Abstract

Night working rules are legal provisions that give rights to female workers who work from 23:00 p.m.to 07:00 a.m.provided by employers. Night working rules for women have certain characteristics of potential hazards which are different from other profession. This study aims to determine the effectiveness of night working rules for female workers in Samarinda City. The specific target to be achieved in this study is to identify company that employs female workers from 23:00 p.m. to 07:00 a.m. and to review the role of labor inspectors in enforcing night working rules for female workers in Samarinda City. The method of this study is empirical legal research method which is analyzed qualitatively. The results of the study will be described analytically. The results of this study found that there were many violations of the night working rules, besides that female workers did not know what rights they should have gotten from their employers. The role of labor inspectors is still ineffective, even in some places there were some companies which night working rules had not been supervised by labor inspector. The implications of this research will be submitted to the Department of Manpower and Transmigration of East Kalimantan Province as a contribution of research information on the effectiveness of night working rules for female workers in Samarinda City.

Pendahuluan

Pekerjaan umumnya dilakukan pagi sampai dengan sore hari, tetapi ada pula pekerjaan yang dikerjakan malam hari berdasarkan sifat pekerjaannya. Bekerja pada malam hari memiliki risiko yang tak dapat dihindarkan ,pada kondisi tersebut manusia seharusnya beristirahat namun, tuntutan profesi membuat beberapa diantaranya harus bekerja pada malam hari merubah pola hidup, waktu istirahat, hubungan sosial dan meningkatkan faktor keamanan untuk melaksanakan pekerjaan. Diantara pekerja tersebut adalah perempuan,demi alasan kesehatan dan keselamatan kerja maka dalam Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur syarat khusus bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan di malam hari untuk memberikan fasilitas tambahan sebagai bentuk upaya perlindunganhukum.

Pasal 76 Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur terkait hak-hak normatif kerja malam hari bagi pekerja perempuan yang bekerja antara pukul 23.00 WITA sampai dengan pukul 07.00 WITA. Hak normatif tersebut adalah pengusaha wajib memberikan makan dan minum sebesar 1.400 kalori disajikan secara higenis memenuhi syarat sanitasi, memberikan penerangan yang layak di tempat kerja, memisahkan toilet pria dan perempuan dan pengusaha menyediakan fasilitas antar jemput.

Kenyataannya dalam praktek pemberian hak-hak norma kerja malam hari pada perempuan tidaklah mudah oleh karena itu, penting sekali mengkaji bagaimana implementasi norma kerja malam hari tersebut dalam sebuah penelitian empiris.

Penelitian sebelumnya berfokus pada penerapan pemenuhan hak–hak pekerja perempuan yang bekerja pada malam hari yang diberikan oleh perusahaan Boshe VVIP Club yang lokasinya berada di Kabupaten Sleman serta upaya hukum yang dilakukan pekerja perempuan untuk mengatasi kendala–kendala yang dihadapi dalam mewujudan perlindungan hukum. Hasil penelitiannya adalah perlindungan hukum masih belum optimal karena kurang pahamnya terhadap hak dan penyelesaian hukum. Penelitian ini masih belum membahas mengenai kedudukan pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Sleman sebagai penegak hukum ketenagakerjaan. 1

Penelitian lainnya membahas tentang penerapan pemenuhan hak–hak bagi pekerja perempuan yang bekerja pada malam hari dikaitkan dengan kewajiban pengusaha berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep 224/MEN/2003 tentang kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Perempuan antara Pukul 23.00 sampai 07.00. Fokus penelitian ini adalah mengenai pemenuhan hak-hak pekerja perempuan dan lokasi penelitiannya di Kabupaten Sleman. Hasil Penelitiannya adalah makanan dan minuman bergizi tidak diberikan oleh pengusaha, tidak ada fasilitas antar jemput, dan Peraturan Perusahaan Liquid Cafe Next Generation belum disahkan oleh kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten Sleman. Di dalam peneltian ini belum menganalisis mengenai segi peran pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Sleman.2

