Recent Cases
DOI: 10.21070/ijler.v17i0.824

Juridical Overview of the Application of the Caning Law in the Province of Nanggroe Aceh Darussalam from the Human Rights Perspective


Tinjauan Yuridis Penerapan Hukum Cambuk di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dalam Perspektif HAM

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Whip law Human rights Aceh qanun

Abstract

This study aims to describe and explain the application of caning in Aceh in terms of human rights. Since the issuance of the legal instrument of Aceh Qanun Number 6 of 2014 there have been pros and cons in the community regarding this punishment. This research method uses normative or doctrinal, the data collection process is carried out by reviewing literature that is relevant to the problems written by the author. The result of this research is that the caning punishment in Aceh cannot be said to violate human rights. Because in its implementation it is very concerned about the safety aspect for convicts of whipping. In contrast to imprisonment, the caning sentence after the execution process of the convict can immediately return to normal activities and caning can teach the community not to commit violations.

Pendahuluan

Provinsi Nanggro Aceh Darussalam merupakan satu-satunya Daerah di Indonesia yang merujuk pada Undang-undang Otonomi Khusus mendapatkan wewenang penuh dalam menjalankan syariat Islam dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Pemrintah Indonesia menerbitkan instrumen hukum Nasional yakni Undangundang Nomor 18 Tahun 2001[1] mengenai otonom Khusus Bagi provinsi Aceh yang selanjutnya mendajadi N.A.D. Selain itu juga menjadi landasan hukum bagi peradilan syariah di Provinsi Aceh. Otonomi khusus bagi masyarakat Aceh yang diberikan kewenangan.untuk menjalankan syariat Islam telah menjadi harapan masyarakat Aceh sejak lama, Aceh dikenal sebagai “Serambi Mekah”, sebuah refleksi dari kehidupan masyarakat Aceh yang diwarnai dengan penghayatan syariat Islam.[2] Merujuk pada wewenang dalam menegakkan syariat Islam yang berpayung hukum pada aturan perundangan Pemerintah Pusat yang dilanjutkan dengan dibentuknya peraturan yang ada dalam Peraturan hukum Aceh yang dikenal dengan Qanun.

Qanun ialah produk hukum syariah yang sudah disahkan melalui peraturan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang hukum Jinayat. Didalam qanun diatur mengenai salah satunya adalah hukum cambuk. Hukuman ini dikenakan untuk terpidana dengan cara dicambuk badan bagian punggung dengan.alat.yang tersedia bagi algojo.[3] Hukum cambuk dilaksanakan setelah hakim memutuskan bersalah siapapun yang berpedoman pada qanunjinayat. Merujuk padan pemberlakuan hukum cambuk di Aceh yang menjadi polemic karena Aceh berada dalam naungan hukum Indonesia yang menggunakan system demokrasi pemberlakuan mengenai hukuman cambuk dipandang berseberangan dengan peraturan UU yang lebih tinggi, penilaian ini dikarenakan qanun ialah produk hukum Daerah yang harus mengikuti Undang-undang No 10 Tahun 2004. Meski demikian hukum cambuk[4] tetap digunakan di Aceh dikarenakan Provinsi tersebut memiliki hak istimewa yang melekat untuk menjalankan syariah Islam secara kaffah yang ada didalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang dicantumkan dalam BAB XVII yang menyatakan Aceh memiliki hak maksimal dalam menjalankan syariat Islam. Bahwasannya mekanisme hukum cambuk telah dilaksanakan oleh pihak terkait, pertama ialah oknum P.N.S di Aceh inisial AG dan pasangana ditangkap satpol PP lantaran berbuat mesum. Hukum cambuk dijalankan sesuai dengan putusan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, keduanya dinyatakan dalam fakta riil melakukan hubungan yang melanggar Pasal 25 ayat (1) Qanun Nomor. 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat.

Soal disiplin cambuk di Aceh menuai komentar berbeda, salah satunya dari L.S.M. aktivis kebebasan umum dan dari beberapa spesialis kriminal yang lebih khawatir tentang aliran positif-eistik. Macam-macam kelebihan dan kekurangan pelaksanaan hukuman ini lebih banyak pada pengembangan kajian keilmuan menurut perspektif melaksanakan kebebasan dasar di dalamnya. Pemeriksa kebebasan umum menyatakan bahwa penggunaan hukuman cambuk di Aceh saat ini telah mengabaikan Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan /Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, /Merendahkan Martabat Manusia (Convention Againts Torture and Others Cruel, Inhuman or Degrading Punishment /C.A.T) yang di telah ratifikasi dalam instrument Undang-Undang Nomor. 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan / Penghukuman Lain Yang Kejam, Tak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia.[5] Didalam menganalisis penlitian ini, penulis menggunakan beberapa acuan kajian literatur terdahulu yang telah ada sebelumnya dan terdapat hubungan dengan penelitian ini. Kajian terdahulu dimaksudkan sebagai tolok ukur dan landasan berpikir bagi penulis dalam menjawab persoalan yang ada dalam penelitian ini. Secara garis besar penelitian tentang penerapan hukum cambuk di Aceh jika ditinjau dari kacamata HAM telah dibahas dalam bentuk jurnal dan buku.

