This study investigates the legal protection afforded to consumers in the context of e-commerce, focusing on the liabilities of expedition services in cases of delayed or damaged goods. The primary objective is to explore the forms of legal protection provided to consumers for losses due to delays or damages in goods transported by expedition services, and to understand the legal responsibilities of these services in such scenarios. Utilizing a normative research method, the study examines relevant consumer protection laws and regulations governing shipment agreements. The findings reveal that consumers are entitled to various forms of legal protection, including the right to compensation in the form of refunds, replacement of goods, or payments based on the value of loss; entitlement to indemnities for healthcare costs or beneficiary allowances in cases of life-threatening harm; and the right to compensation from expedition services for material and immaterial losses beyond mere refunds. Additionally, the study underscores the government and consumer protection agencies' duty to educate and guide businesses, including expedition services. The legal responsibility of expedition services extends to compensating consumers for delayed shipments or lost goods, through either refunds or replacements. Moreover, the services are obligated to provide compensation or replacements for undelivered or damaged goods. Consumer claims for compensation can be resolved through direct negotiation with the expedition service, legal action, or alternative dispute resolution mechanisms like BPSK. The study concludes that while consumers are legally protected to obtain compensation from expedition services, the enforcement of these services' responsibilities needs to be strengthened for more optimal fulfillment of consumer rights.
Highlights:
Keywords: Consumer Protection, E-commerce, Legal Responsibilities, Expedition Services, Compensation Claims
Perdagangan elektronik atau e-commerce mengalami pertumbuhan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, dipercepat oleh kemajuan teknologi dan kemudahan akses internet. Fenomena ini menciptakan ketergantungan yang semakin besar dari konsumen terhadap pembelian barang secara online. Dalam konteks ini, perjanjian pengiriman barang melalui ekspedisi menjadi unsur krusial dalam transaksi e-commerce, memastikan bahwa barang dapat dikirimkan dengan aman dan tepat waktu kepada konsumen.
Dengan munculnya tren ini, perlindungan hukum konsumen dalam perjanjian tersebut menjadi semakin penting untuk menyeimbangkan kekuatan antara penjual dan konsumen serta memastikan kepastian hukum dalam perdagangan elektronik yang terus berkembang. Hal tersebut karena perlindungan tersebut wajib diberikan oleh negara sebagai Upaya perlindungan terhadap salah satu elemn dari roda perekonomian. Kewajiban negara dapat terlihat dalam paragraf ke-IV Preambule Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Preambule tersebut menekankan tanggung jawab negara untuk melindungi seluruh warga Indonesia dan seluruh keturunan Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, membina kehidupan intelektual bangsa, serta berkontribusi pada pemeliharaan ketertiban global yang didasarkan pada prinsip kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.[1]
Pengiriman barang melalui ekspedisi telah menjadi bagian integral dari kehidupan konsumen modern. Perdagangan elektronik dan kemajuan teknologi telah mengubah pola konsumsi masyarakat, dengan semakin banyaknya individu yang melakukan transaksi pembelian barang secara daring.[2] Namun, seiring dengan pertumbuhan sektor ekspedisi, muncul pula berbagai permasalahan terkait perlindungan hukum konsumen dalam perjanjian pengiriman barang. Konsumen seringkali menjadi pihak yang rentan dalam transaksi ini, menghadapi risiko kerugian atau ketidaksesuaian barang yang diakibatkan oleh kelalaian atau kekhilafan dari pihak ekspedisi.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan memberikan kontribusi signifikan terhadap mekanisme penyelesaian sengketa konsumen dalam konteks pengiriman barang melalui ekspedisi. PP ini mengakomodasi mekanisme alternatif penyelesaian sengketa, khususnya melalui mediator atau arbitrase. Dengan adanya ketentuan ini, konsumen yang mengalami masalah terkait pengiriman barang dapat memanfaatkan jalur penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan efisien melalui mediasi atau arbitrase, tanpa harus melibatkan proses hukum yang panjang. Hal ini dapat meningkatkan kepastian hukum dan memberikan solusi yang lebih efektif bagi konsumen yang merasa dirugikan dalam perjanjian pengiriman barang melalui ekspedisi.