Penelitian selanjutnya ditulis oleh Rio Arif Pratama pada tahun 2016. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Yusuf Erwin S.Situmorang tahun 2009 dan Elza Qorina Pangestika tahun 2014 dengan pendekatan dan rumusan masalah yang berbeda. Penelitian ini berfokus pada konsep alasan pekerja perempuan tidak ingin memperjuangkan hak-haknya yang telah dilanggar oleh pengusaha dan peran serta upaya yang dilakukan pemerintah dalam hal ini pegawai pengawas ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Sleman sebagai penegak hukum di bidang ketenagkerjaan yang memiliki kewajiban agar hukum ketenagakerjaan dilaksanakan sesuai dengan wilayah yuridiksinya. Hasil penelitian menunjukkan pekerja perempuan tidak mempertahankan hak-haknya karena takut jika memperjuangkannya akan di PHK karena sebagai besar mereka pekerja kategori minim skill dan pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Sleman bukanlah pengawasan yang serius karena pengawasan dilakukan dalam waktu yang singkat dan tidak secara menyeluruh karena minimnya jumlah pengawas yang tersedia. 3

Berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya, posisi penelitian ini adalah mengetahui implementasi norma kerja malam hari bagi perempuan yang bekerja pada malam hari di Kota Samarinda dengan menyisir dan mengklasifikasikan beberapa industri atau perusahaan yang mempekerjakan perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 dan kajian terhadap struktur hukum yakni peran pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan pengawasan, pembinaan dan penindakan terhadap pelanggaran. Penelitian ini juga ingin mengkaji mengenai subtansi hukum mengenai Pasal 3 ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor kep. 223/MEN/2003 Tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/buruh Perempuan antara Pukul 23.00 sampai dengan 07.00 yang mengatur pemberian makanan sebesar 1.400 kalori. Penelitian ini urgensi dilakukan karena penelitian mengenai perlindungan perempuan yang bekerja malam hari sejauh penelusuran saat ini masih sangat minim di Provinsi Kalimantan Timur khususnya di Samarinda.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang berdasarkan mahzab sociological jurisprudence. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

  1. Undang–Undang Dasar Republik Indonesia 1945;
  2. Kitab Undang–Undang HukumPerdata;
  3. Undang–Undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawas Perburuhan;
  4. Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1951 tentang Penyataan Berlakunya Undang–Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia.
  5. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
  6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang PemerintahDaerah;
  7. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan;
  8. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Kep. 224/Men/2003 tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara Pukul 23.00 sampai dengan 07.00.

Penelitian ini menggunakan teknik non random sampling/purposive sampling, kriteria perusahaannya ialah yang sudah berlangsung lama atau market leader atau banyak menjadi pilihan masyarakat di industrinya dan terdapat pekerja perempuan yang bekerja malam hari pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00, selain itu instansi yang tugas dan fungsinya khusus menangani ketenagakerjaan dan terdapat pegawai pengawas ketenagakerjaan.

Data primer penelitian ini didapat dari 14 (empat belas) pekerja perempuan yang bekerja pada malam hari pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 WIT. Tersebar di perusahaan bioskop cabang X, Y, dan Z, rumah sakit, karaoke, dan restoran.

Hasil dan Pembahasan

Norma Kerja Malam Hari

Bagi perempuan yang bekerja pada malam hari terdapat hak-hak khusus yang dapat menunjang pekerjaannya. Perempuan yang dimaksud dalam peneltian ini adalah setiap perempuan yang memiliki hubungan kerja dengan pemberi kerja yang berusia minimal 18 tahun bekerja pada antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Perlindungan hukum bagi perempuan yang bekerja malam hari meliputi:

  1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan Pasal 76 ayat (1), (2), (3), dan (4)
  2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep. 223/MEN/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/buruh Perempuan antara Pukul 23.00 sampai dengan 07.00 Pasal 2 ayat (1), (2), Pasal 3 ayat (2). Pasal 4 ayat (1), (2). Pasal 5 huruf a dan b. Pasal 6 ayat (1). Pasal 6 ayat (2). Pasal 7 ayat (1), dan (2).

