This study aims to describe and analyze the implementation of the Three End's program in increasing the protection of women as well as the supporting and inhibiting factors in the implementation of the Three End's program in Sidoarjo Regency. This research is a descriptive qualitative research using a purposive sampling technique in determining the informants. The informants in this study were the Head of the Section for the Protection of Women's Rights and Special Protection for Children (DP3AKB), the Head of the Division of Women's Empowerment and Child Protection (DP3AKB), the Head of the Administration Section (UPTD PPA), the Personnel Manager (DP3AKB), and the Sidokepung Village Community. Techniques for collecting data are through interviews, observations and documentation. The data analysis technique uses an interactive analysis model consisting of data collection, data reduction, data presentation and conclusion drawing. The results of the research on the implementation of the Three End's program in improving women's protection are communication indicators consisting of the transmission dimension, which is right on target, the clarity dimension to get clear information can directly ask the local village government, the consistency dimension in complaints of violence is in the UPTD PPA. Disposition, the dimension of bureaucratic appointment is the authority of the BKD and the dimension of incentives as employee motivation at work. In this study, the researchers took a research place at DP3AKB Sidoarjo Regency.
Kekerasan terhadap perempuan adalah kejahatan kemanusiaan yang berakibat kesengsaraan dan perampasan kemerdekaan baik di depan umum atau kehidupan pribadi. Kekerasan pada perempuan memang bukan hal yang baru di dengar. Namun seiring berjalannya waktu, upaya yang dilakukan berbagai pihak dalam menangani kasus seperti ini masih belum mampu memberikan dampak yang signifikan. Kekerasan terhadap perempuan yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia serta bentuk diskriminasi harus segera dihapus. Aturan mengenai larangan kekerasan terhadap perempuan juga diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang dinyatakan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkuprumah tangga[1]. Masyarakat juga dapat diberikan edukasi terkait pentingnya memahami pencegahan terhadap kekerasan pada perempuan. Jika kurangnya pemahaman terhadap pencegahan kekerasan pada perempuan, maka akan semakin melonjaknya angka kekerasan pada perempuan di Indonesia.
Salah satu Kabupaten/Kota di jawa timur yang memiliki angka kekerasan yang cukup tinggi adalah Kabupaten Sidoarjo. Berikut diagram data yang menunjukkan jumlah kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Kabupaten Sidoarjo.
NO | Kategori Kekerasan | 2017 | 2018 | 2019 |
1 | KDRT | 74 | 60 | 73 |
2 | Kekerasan Ekonomi | 4 | 11 | 5 |
3 | Pencabulan | 42 | 8 | 12 |
4 | Penganiayaan | 6 | 2 | 3 |
Jumlah kekerasan terhadap perempuan dengan 4(empat) kategori kasus berbeda. Dapat dilihat pada setiap tahunnya, jumlah kasus KDRT (Kekerasan Terhadap Rumah Tangga) di Kabupaten Sidoarjo selalu menempati posisi pertama. Salah satu hal yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan di Kabupaten Sidoarjo ini karena masih minimnya edukasi tentang dampak dari kekerasan terhadap perempuan dan kurangnya sosialisasi mengenai program-program pencegahan dan Undang-undang yang berlaku[2].
Dikarenakan jumlah kasus kekerasan pada perempuan Indonesia terbilang cukup tinggi, maka pemerintah meluncurkan sebuah program untuk menurunkan angka kekerasan. Pada bulan Maret 2016 lalu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengenalkan program terobosan dalam upaya mengakhiri kekerasan pada perempuan dan anak yaitu program ThreeEnd’s. Dengan adanya program ThreeEnd’s diharapkan bisa mengakhiri tiga masalah yang selama ini menjadi pekerjaan rumah bersama. Program ThreeEnd’s adalah program yang dapat mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak. mengakhiri perdagangan manusia, dan juga mengakhiri kesenjangan ekonomi[3].
