Labor Law
DOI: 10.21070/ijler.v2i1.1727

Fragility of Non-Formal Sector Workers Based on Minimum Wage Regulations in Indonesia


Rapuhnya Pekerja di Sektor Non Formal Berdasarkan Peraturan Upah Minimum di Indonesia

Faculty of Law, Universitas Islam Kadiri, Kediri
Indonesia
Faculty of Law, Universitas Islam Kadiri, Kediri
Indonesia

(*) Corresponding Author

Law Enforcement Effectiveness Crime Wages

Abstract

The protection of labor rights is regulated in Indonesian Labor Law Number 13 of 2013. In addition to regulating the rights and obligations between stakeholders involved in working relationships, the Labor Law also regulates criminal sanctions against persons who violate the provisions provided for in the law. One of the criminal provisions in the Labor Law is regulated in article 185 (1) juncto article 90 (1) which specifically regulates the crime of wages. In this article there is a provision that employers who do not pay labor wages in accordance with the provisions can be convicted, however, disputes between employers and workers due to unsuitable wage issues are rarely resolved in criminal law. The objective of this research is to analyze the effectiveness of article 185 (1) juncto article 90 (1) which regulates the crime of wages in protecting the right of worker to the proper wage. The type of research that will be conducted is empirical legal research using sociological juridical approach. This research was conducted in Kediri. From the research, it is found that Article 185 (1) juncto Article 90 (1) is effective to protect the wage of labor only in the formal industry sector, because in the non-formal sector, there are still many workers who earn below minimum wages.

Pendahuluan

Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yakni Undang-Undang Dasar 1945 mengatur pada Pasal 27 ayat (2) bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Makna pasal ini adalah bahwa semua bentuk pekerjaan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya harus berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku secara universal. Ketentuan dalam pasal ini kemudian dipertegas lagi dengan Pasal 28D ayat (2). Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Dari pasal ini maka dapat disimpulkan bahwa mendapat imbalan yang adil dan layak adalah hak tenaga kerja yang dilindungi oleh undang-undang.

Sangat disayangkan bahwa hak dasar tenaga kerja untuk menerima upah yang layak yang sebenarnya telah dilindungi oleh undang-undang dasar ini nampaknya belum terwujud. Kenyataan yang ada justru menunjukkan bahwa kesejahteraan tenaga kerja di Indonesia masih belum tercapai. Kondisi tenaga kerja di Indonesia masih lemah dan termarginalisasikan. Upah yang mereka terima sering tidak mencukupi untuk menghidupi diri dan keluarganya. Padahal kebutuhan hidup semakin meningkat, sementara upah yang mereka terima relatif tetap. Bahkan setelah reformasi berjalan selama belasan tahun, tenaga kerja masih juga menghadapi berbagai macam persoalan krusial, baik dalam konteks eksternal seperti relasi tenaga kerja dengan pemerintah dan pengusaha, maupun problem internal seputar mutu sumber daya mereka hingga konflik kepentingan antar pengurus serikat tenaga kerja. Hal ini cenderung membawa tenaga kerja ke posisi tawar yang lemah.

Pengaturan upah tenaga kerja di Indonesia diatur dalam ketentuan Pasal 88 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Naker). Berdasarkan pasal ini, Indonesia mengenal konsep pengupahan berdasarkan upah minimum. Upah minimum ini meskipun ditetapkan oleh pemerintah namun besarnya tergantung pada daerah masing-masing. Hal ini berakibat pada besaran upah yang diberikan oleh pemberi kerja kepada tenaga kerja menjadi tidak sama di setiap daerah. Sampai saat ini, persoalan penetapan upah selalu menjadi masalah yang krusial bagi tenaga kerja, industri pemberi kerja dan pemerintah. Setiap tahun pada saat penetapan upah minimal di daerah-daerah selalu menjadi seperti ajang pertarungan bagi para tenaga kerja untuk sedikit berharap agar upah yang akan ditetapkan oleh pemerintah pada tahun tersebut akan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Upah adalah tujuan dari tenaga kerja dalam melakukan pekerjaan. Setiap tenaga kerja selalu mengharapkan upahnya lebih banyak dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Ketentuan mengenai upah minimum sebagai perlindungan pertama pengupahan di Indonesialah yang dirasa paling penting. Karena upah minimum menjadi dasar perhitungan upah-upah yang lain.