Pemerintah dalam pelaksanaan hubungan industrial memiliki fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, pembinaan dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran.4 Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,5 lihat juga Pasal 1 ayat 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

Pemerintah sebagai penyeimbang kedudukan antara pekerja/buruh dengan pengusaha sudah seharusnya memberikan perlindungan hukum bagi para pihak khususnya bagi pekerja/buruh salah satunya dalam bentuk peraturan peraturan perundang–undangan dan kebijakan publik. Pelaksanaan terhadap peraturaan perundang–undangan dan kebijakan publik tersebut dilaksanakan oleh instansi yang mengurus ketenagakerjaan, dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja dan Trasmigrasi di tingkat pusat dan Dinas Tenaga Kerja di tingkat Provinsi, Kabupaten atau Kota. 6 7

Penegakan hukum diartikan sebagai suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Sunarso berpendapat penegakan hukum sebagai bagian dari sistem hukum (legalsystem) tidak dapat dipisahkan pada tiga pilar yaitu substansi hukum (legal substance) yang berkaitan dengan seperangkat hukum (set of rules) yang tertulis atau tidak tertulis. Yang kedua yaitu struktur hukum (legalstructure) yaitu berkaitan dengan penegakan hukum bagaimana penegakan substansi hukum, Friedman mengatakan bahwa penegakan hukum sangat bergantung pada sumberdaya yang ada padanya.8

Kualitas dan kuantitas penegak hukum akan memiki pengaruh secara langsung pada penegakan hukum. Ketiga, adalah budaya hukum (legal culture) tentang kesadaran hukum dan cara berfikir penegak hukum dalam menjalankan hukum dan masyarakat masih cenderung pragmatis sehingga mengabaikan aspek keadilan dan kemanfaatan hukum.9

Pengawasan Ketenagakerjaan

Pengawasan ketenagakerjaan merupakan poin penting dalam penegakan hukum ketenagakerjaan. Pengawasan bertujuan untuk memastikan dilaksanakan norma ketenagakerjaan di perusahaan atau tempat kerja, sehingga perlu mekanisme mengenai tata cara pengawasan ketenagakerjaan yang efektif dan efesien. Pasal 22 Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan mengamanatkan pembentukan tata cara pengawasan ketenagakerjaan secaranasional yang bertujuan menguatkan sistem pengawasan.

Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan yang selanjutnya akan disebut Permenaker Nomor 33 Tahun 2016 menerangkan “pengawasan ketenagakerjaan berfungsi:

  1. Menjamin penegakan hukumketenagakerjaan;
  2. Memberikan penerangan dan penasihatan teknis kepada pengusaha dan pekerja/buruh mengenai hal-hal yang dapat menjamin efektifitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;dan
  3. Mengumpulkan bahan keterangan mengenai hubungan kerja dan keadaan ketenagakejaan dalam arti yangf seluas-luasnya sebagai bahan penyusunan atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan."

Identifikasi Perusahaan yang Mempekerjakan Perempuan pada Malam Hari di Samarinda

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan beberapa perusahaan yang mempekerjakan perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 WITA yakni:

Bioskop X

Hasil peneltian menunjukkan bahwa pekerja perempuan yang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 WITA dilakukan hanya setiap hari Sabtu saat diselenggarakan jadwal film midnight pada pukul yang bervariasi. Bisanya film midnight diselenggarakan diatas pukul 22.30 sampai dengan pukul 01.00 WITA.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden bahwa saat bekerja midnight mendapatkan makan namun diberikan pukul 19.00 WITA dengan jumlah kalori yang tidak diketahui besarannya. Wawancara terpisah dengan 2 (dua) respondedn lain yang bekerja di lokasi yang sama menyatakan bahwa tidak mendapatkan makan dan minum sebagaimana ditentukan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, namun mereka mendapatkan uang makan sebagai pengganti. Selain itu responden lain yang bekerja di posisi berbeda pada lokasi yang sama, menyatakan biasanya pulang setiap pukul 00.00 WITA pada hari sabtu dan tidak mendapatkan fasilitas makan dan minum. Mereka semua sepakat menyatakan bahwa tidak memperoleh fasilitas antar jemput dari perusahaan.

Bioskop Y

Jam operasional kerja bagi pekerja perempuan dilakukan hanya setiap hari sabtu saat diselenggarakan jadwal film midnight pada pukul yang bervariasi. Bisanya film midnight diselenggarakan diatas pukul 22.30 WITA sampai dengan pukul 01.00 WITA. Responden pada lokasi ini menyatakan tidak mendapatkan fasilitas makanan dan minuman yang bergizi sebesar 1.400 Kalori dan fasilitas antar jemput sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Kepmenaker No 223 Tahun/Men/2003 tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara Pukul 23.00 sampai dengan 07.00.

