Private Law
DOI: 10.21070/ijler.v19i1.990

Regulating Virtual Land Sales in Indonesia's Metaverse


Mengatur Penjualan Tanah Virtual di Metaverse Indonesia

Fakultas Hukum, Universitas Mataram
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Mataram
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Mataram
Indonesia

(*) Corresponding Author

Metaverse Virtual Land Sales Indonesian Law Electronic Transactions Legal Framework

Abstract

This study explores the legal challenges and implications of virtual land sales through the metaverse in the context of Indonesia's digital era 5.0, focusing on consumer protection and the prevention of digital crimes. The primary aim is to analyze the legal framework governing these transactions and assess their conformity with the principles of valid contracts under Indonesian civil law. Employing a normative research methodology, the study evaluates existing regulations and legal literature to understand the current legal landscape. The findings reveal a lack of specific legislation in Indonesia regarding virtual land transactions in the metaverse, categorizing them under general electronic transactions governed by the Electronic Information and Transactions Law. Despite this, these transactions generally meet the legal requirements of a valid contract in Indonesian civil law, such as mutual consent, competency, a specific object, and a lawful cause. However, the study underscores the need for specific regulations to provide legal clarity and enhanced protection for parties involved in virtual land sales, considering the unique and virtual nature of the transaction objects. The research concludes with a call for international collaboration to contribute to the development of a balanced and contemporary global legal framework for metaverse transactions.

Highlights:

  • Absence of Specific Legislation: Current Indonesian laws do not specifically address virtual land sales in the metaverse, creating legal ambiguity.
  • Electronic Transaction Classification: Virtual land sales are generally governed by Indonesia's Electronic Information and Transactions Law, aligning them with other electronic transactions.
  • Need for Enhanced Legal Protection: Given the unique nature of virtual transactions, there is a significant need for specific regulations to ensure legal clarity and protect the rights of parties involved.

Keywords: Metaverse, Virtual Land Sales, Indonesian Law, Electronic Transactions, Legal Framework

Pendahuluan

Dalam era Digital 5.0, penggunaan metaverse sebagai platform digital semakin merajalela, mengalami perkembangan pesat, dan menciptakan berbagai fenomena baru. Salah satu aspek yang menjadi sorotan adalah transaksi jual beli tanah virtual di dalam metaverse. Fenomena ini menghadirkan tantangan signifikan dalam ranah hukum, khususnya terkait legalitas transaksi tanah virtual yang dapat mencakup properti digital yang dimiliki dan diperdagangkan di dalam lingkungan metaverse.[1] Perkembangan ini menuntut kajian hukum yang mendalam untuk memahami konsep hukum yang relevan, seperti hak milik, perlindungan konsumen, dan kerangka hukum yang mengatur transaksi properti digital.

Metaverse merupakan suatu dunia maya yang terbentuk dari lingkungan virtual yang dapat diakses melalui internet. Di dalam Metaverse, terdapat konsep tanah virtual yang merupakan representasi digital dari lahan, memungkinkan pemiliknya untuk memiliki dan melakukan transaksi jual beli di dalam platform tersebut.[2] Dengan maraknya kemunculan platform metaverse seperti Decentraland dan CryptoVoxels, perhatian terhadap legalitas jual beli tanah virtual menjadi semakin mendesak. Fenomena ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan hukum yang kompleks terkait dengan hak kepemilikan, perlindungan konsumen, dan peraturan perdagangan digital.

Di Indonesia, tantangan utama dalam legalitas jual beli tanah virtual melalui metaverse terletak pada ketiadaan regulasi yang secara spesifik mengatur transaksi tersebut. Hingga saat ini, sistem hukum Indonesia belum mampu sepenuhnya menyesuaikan diri dengan dinamika perkembangan teknologi, khususnya dalam ranah metaverse. Keberadaan tanah virtual sebagai aset digital belum diakui secara tegas dalam hukum properti Indonesia, menyisakan kekosongan normatif dan potensi ketidakpastian hukum.[3] Dalam konteks ini, diperlukan upaya untuk mengembangkan regulasi yang relevan dan progresif, yang dapat memberikan landasan hukum yang jelas dan melindungi kepentingan semua pihak yang terlibat dalam transaksi jual beli tanah virtual.

Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengatur transaksi tanah virtual di metaverse. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) memberikan landasan konstitusional yang mendasari semua aspek kehidupan masyarakat, termasuk transaksi di ranah digital. Selain itu, peraturan perundang-undangan yang relevan seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi dasar untuk mengatur transaksi elektronik, namun masih perlu adaptasi lebih lanjut agar dapat mengakomodasi kompleksitas transaksi tanah virtual di metaverse.[4]

Perkembangan metaverse juga menimbulkan pertanyaan seputar kepemilikan dan hak-hak atas tanah virtual. Dalam konteks ini, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Agraria) menjadi rujukan utama untuk mengatasi permasalahan kepemilikan tanah. Namun, penerapan UU Agraria dalam konteks metaverse memerlukan adaptasi dan interpretasi yang cermat agar dapat memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi pemilik tanah virtual.[5]

Indonesia, selain fokus pada regulasi dalam negeri, perlu memberikan perhatian serius terhadap tren regulasi internasional yang berkaitan dengan metaverse dan transaksi tanah virtual. Keterlibatan dalam kerja sama lintas batas terkait regulasi dapat membawa manfaat signifikan, terutama dalam menciptakan standar internasional yang dapat menjadi pedoman bagi negara-negara di seluruh dunia dalam mengatur transaksi tanah virtual di metaverse.[6] Melalui kolaborasi ini, Indonesia dapat berkontribusi pada pembentukan kerangka hukum global yang seimbang dan terkini, yang tidak hanya melindungi kepentingan nasional tetapi juga mempromosikan keamanan dan keadilan dalam perdagangan tanah virtual di ranah metaverse yang semakin berkembang.

Regulasi yang jelas terkait jual beli tanah virtual di metaverse tidak hanya penting untuk memberikan kepastian hukum dalam transaksi properti digital, tetapi juga menyangkut aspek perlindungan konsumen dan penanggulangan potensi tindak kriminal. Dengan adanya kejelasan dalam regulasi, risiko penipuan, pencucian uang, dan kejahatan digital lainnya yang mungkin terjadi dalam transaksi tanah virtual dapat dikurangi secara signifikan. Perlindungan konsumen menjadi prioritas karena transaksi di metaverse melibatkan elemen digital yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap pelanggaran privasi atau praktik-praktik bisnis yang merugikan. Selain itu, penegakan hukum yang efektif melalui regulasi yang tegas dapat menjadi langkah krusial dalam menanggulangi potensi tindak kriminal, menciptakan lingkungan perdagangan tanah virtual yang aman, adil, dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku di Era Digital 5.0.[7]

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat dihasilkan rekomendasi regulasi yang komprehensif dan sesuai dengan perkembangan teknologi metaverse di era Digital 5.0. Sebagai negara yang sedang memasuki fase digitalisasi yang pesat, Indonesia perlu bersiap menghadapi tantangan baru dalam ranah hukum demi menciptakan lingkungan bisnis yang aman, terpercaya, dan inovatif di dunia metaverse. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini yakni sebagai berikut:

  1. Bagaimana pengaturan legalitas jual beli tanah virtual melalui metaverse berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia?
  2. Apakah transaksi jual beli tanah virtual melalui metaverse telah memenuhi asas-asas sahnya perjanjian menurut hukum perdata di Indonesia?

Metode

Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif untuk menggali pemahaman mendalam tentang kerangka hukum yang mengatur legalitas jual beli tanah virtual melalui metaverse di Era Digital 5.0. Metode ini bersifat deskriptif dan normatif, dengan fokus pada analisis peraturan perundang-undangan dan konsep hukum yang relevan. Pendekatan normatif akan memungkinkan peneliti untuk menyusun tinjauan hukum komprehensif, mengevaluasi norma-norma hukum yang berlaku, dan mengidentifikasi hubungan antara peraturan yang ada dengan realitas transaksi tanah virtual. Dalam menerapkan pendekatan perundang-undangan, penelitian ini akan memeriksa secara seksama undang-undang yang berlaku di berbagai yurisdiksi yang relevan dengan tanah virtual di metaverse. Analisis konsep hukum seperti hak milik, perlindungan konsumen, dan ketentuan hukum yang berkaitan dengan transaksi properti digital akan menjadi fokus utama. Pemahaman mendalam tentang konsep-konsep ini akan membantu mengidentifikasi kekosongan hukum, ketidakjelasan, atau potensi konflik norma yang dapat mempengaruhi legalitas jual beli tanah virtual.

Sumber bahan penelitian mencakup dokumen resmi seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan keputusan pengadilan yang relevan dengan masalah yang diteliti. Selain itu, literatur hukum, makalah akademis, dan pandangan para ahli dalam bidang hukum properti digital dan metaverse akan menjadi sumber penting untuk memperkaya pemahaman peneliti tentang konteks hukum yang sedang berkembang. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini akan melibatkan review literatur yang mendalam, penelusuran dokumen hukum, dan analisis kebijakan. Data primer berupa teks undang-undang, putusan pengadilan, dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tanah virtual akan dikumpulkan dan dikategorikan. Selain itu, data sekunder berupa pandangan para ahli, makalah konferensi, dan buku-buku referensi akan dianalisis untuk mendukung temuan dan pemahaman yang lebih luas.

Analisis data akan melibatkan pendekatan kualitatif, di mana data yang dikumpulkan akan diuraikan, dikelompokkan, dan diinterpretasikan. Pembandingan dan kontrast antar peraturan-peraturan dari berbagai yurisdiksi akan membantu mengidentifikasi pola, kecenderungan, dan inkonsistensi hukum yang perlu dicermati. Hasil analisis ini akan membentuk dasar untuk menyusun kesimpulan mengenai legalitas jual beli tanah virtual di metaverse, sambil memberikan rekomendasi atau saran perbaikan terkait kerangka hukum yang ada.