UU Naker tidak hanya berisi norma-norma ketenagakerjaan yang mengatur hubungan perburuhan beserta implikasinya antara buruh/pekerja dengan pengusaha, melainkan juga terdapat sanksi-sanksi yang mulai sifatnya hanya administratif hingga pidana penjara. Ketentuan pidana ini diatur mulai dari pasal 183 hingga 189, namun dalam prakteknya, jarang sekali mekanisme pidana dalam undang-undang ini digunakan oleh aparat penegak hukum untuk mengimplementasikan norma yang ada.

Salah satu ketentuan pidana dalam Naker adalah Pasal 185 ayat (1) juncto Pasal 90 ayat (1). Pasal ini mengatur tentang tindak pidana tentang pembayaran upah di bawah upah minimum. Pengusaha yang membayar tenaga kerjanya dibawah upah minimum seharusnya melalui mekanisme persetujuan penangguhan oleh Gubernur setempat. Yang menjadi pertanyaan, mengapa kasus pengusaha yag membayar upah tenaga kerjanya dibawah upah minimum hanya sedikit yang dibawa ke pengadilan pidana,? Padahal ketentuan pasal yang tersebut diatas sudah jelas bahwa membayar upah dibawah upah minimum adalah tindak pidana kejahatan.

Berdasarkan uraian-uraian diatas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektifitas pasal pemidanaan dalam UU Naker, terutama pasal 185 (1) juncto pasal 90 (1) yang mengatur tentang tindak pidana pengupahan dalam melindungi hak pekerja atas upah yang layak bagi kemanusiaan. Dengan demikian, maka harapan bahwa upah yang diterima oleh tenaga kerja adalah upah yang layak dan adil, bukan hanya dimata pemberi upah dan pemerintah, tetapi terutama bagi tenaga kerja itu sendiri bukanlah suatu hal yang muluk, karena kembali ke makna yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, bahwa setiap warga negara, berhak untuk memperoleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah peneltian hukum empiris. Yakni penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. Penelitian ini akan melihat bagaimana pasal pemidanaan dalam UU Naker bekerja dalam masyarakat, efektif atau tidaknya undang-undang tersebut bekerja dan apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas tersebut. Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis. Dimana secara yuridis peneliti akan menganalisis pasal 185 (1) juncto Pasal 90 (1), sedangkan secara sosiologis penelitian ini akan mengkaji efektifitas pasal tersebut, bagaimana pelaksanaannya di lapangan dan bagaimana efektifitasnya dalam melindungi hak tenaga kerja atas upah yang layak bagi kemanusiaan.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Kediri, Propinsi Jawa Timur. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah: (1) data primer yang diperoleh dengan wawancara dengan narasumber, (2) data sekunder yang diperoleh dari studi pustaka terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku kepustakaan dan dokumen-dokumen lainnya. Data-data dan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis dengan cara deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode analisis data dengan cara pengelompokan dan penyeleksian data yang diperoleh dari penelitian menurut kualitas dan kebenarannya. Data tersebut kemudian dihubungkan dengan teori-teori dan peraturan perundang-undangan yang diperoleh dari studi pustaka, sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini

Pembahasan

Tindak Pidana Ketenagakerjaan di Bidang Pengupahan

Pesatnya perkembangan kemajuan kehidupan manusia, salah satu pendorongnya adalah kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan kehidupan manusia ini tentu berpengaruh pula terhadap perubahan sosial kemasyarakatan, yang kemudian melahirkan pula masalah-masalah sosial. Untuk mengatasi masalah-masalah sosial ini negara harus mampu hadir dan memposisikan diri sebagai regulator, agar tujuan negara yakni untuk mencapai kesejahteraan masyarakatnya dapat tercapai.

