Labor Law
DOI: 10.21070/ijler.v13i0.736

Legal Protection for Transfer Company Employees after Law Number 11 Year 2020


Perlindungan Hukum Bagi Karyawan Perusahaan Alihdaya Pasca Disahkannya Undang-Undang Nomer 11 Tahun 2020

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Outsourcing Employment Legal protection

Abstract

Legal protection includes a series of legal actions that must be taken by law enforcement officers to ensure a sense of security, both mental and physical, from interference and threats from outside. To answer the problems above, the researcher uses normative research methods. The approach method used in this research is to assess the legal relationship between outsourced workers and employers based on Law no. 13 of 2003 and its implementing regulations. Researchers take a normative legal approach. The rules of Law 13 of 2003 as amended by Law 11 of 2020, regarding the employment relationship between outsourcing entrepreneurs and workers are not limited, as long as it is stated in the PKWT and PKWTT agreements. Article 61 a between articles 61 and 62 If the PKWT is terminated, the employer is obliged to provide compensation to the workers. This compensation is equivalent to severance pay for permanent employees if there is a concept that the company is obliged to pay compensation to its employees; however, this is a new provision that was not regulated in the previous Manpower Act.

Pendahuluan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing di Indonesia secara eksplisit tidak menyebutkan istilah outsourcing, tetapi praktek outsourcing dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dikenal dalam 2 (dua) bentuk, yaitu pemborongan pekerjaan atau penyediaan pekerja/buruh kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Pengaturan hukum outsourcing di Indonesia diatur dalam pasal 64, 65 dan 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,[1][2] Kepmenakertarns No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/buruh [3] dan Kepmenakertrans No. Kep.220/MEN/X/2004 tentang syart-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain. Pengaturan tentang outsourcing [4] ini sendiri masih dianggap kurang lengkap [5], atau dengan kata lain Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 belum dapat menjawab semua permasalahan outsourcing yang begitu luas dan kompleks, namun setidak-tidaknya dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh terutama yang menyangkut syarat-syarat kerja, kondisi kerja serta jaminan sosial dan perlindungan kerja lainnya serta dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan apabila terjadi permasalahan [6].

Pelaksanaan outsourcing berpedoman pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa “perusahaan akan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan lain melalui pengaturan kontrak kerja atau pemberian jasa tertulis bagi pekerja / buruh”.[1][2] Sedangkan pengaturan kontrak antara pekerja atau buruh dengan perusahaan outsourcing dapat berupa Perjanjian Kerja Jangka Tetap (PKWT) atau Perjanjian Kerja Tidak Terbatas (IWA) (PKWTT). Jangka waktu kerja sama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan yang menawarkan pekerjaan atau pelanggan jasa outsourcing biasanya diikuti dengan kesepakatan kontrak antara pekerja / buruh outsourcing dengan perusahaan outsourcing. Ini diharapkan apakah bisnis yang menggunakan layanan outsourcing memutuskan untuk memutuskan kemitraannya dengan perusahaan outsourcing. Perjanjian kerja antara pekerja / buruh dengan perusahaan outsourcing kemudian berakhir pada waktu yang bersamaan. Perjanjian Kerja Waktu Tetap adalah jenis perjanjian kerja yang banyak digunakan dalam outsourcing (PKWT). Karena sifat pekerjaan bervariasi seiring pertumbuhan bisnis, jenis pengaturan kontrak ini dianggap sangat fleksibel untuk bisnis yang menggunakan layanan outsourcing.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya,[7] yang menekankan pada penggunaan data sekunder atau bahan hukum yang berasal dari norma hukum tertulis. [8] Dalam kaitannya dengan penelitian hukum normatif dapat digunakan Pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu suatu peneilitian hukum normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi focus sekaligus tema sentral suatu penelitian [9].