Pembahasan

Pengaturan Legalitas Jual Beli Tanah Virtual Melalui Metaverse Berdasarkan Hukum yang Berlaku di Indonesia

Metaverse, sebagai tren teknologi yang berkembang pesat, membuka pintu bagi penggunanya untuk menjelajahi dunia virtual dan berinteraksi melalui avatar. Dalam lingkungan ini, aktivitas yang tengah muncul sebagai fenomena populer adalah jual beli tanah virtual. Pengguna dapat memanfaatkan platform metaverse untuk memiliki dan mengelola properti digital, menciptakan pasar virtual yang dinamis.[2] Fenomena ini menciptakan tantangan baru dalam konteks hukum, terutama terkait dengan legalitas transaksi jual beli tanah virtual di Era Digital 5.0.

Walaupun hanya eksis secara virtual dan tidak memiliki keberadaan fisik, transaksi jual beli tanah di metaverse memiliki nilai ekonomis yang signifikan. Properti digital ini, meskipun berada dalam dunia maya, dapat memiliki harga yang mencapai ribuan hingga jutaan dollar Amerika, mencerminkan potensi ekonomi yang substansial di balik pasar tanah virtual. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemain di metaverse mengakui nilai intrinsik dari kepemilikan tanah virtual, memicu meningkatnya popularitas transaksi ini di tengah perkembangan Era Digital 5.0.[6] Dengan pertumbuhan nilai yang luar biasa, penelitian tentang legalitas jual beli tanah virtual di metaverse menjadi semakin mendesak, memerlukan analisis hukum yang cermat untuk mengakomodasi kompleksitas dan nilai ekonomis yang terlibat dalam perdagangan tanah virtual ini.

Di Indonesia, fenomena jual beli tanah virtual di metaverse semakin merajalela, menarik perhatian sejumlah besar masyarakat yang kini tertarik untuk terlibat dalam investasi tersebut. Keinginan untuk memperoleh keuntungan dari transaksi tanah virtual di metaverse mendorong banyak individu di Indonesia untuk ikut serta dalam fenomena ini. Semakin berkembangnya teknologi dan konektivitas internet di tanah air, masyarakat Indonesia melihat potensi dalam investasi tanah virtual sebagai alternatif yang menarik.[8] Fenomena ini mencerminkan dinamika pasar digital yang sedang berkembang di Indonesia, dan kehadiran transaksi tanah virtual menjadi bagian integral dari perubahan budaya investasi di tengah masyarakat yang semakin terbuka terhadap peluang baru dalam era digital ini.

Dalam konteks yang baru dan belum diatur secara khusus, muncul pertanyaan yang signifikan mengenai pengaturan legalitas jual beli tanah virtual di metaverse berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Fenomena perdagangan tanah virtual melalui metaverse memunculkan tantangan hukum baru yang belum tercakup secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan yang ada.

Dalam konteks hukum perdata Indonesia, konsep jual beli diatur secara tegas dalam Pasal 1457 KUH Perdata. Pasal ini menjelaskan bahwa jual beli merupakan suatu perjanjian dimana pihak penjual mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, sedangkan pihak pembeli diwajibkan membayar harga yang telah disepakati sebelumnya.[9] Dengan demikian, Pasal 1457 KUH Perdata memberikan dasar hukum yang jelas dan tegas mengenai hak dan kewajiban pihak yang terlibat dalam transaksi jual beli, menciptakan landasan yang kokoh untuk menilai legalitas jual beli tanah virtual melalui metaverse di era digital 5.0 dengan merujuk pada prinsip-prinsip hukum perdata yang telah diakui dan diatur.

Dalam konteks penelitian mengenai legalitas jual beli tanah virtual melalui metaverse di Era Digital 5.0, Pasal 1458 KUH Perdata menjadi relevan karena memberikan pandangan tentang saat terjadinya jual beli. Menurut pasal tersebut, jual beli dianggap terjadi seketika setelah pihak-pihak yang terlibat mencapai kesepakatan mengenai kebendaan dan harganya, meskipun kebendaan tersebut belum diserahkan dan harga belum dibayar. Ketentuan ini menimbulkan pertanyaan penting terkait dengan transaksi tanah virtual, di mana sifat digitalnya dapat membuat proses serah terima dan pembayaran menjadi khusus dan unik.[10]

Definisi jual beli menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menegaskan bahwa transaksi jual beli melibatkan adanya benda tertentu sebagai obyek transaksi dan pembayaran harga. Namun, ketika diterapkan pada konteks tanah virtual di metaverse, perbedaan mendasar muncul karena tanah virtual tidak dapat dikategorikan sebagai benda fisik yang dapat diserahkan atau dimiliki secara konvensional. Tanah virtual, sebagai bentuk properti digital, tidak memiliki substansi fisik dan eksistensinya terbatas pada dunia maya. Selain itu, konsep pembayaran harga dalam arti konvensional juga dapat dipertanyakan, mengingat tanah virtual sering kali diperoleh melalui token kripto atau bentuk pembayaran digital lainnya.[11] Oleh karena itu, dari segi hukum perdata secara teknis jual beli tanah di metaverse belum dapat dikategorikan sebagai transaksi jual beli dalam artian yang dimaksud dalam KUH Perdata.

Berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, yang mendefinisikan tanah sebagai "permukaan bumi," muncul ketidaksesuaian yang menarik ketika diterapkan pada konteks jual beli tanah virtual di metaverse. Pasal tersebut, yang diadopsi pada era ketika properti digital dan lingkungan maya belum menjadi bagian integral dari realitas, mungkin tidak sepenuhnya mencakup aspek tanah virtual yang tidak memiliki bentuk fisik di permukaan bumi. Permasalahan interpretasi hukum ini menyoroti kebutuhan untuk mengevaluasi dan memperbarui definisi dan konsep hukum terkait tanah, sehingga mencerminkan perkembangan teknologi digital dalam konteks Era Digital 5.0. Maka dari itu, tanah virtual di metaverse tidak termasuk dalam definisi tanah menurut UUPA. Hal ini berarti UUPA juga tidak dapat menjadi dasar hukum yang mengatur legalitas transaksi tanah di metaverse.

Meskipun transaksi tanah virtual di metaverse memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan potensi pemanfaatan yang signifikan, kebutuhan akan regulasi khusus sangat mendesak untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaannya. Dengan pertumbuhan pesat dunia perdagangan tanah virtual di Era Digital 5.0, keberadaan regulasi tersebut menjadi suatu keharusan guna melindungi kepentingan para pelaku bisnis dan konsumen. Regulasi yang jelas dan tepat sasaran akan membantu mengatasi tantangan hukum yang mungkin timbul, menciptakan lingkungan perdagangan yang adil, dan memitigasi risiko keuangan serta hukum yang mungkin terkait dengan transaksi tanah virtual. [12]

Sejauh ini, belum ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara spesifik mengatur mengenai jual beli tanah virtual di metaverse. Namun terdapat beberapa peraturan yang dapat digunakan sebagai acuan awal yakni:

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi landasan hukum penting dalam penelitian ini. Pasal 1 UU ITE mendefinisikan transaksi elektronik sebagai perbuatan hukum yang dilakukan melalui komputer, jaringan komputer, atau media elektronik lainnya. Definisi ini membuka cakupan hukum yang relevan dengan jual beli tanah virtual melalui metaverse di Era Digital 5.0. Sebagai hukum yang mengatur transaksi elektronik, UU ITE dapat menjadi acuan untuk memahami karakteristik dan implikasi hukum dari transaksi properti digital, termasuk pertimbangan mengenai validitas, keabsahan, dan perlindungan hukum bagi pihak yang terlibat dalam transaksi tanah virtual.[13] Dengan demikian, UU ITE menjadi titik awal yang signifikan dalam eksplorasi aspek hukum yang terlibat dalam legalitas jual beli tanah virtual di metaverse.

Transaksi jual beli tanah virtual di metaverse dapat dikelompokkan sebagai transaksi elektronik karena dilaksanakan di dunia maya dengan memanfaatkan teknologi dan internet. Dalam konteks ini, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dapat diidentifikasi sebagai salah satu dasar hukum yang relevan. UU ITE, yang mengatur berbagai aspek transaksi elektronik, perlindungan data, dan keamanan informasi, memberikan kerangka hukum yang potensial untuk mengatasi aspek-aspek legalitas dalam jual beli tanah virtual. Penerapan UU ITE dapat memberikan perlindungan hukum bagi para pelaku transaksi, mengatur hak dan kewajiban mereka, serta menangani potensi risiko hukum yang mungkin muncul dalam lingkungan metaverse.[14] Oleh karena itu, pemahaman dan penerapan UU ITE menjadi penting dalam menentukan legalitas dan tanggung jawab hukum dalam transaksi semacam ini di Era Digital 5.0.

Selain menggali peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, penelitian ini juga akan mendalami aspek regulasi yang bersumber dari Bank Indonesia (BI) terkait aset kripto. Salah satu peraturan yang akan menjadi fokus adalah Peraturan BI No. 23/6/PBI/2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia mengenai Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Peraturan ini memiliki relevansi signifikan dalam konteks legalitas jual beli tanah virtual melalui metaverse di Era Digital 5.0, mengingat transaksi tersebut seringkali melibatkan aset kripto sebagai metode pembayaran.[15] Analisis mendalam terhadap ketentuan-ketentuan dalam peraturan BI ini akan memungkinkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana regulator keuangan mengatur dan mengawasi aset kripto, serta dampaknya terhadap transaksi properti digital di metaverse.

