Presidential Regulation Number 99 of 2020 concerning Vaccine Procurement and Vaccination Implementation in the Context of Combating the 2019 Corona Virus Disease (COVID-19) Pandemic. The method used is normative using a statute approach, which is carried out by reviewing all laws and regulations related to this research. Collecting data from this study through primary legal materials consisting of legislation, official records or minutes in the making of legislation and judges' decisions. Meanwhile, secondary legal materials are in the form of textbooks, legal dictionaries, legal journals, and comments on court decisions. Is the refusal of a Covid-19 vaccine a violation of human rights law? And is refusing the Covid-19 vaccine a violation of the Health Quarantine Act? From this study, it can be concluded that the application of sanctions for the rejection of the COVID-19 vaccine is a form of legal protection for the community, as a form of effort to prevent the spread of the corona virus. Where the government has an obligation to protect the public from the risk of transmission of the covid-19 disease outbreak. Keywords - rejection sanctions, covid-19 vaccine, protection.
Kesehatan termasuk hak asasi manusia juga merupakan komponen kesejahteraan yang wajib dilakukan oleh negara Republik Indonesia untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyetujui dan menjaga kesehatan untuk hak asasi manusia (HAM). Pernyataan ini terdapat pada Pasal 28 H ayat (1) menyebutkan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Negara menekankan atas fungsi negara berdasarkan kelayakan kesehatan warga negaranya tertuang didalam Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yaitu, “Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”[1]. Coronavirus (COVID-19) merupakan penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh coronavirus versi baru yang ditemukan diakhir tahun 2019. Mayoritas gejala yang dialami pada orang yang terkena COVID-19 merasakan penyakit pernapasan ringan sampai sedang. Potensi menular lebih mengarah pada usia lanjut dan yang mempunyai riwayat medis yaitu kardiovaskular, diabetes, penyakit pernapasan kronis, dan kanker, yang mana COVID-19 ini makin cepat berkembangnya menjadi penyakit yang lebih berbahaya. Kasus awal corona virus dideteksi sebagai flu pada tahun 1960 kurang lebih terdapat 500 pasien yang dideteksi menderita gangguan yang mirip flu. Kemudian, corona dianggap bukan penyakit yang mematikan pada tahun 2002. Selanjutnya ada Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-Cov) di China, para pakar menyatakan bentuk baru corona. Di tahun 2012 terjadi wabah yang mirip yaitu Middle East Respiratory Syndrome (MERS-Cov) di Timur Tengah. Disimpulkan dari peristiwa itu bahwa corona virus bukan penyakit yang ganas dan tidak berakibat kematian. Namun, corona virus terbaru (COVID-19) yang terjadi di Wuhan, China sampai 31 Maret 2020. Terdapat 81.620, dengan 3.322 jiwa meninggal dunia dan 76.571 jiwa berhasil sembuh. Virus ini telah menyebar ke 208 negara. Kasus terkonfirmasi dengan jumlah 827.419 dengan angka kematian 40.777 jiwa. Di Indonesia data kasus positif per 2 April 2020 sebanyak 1.790 jiwa, sembuh 112 jiwa, dan meninggal sebanyak 170 jiwa[2].
Selain menelan korban corona virus juga berdampak dibidang ekonomi, dimana perkembangan ekonomi dalam akhir tahun 2019 dan pada tahun 2020 menjadi ancaman bagi seluruh manusia di dunia ini. Sebab banyak perusahaan yang merugi dikarenakan daya beli masyarakat menurun, perkembangan ekonomi melemah terjadi penurunan ekspor dan impor. Pengaruh dari COVID-19 ini banyak tenaga kerja yang dirumahkan, dari data Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia yaitu 114.340 perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan merumahkan sebanyak 1. 943.916 orang. Pengaruh COVID-19 dibidang lainnya yaitu, pendidikan, pariwisata, peribadatan, sosial, dan juga politik pemerintahan. Dari dampak-dampak tersebut pemerintah mengambil kebijakan yaitu berupa lockdown yang dikenal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang tertujuh pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan junto Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19. Selain PSBB pemerintah juga memberi kebijakan yaitu Physical Distancing berlaku dari bulan Maret 2020[3].