Hasil dan Pembahasan

A. Gambaran Umum Objek Penelitian

Disahkannya UU cipta kerja memberikan dampak yang cukup signifikan pada status karyawan perusahaan untuk karyawan kontrak atau karyawan yang hubungan kerjanya dilakukan berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu PKWT, dan karena beberapa ketentuan yang masih umum belum definitive dan juga belum implemintatif, maka undang cipta kerja ini juga memberi janji bahwa ketentuan ketentuan dalam undang-undang cipta kerja ini akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Jadi beberapa isu mengenai karyawan kontrak ini masih belum final, secara teknis masih perlu pengaturan lagi lebih lanjut di dalam peraturan pemerintah yang akan dibuat menyusul nantinya.

Bagaimana status karyawan kontrak yang ada di dalam undang-undang Ketenagakerjaan undang-undang nomor 13 tahun 2003 ini dampak dengan adanya undang-undang Cipta kerja, bagaimana dengan sifat pekerjaannya yang seharusnya tidak tetap, bagaimana perpanjangannya apa konsekuensinya kalau kontrak kerjanya PKWT ini dibuat tidak tertulis, bagaimana dengan masa percobaan apa boleh ada masa percobaan didalam PKWT, bagaimana dengan aturan baru di mana perusahaan wajib membayar kompensasi kepada karyawan kalau kontrak kerjanya habis, kita akan bahas

Yang terdapat di undang-undang Ketenagakerjaan undang-undang nomor 13 tahun 2003 adalah pasal 56, hasilnya di dalam undang-undang Ketenagakerjaan pasal 56 ini cuma ada dua ayat dimana ayat pertama membagi perjanjian kerja itu menjadi pkwtt untuk karyawan kontrak, dan pkwtt untuk karyawan tetap. Begitu juga ayat keduanya masih sama dengan ketentuan sebelumnya di mana PKWT dasarnya adalah jangka waktu tertentu dan selesainya pekerjaan tertentu. Yang menjadi konsen dalam sebuah PKWT adalah jangka waktunya, yaitu jangka waktunya harus ditentukan dan harus terbatas.

Di dalam undang-undang Cipta kerja pasal 56 ini berubah, yang tadinya cuma dua ayat ditambah 2 ayat lagi, jadi pasal 56 ini totalnya ada 4 ayat, pertama dan ayat kedua aturannya masih sama dengan undang-undang ketenagakerjaan sebelumnya, ketiga ini terdapat ketentuan baru yang cukup signifikan dan belakangan banyak jadi pembahasan umum di dalam ayat ini ditentukan bahwa jangka waktu tertentu atau selesainya pekerjaan tertentu di dalam PKWT ditentukan berdasarkan perjanjian kerja, Jadi dalam UU Cipta Kerja seolah mau bilang bahwa PKWT penentuan masa kerja karyawan diserahkan pada kesepakatan bersama di antara perusahaan dan karyawan yang dituangkan ke dalam perjanjian kerjanya. Hal ini berbeda dengan undang-undang ketenagakerjaan sebelumnya sebelum berlakunya undang-undang Cipta kerja di mana jangka waktu atau masa kerja karyawan kontrak karyawan PKWT, meskipun juga sama-sama disepakati oleh perusahaan dan karyawan tapi oleh undang-undang 13 tahun 2003 dibatasi sampai ada jumlah maksimal nya. di pasal 59 ayat 1 huruf b Undang-undang Ketenagakerjaan nomer 13 tahun 2003 ditentukan bahwa PKWT cuma bisa dibuat untuk pekerjaan yang tidak tetap yang jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya sifatnya sekali selesai dan lamanya maksimal 3 tahun, sedangkan di pasal 59 ayat 4 nya untuk PKWT yang dasarnya jangka waktu tertentu jangka waktu masa kerjanya maksimal 2 tahun. Jadi berdasarkan kedua pasal ini masa kerja karyawan kontrak dibatasi jumlah maksimal nya pembatasan.