Lebih lanjut, terdapat pula regulasi yang mengatur khusus mengenai pengiriman barang, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perusahaan Angkutan Barang dan Jasa Ekspedisi. Dalam peraturan ini, diatur mengenai tata cara pengiriman barang, hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat, serta tanggung jawab ekspedisi terhadap kerugian atau kerusakan barang selama proses pengiriman. Meskipun regulasi ini sudah ada, perlu diidentifikasi sejauh mana efektivitas implementasinya dalam melindungi hak konsumen dalam perjanjian pengiriman barang melalui ekspedisi.
Dalam praktiknya, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi oleh konsumen dalam perjanjian pengiriman barang melalui ekspedisi. Salah satunya adalah keterbatasan informasi yang diberikan kepada konsumen tentang hak-hak mereka. Beberapa pihak ekspedisi mungkin kurang transparan dalam menyampaikan informasi terkait prosedur klaim, tanggung jawab atas barang rusak atau hilang, serta hak konsumen dalam situasi tertentu.[3] Oleh karena itu, perlindungan hukum konsumen tidak hanya sebatas pada regulasi yang ada tetapi juga melibatkan aspek edukasi dan kesadaran konsumen tentang hak-hak mereka.
Selain itu, penggunaan teknologi dalam pelaksanaan perjanjian pengiriman barang perlu menjadi perhatian khusus. Kemajuan teknologi memberikan peluang untuk peningkatan efisiensi dalam proses pengiriman, namun juga membuka celah baru terhadap potensi pelanggaran hak konsumen.[4] Misalnya, penggunaan sistem otomatis untuk pelacakan dan pengiriman barang dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara informasi yang diberikan kepada konsumen dan keadaan aktual barang. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang memadai untuk mengatasi isu-isu ini dan menjaga keseimbangan antara inovasi teknologi dan perlindungan konsumen. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini yakni sebagai berikut:
Dengan demikian, penelitian ini akan memberikan kontribusi signifikan dalam mengidentifikasi dan menganalisis kendala-kendala konkret yang dihadapi konsumen dalam perjanjian pengiriman barang melalui ekspedisi, serta merumuskan rekomendasi untuk perbaikan regulasi dan praktik-praktik terkait. Dengan demikian, diharapkan perlindungan hukum konsumen dapat diperkuat dan diimplementasikan secara efektif dalam konteks pengiriman barang, menciptakan lingkungan bisnis yang lebih adil dan aman bagi konsumen di era perdagangan elektronik.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif mengacu pada norma hukum positif, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5] Penelitian kepustakaan hukum normatif menggunakan bahan pustaka atau data sekunder sebagai dasar penelitian. Dalam penelitian ini, pendekatan perundang-undangan digunakan. Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah hukum yang diteliti diperiksa, yaitu perlindungan konsumen dalam perjanjian pengiriman barang melalui ekspedisi. Peraturan perundang-undangan yang dianalisis antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan peraturan terkait lainnya.
Sumber bahan hukum penelitian ini terdiri dari peraturan perundang-undangan yang relevan; publikasi hukum, seperti buku, jurnal, dan komentar atas keputusan pengadilan; dan kamus dan ensiklopedia hukum. Sebagai metode pengumpulan data, berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan yang relevan diperiksa.[6] Selain itu, juga dilakukan studi dokumen terhadap dokumen-dokumen hukum, artikel, jurnal, dan putusan pengadilan. Kemudian, teknik analisis data menggunakan metode interpretasi gramatikal untuk menginterpretasikan makna kata, frase, atau kalimat dalam peraturan perundang-undangan; interpretasi sistematis untuk menghubungkan pasal satu dengan pasal lainnya; interpretasi teleologis untuk mengetahui tujuan atau kegunaan peraturan; dan interpretasi historis untuk menelusuri latar belakang pembuatan peraturan. Analisis dilakukan secara kualitatif untuk mendapatkan kesimpulan atas isu hukum yang dibahas.
Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan ganti kerugian dari pihak perusahaan jasa pengiriman barang jika terjadi keterlambatan atau kerusakan barang. Selain itu, konsumen juga dapat menyelesaikan sengketanya melalui pengadilan atau di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut. Ketika pengiriman tertunda, pelanggan juga memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang tepat dan akurat tentang barang yang dikirim. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik mengatur perlindungan konsumen terkait ekspedisi. PP tersebut menyatakan bahwa penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan kompensasi kepada konsumen atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat dari transaksi elektronik, termasuk kerugian yang dialami oleh konsumen saat ekspedisi mengirimkan barang.