Untuk memutus penularan COVID-19 pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yaitu vaksinasi untuk masyarakat. Pemerintah sudah mempunyai peta jalan untuk vaksinasi yang akan dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama dimulai pada Januari sampai April 2021. Ditahap pertama ini ditujukan kepada tenaga kesehatan sebanyak 1,3 juta orang, petugas pabrik 17, 4 juta untuk petugas yang susah menjaga jarak secara efektif dan masyarakat usia lanjut yaitu 60 tahun ke atas sejumlah 21, 5 juta. Untuk tahap kedua yaitu dari bulan April 2021 – Maret 2022 sebanyak 63,90 juta masyarakat dengan resiko penularan tinggi yang digolongkan menurut golongan tempat tinggal atau kelas ekonomi dan sosial. Berikutnya sebanyak 77,4 juta masyarakat umum dengan pendekatan klaster sesuai kesediaan vaksin. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor H.K.01.07/Menkes/9860/2020 tentang Penerapan jenis Vaksin untuk Pelaksanaan Vaksinasi Corona Virus Disease (Covid-19) menetapkan enam jenis vaksin untuk vaksinasi. Berikut jenis vaksin yang diproduksi P.T. Bio Farma (persero), Astra Zeneca, China National Pharmaceutical Group Corporation (Sinopharm), Moderna, Pfizer- BioNTech, dan Sinovac Biotech Ltd. Harga vaksin Bio Farma menetapkan vaksin Sinovac sekitar Rp. 200.000,- per dosis, vaksin Moderna sekitar Rp. 526.000,-. Vaksin Pfizer/BioNTech sekitar Rp. 283.000,- per dosis, vaksin Johnson & Johnson Rp. 141.000,-. Vaksin merk AstraZeneca senilai Rp. 57.000,-. Pemerintah telah mendatangkan vaksin Covid-19 sebanyak 3 juta dari produsen Sinovac dari China dalam dua sesi, untuk sesi pertama sebanyak 1,20 juta dosis pada tanggal 6 Desember 2020 dan sesi kedua sebanyak 1,80 juta dosisi pada tanggal 31 Desember 2020[4].
Untuk proses vaksinasi kepada masyarakat terjadi pro dan kontra, dari hal tersebut Presiden mengeluarkan peraturan yaitu Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin Dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Pasal 13A ayat 4 menjelaskan, “Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerimaan Vaksin COVID-19 yang tidak mengikuti Vaksinasi COVID-19 sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat dikenakan sanksi administratif, berupa:
a.Penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial;
b.Penundaan atau penghentian layanan adminstrasi pemerintahan; dan / atau
c.Denda.
Sedangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Pasal 21 menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh menjadi obyek penelitian tanpa persetujuan darinya”.
Dalam Pasal 4 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan menyebutkan bahwa, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mempunyai tanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang dapat menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan. Kedaruratan menurut Pasal 1 angka 2 kekarantinaan kesehaatan adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa yang ditandai dengan penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang berdampak berbahaya untuk kesehatan dan berpotensi menyebar ke seluruh wilayah atau lintas negara. Dalam Pasal 2 menyebutkan asas dari kekarantinaan kesehatan yaitu:
a.Perikemanusiaan
b.Manfaat;
c.Pelindungan;
d.Keadilan;
e.Nondiskriminatif;
f.Kepentingan umum;
g.Keterpanduan;
h.Kesadaran hukum; dan
i.Kedaulatan negara.
Sedangkan tujuan dari kekarantinaan kesehatan di Pasal 3 yaitu, untuk:
mengakibatkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat;
a.Melindungi masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi
b.Mencegah dan menangkal penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi mengakibatkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat;
c.Meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan masyarakat; dan
d.Memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan petugas kesehatan.
Sedangkan respon masyarakat terhadap upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat dengan memberikan vaksin ini justru menuai pro dan kontra dengan alasan: ketidakpercayaan terhadap virus, kurangnya informasi terkait vaksin, dan pengaruh lingkungan.
Penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Output dari penelitian hukum doktrinal atau normatif adalah rekomendasi tentang perlunya pembangunan dan pembentukan hukum dalam arti luas, baik hukum dalam arti sistem nilai yang diidealkan, hukum dalam arti sistem norma yang baik, hukum dalam sistem konseptual yang ilmiah, dan hukum dalam sistem hukum positif yang sistematik, sinkron baik vertikal maupun horizontal (law in books). Bahkan kemungkinannya penemuan asas-asas hukum yang baru, teori-teori hukum yang baru[5]. Penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach).