Kajian pustaka yang pertama ialah ditulis oleh Dian Agung W dalam artikel ilmiah yang diterbitkan Majalah Hukum Nasional Nmor 1 Tahun 2018 oleh Departement HTN dan Prodi Magister Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum U.G.M dengan berjudul Penerapan Hukum Cambuk Sebagai Bentuk Pidana Dalam Qanun Jinayat. Dalam artikel ilmiah tersebut Dian mendeskripsikan bahwasannya penerapan hukum cambuk sebagai bentuk pidana dalam Qanun Jinayat berdampak pada keadaan politik hukum pidana yakni melanggar asas Lex Scripta, hal ini juga berdampak pada politik hukum legislasi Daerah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan hukum cambuk sebagai bentuk pidana dan menganalisis dampak pengaturan tersebut. Kajian yang kedua yakni ditulis oleh Natangsa Surbakti. Dalam jurnal hukum No. 3 volume. 17 pada 17 Juli 2010 Fakultas Hukum UM Surakarta dengan judul “Pidana Cambuk dalam Perpektif Kedalian Hukum dan HAM di Provinsi Naggroe Aceh Darusalam. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji fenomena penegakan hukum pidana Islam dengan menerapkan pidana cambuk dilihat dari perspektif HAM dan keadailan yang berdasarkan kajian empiris dengan menggunakan pendeatan sosio-legal. Hasil penelitian mengemukakan bahwa kuasa wewenang Mahkamah Syar’iyah terbatas pada beberapa jenis tindak pidana yang diatur qanun, terbatas pada warga muslim, dan adanya kepatuhan secara sukarela oleh warga non-muslim berdasar pada pertimbangan aspek keadilan.

Kajian yang ketiga ialah ditulis oleh Nabilatus Sa’idah pada thesis yang ditulis pada program pascasarjana Universitas Negeri Sunan Ampel Surabaya pada Tahun 2019 dengan judulHak Asasi Manusia dan Budaya Lokal Sebagai Konsideran Hukum dalam Pembentukan dan Penerapan Hukum Cambuk Analisis Terhadap Perda Aceh Nomor 6 Tahun 2014”. Dalam penelitian normatif / doktrinal yang dituangkan dalam tulisan ini Nabilatus menjelaskan mengenai penerapan hukum cambuk di Aceh yang dibangun di atas Hak Asasi Manusia yang merujuk pada asas-asas hukum Islam. Hal ini tidak lebas dari asas teritori dan budaya local Aceh yang dekat dengan budaya Arab, sehingga hukumnya banyak yang bersumber dari hukum Islam. Selanjutnya tujuan dari penulisan ini ialah Nabilatus menyimpulkan bahwasannya konsideran penerapan hukum cambuk di Aceh ialah suatu bentuk Hak Asasi Manusia dalam pandangan keislaman dan tidak dibenarkan jika melanggar Hak Asasi Manusia Internasional. Hasil kesimpulan dari penelitian ini memuat bahwasannya penerapan hukum cambuk yang ada di Provinsi Aceh sejalan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dan telah menjalani mekanisme yang berkesesuaian dengan prosedur pembentukan qanun Aceh.

Yang membedakan penelitian oleh penulis dengan penelitian terdahulu diatas adalah penelitian terdahulu fokus pada instrument hukum cambuk yang mengadopsi hukum Islam untuk dapat diberlakukan sebagai hukum positif Indonesia, sedangkan penulis dalam penelitian ini menemukan bahwa merujuk pada Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2018 menerangkan hukuman cambuk yang semula berada ditempat terbuka seperti masjid maka dengan terbitnya aturan terbaru mengenai tempat pelaksanaan hukum cambuk mengalami perubahan dengan adanya penekanan dan pemahaman berkenaan dengan tempat pelaksanaan dan pemindahan ke Lembaga Pemasyarakatan dikarenakan menghindari anak yang dibawah umur turut menyaksikan proses hukuman cambuk dan juga ada kekhawatiran terhadap takutnya turis asing dan investor jika pelaksanaan hukuman cambuk tetap dilaksanakan di tempat terbuka. Penulis berpendapat bahwasannya Peraturan Guberbur 5 Tahun 2018 pada hakekatnya merupakan turunan dari Qanun No. 6 Tahun 2014 tenang hukum Jinayat yang mana beberapa hal butuh adanya penegasan lebih lanjut seperti pelaksanaan yang ditempatkan ditempat terbuka dalam artian di Lemaga Pemasyarakatan.

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan permasalahan yang sudah di paparkan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap bagimana tinjauan yuridis akan pelaksanaan hukum cambuk di aceh dan bagaimana jika dilihat dari perspektif HAM yang kemudian akan diteliti lebih lanjut dalam penelitian yang berjudul “Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Hukum Cambuk Di Nangroe Aceh Darussalam Dalam Perspektif HAM “

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan yaitu dengan menganalisa temuan-temuan didalam penelitian berdasarkan fakta yang ada di peraturan, buku, jurnal ilmiah. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder Dari bahan hukum yang diperoleh, penulis menggunakan metode analisis deduktif ialah proses penarikan kesimpulan yang dilakukan dari pembahasan ini mengenai permasalahan yang mempunyai sifat umum menuju permasalahan yang bersifat khusus.