UU Cipta kerja masih mengatur soal jangka waktu tapi sifatnya tidak tegas dan belum final perubahan pasal 59 ayat 1 huruf B tadi di cipta kerja itu diubah dan dalam perubahan nya tidak disebutkan jangka waktunya secara tegas, undang-undang Cipta kerja hanya menyebutkan bahwa PKWT dibuat untuk pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya tidak terlalu lama, nah istilah tidak terlalu lama di sini agak sumir / tidak jelas batasannya, begitu juga di pasal 59 ayat 4 ada perubahan juga jangka waktunya Tidak lagi disebutkan secara limitatif selama 2 tahun untuk PKWT yang dasarnya jangka waktu tertentu, perubahannya di undang undang Cipta kerja hanya menyebutkan bahwa jangka waktunya akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Waktu di dalam undang-undang Cipta kerja masih belum final masih menyisakan PR untuk pembuatan peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah khususnya untuk penentuan jenis pekerjaan dan batasan jangka waktu maksimal yang seperti apa aturan pelaksanaannya, apakah waktu maksimalnya lebih besar atau lebih kecil dari ketentuan yang ada sebelumnya di undang-undang Ketenagakerjaan, atau jangka waktu ini tidak ditentukan sama sekali dan benar-benar dibiarkan menggantung berdasarkan kesepakatan bebas antara perusahaan dan karyawan. Seperti apa peraturan pemerintah nya nanti akan mengatur, jadi ini masih tergantung dari Peraturan Pemerintah nya yang akan dikeluarkan nanti.

B. Perlindungan Hukum bagi karyawan Outsourcing pasca Uundang -Undang 11 Tahun 2020 Kluster Ketenagakerjaan

Pemerintah telah menerbitkan peraturan terbaru tentang pekerja outsourcing atau outsourcing dalam peraturan turunan UU Cipta Kerja, yaitu Peraturan Pemerintah (PP), No 35 Tahun 2021, tentang Perjanjian Kerja Untuk Beberapa Waktu (PKWT), Outsourcing , Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Hubungan Kerja. PP yang dibuka pada 2 Februari 2021 tersebut telah mengubah persyaratan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;.

Dalam PP 35/2021 pemerintah menetapkan bahwa perusahaan melakukan outsourcing untuk memperoleh pekerja melalui salah satu dari dua kontrak, yaitu perjanjian kerja sementara (PKWT) atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Hal ini berbeda dengan undang-undang ketenagakerjaan, dimana kontrak kerja hanya mempekerjakan PKWT. Selain itu, kontrak kerja harus ditulis. “PKWT atau PKWTT merupakan dasar hubungan kerja antara pengusaha outsourcing dengan karyawan,

“Pasal 18(1) PP No 35 Tahun 2021 berbunyi. Kemudian PP 35/2021 tidak menyebutkan apakah pekerja outsourcing masih dibatasi atau diperluas pada jenis tenaga kerja tertentu. Namun, dulu UU Ketenagakerjaan secara khusus mengatur bahwa pekerjaan eksternal terbatas untuk bekerja di luar atau tidak terkait dengan proses manufaktur kecuali untuk mendukung operasi.

“Kegiatan utama atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi tidak boleh digunakan oleh pekerja/pekerja dari organisasi pemberi jasa pekerja/buruh selain untuk membantu kegiatan jasa atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.”

Dalam Pasal PP 35/2021, Pasal 66 UU Ketenagakerjaan Sementara tidak lagi mengatur pembatasan pekerjaan apa saja yang dilarang oleh pekerja outsourcing. Dalam deskripsi ini

“Persyaratan dan perlindungan hak-hak pekerja dalam kegiatan outsourcing atau outsourcing tetap ada. Undang-undang ini juga memasukkan pengertian pengalihan perlindungan hak-hak pekerja dalam hal terjadi perubahan di perusahaan outsourcing, bahkan dalam kegiatan eksternal.”

Aturan turunan UU Cipta Kerja adalah Pasal 19(1) PP Nomor 35 Tahun 2021, yang menyatakan: Dalam hal perusahaan outsourcing mempekerjakan pekerja berdasarkan PKWT, perjanjian kerja mewajibkan pekerja/buruh dilindungi. jika perusahaan outsourcing diubah dan subjek pekerjaan diubah.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengubah beberapa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, salah satunya terkait dengan persyaratan outsourcing. Sampai saat ini, outsourcing didefinisikan di bawah Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagai pengalihan sebagian pekerjaan ke organisasi lain. Sebagian pekerjaan dialihkan melalui 2 mekanisme, yaitu perjanjian piagam tugas atau pemberian jasa pekerja/buruh.