Setelah diluncurkan program ThreeEnd’s, pemerintah Kabupaten Sidoarjo juga mulai menerapkan program tersebut pada tahun 2016 dikarenakan angka kekerasan pada perempuan di Kabupaten Sidoarjo masih tebilang cukup tinggi pada tahun sebelumnya. Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) didampingi Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) untuk melaksanakan pembentukan satgas pencegahan kekerasan terhadap perempuan di 5 desa di Kecamatan Jabon dan melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan di seluruh Desa di Kabupaten Sidoarjo. Program ini dilaksanakan dengan cara melakukan pertemuan ditingkat Desa atau Kecamatan, melakukan simulasi, tanya jawab, dan konsep yang dilakukan berdasarkan kesepakatan dan kenyamanan bersama antara warga Desa/Kecamatan dengan pelaksana dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB). Program ThreeEnd’s adalah program pencegahan terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Program ini bertujuan untuk mengurangi angka kasus kekrasan di Kabupaten Sidoarjo[4].
angka kekerasan terhadap perempuan di Kabupaten Sidoarjo masih mengalami peningkatan dan bahkan masih banyak korban yang tidak melaporkan tindak kekerasan tersebut dikarenakan merasa terancam ataupun khawatir. Oleh karena itu, program ThreeEnd’s yang telah di terapkan oleh pemerintah ini masih dikatakan kurang efektif dalam mencegah peningkatan kasus kekerasan pada perempuan, hal tersebut karena terdapat titik kelemahan pada program tersebut yaitu kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) dalam pelaksanaan sosialisasi program ThreeEnd’s dan masih kurangnya edukasi kepada masyarakat bahwa kekerasan terhadap perempuan bukanlah hal sepele. Untuk menghapus tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri melainkan perlu bermitra dengan lintas sektor yakni masyarakat itu sendiri, pihak swasta, organisasi masyarakat, perguruan tinggi dan media massa[5].
Penelitian ini menggunakan metode Penelitian kualitatif dengan pendekatan deskripstif. Moleong mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain – lain secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata - kata dan bahasa, pada suatu konteks yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah oleh Moleong[6]. Lokasi penelitian berada di Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Sidoarjo. Pertimbangan dalam pemilihan lokasi penelitian karena untuk mengetahui bagaimana implementasi program ThreeEnd’s oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Sidoarjo dalam meningkatkan perlindungan perempuan di Kabupaten Sidoarjo, beserta kendala apa saja dalam implementasi program di Kabupaten Sidoarjo dalam meningkatkan perlindungan perempuan di Kabupaten Sidoarjo. Teknik pengumpulan data merupakan suatu proses yang penting dalam mendapatkan suatu data pada penelitian. Pada penelitian ini sendiri pengumpulan data yang digunakan yaitu berupa wawancara, observasi dan dokumentasi. Teknik penganalisisan menggunakan model interaktif miles dan hubermen dalam sugiyono[7].
Kebijakan mengenai Implementasi Program Three End’s Dalam Meningkatkan Perlindungan Perempuan di Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Sidoarjo menurut teori dari George C. Edwards III[8] ini memberikan pandangan bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi[8].
a. Komunikasi
Salah satu hal yang berperan penting dalam implementasi kebijakan adalah isi dari suatu kebijakan itu sendiri. Karena suatu kebijakan dapat berjalan dengan efektif dan efisien apabila dalam pelaksanaannya telah memahami maksud dan tujuan yang dapat dilihat dalam peraturan perundang - undangan yang telah ditetapkan. Implementasi kebijakan juga mempunyai kemungkinan untuk gagal karena masih samarnya isi atau kebijakan serta sasaran kebijakan yang kurang jelas. Dari hasil penelitian disebutkan bahwa proses komunikasi yang terdiri dari transmisi yaitu sudah sesuai sasaran yaitu sosialisasi yang diberikan semua masyarakat. Dalam dimensi kejelasan sudah diberikan oleh DP3AKB Kabupaten Sidoarjo dengan melakukan penguatan pemerintah desa mengenai program. Konsisten yang diberikan yaitu dalam pelaksanaan sosialisasi dan kegiatan pelatihan[9].
b. Sumber Daya
Ketersediaan sumber daya merupakan salah satu syarat keberhasilan dalam implementasi sebuah kebijakan. Berdasarkan pendapat George C. Edward III[8], meskipun komunikasi sudah dilaksanakan dengan transmisi, kejelasan dan konsisten, tetapi jika pelaksana kebijakan kekurangan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan implementasi, maka kebijakan implementasi akan sulit dilakukan. Dari hasil penelitian oleh penulis bisa ditarik kesimpulan bahwa dalam indikator sumber daya yang meliputi sumber daya manusia di DP3AKB Kabupaten Sidoarjo mengalami kendala yaitu kurangya staff karena dalam satu kasi hanya terdapat satu anggota saja. Pada sumber daya peralatan di DP3AKB Kabupaten Sidoarjo dari segi sarana prasarana sudah memadai yang menunjang dalam proses pelyanan dan sosialisasi. Sumber daya anggaran yaitu terdapat pengurangan anggaran program yang menyebabkan kurang maksimalnya kegiatan. Sumber daya kewenangan sudah dibagi yang terdapat beberapa bidang dan seksi.
c. Disposisi
Menurut Edward III[8] disposisi adalah kemauan, keinginan dan kecenderungan para pelaku kebijakan untuk melaksanakan kebijakan tadi secara sungguh-sungguh sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat diwujudkan. Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III[8] mengenai disposisi dalam implementasi kebijakan terdiri dari pengangkatan birokrasi dan insentif.