Hasil dan Pembahasan

1. Penerapan Hukum Cambuk di Provinsi Aceh

1.1. Aspek-aspek Pelaksanaan Hukum Cambuk di Aceh

Provinsi Aceh merupakan daerah yang mendapatkan keistimewaan dan mendapatkan wewenang khusus dari undang-undang dalam rangka penyelenggaraan syari’at Islam yang kemudian lahirlah suatu instrument hukum yang di kenal dengan Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang hukum jinayat yang kemudian disebut Qanun Jinayat.[6] Qanun ini mengatur segala aspek pelaksanaan sanksi hukuman yang digolongkan sebagai perbuatan pidana atau disebut dengan jarimah yang bertentangan dengan syari’at Islam yang berlaku di Aceh. Dalam menentukan apakah perbuatan tersebut dapat digolongkan dengan pelanggaran/jarimah,[7] Qanun Jinayat condong mengikuti aturan yang ada dalam ushulfiqhguna menentukan perbuatan pidana.

Qanun Jinayat mengatur mengenai skema hukuman terhadap setiap jarimah yang diatur didalamnya, merujuk pada Pasal 4 Qanun antara lain Uqubat hudud yang besaran hukumannya sudah ditentukan dengan tegas berupa hukuman cambuk, yang kedua ialah Uqubatta’ziryang jenis hukuman telah ditentukan dalam qanun yang modelnya bersifat pillihan dan batas besaran hukuman fleksibel.[8] Pada pokoknya Qanun Jinayat dalam rangka melaksanakan upaya pemidanaan yang berlaku tidak hanya berfokus pada hukuman cambuk sebagai satu-satunya bentuk penghukuman (kecuali yang sudah ditetapkan dalam tindak pidana jarimah seperti uqubat hudud) kerana pada intinya hukuman utama yang dikenal dalam Qanun Jinayat termasuk juga pidana penjara, denda, dan restitusi.

1.2. Implementasi Hukum Cambuk

Merujuk pada pelaksanaan hukum Islam di Aceh yang salah satunya ialah hukuman cambuk yang sebagai bentuk pemidanaan. Peranan warga masyarakat sangat penting dalam pemberlakuan Syariah Islam di Aceh. Perspektif masyarakat terhadap pelaksanaan hukuman cambuk menjadi hal yang wajak untuk ditinjau lebih dalam. Berdasarkan ketentuan dalam hukum pidana Islam mengenai tindak pidana yang diancam dengan hukuman cambuk maka dapat ditemukan pada jarimah hudud dan jarimah ta’zir. Ketentuan yang termuat dalam jarimah hudud yang diancam hukuman cambuk diantaranya ialah meminum khamr, zina dan qazaf. Sedangkan pada jarimah ta’zir yang menjadikan hukuman cambuk sebagai hukuman utama ialah misal maisir, khalwat, liwat, musahawah, perkosaan dan pelecehan seks.

Dalam perkembangannya masyarakat Aceh sangat antusias dengan adanya penerapan Syariah Islam sebagai acuan dalam penerapan hukum pidana serta merupakan hal yang wajar bahwa penerapan belum bisa dikatakan sempurna. Meski demikian kesadaran masyarakat dalam menjalankan dan proses penerapannya sangat berharap bahwasannya penerapan Syariah Islam di Aceh semakin hari menuju tahap yang merata ataupun aspek yang belum berpayung hukum untuk pelaksanaan syariah Islam dapat terrealisasi. Perjuangan rakyat Aceh dalam menegakkan Syariah Islam ditandai dengan penerapan hukuman cambuk bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran hukum. Hukuman cambuk sejatinya semula dilakukan ditempat umum dan terbuka ialah sejatinya bertujuan untuk memberikan efek jera bagi terdakwa dan mengajarkan masyarakat untuk tertib dalam menjalankan hukum dikehidupan sehari-hari. Antusias masyarakat dalam menghadiri pelaksanaan hukuman cambuk ditempat terbuka menuai penilaian yang baik. Dari pelaksanaan hukuman ditempat terbua masyarakat merasa terdapat perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah masyarakat menjadi berhati-hati dalam bertindak karena kalau melanggar hukum yang dipayungi oleh Qanun maka pelaksanaan hukumannya ialah cambuk didepan umum yang akan memberikan pengalaman yang memalukan bagi terdakwa.[8]

Namun dengan terbitnya Pergub yang mengatur pelaksanaan hukuman yang dilaksanakan di dalam Lapas, masyarakat merasa keberatan untuk menghadiri pelaksanaan tersebut karena apabila ingin tetap hadir maka akan dihadapkan dengan beberapa persoalan. 1. Mengenai persyaratan yang harus dilengkapi untuk masuk Lapas dan menonton hukuman cambuk. Karena beda dengan yang dilaksanakan ditempat terbuka semisal masjid dan gedung. 2. Untuk bisa hadir dalam pelaksanaan hukuman, masyarakat yang hendak menonton harus rela membuang sedikit waktu untuk pergi ke Lapas tempat pelaksanaan hukuman. Hal ini sedikit memberatkan masyarakat. Karena pada hakekatnya prosedur pencambukan ialah bukan sesuatu yang dilaksanakan untuk menjadi tontonan melainkan adanya skema dengan tujuan pemidanaan. Pro-kontra terhadap peraturan yang disahkan Gubernur Aceh mengenai pemindahan lokasi hukuman masih terjadi. Karena secara garis besar alasan dipindahkannya adalah adanya kekhawatiran akan menampakkan ketakutan bagi wisatawan asing dan investor di Aceh jika hukuman cambuk tetap dilaksanakan ditempat umum dan ditonton oleh khalayak ramai.[9]