Bentuk perlindungan hukum dan penggantian kerugian yang dapat diberikan kepada konsumen antara lain:
Hak perlindungan hukum bagi konsumen terhadap kerugian yang disebabkan oleh keterlambatan atau kerusakan barang dalam pengiriman melalui jasa ekspedisi mencakup kemampuan konsumen untuk memperoleh ganti rugi dari pihak usaha terkait, yakni ekspedisi. Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian dana, penggantian barang dengan yang serupa, atau pembayaran sejumlah nilai kerugian yang dialami oleh konsumen. Prinsip ini selaras dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang mengatur hak dan tanggung jawab konsumen, termasuk dalam konteks pengiriman barang. Proses penyelesaian sengketa dapat dilakukan oleh konsumen melalui jalur pengadilan atau mekanisme di luar pengadilan, sejalan dengan peraturan yang dijelaskan dalam undang-undang tersebut.[7]
Pada praktiknya, perusahaan yang menyediakan layanan pengiriman barang memiliki kemampuan untuk mengganti kerugian yang dialami oleh konsumen ketika barang hilang atau rusak, sejalan dengan nilai barang tersebut. Tetapi, ketika terjadi keterlambatan pengiriman, konsumen memiliki hak untuk menuntut ganti rugi dari perusahaan berdasarkan Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata karena perusahaan dianggap telah melakukan wanprestasi. Selain itu, konsumen juga dapat menjaga hak-hak mereka dengan mematuhi ketentuan yang terdapat dalam perjanjian pengiriman barang melalui jasa ekspedisi, seperti memastikan bahwa barang dikirim dengan asuransi dan memeriksa kondisi barang pada saat diterima.[3] Jika terjadi masalah dalam pengiriman barang, konsumen dapat mengajukan keluhan ke pihak perusahaan dan meminta penyelesaian sengketa secara damai sebelum masuk ke tahapan penyelesaian sengketa menggunakan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, konsumen memiliki hak untuk mendapatkan ganti kerugian dari pihak perusahaan jasa pengiriman barang jika barang yang mereka pesan tertunda atau rusak. Selain itu, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang, konsumen juga dapat menyelesaikan sengketanya melalui pengadilan atau di luar pengadilan.[7] Dalam hal terjadi keterlambatan pengiriman, konsumen juga memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang jelas dan benar mengenai barang yang dikirim. Dalam praktiknya, perusahaan jasa pengiriman barang dapat memberikan ganti rugi kepada konsumen jika barang hilang atau rusak sesuai dengan nilainya. Namun, pasal 1243 dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa konsumen dapat menuntut ganti rugi dari perusahaan jika pengiriman tertunda. Selain itu, pembeli dapat melindungi diri mereka sendiri dengan memperhatikan perjanjian pengiriman barang melalui ekspedisi, seperti memastikan bahwa barang dilindungi asuransi dan memeriksa kondisi barang saat diterima.
Dalam hal akibat keterlambatan pengiriman atau kerusakan barang menimbulkan kerugian yang membahayakan jiwa dan raga konsumen, konsumen juga berhak mendapatkan santunan baik berupa biaya perawatan kesehatan maupun pemberian tunjangan kepada ahli warisnya yang besarannya disesuaikan dengan tingkat kerugian. Oleh karena itu, penting bagi pelanggan untuk memahami hak-haknya dalam perjanjian pengiriman barang melalui ekspedisi dan memastikan bahwa barang yang dikirim dilindungi. Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari perusahaan dan dapat menuntut ganti rugi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang perlindungan konsumen.[8]
Perlindungan hukum terhadap konsumen yang mengalami kerugian akibat keterlambatan atau kerusakan barang yang dikirim melalui jasa ekspedisi mencakup berbagai aspek, termasuk kompensasi. Selain ganti rugi, konsumen juga berhak mendapat kompensasi dari ekspedisi sebagai bentuk tanggung jawab ekspedisi atas kerugian materi dan immateri yang dialami konsumen. Kompensasi ini merupakan pemberian ganti kerugian yang bersifat khusus di luar ganti rugi. Dalam praktiknya, perusahaan jasa pengiriman barang dapat memberikan kompensasi kepada konsumen sebagai bentuk pengakuan atas kesalahan yang terjadi, meskipun tidak diatur secara khusus dalam undang-undang. Kompensasi ini dapat berupa diskon atau potongan harga untuk pengiriman selanjutnya, pelayanan khusus, atau bentuk kompensasi lain yang disepakati antara konsumen dan perusahaan jasa pengiriman barang.[9]
Selain kompensasi, konsumen juga dapat melindungi hak-haknya dengan memperhatikan ketentuan dalam perjanjian pengiriman barang melalui ekspedisi, seperti memastikan barang dikirim dengan asuransi dan memeriksa kondisi barang saat diterima. Jika terjadi masalah dalam pengiriman barang, konsumen dapat mengajukan keluhan ke pihak perusahaan dan meminta penyelesaian sengketa secara damai sebelum masuk ke tahapan penyelesaian sengketa menggunakan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.[7] Dengan demikian, konsumen dapat memastikan bahwa hak-hak mereka terlindungi dan mendapatkan kompensasi yang layak atas kerugian yang mereka alami akibat keterlambatan atau kerusakan barang yang dikirim melalui jasa ekspedisi.
Pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen harus melakukan upaya pembinaan dan pendidikan untuk meningkatkan kesadaran dan layanan yang diberikan oleh pelaku usaha perdagangan daring, termasuk ekspedisi, untuk mengurangi risiko kerugian bagi konsumen. Salah satu tujuan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah untuk menciptakan lingkungan usaha yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen, serta untuk meningkatkan sumber daya manusia dan kegiatan penelitian dan pengembangan. Pelaku usaha, sarana dan prasarana produksi, dan lingkungan bisnis secara keseluruhan juga termasuk dalam pembinaan dan pengawasan perlindungan konsumen.[10] Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa pelaku usaha perdagangan daring, termasuk ekspedisi, memahami dan mematuhi ketentuan perlindungan konsumen yang berlaku. Selain itu, pendidikan konsumen juga penting untuk meningkatkan kesadaran konsumen akan hak-haknya dan cara-cara melindungi diri dari risiko kerugian akibat keterlambatan atau kerusakan barang yang dikirim melalui jasa ekspedisi.
Pendidikan konsumen juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kesadaran konsumen akan hak-haknya dan cara-cara melindungi diri dari risiko kerugian akibat keterlambatan atau kerusakan barang yang dikirim melalui jasa ekspedisi. Salah satu hak konsumen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan. Tujuan pembinaan konsumen adalah untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kesadaran konsumen tentang cara mereka memilih, menggunakan, dan melindungi hak-haknya sebagai konsumen.[11] Dengan pengetahuan yang memadai, konsumen diharapkan mampu melakukan tindakan preventif untuk mengurangi risiko kerugian akibat keterlambatan atau kerusakan barang yang dikirim melalui jasa ekspedisi, serta mampu mengambil langkah-langkah yang tepat jika terjadi masalah dalam pengiriman barang. Oleh karena itu, pembinaan dan pendidikan konsumen merupakan upaya yang sangat penting dalam meningkatkan perlindungan konsumen, baik dari sisi pelaku usaha maupun konsumen itu sendiri.
Prosedur pengajuan klaim ganti rugi dan kompensasi bagi konsumen korban wanprestasi pengiriman oleh ekspedisi dibedakan menjadi 2, yaitu:
Jika konsumen menjadi korban wanprestasi pengiriman oleh ekspedisi, mereka memiliki dua cara untuk mengajukan klaim ganti rugi. Pertama, mereka dapat mengajukan klaim langsung kepada ekspedisi sesuai dengan prosedur internal perusahaan. Namun, jika tuntutan tidak diselesaikan, konsumen dapat menempuh jalur hukum melalui pengadilan atau lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan.[12] Jika terjadi masalah dalam pengiriman barang, konsumen dapat mengajukan keluhan ke pihak perusahaan dan meminta penyelesaian sengketa secara damai sebelum masuk ke tahapan penyelesaian sengketa menggunakan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari perusahaan jika barang yang dikirim melalui jasa ekspedisi rusak atau tertunda. Mereka dapat menuntut ganti rugi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang perlindungan konsumen. Oleh karena itu, penting bagi konsumen untuk memahami prosedur pengajuan klaim ganti rugi dan kompensasi agar hak-hak mereka sebagai konsumen terlindungi dengan baik. Selain itu, pembinaan dan pendidikan konsumen juga penting untuk meningkatkan kesadaran konsumen akan hak-haknya dan cara-cara melindungi diri dari risiko kerugian akibat keterlambatan atau kerusakan barang yang dikirim melalui jasa ekspedisi.[13] Dengan pengetahuan yang memadai, konsumen diharapkan mampu melakukan tindakan preventif untuk mengurangi risiko kerugian akibat keterlambatan atau kerusakan barang yang dikirim melalui jasa ekspedisi, serta mampu mengambil langkah-langkah yang tepat jika terjadi masalah dalam pengiriman barang.