Pengangkatan Birokrasi/Jabatan merupakan salah satu faktor yang mendorong staff untuk melakukan tugasnya dengan baik. Karena jika staff bekerja dengan baik maka hal tersebut akan mendapatkan kenaikan jabatan. Dalam DP3AKB pengangkatan pegawai adalah kewenangan dari BKD dan juga kinerja dari laporan Kepala Dinas. setiap tahun selalu membuat target dan perjanjian mengenai kinerja para pegawai dengan kepala Dinas. Untuk meningkatkan kompetensi para pegawai, DP3AKB mengikutsertakan semua pegawai dalam pelatihan. Insentif yaitu merupakan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Untuk mendapatkan insentif staff harus bekerja dengan sebaik mungkin, karena staff akan mendapatkan insentif apabila telah melakukan target dalam tugas. Dari indikator disposisi sesuai dengan teori implementasi kebjakan menurut Edward III[8] yaitu bisa ditarik kesimpulan bahwa pengangkatan birokrasi dan pemberian insentif merupakan faktor penentu yang membuat staff melakukan pekerjaannya dengan sebaik mungkin untuk mencapai keuntungan tersebut.
d. Struktur Birokrasi
Pendapat Edward III[8], struktur birokrasi mencakup dimensi fragmentasi yaitu penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi. Selain itu, struktur birokrasi mencakup dimensi standar prosedur operasional (SOP) yang akan memudahkan dan menyeragamkan tindakan dari pelaksana kebijakan dalam melaksanakan apa yang menjadi tugasnya. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi penulis, struktur organisasi pada pihak Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Brencana Kabupaten Sidoarjo menggambarkan dengan jelas pemisahan kegiatan pekerjaan antara yang satu dengan yang lain dengan cara dibagi pada setiap bidang, dimana disetiap bidang tersebut terdapat seksi-seksi yang yang akan berkoordinasi dengan kepala bidang. Dalam struktur organisasi ini pola koordinasi yang terjalin menempatkan Kepala Dinas sebagai pejabat tertinggi dimana setiap bagian-bagian organisasi terhubung dengan rantai komando langsung ke Kepala Dinas. SOP yang digunakan sebagai acuan untuk melaksanakan semua kegiatan di Dinas Pemberdayaan Perepuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana adalah SOP yang dibuat sendiri oleh DP3AKB dan ada 3 SOP alur pengaduan kekerasan yaitu melalui hotline atau telepon, melalui masyarakat atau media, dan secara langsung.
Dalam meningkatkan keberhasilan program tidak akan terlepas dari adanya faktor pendukung dan penghambat. Sama halnya dengan pelaksanaan program ThreeEnd’s ini terdapat berbagai faktor pendukung dan penghambat yang mempengaruhi jalannya program ini.
1. Faktor Pendukung
Dalam meningkatkan keberhasilan program ThreeEnd’s dukungan pemerintah desa sangat diperlukan untuk kesuksesan jalannya program ini. Dukungan yang diberikan Pemerintah Desa dalam meningkatkan program ThreeEnd’s ini memfasilitasi DP3AKB dalam menjalankan tugasnya mulai dari pemenuhan tempat untuk sosialisasi agar kegiatan berjalan dengan maksimal. Dukungan selanjutnya adalah dukungan dari masyarakat, dukungan yang diberikan masyarakat ini dapat dilihat dari seberapa antusiasme masyarakat dalam menerima program ThreeEnd’s ini, masyarakat menganggap bahwa program ini adalah salah satu trobosan pemerintah untuk meningkatkan perlindungan perempuan dan mencegah kenaikan angka kekerasan[10]. Dukungan selanjutnya yaitu dari dinas, dukungan yang diberikan DP3AKB mulai adanya program ini yakni mengajak masyarakat mengubah kesejahteraannya dan mencegah kekerasan terhadap perempuan.