Demikian pula dalam hukum pidana, diperlukan juga bentuk hukum baru dalam lingkup hukum pidana. Tidak hanya sebatas mengenai ketentuan pidana yang dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP), tetapi tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undang diluar KUHP yang membahas mengenai banyak rumusan delik baru yang muncul karena adanya perkembangan ilmu dan teknologi. Andi Hamzah berpendapat bahwa adanya perubahan sosial secara cepat menyebabkan perubahan-perubahan itu perlu disertai dan diikuti dengan peraturan-peraturan hukum beserta sanksi pidananya. Hukum pidana yang lebih khusus ini tercipta karena beberapa kondisi antara lain:

  1. Adanya proses kriminalisasi atau suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Perkembangan dalam suatu masyarakat menimbulkan perubahan pandangan serta penilaian masyarakat terhadap suatu perbuatan tertentu, dimana semula dianggap bukan suatu hal yang jahat sedangkan perbuatan tersebut belum diatur dalam suatu perundang-undangan hukum pidana. Halini terjadi dapat disebabkan karena adanya perubahan norma atau dapat pula disebabkan adanya perkembangan teknologi dalam kehidupan masyarakat.
  2. Undang-undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
  3. Adanya suatu keadaan mendesak sehingga perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
  4. Adanyasuatuprosesperbuatan khusus, dimana jika menggunakan proses yang telah ada, akan mengalami kesulitan pembuktiannya.

Efektivitas Pasal 185 (1) Juncto Pasal 90 (1) Undang-Undang Ketenagakerjakan Sebagai Upaya Perlindungan Upah Tenaga Kerja

Salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana yang tidak terdapat dalam KUHP yaitu Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Naker) yang mengatur tindak pidana di bidang ketenagakerjaan. Ketenagakerjaan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan setelah selesainya masa hubungan kerja. Hukum Ketenagakerjaan sendiri sebenarnya berdiri di dua ranah hukum, yakni hukum bersifat publik dan privat. Hukum Ketenagakerjaan disebut berada di ranah publik karena hukum ketenagakerjaan mempunyai sifat protektif, daya paksa dan memiliki sanksi. Sedangkan disebut berada di ranah privat karena dalam Hukum Ketenagakerjaan terdapat hubungan hukum yang bersifat kontraktual dalam rangka melakukan kegiatan produksi berdasarkan asas keseimbangan kepentingan.

Hukum ketenagakerjaan timbul karena adanya ketidaksetaraan posisi tawar antara pengusaha dan pekerja. Terutama bagi pekerja yang posisi tawarnya lebih lemah dari pengusaha. Tujuan dasar Hukum Ketenagakerjaan adalah melindungi pihak yang lemah, dalam hal ini pekerja dari kesewenang-wenangan pengusaha yang dapat timbul dalam hubungan kerja dengan tujuan memberikan perlindungan hukum dan mewujudkan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan hukum ini diperlukan proses pembentukan dan penegakan hukum melalui politik hukum sebagai sarananya. Dalam hal ini politik hukum sebagai kebijakan dasar berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan pembinaan hukum nasional, dimana politik hukum menentukan hukum yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang disebut sebagai kebijakan hukum (legal policy). Kebijakan hukum yang diambil oleh pemerintah (negara) dalam bidang ketenagakerjaan salah satunya adalah menggunakan upaya hukum pidana.

Penggunaan upaya hukum pidana oleh pemerintah (negara) dalam bidang ketenagakerjaan dipandang sebagai salah satu upaya yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah-masalah di bidang ketenagakerjaan, terutama demi tujuan untuk mencapai kesejahteraan pekerja pada khususnya, dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara luas. Alasan lain penggunaan upaya hukum pidana dalam bidang ketenagakerjaan dapat merujuk pada tujuan hukum pidana itu sendiri, dimana berdasarkan teori Absolut (Vergeldingstheorie), tujuan hukum pidana adalah sebagai pembalasan terhadap pelaku tindak kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang lain. Serta menurut teori Relatif (Doeltheori), bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk membuat jera, memperbaiki pribadi terpidana dan membuat terpidana tidak berdaya.

Tindak pidana sendiri, secara umum terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu tindak pidana kejahatan (rechtsdelicten) dan tindak pidana pelanggaran (wetsdelicten). Pembedaan tindak pidana kejahatan dan pelanggaran ini didasarkan pada alasan bahwa dalam kenyataannya pada masyarakat terdapat perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya memang sudah tercela dan pantas untuk dipidana, bahkan sebelum dinyatakan demikian oleh peraturan perundang-undangan (kejahatan), dan ada pula perbuatan yang baru yang bersifat melawan hukum dan dipidana setelah peraturan perundang-undangan menyatakan demikian (pelanggaran). Pembagian jenis tindak pidana seperti ini juga dikenal dalam UU Naker. Dimana, tindak pidana berupa kejahatan diatur dalam Pasal 183 ayat (1), Pasal 184 ayat (1), dan Pasal 185 ayat (1). Sedangkan tindak pidana yang berupa pelanggaran diatur dalam Pasal 186 (1), Pasal 187 (1) dan Pasal 188 (1).