Di Indonesia, aset kripto diakui sebagai objek jual beli yang sah secara hukum. Pada konteks ini, tanah virtual di metaverse dapat dianggap sebagai aset kripto karena transaksi yang terjadi melibatkan penggunaan token berbasis blockchain. Sejalan dengan itu, regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) terkait aset kripto memiliki potensi untuk dijadikan acuan dalam menilai legalitas jual beli tanah virtual di metaverse.[10] Dengan mempertimbangkan kategorisasi tanah virtual sebagai aset kripto, analisis peraturan-peraturan BI dapat memberikan panduan yang relevan terhadap transaksi tersebut, memperkuat kerangka hukum yang mendukung perdagangan tanah virtual di Era Digital 5.0.

Walaupun demikian, kedua regulasi di atas masih belum cukup untuk menjawab segala permasalahan hukum terkait transaksi tanah virtual metaverse. Diperlukan adanya regulasi khusus sebagai dasar hukum utama yang komprehensif dan spesifik. Ke depannya, pemerintah dan DPR RI diharaapkan dapat merancang suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) ataupun Peraturan Pemerintah (PP) yang secara spesifik mengatur mengenai aktivitas transaksi tanah virtual di metaverse.[16] Beberapa hal yang perlu diatur dalam regulasi khusus tersebut antara lain:[6]

  1. Definisi atau batasan pengertian tanah virtual di metaverse

Menetapkan definisi yang jelas atau batasan tentang apa yang dimaksud dengan tanah virtual di metaverse agar dapat memahami ruang lingkup dan karakteristik transaksi tersebut.

  1. Persyaratan dan mekanisme transaksi yang harus dipenuhi oleh para pihak

Menguraikan persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam transaksi tanah virtual di metaverse, serta memperinci mekanisme pelaksanaan transaksi untuk memastikan kejelasan dan keadilan.

  1. Perlindungan data dan privasi pengguna

Menetapkan ketentuan untuk melindungi data dan privasi pengguna yang terlibat dalam transaksi tanah virtual, sehingga memberikan keamanan dan kepercayaan dalam lingkungan metaverse.

  1. Penyelesaian sengketa

Menyediakan kerangka kerja yang jelas untuk penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dalam konteks transaksi tanah virtual di metaverse, baik melalui arbitrase, mediasi, atau proses hukum lainnya.

  1. Perlindungan konsumen

Mengatur aspek-aspek perlindungan konsumen, termasuk hak-hak konsumen dalam transaksi tanah virtual, serta memberikan mekanisme penegakan hak yang efektif dalam kasus pelanggaran.

  1. Sistem perpajakan

Menyusun ketentuan mengenai sistem perpajakan yang berlaku untuk transaksi tanah virtual di metaverse, termasuk kewajiban perpajakan dan prosedur pelaporan yang sesuai.

  1. Ketentuan pidana bagi pelanggaran ketentuan yang berlaku

Menetapkan sanksi pidana bagi pelanggaran ketentuan yang ada, guna mendorong kepatuhan dan menanggulangi potensi kejahatan atau penyalahgunaan dalam transaksi tanah virtual di metaverse.

Dengan dibentuknya suatu dasar hukum khusus dalam bentuk undang-undang atau peraturan pemerintah yang secara spesifik mengatur aktivitas jual beli tanah virtual metaverse, maka akan tercipta kepastian hukum serta perlindungan bagi masyarakat yang ingin melakukan transaksi ini.Selain itu, regulasi yang jelas juga akan mendorong minat masyarakat dan investor untuk lebih lanjut mengembangkan ekosistem metaverse di Indonesia yang dinilai sangat potensial di masa depan.

Kesesuaian Transaksi Jual Beli Tanah Virtual Melalui Metaverse Telah Memenuhi Asas-Asas Sahnya Perjanjian Menurut Hukum Perdata di Indonesia

Sejalan dengan paparan sebelumnya, dapat diketahui bahwa hingga saat ini, Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatasi transaksi jual beli tanah virtual di dalam metaverse. Meskipun demikian, dalam mengevaluasi keabsahan suatu perjanjian transaksi tanah virtual, dapat digunakan landasan hukum yang ada, terutama Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). KUHPerdata menjadi acuan utama untuk menilai apakah transaksi tersebut telah memenuhi asas-asas sahnya perjanjian, seperti kesepakatan para pihak, kecakapan untuk membuat perjanjian, adanya suatu objek yang dapat diperjanjikan, serta tujuan yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan. Meskipun regulasi yang spesifik belum terbentuk, penerapan prinsip-prinsip hukum perdata dapat memberikan landasan untuk menilai dan mengatur transaksi jual beli tanah virtual di metaverse dalam konteks hukum yang berlaku di Indonesia.[8] Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat:

  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. Suatu hal tertentu;
  4. Suatu sebab yang halal.