Pengajuan klaim ganti rugi dan kompensasi bagi konsumen korban wanprestasi pengiriman oleh ekspedisi dapat dilakukan melalui jalur class action oleh lembaga perlindungan konsumen. Apabila kerugian bersifat massal dan merugikan banyak konsumen, pengajuan klaim juga dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen seperti YLKI secara class action atau gugatan perwakilan kelompok. Dalam hal ini, lembaga perlindungan konsumen dapat mengajukan gugatan perwakilan kelompok atas nama sejumlah konsumen yang mengalami kerugian akibat wanprestasi pengiriman oleh ekspedisi.[14] Dengan demikian, lembaga perlindungan konsumen dapat bertindak sebagai perwakilan bagi sejumlah konsumen yang mengalami kerugian dan mengajukan gugatan secara kolektif atas nama konsumen yang terkena dampak.
Selain itu, lembaga perlindungan konsumen juga dapat melakukan mediasi antara konsumen dan pihak ekspedisi untuk mencari solusi penyelesaian sengketa secara damai. Dalam hal terjadi sengketa antara konsumen dan pihak ekspedisi, lembaga perlindungan konsumen dapat memfasilitasi pertemuan antara kedua belah pihak untuk mencari solusi penyelesaian sengketa yang adil dan menguntungkan bagi kedua belah pihak.[15] Dengan demikian, lembaga perlindungan konsumen dapat memainkan peran yang penting dalam melindungi hak-hak konsumen dan mencari solusi penyelesaian sengketa yang adil dan menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsumen memiliki hak-hak tertentu yang meliputi pemulihan ganti rugi, santunan, kompensasi, serta pendidikan dan pembinaan yang dapat diperoleh dari pelaku usaha maupun pemerintah. Terdapat dua jalur yang dapat diambil oleh konsumen dalam mengajukan tuntutan ganti rugi, yaitu melalui penyelesaian langsung dengan perusahaan atau dengan mengajukan gugatan class action melalui lembaga perlindungan konsumen. Peraturan yang mengatur perlindungan konsumen jasa ekspedisi pada dasarnya telah memberikan dasar hukum yang memadai bagi konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian akibat kelalaian dalam pengiriman barang.
Dalam konteks umum, ekspedisi bertanggung jawab secara hukum terhadap potensi kerugian yang mungkin dialami konsumen akibat keterlambatan atau kehilangan barang selama proses pengiriman. Tanggung jawab ini sering diatur oleh peraturan perlindungan konsumen yang berlaku dan ditetapkan dalam perjanjian kontrak antara konsumen dan penyedia layanan ekspedisi. Sebagai bagian dari kewajiban mereka, ekspedisi diharapkan untuk menyediakan layanan pengiriman sesuai dengan standar yang dijanjikan kepada konsumen, serta menjaga keamanan dan integritas barang yang dikirim agar mencapai tujuan pengirimannya dengan selamat. Beberapa peraturan undang-undang mengatur tanggung jawab ekspedisi terhadap pelanggan. Sebagai perusahaan yang menyediakan jasa pengiriman barang, ekspedisi diwajibkan untuk memberikan ganti rugi kepada pelanggan apabila barang tertunda atau hilang selama pengiriman. [16]
Pasal 19 ayat (1) dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan kewajiban bagi pelaku usaha untuk mengganti kerugian, pencemaran, dan/atau kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari mengonsumsi barang dan/atau jasa. Bentuk kompensasi yang dapat diberikan oleh pelaku usaha mencakup pengembalian uang atau penggantian barang dengan nilai yang setara. Kewajiban pemberian ganti rugi ini juga diatur dalam Syarat Standar Pengiriman (SSP) yang telah disepakati oleh kedua belah pihak terkait kompensasi. Jaminan yang diberikan kepada konsumen pengguna jasa pengiriman barang, sesuai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, juga mencakup tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen pengguna jasa pengiriman barang. Selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kewajiban penggantian kerugian juga terdapat dalam Syarat Standar Pengiriman (SSP) yang telah disetujui oleh kedua belah pihak terkait penggantian rugi. Bentuk ganti rugi yang dapat diberikan oleh pelaku usaha meliputi pengembalian uang atau penggantian barang dengan nilai yang setara.[17]