Tindak pidana yang berkaitan dengan pengupahan sendiri perbuatannya diatur dalam Pasal 90 ayat (1) UU Naker. Pasal ini mengatur bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Sedangkan ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 185 ayat (1) yang menyebutkan bahwa perbuatan melanggar Pasal 90 ayat (1) ini dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

Sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 185 ayat (1) UU Naker ini bersifat kumulatif yaitu pidana penjara dengan minimum 1 tahun dan maksimum 4 tahun ditambah dengan denda minimum 100 juta maksimum 400 juta. Sanksi pidana tersebut telah memadai dan diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi yang melanggarnya. Pekerja/ serikat buruh sering beranggapan bahwa ancaman sanksi pidana dalam undang-undang ketenagakerjaan adalah kurang akurat, sebaliknya pihak pengusaha merasa bahwa ancaman sanksi pidana dalam undang-undang di bidang ketenagakerjaan sangat berat. Tujuan diberikannya sanksi yang berat tersebut adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak pekerja dan memberikan daya paksa terhadap pemenuhan ketentuan-ketentuan normatif di bidang ketenagakerjaan khususnya oleh pengusaha.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Naker), telah memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan pekerja adalah setiap orang yang menghasilkan barang atau jasa yang mempunyai nilai ekonomis baik yang menerima gaji atau bekerja sendiri yang terlibat dalam kegiatan manual. Atau, sebagai tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja pada pengusaha dengan menerima upah dan atau imbalan dalam bentuk lain. Sebagai tenaga kerja, mereka berhak menerima upah dari pemberi kerja, sedangkan pemberi kerja, wajib memberi upah terhadap tenaga kerjanya.

Upah sendiri didefinisikan sebagai hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha/ pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan atau dibayarkan menurut perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan. Penetapan upah ini sendiri tidak dapat ditentukan secara sepihak oleh pengusaha/ pemberi kerja, tetapi harus mengikuti ketentuan tentang upah minimum pada Pasal 89 UU Naker. Hal ini dipertegas dengan ketentuan dalam Pasal 90 ayat (1) UU Naker yang melarang pengusaha/ pemberi kerja memberikan upah di bawah upah minimum. Ketentuan dalam Pasal 90 ayat (1) ini memiliki sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 185 ayat (1) UU Naker.

Pertanyaan yang timbul kemudian adalah, apakah aturan ini efektif memberikan perlindungan kepada seluruh pekerja agar mereka mendapatkan upah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan?Menurut Lawrence M. Friedman, implementasi sebuah produk hukum dipengaruhi oleh substansi, struktur dan kultur. Implementasi sebuah produk hukum dalam suatu komunitas masyarakat sangat baik, karena didukung oleh kultur yang baik melalui partisipasi masyarakat (public participation). Pada masyarakat seperti ini, meskipun komponen struktur dan substansinya tidak begitu baik hukumnya akan tetap jalan dengan baik. Begitu pula sebaliknya, jika tidak ada dukungan dari masyarakat, sebaik apapun struktur dan substansi tersebut, hasilnya tetap tidak akan baik dalam implementasi hukumnya.

Achmad Ali berpendapat bahwa efektivitas hukum dapat diukur dari sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati. Lebih lanjut Achmad Ali pun mengemukakan bahwa pada umumnya faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundang-undangan tersebut.

Menurut Soerjono Soekanto, efektif adalah taraf sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum. Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum, hukum tidak hanya identik dengan unsur paksaan eksternal namun juga dengan proses pengadilan. Ancaman paksaan adalah unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat dikategorikan sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan erat kaitannya dengan efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan hukum. Membicarakan tentang efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Hukum dapat efektif jika faktor-faktor yang mempengaruhi hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuran efektif atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilihat dari perilaku masyarakat. Suatu hukum atau peraturan perundang-undangan akan efektif apabila warga masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau dikehendaki oleh atau peraturan perundang-undangan tersebut mencapai tujuan yang dikehendaki, maka efektivitas hukum atau peraturan perundang-undangan tersebut telah dicapai.

