijakan yang bersifat terikat (geboden beleids) berdasarkan peraturan perundang-undangan seperti yang diuraikan di atas, pemerintah atau pejabat administrasi negara juga dapat menetapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat bebas (vrijbeleid). Kebijakan yang bersifat bebas ditetapkan oleh pejabat administrasi negara berdasarkan kewenangan kebebasan bertindak (freies ermessen). Kebijakan yang bersifat bebas adalah kebijakan yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan pejabat administrasi negara semata-mata dalam rangka menyelesaikan suatu keadaan (masalah konkret) yang pada dasarnya belum ada aturannya atau belum diatur dalam undang-undang. Namun pemberian kewenangan bertindak bebas kepada pejabat administrasi negara bukan tidak mengandung masalah dan resiko tersendiri [15].
Menurut Peneliti, jika pejabat administrasi negara diberikan keleluasaan atau kebebasan dalam menetapkan dan menjalankan kebijakan atas dasar pertimbangan pejabat administrasi negara yang bersangkutan semata-mata, ada dua kemungkinan yang akan terjadi dengan segenap konsekuensi masing-masing. Kemungkinan pertama, pejabat administrasi negara yang bersangkutan akan memberlakukan kebijakan yang berbeda kepada tiap warga negara. Jika kemungkinan pertama ini terjadi maka kondisi seperti ini tentu saja menggambarkan tindakan pemerintahan yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara. Tindakan yang bersifat diskriminatif ini tentu merupakan suatu bentuk pengingkaran dan pelanggaran terhadap hak-hak warga negara sehingga menimbulkan kerugian terhadap warga negara yang bersangkutan. Kondisi seperti ini juga dapat membuka peluang penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat administrasi negara yang justru hendak dicegah oleh negara hukum sebab pejabat administrasi negara akan cenderung bertindak atas dasar pertimbangan kepentingan dan keuntungan pribadi dalam menyelenggarankan tugas-tugasnya atau dalam rangka melayani anggota masyarakat.
Kemungkinan kedua adalah pejabat administrasi negara akan memberlakukan kebijakan yang sama terhadap setiap warga negara. Kondisi demikian merupakan kondisi penyelenggaraan tugas-tugas pejabat administrasi negara yang ideal sesuai dengan cita-cita dan prinsip-prinsip negara hukum yaitu asas persamaan di depan hukum dan pemerintahan (equality before the law). Dalam keadaan demikian, hak-hak negara akan diakui dan dihormati oleh setiap pejabat administrasi negara dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugasnya dan melayani anggota Masyarakat sehingga pejabat administrasi negara tidak didasari oleh motif-motif keuntungan dan kepentingan pribadi, tetapi oleh motif pengabdian dan pelayanan untuk memberikan yang terbaik kepada Masyarakat dan bangsa.
Jika, untuk memenuhi tuntutan negara hukum, kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat administrasi negara yang bersumber dari asas kebebasan bertindak hendak diberlakukan secara sama terhadap segenap warga negara seperti dikemukakan di atas, ada konsekuensi-konsekuensi logis tertentu yang harus dijalankan. Dalam hal ini, yang menjadi konsekuensi logis adalah kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat administrasi negara harus dijalankan dengan konsisten (taat asas). Untuk menegakkan asas konsistensi, kebijakan pejabat administrasi negara yang bersifat bebas tersebut perlu dituangkan dalam suatu bentuk formal atau suatu format tertentu yang lazim disebut dengan peraturan kebijakan. Dalam hubungan ini, Bagir Manan mengemukakan pendapatnya yaitu [9]:
“Dengan adanya peraturan kebijakan tersebut akan terjamin ketaatasasan tindakan administrasi negara dan untuk setiap peristiwa yang mengandung persamaan, kepastian hukum dan tindakan-tindakan dapat dipercaya karena didasarkan pada peraturan yang sudah tertentu.”
Hal ini berarti bahwa jika kebijakan pejabat administrasi negara yang bersifat bebas dituangkan dalam suatu peraturan kebijakan, setiap anggota masyarakat dapat dengan mudah mengetahuinya sehingga setiap orang yang memenuhi syarat-syarat memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk memperoleh keuntungan-keuntungan yang mungkin dapat diperoleh dari kebijakan tersebut.
Sebagaimana dikemukakan di atas, pejabat administrasi negara menuangkan kebijakannya yang bersumber dari asas kebebasan bertindak dalam suatu bentuk formal tertentu yang disebut sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel). Dalam rangka hubungan asas diskresi dengan peraturan kebijakan yang dikemukakan di atas, Philipus M. Hadjon mengemukakan pendapat, yaitu [19]:
“Pelaksanaan pemerintahan sehari-hari menunjukkan betapa badan atau pejabat tata usaha negara acapkali menempuh pelbagai Langkah kebijaksanaan tertentu, antara lain menciptakan apa yang kini sering dinamakan peraturan kebijaksanaan (beleidsregel, policy rule)”.
Dengan demikian, jelas ada hubungan yang erat antara asas diskresi dengan peraturan kebijakan. Asas diskresi merupakan dasar kewenangan bagi pejabat administrasi negara untuk menetapkan suatu kebijakan, sedangkan peraturan kebijakan adalah wujud formal kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat administrasi negara berdasarkan asas diskresi tersebut.