Bioskop Z

Hasil peneltian menunjukkan bahwa pekerja perempuan yang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 WITA dilakukan hanyasetiap hari sabtu saat diselenggarakan jadwal film midnight pada pukul yang bervariasi. umumnya film midnight diselenggarakan diatas pukul 22.30 sampai dengan pukul 01.00WITA.

Responden di lokasi ini menyampaikan bahwa selama bekerja belum pernah mendapatkan fasilitas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Kepmenaker No 223 Tahun/Men/2003 tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara Pukul 23.00 sampai dengan 07.00. Responden juga menyatakan merasa selama bekerja cukup nyaman karena pekerjaan mereka santai, dan jika ditugaskan lembur untuk bekerja pada jadwal midnight mereka mendapatkan lembur meskipun tidak mendapatkan makan dan minuman bergizi 1.400 kalori dan fasilitas antar jemput saat pulang larut malam.

Karaoke X

Perusahaan ini beroperasi mulai pukul 10.30 sampai dengan pukul 02.00 WITA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelanggaran norma kerja malam hari masih terjadi. Wawancara dilakukan terhadap 2 (dua) pekerja perempuan yang posisi pekerjaannya tidak ingin disebutkan. Mereka mengungkapkan bahwa fasilitas makanan dan miniman sebagaimana ditentukan Undang-Undang 13 tahun 2003 dan Kepmenaker No223 Tahun/Men/2003 belum terlaksana di tempat kerjanya. Perusahaan menyediakan makan hanya dalam bentuk nasi putih dan jika ingin makan pekerja bisa membeli lauk sendiri diluar, minuman air putih pun disediakan oleh perusahaan. Mereka juga diberikan waktu untuk istirahat jika ingin makan. Mengenai fasilitas antar dan jemput belum tersedia diperusahaan ini.

Rumah Sakit X

Responden di Lokasi ini saat bekeja di giliran ketiga biasanya dimulai sejak pukul 21.00 sampai dengan 07.00 WITA, namun saat ada kegiatan operasi pasien maka mereka dapat bekerja melampaui 8 jam/hari sebagai tuntutan profesi dan loyalitas. Dinas malam bukanlah hal yang baru pagi tenaga medis di rumah sakit. Responden menyatakan pada umumnya jika bekerja di shif malam mereka mendappatkan makan berupa snack dan air minum, namun disaat bulan Ramadhan mereka mendapatkan makanan berat seperti nasi lauk bervariatif dan sayuran untuk sahur. Terkait dengan fasilitas antar dan jemput memang tidak tersedia karena pekerja pulang kerja pada pukul 07.00 WITA sedangkan dalam Pasal 76 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menentukan fasilitas antar jemput berlaku bagi mereka yang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 05.00.

Restoran X

Saat penelitian berlangsung pekerja perempuan yang bekerja di perusahaan ini terdapat 10 orang yang dipekerjakan secara sistem shif. Pekerja perempuan yang mendapatkan shif malam tidak menentu jumlahnya tergantung jadwal yang telah ditentukan oleh pihak manajemen. Shif malam hari dimulai pada pukul 18.00 sampai dengan pukul 03.00 WITA, sedangkan pada bulan Ramadhan terjadi pergeseran waktu kerja yakni dimulai pukul 20.00 sampai dengan pukul 05.00 WITA. Durasi kerja di Restoran X cukup panjang yaitu 9 jam per hari selama 6 hari kerja atau 54 jam per minggu. Tentu saja ini tidak sesuai dengan norma kerja yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu 40 jam perminggu.

Mayoritas pekerja statusnya sebagai pekerja kontrak (PKWT) dengan upah yang diterima perbulan masih di bawah ketentuan Upah Minimum Kota Samarinda tahun 2018 yaitu sebesar Rp 2.654.894,55.24 Pekerja dibayar dengan sistem upah harian diakomulasikan selama satu bulan, tiap harinya mereka mendapat upah sebesar Rp 75.000,00 tiap 1 minggu kerja diberikan hak 1 hari libur tanpa dibayar upahnya sehingga dalam 1 bulan hanya mendapatkan upah sebesar Rp 1.950.000,00

Hasil penelitian juga menemukan fakta bahwa pekerja perempuan yang kerja shif malam tidak mendapatkan fasilitas makan dan minum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 76 ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan, sebagai penggantinya mereka mendapatkan fasilitas dalam bentuk uang pengganti makan. Fasilitas angkutan antar jemput tidak diterima oleh pekerja perempuan sehingga saat pulang pukul 03.00 mereka pulang secara mandiri. Saat bulan Ramadhan pekerja perempuan pulang kerja di atas pukul 05.00 sehingga tidak berhak mendapatkan fasilitasangkutan antar jemput sebagaimana ditentukandalam Pasal 76 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Namun karena pulang malam hari cukup berbahaya maka pengusaha menyediakan ruangan untuk pekerja perempuan beristirahat sampai menunggu pagi haritiba.