Lalu bagaimanakah efektifitas ketentuan dalam Pasal 185 ayat (1) juncto Pasal 90 ayat (1) UU Naker di Kota Kediri yang menjadi lokasi penelitian? Kota Kediri sendiri dapat digolongkan sebagai kawasan perkotaan yang sedang berkembang. Kota Kediri banyak memiliki unit-unit usaha industri dengan skala usaha yang bervariasi, meliputi industri besar, menengah dan kecil. Industri-industri besar yang ada di Kota Kediri bergerak di bidang industri gula dan rokok. Sedangkan untuk Industri Kecil dan Menengah (IKM) sebagian besar bergerak dalam produksi makanan serta pengolahan hasil pertanian. Berdasarkan klasifikasi subsektor industri nonmigas yang ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian RI, kondisi aktual sektor perindustrian di Kota Kediri pada 2011 ada 563 unit usaha dan 46.248 tenaga kerja. Sedangkan pada sektor Industri Kecil dan Menengah (IKM) terdapat 560 unit usaha dan 5.825 tenaga kerja.

Berdasarkan data primer yang diperoleh dari wawancara dan observasi yang dilakukan di Dinas Koperasi, Usaha Mikro dan Tenaga Kerja Kota Kediri didapatkan data bahwa tidak terdapat permasalahan mengenai pengupahan di Kota Kediri. Dalam artian belum pernah ada laporan pengaduan mengenai masalah upah yang terjadi di Kota Kediri, baik tentang pemberian upah yang diberikan dibawah upah minimum, dan atau tentang tunjangan-tunjang lain. Kasus-kasus hubungan industrial yang terjadi di Kota Kediri dan ditangani oleh Bidang Hubungan Industrial di Dinas Koperasi, Usaha Mikro dan Tenaga Kerja Kota Kediri terutama berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja sepihak, dan uang pesangon.

Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada pengusaha/ pemberi kerja yang memberikan upah kepada pekerja dibawah upah minimum. Untuk industri menengah dan besar, seluruhnya telah memberikan upah sesuai dengan upah minimum Kota Kediri. Sebaliknya, di sektor IKM, masih terdapat pengusaha yang memberikan upah dibawah upah minimum. Alasan para pengusaha ini sangat sederhana, bahwa pendapatan usaha masih belum mencukupi untuk membayar pekerja sesuai ketentuan upah minimum yang diberlakukan di Kota Kediri. Jika dipaksakan, usaha mereka akan mengalami kerugian dan terancam tutup.

Sebagian besar pengusaha IKM yang belum memberikan upah sesuai dengan ketentuan upah minimum umumnya berlatar pendidikan rendah dan tidak memiliki pengetahun tentang hukum. Mereka mengetahui tentang jumlah upah minimum yang diberlakukan di Kota Kediri, namun tidak memiliki pengetahuan tentang keberadaan UU Naker dan Pasal 185 ayat (1) juncto Pasal 90 ayat (1) yang mengatur tentang tindak pidana pengupahan. Sebagian pengusaha dengan latar belakang pendidikan lebih tinggi mengetahui tentang ketentuan mengenai upah, tetapi tidak bisa memberikan upah sesuai ketentuan karena keterbatasan pendapatan IKM yang mereka miliki. Alasan lain yang dikemukakan bahwa pemberian upah ini sudah disepakati dalam perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja, jadi pengusaha beranggapan bahwa selama pekerja dapat menerima upah yang diberikan, maka tidak menjadi masalah jika pengusaha memberi upah dibawah ketentuan. Keberadaan IKM yang memberikan upah pekerjanya dibawah upah minimum ini bukan tanpa sepengetahuan pihak yang berwenang (dalam hal ini Dinas Koperasi, Usaha Mikro dan Tenaga Kerja Kota Kediri), tetapi berdasarkan data pendapatannya, IKM tersebut memang tidak memiliki kemampuan, sehingga pihak yang berwenang masih memberikan kelonggoran dan hanya memberi teguran dan pengarahan.