A. Sanksi Penolakan Vaksin Covid-19 dilihat dari Perspektif Undang-Undang Hak Asasi Manusia
Penolakan vaksinasi COVID-19 tidak lepas dari maraknya berita simpang siur dan hoaks yang tersebar secara masif dan terstruktur dari berbagai kalangan mulai dari politisi hingga tokoh masyarakat. Kabar tersebut membuat masyarakat takut bahkan enggan untuk melakukan vaksinasi padahal vaksinasi merupakan upaya untuk dapat memerangi dan menghambat penyebaran virus yang sangat cepat ini. Penolakan ini memiliki beberapa alasan seperti ketidakpercayaan terhadap virus, kurangnya informasi terkait vaksin, dan pengaruh lingkungan. Upaya pemerintah untuk mengatasi penolakan terhadap vaksinasi adalah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin Dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Pasal 13A ayat 4 yang menjelaskan sanksi penolakan vaksin. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia yaitu, berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Hak Asasi Manusia merupakan suatu hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Ciri-ciri HAM: Pertama, HAM tidak perlu diberikan, di beli atau diwarisi, Hak asasi merupakan sesuatu yang patut dimiliki karena kemanusiaan kita. Kedua, Hak asasi berlaku untuk semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnisitas, pandangan politik, atau asal-usul sosial, dan bangsa. Ketiga, HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun yang boleh membatasi atau melanggar hak orang lain[6].
Konsep pengaturan HAM oleh negara tidak berarti adanya pengekangan HAM oleh negara, tetapi dalam konsepsinya diatur oleh negara. Berkenaan dengan hal tersebut, menurut Bahder Johan Nasution: Dari segi pengaturan hak asasi manusia, di satu pihak hak asasi manusia memiliki sifat dasar yang membatasi kekuasaan pemerintah, tetapi di pihak lain pemerintah diberikan kewenangan untuk membatasi hak dasar sesuai dengan fungsi pengendaliannya (pengikatan). Jadi meskipun hak-hak dasar mengandung sifat membatasi kekuasaan pemerintah, pembatasan ini tidak berarti mematikan kekuasaan pemerintah yang pada dasarnya mengandung wewenang untuk mengatur kehidupan rakyat[7].
Cita-cita hukum Pancasila ditempatkan sebagai bintang pemandu bagi terwujudnya Undang-Undang Hak Asasi Manusia di Indonesia agar sejalan dengan nilai-nilai hak asasi manusia Pancasila dan UUD 1945. Hukum positif suatu negara tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum yang berlaku di negara tersebut. Pancasila sebagai dasar negara, ditambah Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea pertama yang berbunyi “kemerdekaan adalah hak semua bangsa dan penjajahan harus dihapuskan”, dan alinea kedua “kemerdekaan negara membawa rakyat pada kemerdekaan, persatuan, keadilan dan kemakmuran”. Menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan menghormati/menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pembukaan UUD 1945 adalah arahan dan politik hukum pada tataran makro, kemudian diformalkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan oleh lembaga politik/ DPR dan dioperasionalkan/ dilaksanakan oleh penyelenggara negara/ aparat negara dalam bentuk peraturan pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pedoman untuk birokrat[8].
Dalam konteks bernegara, Pancasila merupakan falsafah yang harus tercermin dalam pertimbangan filosofis yang tercantum dalam setiap undang-undang. Hal ini mutlak diperlukan, karena akan berkaitan dengan falsafah, doktrin, dan wawasan bangsa Indonesia, baik secara individu maupun kolektif dalam kehidupan bermasyarakat yang berdasarkan kekeluargaan. Dimana manusia disini dipandang sebagai warga negara. Jadi konsep hak asasi manusia di Indonesia bukan hanya tentang hak asasi manusia, tmelainkan ada kewajiban dasar manusia sebagai warga negara untuk mentaati peraturan perundang-undangan, hukum tidak tertulis, menghargai hak asasi orang lain, moral, etika, mematuhi hukum hak asasi manusia internasional yang telah diterima oleh bangsa Indonesia, juga berkewajiban untuk membela negara. Sedangkan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional kewajiban pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia[9].
Pernyataan hak asasi manusia dalam Pancasila mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan memegang dua aspek yaitu, aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas (masyarakat). Oleh sebab itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Artinya setiap individu mempunyai kewajiban untuk menerima dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap organisasi dalam tatanan apapun, terutama negara dan pemerintahan khususnya di Negara Indonesia. Oleh karena itu, negara dan pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak asasi setiap warga negara dan penduduk tanpa diskriminasi. Ir. Sukarno pernah berkata bahwa falsafah Pancasila berjiwa kekeluargaan karena, pertama-tama, Pancasila adalah untuk Indonesia, yang nantinya akan didirikan. Dan kehidupan manusia berdasarkan falsafah Pancasila, sehingga masyarakat Indonesia memandangnya sebagai kehidupan keluarga[10].