Norma kerja yang masih belum sesuai pada Restoran X yakni pengusaha memerintahkan pekerjanya baik laki-laki atau perempuan bekerja melampaui batas waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu 40 jam kerja selama 1 minggu. Hasil penelitian di Restoran X pekerja disana bekerja selama 54 jam per minggu. Undang-Undang memang membuka peluang untuk kerja lembur yang dapat dilaksanakan maksimal 3 jam per hari dan 14 jam perminggu (di luar waktu kerja regular) dengan catatan mendapatkan persetujuan dari pekerja yang bersangkutan, namun berdasarkan keterangan pekerja mereka tidak mendapatkan upah lembur.

Pekerja di Restoran X mayoritas berstatus sebagai pekerja kontrak (PKWT) yang melakukan pekerjaan yang bersifat tetap. Berdasarkan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan menetapkan kategori PKWT hanya untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya, pekerjaan diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu maksimal 3 bulan, pekerjaan yang bersifat musiman dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru atau uji coba. Berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (7) bagi kontrak (PKWT) yang melakukanpekerjaanyangbersifattetapmakademihukummenjadipekerjatetap (PKWTT). Selain persoalan perjanjian kerja, masalah upah tidak luput dari sorotan. Pengupahan termasuk sebagai salah satu aspek prnting dalam perlindungan pekerja guna memperoleh penghasilan yyang memenuhi penghidupan secara layak sebagaimana diatur dalam Pasal 88 ayat (1) Undang- Undang Ketenagakerjaan. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa pekerja di Restoran X mendapatkan upah di bawah ketentuan minimum Kota Samarinda, proposi upahnya dihitung berdasarkan kerja harian dengan upah Rp 75.000,00 per hari selama 26 hari dalam 1 bulan. Selama pengusaha mempekerjakan pekerja dengan membayar upah di bawah ketentuan minimum maka dapat dilakukan penangguhan sebagaimana ketentuan Pasal 90 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Peran Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan

Berdasarkan hasil kunjungan ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur penulis mendapat kesempatan mewawancarai salah satu Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan. Wawancara dilaksanakan bersama Retno Agusdina Purnami, dan Yulianto.

Awal mulanya pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh pemerintah pusat lalu terjadi otonomi daerah sehingga pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kota. Berjalan waktu kemudian saat evaluasi ditemui banyak kerancuan-kerancuan yaitu mereka yang sudah menjadi Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dipindah ke bidang atau seksi lain di luar kompetensi awalnya sehingga mempengaruhi kuantitas Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang berefek pada kualitas pengawasan ketenagakerjaan. Bagi PNS yang bekerja sebagai pengawas ketenagakerjaan dapat dikatakan merupakan orang-orang pilihan yang telah seleksi dengan ketat dan diberikan pelatihan khusus yang membentuk kompetensipengawas ketenagakerjaan.

Munculnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah merubah kembali struktur pengawasan ketenagakerjaan. Dalam pembagian urusan Pemerintahan Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota di Pembagian urusan Pmeerintah bidang tenaga kerja terkait pengawasketenagakerjaan bahwa penyelenggaraan pengawasan ketenagaerjaan berada ditangan Provinsi sedangkan Pemerintah Pusat berwenang untuk menetapkan sistem pengawasan ketenagakerjaan dan pengelolaan tenaga kerja pengawasa ketenagakerjaan. Hingga saaat ini jumlah pengawas ketenagakerjaan di Kalimantan Timur berjumlah 53 orang dan 9 diantaranya sudah mengantongi jabatan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

Menurut Retno Agustina selaku Pengawas Ketenagakerjaan menerangkan tahapan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan dilakukan melalui tahapan:

  1. Promotif yaitu, bentuk kegiatan yang bersifat promosi, sosialisasi dan edukasi mengenai atur-aturan mengenai ketenagakerjaan.
  2. Preventif yaitu, bentuk kegiatan yang bersifat pencegahan sebelum terjadinya perselisihan atau pelanggaran ketenagakerjaan.
  3. Represif non yustisial yaitu, bentuk kegitan yang bersifat memiliki unsur daya paksa di luar pengadilan.
  4. Represif yustisial yaitu, upaya paksa melalui pengadilan.