Berdasarkan pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa aturan pada Pasal 185 ayat (1) juncto Pasal 90 ayat (1) yang mengatur tentang tindak pidana pengupahan efektif hanya pada sektor industri menengah dan besar. Sedangkan pada industri kecil dan menengah, aturan ini belum efektif. Dengan adanya indikasi bahwa masih terdapat pengusaha yang memberikan upah dibawah upah minimum. Keberadaan ancaman pidana rupanya belum bisa membuat pasal ini efektif bekerja, hal ini dikarenakan pada faktor penegakan hukumnya. Ketentuan dalam pasal ini adalah tindak pidana murni (bukan aduan). Artinya, tindak pidana ini tidak perlu adanya aduan. Penanganan harus dilakukan oleh pihak yang berwajib (Penyidik Kepolisian dan atau Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan) tanpa harus menunggu pengaduan dari korban (tenaga kerja). Itu juga berarti setiap orang berhak melaporkan tindak pidana ini, meskipun dirinya bukan korban.

Kesimpulan

Tindak pidana yang berkaitan dengan pengupahan diatur dalam Pasal 90 ayat (1) UU Naker. Pasal ini mengatur bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Sedangkan ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 185 ayat (1) yang menyebutkan bahwa perbuatan melanggar Pasal 90 ayat (1) ini dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Aturan tentang tindak pidana pengupahan ini efektif hanya pada sektor industri menengah dan besar. Sedangkan pada industri kecil dan menengah, aturan ini belum efektif. Dengan adanya indikasi bahwa masih terdapat pengusaha yang memberikan upah dibawah upah minimum.

References

  1. Agusmidah, Dilematika Hukum Ketenagakerjaan Tinjauan Politik Hukum, Jakarta: PT. Sofmedia, 2011.
  2. Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol.1. Jakarta: Kencana, 2010.
  3. Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana 1: Bagian 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
  4. Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Empiris dan Normatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
  5. Friedman, Lawrence M. Sistem Hukum: Perspektif Ilmu, Bandung: Nusa Media, 2009.
  6. Hamzah, Andi. Delik-Delik yang Tersebar di Luar KUHP. Jakarta: PT. Pradnya Paramitha, 1995.
  7. Loqman, Loeby. Delik Politik di Indonesia. Jakarta: Ind- Hill. Co, 1993.
  8. Marpaung, Leden. Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
  9. Soekanto, Soerjono. Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi. Bandung: CV. Ramadja Karya, 1988.
  10. Sudjana, Eggi. Tenaga kerja Menggugat: Perspektif Islam. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002.
  11. Syafa’at, Rachmad. Gerakan Tenaga kerja dan Pemenuhan Hak Dasarnya. Malang: In-Trans Publishing, 2008.
  12. Wijayanti, Asri. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
  13. Fendri, Azmi. “Perbaikan Sistem Hukum dalam Pembangunan Hukum di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2, (2011), 12.
  14. Prima, Aristo. “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan”, Jurnal Mercatoria, Vol. 9, No. 2 (2016): 158.
  15. Fauzia, Mutia. “Aneka Permasalahan Buruh Jelang Hari Buruh Sedunia”, Kompas, April 30, 2018, diakses tanggal 20 Juli 2018, https://ekonomi.kompas.com/read/2018/04/30/160329526/aneka-permasalahan-buruh-jelang-hari-buruh-sedunia
  16. Pitoko, Ridwan Aji. Buruh di Tangerang Tuntut Dua Hal Ini pada May Day Besok, ”, Kompas, April 30, 2018, diakses tanggal 20 Juli 2018, https://ekonomi.kompas.com/read/2018/04/30/141705026/buruh-di-tangerang-tuntut-dua-hal-ini-pada-may-day-besok
  17. Vonis Pidana Upah, Mulai Tegaknya Hukum Perburuhan?”, Trade Union Rights Centre, Modifikasi terakhir: September 19, 2014, https://www.turc.or.id/kasus-vonis-pidana-upah-mulai-tegaknya-hukum-perburuhan/
  18. “Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum Bagi Perusahaan Tidak Mampu”, Hukum Online, Modifikasi terakhir: Oktober 10, 2016, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50b81d32ad45d/penangguhan-pelaksanaan-upah-minimum-bagi-perusahaan-tidak-mampu
  19. “Potensi Industri Kota Kediri.” Kedirikota.go.id. Modifikasi terakhir: September 8, 2015, https://kedirikota.go.id/read/Investasi/31/1/49/Industri.html
  20. Peraturan Perundang-undangan
  21. Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.