Pelaksanaan hukum cambuk di tempat terbuka dinilai memiliki tujuan yang jelas dengan menghadirkan efek jera bagi pelaku yaitu rasa malu karena ditonton masyarakat umum dan tentunya menjadi pencegah bagi masyarakat juga untuk tidak melakukan perbuatan yang sama. Dengan adanyan proses pelaksanaan uqubat cambuk di tempat terbuka maka masyarakat dapat mengetahui bagaimana efek dari perbuatan jarimah yang telah di Qanunkan jika dilakukan oleh setiap indivudu. Merujuk pada hal demikian maka hukuman cambuk jika pelaksanaannya dilakukan di dalam Lapas maka akan menghilangkan efek jera bagi pelaku, yaitu sanksi moral dengan menghadirkan rasa malu karena di tonton oleh khalayak masyarakat ramai telah hilang. Begitu juga dengan tujuan pencegahan dalam pemidanaan hukum cambuk itu tersendiri karena antusias masyarakat yang kurang sehingga masyarakat tidak bisa menjadikan hal ini sebagai pembelajaran dan pencegahan untuk tidak melakukan perbuatan jarimah tersebut.

1.3. Kontradiksi Antara Hukum Cambuk dan Hak Asasi Manusia di Aceh

Hak asasi manusia merupakan permasalahan global yang dibincangkan secara terus menerus, mengapa hal ini bisa terjadi, yang mendasari adalah bahwa hak asasi manusia merupakan keperluan dasar yang diberikan oleh yang Maha Kuasa kepada setiao insan manusia dan melekat semenjak manusia terlahir berupa hak untuk hidup, beragama, berpendapat, berekspresi dan menjalabi kehidupan yang layak. Maka dari itu harus diberikan proteksi dan dikuasakan kebebasan dan kemerdekaan sesuai dengan takdirnya. Penguasaan terhadap kebebesan setiap individu tidak serta merta diartikan sebagai hal dalam penggunaan kebebasan tersebut dengan melawan hukum, namun dalam suatu kebebasan tersebut termuat hak dan kepentingan orang lain yang harus diberikan penghormatan dan dihormati. Dari titik ini mengemuka bahwa komitmen sosial antar individu dan kelompok dalam lingkaran kemasyarakatan. Ide mengenai Hak Asasi Manusia tersebut bila dihubungkan dengan agama secara normatif tak bertentangan, karena agama sudah pasti menjunjung tinggi norma Hak asasi.

Merujuk pada penormaan dalam agama yang ada sejumlah aturan normatif tertulis yang dapat dijadikan landasan norma yang diaplikasikan oleh umat dalam kenyataan sejarah. Walaupun tidak ada gesekan antara Agama dan HAM dalam sisi normatif, namun disisi lain terdapat pembeda antar keduanya. Perbedaan itu terletak pada titik tolak pemikiran yang menghasilkan pemikiran yang beda atau lain pula. Pemuka Agama memposisikan Wahyu diatas nalar manusia dan berpusat pada Tuhan (teosentris), sementara rumusan Hak Asasi Manusia dunia dilandaskan pada nilai kemanusiaan atau yang intinya pada manusia (antroposentris).[10] Merujuk pada hal diatas, bahwasannya dalam melaksanakan hukuman cambuk di Provinsi Aceh banyak menemui kritikan dan tentangan yang sebagian datang dari kalangan yang keberatan dengan pemberlakuan hukuman cambuk ini, asas HAM mesti dijadikan landasan untuk protes pada hukum syari’ah yang telah berlaku di Aceh, dorongan dalam hal untuk penghapusan hukuman ini terus berdatangan, baik dari lembaga dunia maupun dalam negeri seperti contoh Institute Criminal Justice Reform ICJR. ICJR mendesak Pemerintah untuk segera menghentikan pemberlakuan hukuman cambuk. Mereka menganggap Qanun Aceh selain dipandang telah melanggar HAM dan menciptakan dualisme penerapan hukum di Aceh, Qanun juga dinilai tak sesuai dengan hukum internasional dan hukum positif nasional.