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Pasal 21 menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh menjadi obyek penelitian tanpa persetujuan darinya”. Jika dikaitkan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 J ayat 2 menjelaskan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
B. Penolakan Vaksin Covid-19 dalam perspektif Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan
Pemberian vaksin merupakan tindakan dari kekarantinaan kesehatan, karena bentuk dari perlindungan yang diberikan pemerintah terhadap masyarakat. Karantina kesehatan merupakan cara untuk mencegah dan menangkal penyebaran penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang mengakibatkan kedaruratan kesehatan masyarakat. (Vide: Pasal 1 angka (1) UU Karantina Kesehatan). Expressis verbis pasal tersebut mengartikan bahwa cara pengendalian pandemi adalah dengan melakukan karantina kesehatan. Secara politis, hak atas kesehatan merupakan salah satu hak warga negara Indonesia yang harus dipenuhi yaitu dengan cara mengadakan karantina kesehatan. [11]. Karantina kesehatan sendiri merupakan peraturan yang telah diatur dengan undang-undang. Secara gamblang dan dinyatakan bahwa karantina mandiri merupakan cara yang efektif pada saat terjadi keadaan darurat bencana seperti wabah penyakit yang dapat menimbulkan dampak dan kerugian yang sangat besar bagi negara[12]. Aliran positivisme dan legisme yang mengedepankan hukum tertulis, positivis legal secara tegas memisahkan hukum yang ada dengan hukum yang seharusnya ada, pemisahan antara wilayah kontemplatif dan wilayah empiris, namun dalam kerangka pemikiran hukum aliran-aliran positivis masih dikategorikan sebagai aliran filsafat hukum, dengan metodenya sendiri yang khas dan dipengaruhi oleh cara berpikir empiris. Hal ini menjelaskan bahwa produk hukum seperti UU Karantina Kesehatan merupakan bukti empiris yang telah dilakukan kajian empiris baik oleh pakar hukum maupun pakar di bidang kesehatan[13].
Perlindungan hukum adalah pemenuhan hak asasi manusia kepada masyarakat dan bisa diperoleh dari negara. Perlindungan bisa digolongkan sebagai perlindungan hukum apabila berlaku unsur-unsur sebagai berikut:
1. Ada perlindungan pemerintah terhadap WNI.
2. Ada jaminan hukum terhadap WNI.
3. HAM terhadap warga negara.
4. Ada sanksi diperuntukan yang melanggarnya.
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, telah mendeklarasikan kedaruratan Covid-19 sebagai kesehatan masyarakat yang harus dijaga. Dalam rangka upaya pelaksanaan pencegahan kekarantinaan kesehatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Penyelenggaraan karantina kesehatan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai bentuk perlindungan kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat sehingga wabah Covid-19 dan kedaruratan kesehatan masyarakat dapat segera diatasi. Karantina kesehatan dilakukan melalui pengamatan terhadap penyakit dan faktor risiko kesehatan masyarakat terhadap alat angkut, orang, barang, dan/atau lingkungan, serta penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat berupa tindakan karantina kesehatan[14].
Bersumber pada Pasal 4 UU No. 6 Tahun 2018 disebutkan bahwa, “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat melalui pelaksanaan Karantina Kesehatan”. Pada Pasal 7 menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang sama dalam pelaksanaan karantina kesehatan. Menurut R. La Porta dalam Journal of Financial Economics menyebutkan bahwa wujud perlindungan hukum yang diberikan oleh suatu negara memiliki dua sifat, yaitu pencegahan (prohibit) dan hukuman (sanction). Pendapat R. La Porta ini sependapat dengan pernyataan Philip M. Hadjon yang menyebutkan bahwa perlindungan hukum yang diberikan oleh Negara terdiri dari dua tindakan, yaitu tindakan preventif dan represif, tindakan preventif adalah tindakan pencegahan yang dilakukan oleh Pemerintah kepada warganya, dan Tindakan represif merupakan tindakan untuk menyelesaikan perselisihan atau masalah. Perlindungan hukum yang diberikan Pemerintah pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang didalamnya menyebutkan hak masyarakat dan pelanggaran aturan sanksi[15].
Dalam penerapan sanksi penolakan vaksin covid-19 ini merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap masyarakat, sebagai upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat dari resiko penularan wabah penyakit covid-19. Penelitian ini menggunakan Asas lex specialis derogat legi generali (hukum khusus menyampingkan hukum umum), bukan berarti pengekangan HAM oleh negara, tetapi kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Dengan demikian, negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak asasi setiap warga negara dan penduduk tanpa diskriminasi.
Pemberian vaksin merupakan tindakan dari kekarantinaan kesehatan, karena bentuk dari perlindungan yang diberikan pemerintah terhadap masyarakat. Jadi jika menolak vaksin itu berarti melanggar undang-undang kekarantinaan kesehatan.