Dalam konteks transaksi jual beli tanah virtual di metaverse, persyaratan pertama yang harus dipenuhi adalah adanya kesepakatan yang mengikat antara para pihak yang terlibat, yaitu penjual dan pembeli. Kesepakatan ini mencakup kesediaan kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli tanah virtual dengan ketentuan-ketentuan tertentu yang telah disepakati sebelumnya, termasuk penetapan harga yang disepakati oleh kedua belah pihak.[17] Dengan terpenuhinya persyaratan kesepakatan yang mengikat, transaksi tersebut menjadi sah dan memberikan dasar hukum bagi pemindahan kepemilikan tanah virtual di metaverse antara penjual dan pembeli sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat.

Persyaratan kedua dalam konteks legalitas jual beli tanah virtual di metaverse adalah "kecakapan untuk membuat suatu perikatan." Dalam hal ini, para pihak yang terlibat dalam transaksi tanah virtual harus memenuhi syarat sebagai subyek hukum yang cakap menurut hukum. Artinya, mereka harus berusia minimal 18 tahun dan tidak berada di bawah pengampuan hukum. Syarat usia ini mengacu pada batasan umur yang diakui secara umum sebagai tanda kematangan hukum seseorang dalam membuat keputusan kontraktual. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi pihak yang mungkin rentan atau tidak dapat membuat keputusan secara bijaksana, sehingga memastikan bahwa transaksi jual beli tanah virtual dilakukan oleh pihak yang memiliki kapasitas hukum yang memadai untuk bertanggung jawab atas perjanjian yang mereka buat di dalam metaverse.[8]

Dalam konteks transaksi jual beli tanah virtual melalui metaverse, unsur ketiga yang menjadi fokus adalah "suatu hal tertentu." Obyek transaksi ini adalah tanah virtual yang memiliki spesifikasi dan identitas tertentu yang dijual belikan. Tanah virtual tersebut mewakili properti digital dengan karakteristik unik dalam lingkungan metaverse, dan identitas yang jelas mengacu pada lokasi dan atribut khusus yang dapat ditetapkan. Dengan adanya tanah virtual yang memiliki ciri-ciri yang spesifik, elemen "suatu hal tertentu" dalam transaksi jual beli tanah dapat terpenuhi. Hal ini menunjukkan kompleksitas aspek properti digital dalam konteks metaverse, di mana setiap unit tanah virtual memiliki karakteristik yang membedakannya, sejalan dengan prinsip-prinsip hukum perikatan yang mensyaratkan adanya objek transaksi yang konkret dan teridentifikasi. [18]

Syarat terakhir dalam menilai kehalalan suatu perjanjian, yakni "suatu sebab yang halal," menjelaskan bahwa isi perjanjian dan transaksi tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam konteks transaksi jual beli tanah metaverse, yang dilakukan secara sukarela di antara pihak yang berkepentingan, syarat ini dianggap terpenuhi karena isi perjanjian tersebut tidak melanggar norma hukum dan moral yang berlaku. Penilaian ini didasarkan pada kepatuhan terhadap undang-undang yang mengatur transaksi properti digital, serta memastikan bahwa kesepakatan tersebut tidak merugikan ketertiban umum dan kesusilaan.[19] Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa prinsip "suatu sebab yang halal" terpenuhi dalam konteks jual beli tanah metaverse, mengukuhkan keabsahan dan kehalalan transaksi tersebut.

Dengan merinci metode penelitian hukum normatif, penelitian ini memusatkan perhatian pada analisis perundang-undangan dan konsep hukum yang relevan untuk mengeksplorasi legalitas jual beli tanah virtual di metaverse di Era Digital 5.0. Melalui pendekatan perundang-undangan, penelitian menyelidiki undang-undang yang berlaku di berbagai yurisdiksi untuk memahami kerangka hukum yang mengatur transaksi tersebut. Sumber bahan penelitian yang luas mencakup dokumen resmi, literatur hukum, pandangan para ahli, dan analisis kebijakan. Teknik pengumpulan data seperti review literatur dan penelusuran dokumen hukum digunakan untuk mengumpulkan data primer dan sekunder. Dalam analisis data, pendekatan kualitatif digunakan untuk menguraikan, mengelompokkan, dan menginterpretasikan data yang dikumpulkan.[20] Dapat disimpulkan bahwa transaksi jual beli tanah virtual pada metaverse sejauh ini telah memenuhi keempat asas sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, menegaskan keabsahan hukum dari transaksi properti digital ini dalam kerangka hukum yang ada.