Namun UU Cipta Kerja mengubah ketentuan outsourcing dengan menghapus Pasal 64 dan Pasal 65 serta mengubah Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Outsourcing dikenal sebagai outsourcing dalam Undang-Undang Penciptaan Lapangan Kerja. PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja di Bidang Waktu Tertentu dan Pengalihdayaan dan Waktu Kerja (PP PKWT-PHK) mengatur bahwa perusahaan alih daya adalah badan hukum yang memenuhi kewajiban untuk melakukan pekerjaan tertentu berdasarkan perjanjian. Majikan setuju. Majikan setuju.

UU Cipta Kerja mencakup hak dan tanggung jawab perusahaan outsourcing dan stafnya. Pada dasarnya, perusahaan outsourcing bertanggung jawab penuh atas semua hasil dari pengaturan kerja.

Perlindungan pekerja, gaji, kesejahteraan, kondisi kerja dan konflik akibat mereka diatur dan bisnis outsourcing bertanggung jawab. Dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama diatur berbagai hal. Selanjutnya, hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dan pekerja yang dipekerjakan didasarkan pada PKWT atau perjanjian waktu tidak tertentu (PKWTT). Jika perusahaan outsourcing mempekerjakan orang berdasarkan PKWT, maka perjanjian tersebut harus memuat ketentuan pengalihan perlindungan hak bagi pekerja jika perusahaan outsourcing tersebut berubah selama tujuan pekerjaan tetap. Hal ini sesuai dengan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011 tentang pengujian Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU HAM.

UU Ketenagakerjaan sebelumnya menetapkan bahwa:

Batasan jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh personel outsourcing. Misalnya, pekerja outsourcing tidak boleh melakukan kegiatan utama atau terikat langsung dengan proses produksi; operasional penunjang yang dilakukan saja atau tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Namun, batasan ini dihapus oleh Undang-Undang Cipta Kerja.

Selain itu, pekerja/pekerjaan, upah dan kesejahteraan, kondisi kerja, serta perselisihan yang timbul sekurang-kurangnya dilakukan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, dan perusahaan outsourcing sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama wajib bertanggung jawab untuk mereka.

Sebagaimana ditunjukkan di atas, organisasi outsourcing dengan karyawan/karyawan mungkin PKWT atau PKWTT. Perjanjian kerja menuntut, khususnya bagi PKWT, pengalihan hak bagi pekerja dalam hal terjadi perubahan perusahaan outsourcing dan selama subjek pekerjaan tetap berjalan. Standar ini menjamin kelangsungan pekerjaan bagi karyawan yang bekerja di perusahaan outsourcing berdasarkan PKWT.

Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 (Putusan MK 27/2011) (hlm. 46-47), yang mengatur kalimat '...perjanjian kerja untuk satu periode' dalam Pasal 66(2)(b). Undang-undang Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan mengikat selama tidak ada peralihan hak bagi pekerja yang tujuan kerjanya tetap dalam perjanjian kerja, sekalipun ada perubahan dalam suatu perusahaan yang melakukan sebagian dari perusahaan lain atau perusahaan yang menyediakan pekerja/pekerjaan.

Apabila pekerja/buruh tidak mendapat jaminan kelangsungan pekerjaan sesuai dengan ketentuan tersebut di atas, maka pengusaha outsourcing bertanggung jawab atas pekerja/hak tersebut. Pekerja Perbedaan dalam pemborongan pekerjaan dan penyediaan layanan pekerja Mengenai perbedaan antara pemborongan pekerjaan dan pemberian jasa pekerja, Juanda Pangaribuan, praktisi hubungan industrial dan mantan hakim pengadilan ad hoc PHI, mencatat bahwa cakupan isi piagam pekerjaan lebih luas. Perbedaan keduanya menurut Juanda Pangaribuan terangkum disini:

Akan tetapi, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) telah menghapus ketentuan Pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan melalui Pasal 81 angka 18 dan 19 UU Cipta Kerja.