Berdasarkan penjelasan pada sub bab sebelumnya, peraturan kebijakan hadir sebagai bentuk konkret atau perwujudan tertulis daripada kewenangan diskresi yang dimiliki oleh pemerintah dalam rangka untuk menjaga kelancaran pemerintahan. Namun sebelum mengkaji terkait pengertian peraturan kebijakan, pertama-tama perlu ditetapkan terlebih dahulu terminologi yang digunakan dalam Bahasa Indonesia sebagai padanan dari konsep beleidsregel di Belanda. Terdapat dua istilah yang sering dipakai, yakni peraturan kebijaksanaan dan peraturan kebijakan. Perlu dibedakan apakah kebijaksanaan dan kebijakan merupakan dua hal yang sama ataukah berbeda berdasarkan pengertiannya. Dengan demikian dapat ditentukan terminologi mana yang lebih sesuai untuk digunakan sebagai padanan bagi konsep beleidsregel.
Menurut R.M. Girindro Pringgodigdo, istilah ‘beleid’ atau ‘policy’ lebih sesuai untuk dipadankan dengan istilah ‘kebijaksanaan’. Istilah ‘kebijakan’ merupakan padanan kata dari ‘wijsheid’ atau ‘wisdom’. ‘Kebijaksanaan’ menurut Pringgodigdo adalah serangkaian tindakan dan kegiatan yang direncanakan oleh pemerintah atau dengan melibatkan pakar, non pemerintah atau swasta, untuk mencapai tujuan atau sasaran yang dicita-citakan. Istilah kebijakan menurut Pringgodigdo adalah keputusan yang bersifat pengaturan (tertulis) atau keputusan tertulis atau lisan yang berkaitan erat dengan kekuasaan atau wewenang diskresi [20].
Sedangkan istilah ‘kebijakan’ sebagai padanan kata ‘beleid’ dalam konsep beleidsregel digunakan oleh Jimly Assshiddiqie. Menurut Jimly Asshiddiqie, peraturan kebijakan secara formal bukanlah peraturan yang resmi. Oleh karena itu terminologinya menggunakan kata kebijakan, beleids, atau policy. Jimly Asshiddiqie menawarkan istilah ‘aturan kebijakan’ sebagai terjemahan dari ‘beleidsregel’ atau ‘policy rules’. Menurutnya penggunaan istilah ‘aturan’ untuk membedakannya dari bentuk peraturan resmi. ‘Policy rules’ merupakan ‘rules’ bukan ‘regulation’ ataupun ‘legislation’ sehingga tidak tepat jika disebut ‘peraturan kebijakan’ [8].
Namun resmi tidaknya suatu peraturan bukanlah terletak pada istilah ‘peraturan’ atau aturan’. Jika merujuk pada istilah yang dipakai dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, istilah untuk peraturan yang resmi dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang adalah peraturan ‘perundang-undangan’. Dengan demikian, secara yuridis, istilah yang menentukan resmi tidaknya suatu peraturan adalah istilah ‘perundang-undangan’. Dalam beberapa contoh, istilah ‘peraturan’ juga digunakan untuk peraturan yang bukan dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang. Misalnya istilah peraturan perusahaan yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Berkaitan dengan pengertian peraturan kebijakan di Indonesia tidak dapat dirujuk pada peraturan perundang-undangan Indonesia karena tidak adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur definisi atau pengertian peraturan kebijakan. Oleh karena itu, untuk mengkonstruksikan pengertian peraturan kebijakan di Indonesia dapat dilakukan dengan mengacu pada pendapat ahli hukum dan juga dengan melakukan perbandingan dengan dua negara yakni Amerika Serikat dan juga Belanda yang telah memberi definisi / pengertian peraturan kebijakan dalam Undang-Undang mereka, sehingga dapat mengarahkan konstruksi pengertian peraturan kebijakan secara komprehensif.
Negara Kesatuan Republik Indonesia telah ditegaskan sebagai negara hukum di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Di dalam konsep negara hukum, negara menggunakan aturan hukum untuk mencapai tujuan negara. Negara Hukum dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, serta dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi, dan sosial yang tertib dan teratur.
Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional demi terwujudnya kepastian hukum sehingga hal ini pula menimbulkan konsekuensi pada setiap pembentukan produk hukum, yang dimana setiap produk hukum haruslah mempunyai dasar keberlakuannya secara yuridis (juridische gelding). Dalam hal pembentukan peraturan kebijakan (beleidsregel) pun pada pembahasan sebelumnya telah diuraikan bahwasanya peraturan kebijakan ialah instrumen yuridis yang dikeluarkan pemerintah atas dasar kewenangan bertindak bebas (freies ermessen). Namun jika dikaji secara komprehensif dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah atau frasa terkait dengan peraturan kebijakan (beleidsregel) sebagai perwujudan konkret dari kewenangan diskresi tidak lah dikenal. Bahkan dalam UU Administrasi Pemerintahan yang merupakan yang merupakan payung hukum bagi Undang-Undang lain dan segala tindakan pemerintah atau Pejabat Administrasi Negara terkait dengan Administrasi Pemerintahan juga tidak mengenal dan mengatur terkait dengan peraturan kebijakan (beleidsregel).