Meskipun transaksi tanah virtual di metaverse tidak secara eksplisit diatur dari segi objek dalam perundang-undangan, esensinya terletak pada sifat konsensual yang dilaksanakan secara elektronik di dunia maya. Dalam konteks ini, transaksi tersebut didasarkan pada kesepakatan para pihak yang dianggap cakap dan memiliki kapasitas hukum. Meski hak milik dan perlindungan hukum tanah virtual belum secara tegas diatur, namun prinsip-prinsip dasar kontrak dan pertimbangan hukum terkait transaksi elektronik masih relevan. Oleh karena itu, pemahaman hak dan kewajiban para pihak, aspek perlindungan konsumen, dan kejelasan kontrak menjadi krusial dalam memastikan validitas dan keabsahan transaksi tanah virtual di metaverse. Selain itu, keabsahan dan pemenuhan asas-asas perjanjian hukum perdata tetap harus dijamin dan dilindungi berdasarkan itikad baik dan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata.[8] Adapun beberapa catatan yang perlu diperhatikan terkait transaksi ini adalah bahwa:[21]

  1. Para pihak, khususnya pembeli, perlu menyadari bahwa tanah virtual tidak memiliki sertifikat, sehingga kepemilikannya hanya sebatas klaim di dunia maya. Ini menekankan perlunya kesadaran bahwa status kepemilikan tanah virtual bersifat virtual dan belum diakui secara formal oleh hukum, mengingatkan pembeli untuk berhati-hati dalam mengelola klaim kepemilikan mereka.
  2. Diperlukan kejelasan mengenai mekanisme peralihan kepemilikan yang aman dan dapat dipertanggungjawabkan agar dapat menghindari potensi sengketa. Hal ini menunjukkan pentingnya pengaturan yang transparan dan jelas mengenai prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam proses transaksi, memastikan bahwa pergantian kepemilikan dilakukan secara tertib dan dapat dipertanggungjawabkan.
  3. Perlu kewaspadaan terhadap skema penipuan atau investasi bodong yang memanfaatkan tanah virtual sebagai komoditasnya. Mengingat tanah virtual cenderung menjadi target potensial bagi praktik-praktik penipuan, penting bagi para pelaku bisnis dan konsumen untuk meningkatkan kewaspadaan mereka terhadap skema penipuan yang mungkin terjadi di dalam metaverse.
  4. Pihak penyelenggara metaverse memiliki tanggung jawab untuk memberikan informasi secukupnya dan melindungi data pribadi pengguna. Dalam konteks ini, perlunya kebijakan privasi yang kuat dan transparan, serta kewajiban penyelenggara untuk memberikan informasi yang memadai kepada pengguna, membantu mengurangi risiko pelanggaran privasi dan penyalahgunaan data di dalam lingkungan metaverse.

Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa transaksi jual beli tanah di metaverse, pada dasarnya, telah memenuhi syarat sahnya perjanjian menurut hukum perdata Indonesia. Meskipun demikian, perlu diakui bahwa terdapat beberapa catatan dan risiko yang perlu tetap menjadi perhatian para pihak terlibat dalam transaksi tersebut. Risiko tersebut melibatkan aspek seperti kejelasan status kepemilikan tanah virtual dan potensi sengketa yang mungkin timbul. Oleh karena itu, untuk menciptakan lingkungan transaksi yang lebih aman dan terjamin, diperlukan pengaturan dan pengawasan yang lebih spesifik oleh regulator terkait. Langkah-langkah ini diperlukan untuk memberikan payung hukum yang lebih kuat, melindungi kepentingan para pihak, dan menjaga kestabilan serta keadilan dalam perdagangan tanah virtual di metaverse.

Simpulan

Pengaturan legalitas jual beli tanah virtual melalui metaverse di Indonesia saat ini masih belum jelas karena belum adanya peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mengatur mengenai transaksi tersebut. Meskipun demikian, secara umum transaksi jual beli tanah virtual metaverse dapat dikategorikan sebagai transaksi elektronik sehingga tunduk pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ke depannya diperlukan pembentukan regulasi khusus terkait jual beli tanah virtual metaverse untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Transaksi jual beli tanah virtual di metaverse secara umum telah memenuhi asas-asas sahnya perjanjian menurut hukum perdata Indonesia, seperti adanya kesepakatan, kecakapan, objek tertentu, dan sebab yang halal. Namun, perlu ada peningkatan perlindungan hukum agar lebih menjamin hak para pihak mengingat sifat unik dan maya dari objek transaksinya.