2. Faktor Penghambat
Kurangnya pemahaman masyarakat tentang perlindungan perempuan menjadi salah satu penghambat dalam meningkatkan implementasi program ThreeEnd’s ini. Dimana sedikitnya pemahaman dari masyarakat bahwa adanya perlindungan perempun dan tempat pengaduan kekerasan menjadikan angka kekerasa di Kabupaten Sidoarjo semakin meningkat. Kedua, sedikitnya jumlah staf DP3AKB tidak seimbang dengan banyaknya masyarakat penerima manfaat yang semakin banyak karena itu seringkali Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ikut turun tangan melakukan sosialisasi. Ketiga, adanya refocusing dana yang menyebabkan kegiatan menjadi tidak maksimal. Maka banyak kegiatan yang sementara tertunda dikarenakan kurangnya anggaran dari pemerintah pusat ini.
Indikator komunikasi yaitu pertama, transmisi sudah tepat sasaran karena DP3AKB Kabupaten Sidoarjo sudah melakukan sosialisai secara langsung dengan masyarakat dan pihak pemerintahan sudah membentuk satgas perlindungan perempuan dan anak di beberapa desa. Kedua yaitu dimensi Kejelasan untuk penyampaian informasi mengenai program Three End’s sudah cukup jelas dan jika ada yang kurang jelas kita bisa menanyakan langsung kepada pemerintah desa karena DP3AKB selalu melakukan penguatan. Kegita, konsistensi dalam pelayanan yang diberikan yaitu dengan cara memberikan pelyanan sesuai ketentuan yang konsisten seperti ketentuan waktu saat sosialisasi dilakukan 2 kali dalan 1 tahun dan memberikan pelatihan.
Sumber daya, yang pertama, dimensi sumber daya manusia di DP3AKB Kabupaten Sidoarjo memiliki kendala kurangnya staff yang bertugas. Kedua yaitu sumber daya anggaran masih ada kendala karena terjadinya pengurangan dana yang telah diajukan. Ketiga, sumber daya peralatan di DP3AKB Kabupaten Sidoarrjo cukup baik dan memadai karena DP3AKB memiliki mobil monic, mobil molin, motor, ruang konseling, ruang tunggu dan ruang kerja. Keempat yaitu kewenangan, kewenangan sudah diatur oleh Dinas yang terdiri dari beberapa bidang dan dibawahi oleh beberapa seksi.
Disposisi, dimensi pertama yaitu pengangkatan birokrasi sudah diatur dengan baik dan yang berwenang dalam pengangkatan birokrasi adalah BKD dan juga kinerja dari laporan Kepala Dinas. Pada setiap tahun selalu membuat target dan perjanjian mengenai kinerja para pegawai dengan kepala Dinas. Kedua yaitu insentif, telah diupayakan dengan baik karena staff akan mendapatkan insentif apabila telah melakukan target dalam tugas.
Struktur birokrasi, dimensi pertama yaitu struktur organisasi sudah tersusun sesuai fungsi dan tugas masing masing jabatan yang ada dimana kepala dinas menjadi jabatan paling tinggi dan setelahnya dibawahi oleh sekretariat dan kepala bidang yang selanjutnya yaitu dibagi menjadi seksi sesuai bidang. Kedua, ada 3 SOP alur pengaduan kekerasan yaitu melalui hotline atau telepon, melalui masyarakat atau media, dan secara langsung.
Faktor pendukung dari Pemerintah Desa dalam meningkatkan program Three End’s ini memfasilitasi DP3AKB dalam menjalankan tugasnya mulai dari pemenuhan tempat untuk sosialisasi agar kegiatan berjalan dengan maksimal. Dukungan yang diberikan masyarakat ini dapat dilihat dari seberapa antusiasme masyarakat dalam menerima program Three End’s ini. Ada juga dukungan dari DP3AKB mulai adanya program ini yakni mengajak masyarakat mengubah kesejahteraannya dan mencegah kekerasan terhadap perempuan.
Faktor penghambat yaitu kurangnya pemahaman masyarakat tentang perlindungan perempuan karena Dimana sedikitnya pemahaman dari masyarakat bahwa adanya perlindungan perempun dan tempat pengaduan kekerasan. Kedua yaitu kurangnya staf DP3AKB di bidang pemberdayaan perepuan dan perlindungan anak karena itu seringkali Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ikut turun tangan melakukan sosialisasi. Ketiga, kurangnya dana anggaran karena adanya refocusing dana yang menyebabkan kegiatan menjadi tidak maksimal.