Selain tugas untuk memberikan penggantian, ekspedisi juga harus memberikan kompensasi dan/atau penggantian jika barang tidak tiba atau tiba dalam kondisi rusak. Ini sesuai dengan Pasal 23 angka 3 Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Sebagai contoh, PT. Pos Indonesia Cabang Solo telah memberikan ganti rugi jika barang kiriman hilang atau rusak, dengan besaran ganti rugi yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Prinsip tanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang selama pengiriman, yang diterapkan oleh PT. Pos Indonesia Cabang Solo, menyatakan bahwa pengirim tidak perlu membuktikan kesalahan perusahaan pengangkutan; cukup memberi tahu bahwa kerugian terjadi saat barang diterima. Selain itu, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2023 juga mengatur kewajiban bagi pengusaha penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik untuk memberikan jaminan atas kehilangan atau kerusakan barang selama proses pengiriman.[18]
Dengan adanya ketentuan tersebut, konsumen pengguna jasa pengiriman barang dapat memperoleh perlindungan atas kehilangan dan/atau kerusakan barang yang terjadi selama proses pengiriman. Hal ini merupakan bentuk jaminan dan perlindungan bagi konsumen pengguna jasa pengiriman barang agar dapat meminimalkan risiko kerugian akibat kehilangan dan/atau kerusakan barang yang dikirim melalui jasa ekspedisi.[19] Oleh karena itu, penting bagi konsumen untuk memahami hak-haknya dan ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban ekspedisi dalam memberikan jaminan dan perlindungan atas kehilangan dan/atau kerusakan barang yang terjadi selama proses pengiriman. Dengan demikian, konsumen dapat memastikan bahwa barang yang dikirim terlindungi dengan baik dan meminimalkan risiko kerugian akibat kehilangan dan/atau kerusakan barang.
Prosedur penyelesaian sengketa tuntutan ganti rugi konsumen terhadap ekspedisi dapat dilakukan melalui 2 mekanisme, yaitu:
Penyelesaian sengketa secara damai dengan cara negosiasi langsung dengan pihak ekspedisi merupakan langkah yang harus diambil oleh konsumen untuk mengatasi kerugian akibat wanprestasi pengiriman barang melalui ekspedisi. Apabila negosiasi tidak berhasil mencapai kesepakatan, konsumen dapat menempuh jalur hukum, baik melalui litigasi di pengadilan umum maupun non-litigasi melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Lembaga perlindungan konsumen sebenarnya dapat membantu konsumen dan pihak ekspedisi bertemu untuk mencapai penyelesaian sengketa yang adil dan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Konsumen juga harus memahami Pasal 23 angka 3 Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, yang mengatur bahwa pengusaha penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik harus memberikan jaminan atas kehilangan atau kerusakan barang yang terjadi selama proses pengiriman.[20]
Dengan demikian, konsumen pengguna jasa pengiriman barang dapat memperoleh perlindungan atas kehilangan dan/atau kerusakan barang yang terjadi selama proses pengiriman. Hal ini merupakan bentuk jaminan dan perlindungan bagi konsumen pengguna jasa pengiriman barang agar dapat meminimalkan risiko kerugian akibat kehilangan dan/atau kerusakan barang yang dikirim melalui jasa ekspedisi. Oleh karena itu, penting bagi konsumen untuk memahami hak-haknya dan ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban ekspedisi dalam memberikan jaminan dan perlindungan atas kehilangan dan/atau kerusakan barang yang terjadi selama proses pengiriman. Dengan demikian, konsumen dapat memastikan bahwa barang yang dikirim terlindungi dengan baik dan meminimalkan risiko kerugian akibat kehilangan dan/atau kerusakan barang.