Penerapan hukum cambuk masa demi masa selalu mendapat respon kritik dari pegiat Hak Asasi Manusia dikarenakan berseberangan dengan prinsip yang ada, ICJR menilai penggunaan hukum cambuk masuk dalam kategori penyiksaan, hukuman kejam tak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Seperti yang terjadi manakala proses hukuman diterapkan tetap tidak lepas dari aspek yang mengedepankan keadilan, keselamatan dan kesehatan terpidana. Hal ini menggambarkan bahwa eksekusi hukuman ini tidak serta merta dilakukan dengan asal-asalan. Merujuk pada peraturan Gubernur No. 10 Tahun 2005 tentang petunjuk teknis pelaksanaan hukuman Uqubat Canbuk. Pelaksanaan hukuman cambuk dilakukan dengan berlandas pada pedoman sejumlah instrumen yang berlaku, beberapa diantaranta yakni:

  1. Pelaksanaan dilakukan oleh Wilayatul Hisbah
  2. Ditempat yang ramai dapat disaksikan umum, Jaksa hadir dan Dokter dari Dinas Kesehatan
  3. Pencambukan dilakukan kecuali pada kepala, wajah, leher, dada dan kemaulan
  4. Cambukan tak sampai melukai
  5. Terpidana laki-laki berdiri tanpa diikat
  6. Terpidana perempuan dalam posisi duduk dan atas ditutup
  7. Wanita hamil dicambuk setelah 60 hari melahirkan
  8. Apabila cambukan berpotensi membahayakan menurut pendapat dokter, maka sisa dilakukan pada waktu lain.

Merujuk pada prosedur diatas, maka nampak dengan jelas bahwa proses penghukuman yang dilakukan sesuai dengan prosedur standar yang memperhatikan dengan seksama sisi-sisi keadilan hukum dan HAM yang berlaku. Pemberian wewenang kepada Wilayatul Hisbah dibawah pengawasan Kejaksaan memperlihatkan akan penghormatan pada legalisasi kewenangan eksekusi dan juga kecakapan dalam melakukan eksekusi cambuk. Merujuk pada pelaksanaan hukuman cambuk yang dilaksanakan pada ruangan terbuka mengindikasikan bahwa terdapat adanya pengertian secara mendalam untuk memberikan efek jera dengan cara mempermalukan terdakwa yang melenggar ketentuan hukum yang berlaku di Aceh yang telah diperbuat olehnya, sedianya pelaku untuk menuntaskan hukuman yang ditimpakan kepadanya memberikan jalan yang pantas untuk kembali membaur dengan masyarakat luas tanpa perlu khawatir adanya cap kriminal. Proses eksekusi tidak lepas dari keberadaan tim medis yang tetap memantau proses cambuk apabila terdakwa memberikan tanda-tanda sudah tidak berdaya dan menunjukkan bahwa hukuman cambuk tetap memperhatikan aspek kesehatan dan keselamatan bagi terpidana.

Dalam pelaksanaan hukuman cambuk terdapat batasan area mana saja yang akan dicambuk pada badan terpidana, hal ini memberikan pemaknaan bahwasannya penghargaan terhadap kehidupan terpidana dimasa yang akan datang sangat diperhatikan. Pukulan cemeti diperkenankan hanya akan memberikan rasa sakit secara fisik yang sifatnya tidak permanen, terutama pada bagian yang terbuka. Efek pukalan pada nyatanya memang ditujukan untuk menekan psikis seseorang berupa efek jera dan rasa bersalah akibat pelanggaran yang dilakukan dan berkomitmen untuk tidak mengulangi hal yang sama agar dapar mengendalikan emosi kedepannya dan tak melanggar lagi. Menjunjung tinggi nilai-nilai penghormatan pada sisi keadilan hukum dan Hak Asasi Manusia secara merata menjadi pembeda perlakuan terhadap terpidana laki dan perempuan. Mengindikasikan bahwa ada perlakukan berbeda antar keduanya secara terhormat. Apabila ada perlakuan yang sama maka justru akan memunculkan ketidakadilan yang fundamen. Demikian juga megenai apa yang diberlakukan bagi wanita yang hamil, peundaan hukuman bagi wanita hamil juga menggambarkan penjunjungan rasa hirmat yang tinggi pada nilai-nilai humanis dan keadilan hukum serta Hak Asasi Manusia secara menyeluruh.

Merujuk pada hal demikian, pada prinsipnya prosesi pemidanaan cambuk bagi pelaku pelanggar syari’at Islam berkesesuaian dengan kaidah nilai keadilan hukum baik dalam hubungan antara manusia dengan tuhan maupun sesama manusia. Musabab pada problem tersebut adalah kerana hukuman cambuk sudah mendarah daging kaitannya dengan aturan syari’at Islam, jika dipandang dari sudut capaian dari tujuan hukuman cambuk, hukuman ini efektif[11] karena dalam kasusnya tidak ada pengulangan pelanggaran serupa yang dilakukan oleh mantan terpidana cambuk. Dalam pelaksanaan hukuman selain cambuk, misal pidana kurungan dan denda dangat bertolak belakang karena dalam pelanggaran pidana syari’ah yang pelaku dikenakan pidana kurungan atau denda, pada faktanya angka recidivelumayan tinggi. Dipandang dari sisi ini, maka telah nampak keberhasilan pelaksanaan hukum cambuk demi tegakknya hukum syari’ah dinilai berhasil pada kasus yang pelakunya terkana pidana cambuk.