Sedangkan dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan yang selanjutnya akan disebut Permenaker Nomor 33 Tahun 2016 yang selanjutnya akan disebut Permenaker Nomor 33 Tahun 2016 mengatur bahwa “pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan dilakukan melalui tahapan:

  1. Preventif edukatif yaitu, kegiatan pembinaan sebagai upaya pencegahan melalui penyebarluasan norma ketenagakerjaan, penasihat teknis dan pendamping;
  2. Represif non yustisial yaitu, upaya paksa diluar pengadilan untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam bentuk nota pemeriksaan sebagai peringatan atau surat pernyataan kesanggupan pemenuhan peraturan perundangan-undangan ketenagakerjaan berdasarkan pemeriksaan dan/ataupengujian.
  3. Represif yustisial yaitu, upaya paksa melalui Lembaga pengadilan dengan melakukan proses penyidikan oleh pengawasa ketenagakerjaan selaku PPNS ketenagakerjaan.

Telihat terdapat perbedaan mengenai tahapan pelaksanaan pengawasan seperti penjelasan di atas namun secara substansial pengawasan terdiri dari pembinaan, pemeriksaan pengujian dan/atau penyidikan pidana ketenagakerjaan sebagaimana Pasal 6 ayat (3) Permenaker Nomor 33 Tahun 2016.

Menurut Retno Agustina selaku Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan bahwa penegakan norma kerja pada malam hari sebagaimana diatur dalam Pasal 76 Undang- Undang Ketenagakerjaan memang belum berjalan optimal. Hal ini terjadi karena beberapa faktor salah satunya adalah masalah anggaran dan tata kelola organisasi yang sempat berubah sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Status Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang sebelumnya di bawah kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota berubah menjadi Pegawai Pemerintah Pusat (Kementerian Ketengakerjaan) yang ditempatkan di Pemerintahan Provinsi. Peralihan tersebut membuat kondisi pengawasan tidak terlalu ideal.

Strategi yang digunakan mengatasi sejumlah permasalah teknis yakni membagi floating area pengawasan dengan membuat kordinator wilayah yang terbagi menjadi 4 wilayah di Kalimantan Timur, wilayah tersebut terdiri dari Korwil:

  1. Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur mengawasi daerah Samarinda, Kutai Kartanegara, Kutai Barat(Mahulu);
  2. Wilayah Selatan mengawasi daerah Balikpapan, Panajam Paser Utara,Paser;
  3. Wilayah Utara mengawasi daerah Bontang dan Kutai Timur; dan
  4. Wilayah Berau yang khusus mengawasi daerah Berau.

Khusus pengawasan terhadap norma kerja malam hari dilakukan oleh Yulianto bersama tim selaku pengawas ketenagakerjaan. Pengawasan dilakukan di Rumah Sakit X pada tahun 2015, Perusahaan Karaoke X pada bulan Februari 2018 dan beberapa tempat hiburan malam yang dilaksanakan antara bulan Maret dan April 2018 hasilnya penegakan norma kerja malam masih belum optimal terhadap hal itu telah dilakukan pembinaan diperusahaan tersebut oleh pengawas.

Pengawasan norma kerja malam hari selanjutnya juga pernah dilakukan ditempat hiburan Perusahaan Bioskop X, pembinaan sudah dilakukan sebelumnya oleh Pengawas Ketenagakerjaan namun pada Bulan Mei 2018 beberapa pekerja yang diwawancarai belum mendapatkan hak sebagaimana diatur dalam Pasal 76 Undang- Undang Ketenagakerjaan. Menurut penulis perlu dilakukan kembali pengawasan ulang atau pemeriksaan berkala sebagaimana ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf b dan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) Permenaker Nomor 33 Tahun 2016 pada perusahaan- perusahaan yang telah dilakukan pemeriksaan pertama. Selain itu, perusahaan yang menjadi lokasi penelitian seperti Perusahaan Karaoke X dan Restoran X belum pernah dilakukan pengawasan sebelumnya sehingga perlu dilakukan pemeriksaan pertama ditempat tersebut.