Dalam BAB VI mulai dari Pasal 22 hingga Pasal 32 UU Administrasi Pemerintahan hanya mengatur terkait dengan kewenangan bertindak bebas atau Diskresi (Freies Ermessen), mulai dari pengertian, ruang lingkup, persyaratan dapat dikeluarkan, prosedur penggunaan, hingga akibat hukum dari dikeluarkannya diskresi. Sedangkan Peraturan kebijakan sebagai bentuk tertulis atau formal dari kewenangan diskresi yang juga merupakan bentuk konsistensi dari kewenangan diskresi untuk tetap memberikan perlakuan yang sama terhadap setiap warga negara ini tidak diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan. Padahal, konsep diskresi merupakan genus dari peraturan kebijakan dan sebaliknya peraturan kebijakan adalah species dari diskresi. Adanya peraturan kebijakan karena adanya diskresi sebelumnya atau peraturan kebijakan lahir akibat penggunaan wewenang diskresi. Dengan kata lain, eksisnya wewenang diskresi bergantung pada peraturan kebijakan maupun sebaliknya.
Tidak diaturnya peraturan kebijakan dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menunjukan terdapatnya kekosongan hukum (vaccum of norm) dari peraturan kebijakan, akibat yang dapat ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum ini yakni dapat terjadinya ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) [21], hal ini dapat dilihat bahwa selama ini terkait dengan pengertian, pejabat yang berwenang untuk membuat, bentuk-bentuk, materi muatan, kekuatan mengikat, hingga pengujian daripada peraturan kebijakan di Indonesia hanya didasarkan pada pendapat para ahli saja (doktrin), itupun dalam lingkup hukum administrasi negara kerap terjadinya perbedaan pandangan antar ahli hukum yang satu dengan ahli hukum yang lain dalam membahas terkait dengan peraturan kebijakan.
Ketidakpastian hukum terkait peraturan kebijakan ini tentunya dapat membuat atau menimbulkan kekacauan hukum (rechtsverwarring) dari penggunaan peraturan kebijakan oleh pejabat administrasi negara dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, sehingga jika sudah demikian maka dapat dikatakan salah satu tujuan hukum menurut teori yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch yakni kepastian hukum tidaklah dapat tercapai dengan baik sebab berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch bahwasanya hukum merupakan hal positif yang harus mengatur kepentingan setiap manusia yang ada dalam masyarakat dan harus selalu ditaati meskipun hukum positif tersebut dinilai kurang adil [22].
Sehingga untuk mengatasi dan mengantisipasi kekacauan hukum yang dapat terjadi karena tidak diaturnya peraturan kebijakan dalam UU Administrasi Pemerintahan maka sangatlah penting atau urgent untuk dilakukannya pengaturan terkait peraturan kebijakan dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, hal ini sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan hukum yakni kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan dan tentunya jika kepastian hukum terkait peraturan kebijakan telah terwujud maka hal ini pasti akan berimplikasi baik secara langsung atau tidak langsung terhadap tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Hubungan antara asas kebebasan bertindak (asas diskresi atau freies ermessen) dan peraturan kebijakan (beleidsregel) dapat dijelaskan dengan bertolak dari ciri-ciri kebijakan yang diambil oleh pejabat tata usaha negara. Meskipun asas diskresi (freies ermessen) dan peraturan kebijakan merupakan dua substansi yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat dalam lingkungan hukum administrasi negara. Keterkaitan kedua substansi tersebut dapat digambarkan dalam pernyataan bahwa asas diskresi (freies ermessen) tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa adanya peraturan kebijakan. Asas diskresi merupakan dasar kewenangan bagi pejabat administrasi negara untuk menetapkan suatu kebijakan, sedangkan peraturan kebijakan adalah wujud formal kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat administrasi negara berdasarkan asas diskresi tersebut.
Tidak adanya pengaturan peraturan kebijakan dalam UU Administrasi Pemerintahan menunjukkan adanya kekosongan hukum (vaccum of norm), sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Hal ini dapat dilihat sebagai wujud persoalan makna karena pejabat di Indonesia yang berwenang membuat bentuk, isi, kekuatan mengikat, dan menguji peraturan kebijakan hanya mengandalkan pendapat para ahli (doktrin). Bahkan dalam batasan hukum administrasi negara, para ahli hukum sering kali berbeda pendapat ketika membahas peraturan kebijakan. Ketidakpastian hukum terkait peraturan kebijakan ini tentunya dapat membuat atau menimbulkan kekacauan hukum (rechtsverwarring) dari penggunaan peraturan kebijakan oleh pejabat administrasi negara dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga untuk mengatasi dan mengantisipasi kekacauan hukum yang dapat terjadi karena tidak diaturnya peraturan kebijakan dalam UU Administrasi Pemerintahan maka sangatlah penting atau urgent untuk dilakukannya pengaturan terkait peraturan kebijakan dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.