Perlindungan konsumen diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen dalam melindungi diri dan menimbulkan rasa tanggung jawab pelaku usaha. Dalam hal terjadi kerugian akibat wanprestasi pengiriman barang melalui ekspedisi, konsumen dapat menempuh jalur penyelesaian sengketa secara damai dengan cara negosiasi langsung dengan pihak ekspedisi. Apabila negosiasi tidak berhasil mencapai kesepakatan, konsumen dapat menempuh jalur hukum, baik melalui litigasi di pengadilan umum maupun non-litigasi melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Selain itu, bila kerugian bersifat massal dan sistemik, gugatan dapat diajukan lembaga seperti YLKI secara perwakilan kelompok untuk mewakili kepentingan masyarakat konsumen.[21] Dalam praktiknya, lembaga perlindungan konsumen dapat memfasilitasi pertemuan antara konsumen dan pihak ekspedisi untuk mencari solusi penyelesaian sengketa yang adil dan menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Dalam hal terjadi kerugian akibat wanprestasi pengiriman barang melalui ekspedisi, konsumen memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari pihak perusahaan dan dapat menuntut ganti rugi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang perlindungan konsumen.[13] Oleh karena itu, penting bagi konsumen untuk memahami hak-haknya dan ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban ekspedisi dalam memberikan jaminan dan perlindungan atas kehilangan dan/atau kerusakan barang yang terjadi selama proses pengiriman. Dengan demikian, konsumen dapat memastikan bahwa barang yang dikirim terlindungi dengan baik dan meminimalkan risiko kerugian akibat kehilangan dan/atau kerusakan barang. Selain itu, lembaga perlindungan konsumen juga dapat memainkan peran yang penting dalam melindungi hak-hak konsumen dan mencari solusi penyelesaian sengketa yang adil dan menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Apabila terbukti melakukan wanprestasi yang merugikan konsumen, ekspedisi dapat dikenai sanksi administratif berupa penarikan izin usaha sesuai Pasal 60 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu, berdasarkan putusan BPSK maupun pengadilan, ekspedisi juga wajib membayar ganti rugi materil dan immateril kepada konsumen. Bentuk ganti rugi yang dapat diberikan oleh pelaku usaha dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dengan nilai yang sepadan.
Dengan demikian, tanggung jawab ekspedisi terhadap konsumen cukup jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan. Konsumen memiliki hak memperoleh ganti rugi dan kompensasi atas wanprestasi yang dilakukan ekspedisi berupa keterlambatan maupun kehilangan barang selama dalam pengiriman. Tuntutan klaim dapat diselesaikan baik secara damai, litigasi, maupun non-litigasi melalui BPSK. Kesimpulannya, konsumen cukup terlindungi hak-hak hukumnya untuk memperoleh ganti kerugian dari ekspedisi yang lalai dalam memberikan layanan pengiriman barang. Penegakan tanggung jawab ekspedisi perlu terus ditingkatkan agar hak konsumen lebih optimal terpenuhi.
Studi ini menyoroti perlindungan hukum yang beragam yang tersedia bagi konsumen dalam kasus keterlambatan atau kerusakan yang terjadi selama pengiriman barang melalui jasa ekspedisi. Perlindungan ini mencakup hak untuk mendapatkan kompensasi uang, penggantian barang, atau pembayaran berdasarkan tingkat kerugian; hak untuk mendapatkan ganti rugi seperti biaya perawatan kesehatan atau tunjangan ahli waris dalam kasus-kasus di mana nyawa dan kesejahteraan konsumen terancam; dan kompensasi tambahan untuk kerugian materiil dan immateriil. Selain itu, studi ini menekankan kewajiban jasa ekspedisi di bawah berbagai peraturan hukum untuk memberikan kompensasi tersebut, termasuk pengembalian uang atau penggantian untuk pengiriman yang tertunda atau hilang. Klaim konsumen dapat diatasi melalui negosiasi langsung dengan jasa ekspedisi, tindakan hukum, atau penyelesaian di luar pengadilan seperti BPSK, sehingga memastikan perlindungan hukum yang substansial bagi konsumen untuk mendapatkan ganti rugi yang semestinya dari jasa ekspedisi. Namun demikian, penegakan tanggung jawab hukum tersebut perlu diperkuat untuk memastikan pemenuhan hak-hak konsumen yang lebih optimal. Penelitian di masa depan harus berfokus pada efektivitas mekanisme hukum ini dalam praktiknya dan mengeksplorasi cara-cara untuk meningkatkan penegakan kewajiban jasa ekspedisi, dengan demikian dapat lebih melindungi kepentingan konsumen dalam ranah e-commerce yang semakin marak.