1.4. Hukum Cambuk Dalam Sudut Pandang Hak Asasi Manusia

Ratifikasi oleh hukum yang berlaku di Indonesia menjelaskan mengenai Hak Asasi Manusia yang mana ialah hak yang sudah didapat setiap insan yang melekat sebagai akibat dari terlahirnya ia menjadi manusia. Dalam tulisannya John Locke mendeskripsikan bahwasannya hak asasi manusia merupakan hak yang diberikan langsung oleh sang pencipta sebagai hak yang melekat dan menjadi takdir. Maka dari itu, tak ada kuasa apapun dimuka bumi yang dapat menghilangkannya. Hak yang bersifat fundamen ini bagi kehidupan manusia dan hak yang sudah menjadi takdir yang tak bisa lepas dari perjalanan hidup manusia. Selanjutnya sejalan dengan demikian instrumen hukum positif Indonesia melalui Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang termaktub dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa Hak Asasi Manusia ialah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan eksistensi manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah yang wajib bagi kita untuk menghormatinya, menjunjung dan negara berkewajiban untuk melindungi dalam penghormatan dan perlindungan harkat martabat manusia.

Aceh menjadi Provinsi yang menerapkan Syari’at Islam yang menerapkan hukuman cambuk beberapa tahun belakang, berbagai rintangan terus menerpa pelaksanaan hukuman ini, baik pihak non-muslim atau pihak muslim sekuler. Berbagai bentuk protes diberikan dikemukaan dengan berbagai macam alasan yang sudah tertulis diatas. Garis besar dari permasalahan yang paling kontroversi dari diterapkannya Qanun Jinayat di Aceh ialah mengenai instrumen Uqubatcambuk itu sendiri. Semisal, menolak Qanun yang masih tetep menorehkan hukuman yang sebagian pihak menilai telah melanggar nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan perendahan terhadap martabat manusiaw, biasanya diwaili oleh pegiat Hak Asasi Manusia, mereka berpendapat ketentuan hukuman badan macam cambuk seperti ini berseberangan dengan nilai Hak Asasi Manusia internasional dan aturan perundangan yang berlaku di Indonesia khususnya UU No. 39 Tahun 1999.

Masyarakat barat berpandangan hukuman dalam hukum pidana Islam telah melanggar hak asasi, disebabkan perbedaaan dasar dari cara pemaknaan Hak Asasi Manusia itu sendiri. Menurut pakar Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia Saifuddin Bantasyam penerapan hukum cambuk di Aceh dari sisi Hak Asasi Manusia tidak ditemukan pelanggaran sama sekali, kerana hanya penilaian pada sudut pandang yang berbeda saja. Mengenai rasa sakit dan apa yang diderita oleh terpidana pada saat eksekusi itu merupakan akibat dari sanksi hukum yang dilakuka telah benar diterapkan secara adil berdsar bukti yang memadai, dibarengi dengan penghormatan terhadap hak terpidana. Sudut pandang negara barat mengenai penerapan hukum Islam yang melangagr Hak Asasi Manusia bersifat antroposentrismeyang menakan hak setiap individu dan melepaskan manusia dan terpisah dengan Tuhan. Lain dengan Islam, Hak Asasi Manusia dianggap bersifat theosentrisyang mengandung sifat ketuhanan. Dalam arti tersebut, manusia bertindak sesuai dengan kesadaran dan ketundukan kepada Tuhan, dan bahwa Hak Asasi Manusia ialah Anugerah-Nya yang mana setiap insan bertanggugjawab kepada Tuhan.

Sejalan dengan pernyataan Saifuddin, Amin Suma ahli hukum syariah dari UIN Syarif Hidayatullah turut serta memberikan penegasan mengenai protes dari sebagian kalangan terhadap diterapkannya hukuman cambuk di Aceh. Ia berpendapat bahwa pelaksanaan hukuman cambuk ini sebagian kalangan menganggap merupakan sebuah langkah kemajuan yang menerapkan syaria’at Islam secara kaffah yang telah lama diperjuangan di Aceh. Lain hal dengan kalangan lain, pelaksanaan hukuman ini dilihat sebagai upaya yang bersifat kontraproduktif dengan alasan pengupayaan penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Amin menyatakan perlu adanya diberikan batasan terhadap apa yang dimaksud dengan bentuk pelanggaran Hak Asasi. Amin berpandangan suatu perilaku dapat dikatakan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia apabila tindakan itu ditujukan kepada orang yang tidak bersalah. Penerapan hukuman cambuk merupakan sebab-akibat dari tindakan yang terbukti bersalah dan sudah sesuai dengan aturan mainnya. Syarat hukuman ini bersifat perorangan. Mengindikasikan bahwa hukuman hanya diterapkan kepada pelaku pelanggaran dan tidak diperkenankan mengenai orang lain yang tidak melakukan pelanggaran. Dan syarat ini mendjadi prinsip yang ditegakkan dalam syari’at Islam.

1.5. Dampak Positif-Negatif Penerapan Hukum Cambuk Dalam Pandangan Hak Asasi Manusia

Sejak berlakunya hukum cambuk bagi para pelanggar hukum syari’at Islam di Aceh, muncul berbagai aksi pro dan kontra dari sebagian kalangan, baik dari civitas akademika, pegiat HAM dan masyarakat umum. Cara pandang yang berbeda ini telah terjadi sejak hukuman cambuk ini masih pada tingkatan perencanaan sampai saat ini. Perspektif tentang hukuman cambuk bermacam jenisnya, sebagian mendukung dan berharap adanya tingkatan dalam penerapan hukuman cambuk dan tidak sedikit yang menyatakan penolakan dan memohon agar hukum cambuk dihapuskan. Masyarakat Aceh tidak keberatan atas penerapan hukuman cambuk ini, karena mereka menganggap diterapkannya hukuman ini mampu memberikan pelajaran bagi terpidana dan juga masyarakat luas di Aceh untuk tak melakukan apa yang bertentangan dengan syari’at Islam. Hal ini terbukti karena setelah terpidana menjalankan hukuman cambuk tidak ada pengulangan atas pelanggaran yang pernah dilakukan karena merasa malu.