Outsourcing adalah pendelegasian operasi dan managemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing). Melalui pendelegasian, maka pengelolaan tak lagi dilakukan oleh perusahaan, melainkan dilimpahkan kepada perusahaan jasa Outsourcing [10]. Outsourcing atau alih daya merupakan proses pemindahan tanggung jawab tenaga kerja dari perusahaan induk ke perusahaan lain diluar perusahaan induk. Perusahaan diluar perusahaan induk bisa berupa vendor, koperasi ataupun instansi lain yang diatur dalam suatu kesepakatan tertentu. Outsourcing dalam regulasi ketenagakerjaan bisa hanya mencakup tenaga kerja pada proses pendukung (non--core business unit) atau secara praktek semua lini kerja bisa dialihkan sebagai unit Outsourcing.[7]

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh bisa berupa PKWT maupun PKWTT. Khusus untuk PKWT, perjanjian kerja harus mensyaratkan pengalihan pelindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada. Perbedaan Undang-Undang 13 Tahun 2003 dengan Undang-Undang 11 Tahun 2020 (Kluster Ketenagakerjaan)

Kesimpulan

Istilah outsourcing tidak ditemukan secara langsung dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketengakerjaan menyebutkan Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis, akan tetapi pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 disebutkan istilah perusahaan Alih Daya . Ketentuan hubungan kerja antara perusahaan Alihdaya (Outsourcing) dengan Pekerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 jucnto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tidak dibatasi, asalkan ada kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian PKWT maupun PKWTT. Dalam penyediaan jasa pekerja ada tiga pihak yang terlibat langsung dan satu pihak yang terlibat secara tidak langsung. Tiga pihak yang terlibat secara langsung adalah, antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh-buruhnya. Sedangkan pihak yang tidak terlibat secara tidak langsung adalah antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan pekerja/buruh perusahaan penyedia jasa pekerj/buruh. Akan tetapi setelah lahirnya Undang undang Cipta Kerja, sesuai dengan pasal 66 ayat 2, perlindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan , serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan Alihdaya.

References

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, https://peraturan.go.id/common/dokumen/ln/2003/UU%2013-2003.pdf
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 20200 Tentang Cipta Kerja, https://peraturan.go.id/common/dokumen/ln/2020/uu11-2020bt.pdf
  3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Kep.101/Men/VI/2004 Tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh, http://pelayanan.jakarta.go.id/download/regulasi/keputusan-menteri-tenaga-kerja-dan-transmigrasi-nomor-kep-101-men-vi-2004-tentang-tata-cara-perijinan-perusahaan-penyedia-jasa-pekerja-buruh.pdf
  4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Kep. 220/Men/X/2004 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaankepada Perusahaan Lain Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, https://www.indosdm.com/kep-220menx2004-outsourcing-ketenagakerjaan
  5. Pan Muhammad faiz, Artikel “Outsourcing (alih daya) dan pengelolaan Tenaga Kerja Pada Perusahaan, http://jurnalhukum.blogspot.com/2007/05/outsourcing-dan-tenaga-kerja.html.
  6. Muzni Tambusai, makalah “Pelaksanaan outsourcing ditinjau dari aspek hukum ketenagakerjaan tidak mengaburkan hubungan industrial” http://horizonilmu.blogspot.com/2006/06/pelaksanaan-outsourcing-ditinjau-dari.html
  7. Johnny Ibrahim, Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cetakan III, Bayu Media Publishing, Malang 2010. hlm.57
  8. Irit Suseno, Hand Out Metode Penelitian Hukum, Magister Hukum Untag 1945 Surabaya 2009
  9. Sehat Damanik, Outsourcing & Perjanjian Kerja Menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan , DSS Publishing, Jakarta, 2006, hlm 10
  10. “Seputar Tentang Tenaga Outsourcing”, http://malangnet.wordpress.com