Menurut Yulianto bahwa penegakan hukum Ketenagakerjaan perlu jeli dan memperhatikan aspek non hukum meskipun hukum tetap sebagai instrument yang utama, jika penegakan hukum ketenagakerjaan dilaksanakan secara murni positifistik akan berdampak pada keberlangsungan perusahaan dan berefek pada pemutusan hubungan kerja. Oleh karena itu pengawas ketenagakerjaan dalam masa menjalani pendidikan dilatih untuk dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial mengutamakan melalui jalur non ligitasi (di luar pengadilan), namun terhadap kasus pidana ketenagakerjaan yang sudah masuk ranah penyidikan maka proses hukum tetap dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Menurut penulis bahwa pengawasan norma kerja malam hari belum menjadi isu yang strategis dalam rencana kerja pegawai pengawas ketenagakerjaan, seharusya terhadap ketentuan hukum yang memuat sanksi pidana pengawas dapat lebih preventif agar tidak terjadi pelanggaran. Merujuk pada ketentuan perundang- undangan menurut penulis bahwa pengawasan ketenagakerjaan masih belum sesuai dengan rumusan pengawasan yang dicita-citakan dan diamanatkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Pengawasan belum terlalu banyak menyentuh perusahaan- perusahaan yang mempekerjakan perempuan malam hari.

Kesimpulan

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa norma kerja malam hari bagi pekerja perempuan belum berjalan dengan baik karena masih banyaknya ditemui pelanggaran. Selain pelaksanaan norma kerja malam hari beberapa norma kerja lainnya juga masih banyak yang belum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara garis besar implementasi penerapan Pasal 76 Undang-Undang Ketenagakerjaan jo Kepmenakertrans 223 Tahun 2003 di perusahaan yang diteliti belum memberikan fasilitas makan dan minum sebesar 1.400 kalori dan tidak menyediakan fasilitas angkutan antar jemput bagi pekerja perempuan yang kerja malam hari. Sehingga melahirkan ketidakadilan pagi para pekerja perempuan yang bekerja pada malam hari.

References

  1. Y. E. S. Situmorang, “Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Malam Hari di Boshe VVIP Club Yogyakarta,” 2009.
  2. E. Q. Pangestika, “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Perempuan pada Malam Hari di Liquid Cafe Next Generation ,” 2014, Yogyakarta.
  3. R. A. Pratama, “Implementasi Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Perempuan yang Bekerja Pada Malam Hari di Perusahaan Liquid Cafe´ Next Generation dan Boshe VVIP Club Sleman,” 2016.
  4. A. Wijayanti, “Menuju Sistem Hukum Perburuhan Indonesia yang Berkeadilan,” Arena Hukum, vol. 5, no. 3, pp. 210–217, 2012. [Online]. Available: 10.21776/ub.arenahukum.2012.00503.7
  5. S. Rachmat, “Sifat Hukum Perjanjian Perburuhan,” Jurnal Hukum & Pembangunan, vol. 17, no. 5, p. 451, jun 2017. [Online]. Available: 10.21143/jhp.vol17.no5.1369
  6. A. Uwiyono, “Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Dikaitkan dengan Pola Hubungan Per- buruhan,” Jurnal Hukum & Pembangunan, vol. 22, no. 5, p. 476, jun 2017. [Online]. Available: 10.21143/jhp.vol22.no5.1013
  7. A. Agusmidah and S. Ningsih, “A Critical Review of Waging in Indonesian,” Law. Rechtsidee, vol. 3, no. 2, pp. 61–70, 2016.
  8. D. L. Sonata, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiiris: Karakteristik Khas dari Metode Meneliti Hukum,” FIAT JUSTISIA , vol. 8, no. 1, 2015. [Online]. Available: 10.25041/fiatjustisia. v8no1.283
  9. A. Kahpi, “Pengupahan: Tinjauan terhadap Per- masalahan Ketenagakerjaan di Indonesia,” Jurispru- dentie : Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum, vol. 5, no. 2, p. 67, 2018. [Online]. Available: 10.24252/jurisprudentie.v5i2.6464