References

  1. Certainly! Here is the list of references formatted in the IEEE style:
  2. I. H. Herdayani, "Tinjauan Hukum Ekonomi Syari'ah Terhadap Jual Beli Tanah Virtual Pada Platform Metaverse," Bandung, UIN Sunan Gunung Djati, 2022.
  3. Z. Allam, A. Sharifi, S. E. Bibri, D. S. Jones, and J. Krogstie, "The Metaverse as a Virtual Form of Smart Cities: Opportunities and Challenges for Environmental, Economic, and Social Sustainability in Urban Futures," Smart Cities, vol. 5, no. 3, pp. 771-801, Jul. 2022, doi: 10.3390/smartcities5030040.
  4. A. R. H. A. Zahra, "Analisis Transaksi Jual Beli Objek Tanah Virtual Metaverse Perspektif Hukum Positif dan Fiqih Muamalah," Malang, UIN Maulana Malik Ibrahim, 2023.
  5. E. Noviawati, "Landasan Konstitusional Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan," J. Ilm. Galuh Justisi, vol. 6, no. 1, p. 53, May 2018, doi: 10.25157/jigj.v6i1.1246.
  6. M. F. Juddin, "Kedudukan Aset Tanah Metaverse Perspektif Kepemilikan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Konsep Kepemilikan Dalam Islam," Malang, UIN Maulana Malik Ibrahim, 2023.
  7. Y. K. Dwivedi et al., "Metaverse beyond the Hype: Multidisciplinary Perspectives on Emerging Challenges, Opportunities, and Agenda for Research, Practice and Policy," Int. J. Inf. Manage., vol. 66, p. 102542, Oct. 2022, doi: 10.1016/j.ijinfomgt.2022.102542.
  8. T. Dragono, W. S. Widiarty, and B. Nainggolan, "Perlindungan Aset Digital Dalam Dunia Metaverse Berdasarkan Hukum Nasional," J. Kewarganegaraan, vol. 7, no. 1, 2023, doi: https://doi.org/10.31316/jk.v7i1.4901.
  9. B. R. Nyimasmukti, M. S. Wijayanti, and D. Bella Juniarti, "Hak Kebendaan dan Keabsahan Perjanjian Kebendaan Virtual Land di dalam Metaverse Ditinjau Berdasarkan KUHPerdata," Maj. Huk. Nas., vol. 52, no. 2, pp. 1-22, 2022, [Online]. Available: https://mhn.bphn.go.id
  10. T. Syahfitri, "Tinjauan Yuridis Jual Beli Menurut Hukum Perdata," J. Huk. Das Soll., vol. 2, no. 2, pp. 1-13, 2018, [Online]. Available: https://www.ejournal.unisi.ac.id/index.php/das-sollen/article/view/971
  11. B. R. Nyimasmukti, M. S. Wijayanti, and D. B. Juniarti, "An Essential Elements in Virtual Land Buying Transactions as Digital Assets in Metaverse Based on Indonesian Positive Law," Ikat. Penulis Mhs. Huk. Indones. Law J., vol. 3, no. 1, pp. 40-59, Jan. 2023, doi: 10.15294/ipmhi.v3i1.57585.
  12. M. K. Umardani, "Jual Beli Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Islam (Al Qur'an Hadist) Secara Tidak Tunai," J. Islam. Law Stud., vol. 4, no. 1, 2020.
  13. T. Dragono, W. S. Widiarty, and B. Nainggolan, "Perlindungan Aset Digital Dalam Dunia Metaverse Berdasarkan Hukum Nasional," J. Kewarganegaraan, vol. 7, no. 1, 2023.
  14. R. Setiawan and M. O. Arista, "Efektivitas Undang-Undang Informasi dan Transaksi
  15. Elektronik di Indonesia Dalam Aspek Hukum Pidana," Recidive, vol. 2, no. 2, 2013, doi: https://doi.org/10.20961/recidive.v2i2.32324.
  16. D. Ambarwati, "Urgensi Pembaharuan Hukum di Era 'Metaverse' Dalam Perspektif Hukum Progresif," Dialekt. J. Ekon. dan Ilmu Sos., vol. 7, no. 2, pp. 151-167, Sep. 2022, doi: 10.36636/dialektika.v7i2.1306.
  17. W. W. Purnama, "Regulasi Mata Uang Kripto di Indonesia: Pandangan Regulator dan Implikasi Hukum bagi Ekonomi Masyarakat," J. Penelit. SERAMBI Huk., vol. 15, no. 02, pp. 96-101, Jul. 2022, doi: 10.59582/sh.v15i02.922.
  18. M. Goldberg and F. Schär, "Metaverse Governance: An Empirical Analysis of Voting within Decentralized Autonomous Organizations," J. Bus. Res., vol. 160, p. 113764, May 2023, doi: 10.1016/j.jbusres.2023.113764.
  19. S. N. Huswan, A. Borahima, and O. Deviani, "Status Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli Jika Salah Satu Pihak Meninggal Dunia," J. Petitum, vol. 10, no. 1, pp. 85-99, 2022.
  20. M. M. Asrul, and M. T. Multazam, "Virtual Land: Deciphering Blockchain-Based Property Transactions and Their Legal Implications." Jurnal Wawasan Yuridika 7.1 (2023): 86-105.
  21. S. Santoso, "Sistem Transaksi E-commerce Dalam Perspektif Kuh Perdata Dan Hukum Islam," IAIN Tulungagung Res. Collect., vol. 4, no. 2, pp. 217-246, 2016.
  22. M. Ruhtiani, Y. T. Naili, H. A. Wahyuni, and Purwono, "Perlindungan Aset Digital Pada Era Metaverse Dalam Perspektif Hukum Positif Di Indonesia," Literasi Huk., vol. 6, no. 2, pp. 28-39, 2022, [Online]. Available: https://jurnal.untidar.ac.id/index.php/literasihukum/article/view/6804
  23. R. B. Halim, "Rekonstruksi Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Membeli Produk Barang Melalui Shop Online Berbasis Nilai Keadilan," Semarang, Universitas Islam Sultan Agung, 2023.