Sebagian kalangan menyatakan penolakan dengan hukuman ini karean menganggap manusia seperti diperlakukan seperti hewan karena biasanya hewan saja yang dicambuk. Itu alasan yang membuat kelompok tersebut tidak sepakat dan menyatakan hukuman cambuk melangar HAM. Bahkan Gubernur Aceh pada tahun 2018 yang lampau ingin membuat sedikit revisi megenai pelaksanaan hukuman ini yang secara teknis dilaksanakan didepan khalayak ramai akan dipindah kedalam Lapas. Alasan ini dikemukaan karena kekhawatiran terhadap calon investor yang akan berinvestasi di Aceh menjadi takut dan membatalkan apabila menyaksikan hukuman ini didepan umum. Merujuk pada bedanya pendapat yang ada pada masyarakat Aceh yang tak bisa dihindari, perlu diingat bahwa aturan hukum yang dihasilkan oleh Pemerintah bertujuan untuk kebaikan bagi sebagian besar masyarakat Aceh. Penilaian dari seegi pelaksanaan hukuman, dasar yang menjadi gesekan dengan HAM, hukum cambuk justru memberikan dampak positif bagi khususnya terpidana dan masyarakat pada umumnya agar merasa jera.

Bahwasannya merujuk pada apa yang dikemukakan oleh penulis diatas mengenai teknis pelaksanaan hukuman yang mengedepankan sisi humanis demi menghindari kemudharatan pada kemudian hari. Sebagai contoh pertimbangan efek keras cambukan, karena yang dilakukan oleh algojo bukanlah yang bersifat yang keras dan menyiksa dan tidak pula yang terlalu pelan. Alat yang digunakanpun tidak sembarangan dan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Proses pelaksanaan eksekusi oleh algojo berada disebelah kiri terpidana dengan posisi berdiri, sedangan terpidana perempuan dalam posisi duduk. Sebelum prosesi dilakukan, terpidana lebih dulu dilakukan pengecekan kesehtan agar pelaksanaan hukuman berjalan lancar karena apabita terpidana sakit dan tidak fit, maka ekseskusi ditunda sampai benar-benar sembuh. Apabila terpidana perempuan dalam keadaan hami, ekseskusi ditundan dan dilanjut 60 hari setelah melahirkan. Begitupun dengan pakaian yang digunakan tidak telalu tebal dan menutup aurat, tipis berwarna putih. Eksekusi dilakukan setelah mendapat putusan hakim yang inkracht. Waktu pelaksanaan tidak dipisah antara hari H dan esoknya, kecuali akan timbul bahaya yang dikhawatirkan bagi terpidana.

Mempertimbangkan dengan apa yang diungkapkan oleh kalangan yang kontra terhadap hukum cambuk yang dianggap tak manusiawi, maka didalam Qanun sudah ditetapkan pelaksanaan hukuman itu yang pada hakikatnya dalam proses pelaksanaan sudah memperhatikan hal yang dapat merusak tubuh terpidana secara permanen, dan kondisi kejiwaan terpidana. Merujuk pada apa yang ditemukan penulis dalam penerapan hukuman cambuk di Aceh, menemukan bahwa recidivedari penerapan hukuman ini menurun dibandingan dengan hukuman pidana yang lain, ini menandakan bahwa pemberian efek jera kepada terpidana terbukti.

1.6. Tinjauan Yuridis Penerapan Hukum Cambuk Ditinjau Dari Sisi Hak Asasi Manusia

Hak dalam pengertian makro ialah suatu tuntutan yang dapat diajukan seseorang kepada orang lain sampai batas pelaksanaan hak tersebut. Ia tak mencegah orang lain untuk melaksanakan haknya. Hak asasi manusia adalah hak hukum yang dipunyai setiap orang sebagai insan. Hak itu bersifat universal dan dimiliki setiap individu, baik kaya maupun miskin, laki atau perempuan. Hak tersebut mungkin bisa dilanggar namun tidak akan pernah bisa dihilangkan. Hak Asasi Manusia adalah hak hukum, ini berarti bahwa hak tersebut merupakan hukum. Hak asasi dalam pandangan Islam berbeda dengan pengertian umum yang sudah dikenal. Sebab hak merupakan kewajiban yang tidak boleh diacuhkan oleh indivdu maupun negara sekalipun. Negara bukan hanya ikut campur mengenai hak-hak ini, juga berkewajiban untuk memberikan jaminan terhadap hak-hak ini. Negara bertanggungjawab menjamin perlindungan social bagi setiap insan tanpa ada pembeda antara laki dan perempuan. Penekanan terhadap 3 hal utama atas pengakuan dan perlindungan HAM ialah sebagai berikut:

  1. Persamaan manusia
  2. Martabat manusia
  3. Kebebasan manusia

Hak asasi manusia menempati posisi yang vital dalam pengkonsepsian hukum pidana Islam. Suatu ancaman pidana yang secara tegas menyatakan konsekuensinya apabila terjadi pelanggaran tidak dapat dikatakan sebagai suatu hal yang melanggar HAM. Ancaman keras bagi para pelaku merupakan adanya suatu kebaikan yang terkandung didalamnya, yang paling utama adalah membangkitkan rasa kesadaran yang besar bahwa perilakunya tidak dibenarkan. Konsep dalam pemidaan Islam tidak dapat dipahami oleh hukum barat yang sekuler. Hukuman cambuk yang diterapkan jika disandingkan dengan pidana penjara dilihat dari instrumen dampak positif dan negatif (sesuai dengan yang berlaku yakni pidana Islam di Aceh dan hukum Positif di Indonesia) sebagai contoh tindak pidana perjudian dan jual beli minuman keras menurut Hanfi memiliki efek positif yakni “pelaku dapat terhindar dari akibat buruk penjara seperti bermalasan dan menganggur”. Hukuman cambuk tidak pernah mengambil kemerdekaan pelaku seperti halnya pidana penjara. Dalam pidana cambuk tidak ada proses panahanan yang mana terpidana cambuk tetap hidup bebas walaupun proses eksekusi belum dijalankan setelah Hakim memutuskan. Kendati demikian, Setelah menjalani hukuman pun terpidana bisa langsung berkumpul kembali dengan keluarga dan menjalankan aktivitas sedia kala dan hak kemanusiaan telah kembali sepenuhnya. Penulis berpandangan bahwa dengan dilakukannya hukum cambuk ini, dapat menekan dan mengurangi terjadinya pelanggaran HAM kepada pelaku dalam proses peradilan pidana dapat diminimalisir bahkan pelanggaran HAM yang nampak pada masa menjalani hukuman dalam penjara sendiri dihilangkan.

Kesimpulan

Peneliti berkesimpulan bahwa merujuk pada Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwasannya penerapan hukuman cambuk di Aceh yang sebagian kalangan menganggap hal tersebut sebagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia seyogyanya kurang tepat. Karena pada saat proses eksekusi cambuk telah dengan seksama memperhatikan keselamatan dan hak para terpidana. Timbulnya rasa sakit yang dialami oleh terpidana tidak sampai menyebabkan cacat/luka permanen akan tetapi hanya bersifat sementara saja. Hukuman cambuk bersumber dari hukum Islam kemudian ditekankan lewat Qanun dengan tetap memperhatikan kebutuhan masyarakat Aceh dan tidak mengabaikan hal yang tidak melanggar Hak Asasi Manusia, oleh karenanya hukuman cambuk dibolehkan dalam Islam dan disepakati oleh Mahkamah Agung Indonesia.

References

  1. M. Irham, “KEDUDUKAN SYARIAT ISLAM DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM (NAD) DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL,” J. Mentari, vol. 12, no. 1, 2009.
  2. N. Surbakti, “Pidana Cambuk Dalam Perspektif Keadilan Hukum Dan Hak Asasi Manusia Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,” J. Huk. Ius Quia Iustum, vol. 17, no. 3, pp. 456–474, 2010, doi: 10.20885/iustum.vol17.iss3.art6.
  3. Amsori and Jailani, “Legislasi Qanun Jinayat Aceh Dalam Sistem Hukum Nasional,” Ar Raniry Int. J. Islam. Stud., vol. 4, no. 2, p. 221, 2018, doi: 10.20859/jar.v4i2.138.
  4. S. Rahmatillah, “FORMULASI HUKUMAN CAMBUK DALAM QANUN PROVINSI ACEH MENURUT TINJAUAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DAN HAK ASASI MANUSIA,” vol. 66, pp. 37–39, 2012.
  5. A. P. AKBAR, “PELANGGARAN HAM DALAM PEMIDANAAN (Perbandingan Hukuman Cambuk Dengan Penjara).”
  6. N. M. Zuhr, “PENERAPAN HUKUMAN CAMBUK BAGI PELAKU PELECEHAN SEKSUAL DALAM PERKARA JINAYAT DIHUBUNGKAN DENGAN JAMINAN AKAN HAK ASASI MANUSIA ATAS RASA AMAN DAN PERLINDUNGAN BAGI KORBAN,” DiH J. Ilmu Huk., vol. 16, no. 42, 2020.
  7. K. Khotimah, “HUKUMAN DAN TUJUANNYA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM,” p. 5.
  8. H. A. R. Rosyadi, “PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI ACEH ( Studi Kritis Terhadap Hukuman Cambuk Pelaku Tindak Pidana Khamar , Maisir dan Khalwat ),” vol. 2, no. 2, pp. 72–86, 2014.
  9. Soeharno, “BENTURAN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DENGAN HAK-HAK SIPIL DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA,” no. 2, pp. 83–104, 2012.
  10. A. Kurniawan, “Polemik penolakan uqubat cambuk di lembaga pemasyarakatan (lp) aceh ( implementasi pergub no.5 tahun 2018 tentang hukum jinayat di banda aceh),” vol. 5, no. 1, 2020.
  11. L. Rahmawati, “HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM,” J. Transform., vol. I, no. 2, p. 3, 2017.