Philosophy of Law
DOI: 10.21070/ijler.2021.V10.694

Juridical Review on Restrictions of Internet Access by Governments in Human Rights Perspective (Case Study of Jakarta Administrative Court Decision Number: 230/G/TF/2019/PTUN-JKT)


Pembatasan Akses Internet oleh Pemerintah dalam Prespektif Hak Asasi Manusia (Studi Kasus Putusan PTUN Jakarta Nomor : 230/G/TF/2019/PTUN-JKT

Law Study Program, Faculty of Business, Law and Social Sciences, University of Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Law Study Program, Faculty of Business, Law and Social Sciences, University of Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Internet Accsess Rights Restrictions Human Rights

Abstract

This study aims to find out whether the judge's decision number 230/G/TF/2019/PTUN-JKT is in accordance with human rights regulations and also to find out whether internet access rights are part of human rights. The research method that the author uses is a normative juridical approach using a case approach or commonly known as the case approach. The conclusion of this study explains that internet access rights are part of Human Rights (HAM) because they both contain elements of freedom of expression and seek, convey and receive information without any restrictions. If there is a policy that limits internet access rights, then the policy is the same as limiting Human Rights and the policy can be said to be a violation of Human Rights. In decision number 230/G/TF/2019/PTUN-JKT, the Panel of Judges concluded that the actions of the defendants constituted a limitation on Human Rights (HAM) and that the action contained legal void so that the Panel of Judges decided that the action was against the law.

Pendahuluan

Negara Indonesia merupakan negara yang berlandaskan hukum dimana setiap warga negara wajib mentaati norma hukum yang ada demi tercipta dan terwujudnya rasa keadilan. Negara Indonesia wajib menjamin kesejahteraan rakyatnya dalam berbagai aspek salah satunya yaitu melindungi Hak Asasi Manusia. Tetapi, belakangan ini Pemerintah beberapa kali melakukan pembatasan akses internet yang mana hak akses internet ini merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Pada tanggal 22 sampai tanggal 25 Mei 2019, pemerintah Indonesia melakukan pembatasan akses media sosial guna mencegah terjadinya penyebaran isu dan hoax dalam sidang MK pemilu serentak. Kemudian pada pertengahan bulan Agustus 2019, pemerintah juga melakukan pembatasan akses internet didaerah Papua sehingga masyarakat Papua kesulitan dalam mengakses internet.

Kasus di Papua ini terjadi karena adanya tindakan rasisme dan tindakan diskriminasi yang dilakukan kepada beberapa mahasiswa yang terdapat di asrama mahasiswa Papua tepatnya terletak di kota pahlawan Surabaya, yaitu sebuah makian dari beberapa oknum kepada mahasiswa asal Papua dengan berkata bahwa perilaku Mahasiswa asal Papua ini memiliki perilaku yang sama seperti hewan karena mereka tidak dapat menghargai adanya bendera Merah Putih yang sebelumnya ditemukan terjatuh disekitar asrama tersebut. Hal tersebut telah melebar luas dengan cepat karena adanya media sosial dan jaringan internet yang membuat beberapa warga di wilayah Papua dan Papua Barat merasa tidak terima karena saudaranya diperlakukan tidak sewajarnya. Sejak kejadian tersebut banyaknya penyebaran hoax dimedia sosial yang bersifat menghasut atau mengadu domba. Akhirnya Pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kekominfo) dalam mencegah terjadinya kericuhan melakukan perlambatan (throttling) dan pemblokiran (blackouts) akses internet di beberapa wilayah Papua dan Papua Barat pada tanggal 19 Agustus 2019 pukul 13.00 WIT dan mulai normal kembali pada pukul 20.30 WIT.[1] Selanjutnya, Kementrian Komunikasi dan Informatika melakukan pemblokiran layanan data dan pembatasan akses internet secara menyeluruh di Provinsi Papua dan Papua Barat untuk alasan mempercepat pemulihan situasi keamanan dan ketertiban pada tanggal 21 Agustus 2019 sampai 04 September 2019. Kebijakan tersebut dilakukan sampai kondisi di Papua dinilai sudah kondusif atau normal kembali. Karena kebijakan tersebut, masyarakat di daerah Papua tidak terima, mereka merasa dengan adanya kebijakan tersebut mereka menjadi sulit dalam perekonomian dan keseharian mereka yang tidak dapat mengakses internet serta banyak dari mereka terutama wartawan di daerah Papua yang merasa terganggu dalam masalah pekerjaan. Internet bersifat netral yaitu bisa digunakan baik untuk hal yang positif maupun negatif, apabila ada sebuah konten yang melanggar hukum, seharusnya yang dibatasi atau diblokir bukanlah jaringan internetnya melainkan kontennya.[2] Akibat kebijakan pemblokiran internet di Papua, sejumlah lembaga antara lain Analisis Jurnalis Independen (AJI) selaku penggugat pertama kemudian Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) selaku penggugat kedua telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta di hari Kamis pada tanggal 21 November 2019 atas nomor register 230/G/TF/2019/PTUN-JKT dengan menggugat Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia selaku tergugat kesatu dan Presiden Republik Indonesia selaku tergugat kedua dalam gugatan bahwa para tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).[3]

Menurut Made Aryandi Singa Gothama, Anak Agung Istri Ari Atu Dewi (2019), menjelaskan bahwa dalam prespektif Hak Asasi Manusia, mengakses media sosial merupakan bagian dari hak atas kebebasan informasi dan hak tersebut dapat dibatasi karena hak atas kebebasan merupakan deregable right yang pemenuhannya dapat dibatasi, akan tetapi pembatasan tersebut harus dilakukan dengan tujuan yang sah dan dianggap sebagai hal yang benar-benar perlu dilakukan. Pemerintah diberikan kewenangan untuk mencegah dan memblokir situs yang memuat informasi-informasi tertentu misalnya seperti konten negatif atau konten yang melanggar aturan.[4] Kemudian menurut Ahmad Porwo Edi Atmaja (2021), menjelaskan bahwa perkembangan internet di Indonesia termasuk cukup maju, karena itu hak atas kebebasan mengakses internet di Indonesia mengandung dua macam HAM, yakni hak atas kebebasan berekspresi dan hak atas informasi.[5]

Internet bisa dikatakan sebagai suatu kebutuhan pada era globalisasi ini, karena dengan adanya internet setiap manusia dapat mengakses hiburan dan sosial media serta beberapa diantaranya menggunakan sebagai pekerjaan mereka sehari-hari. Internet telah menjadi medium penting dalam pemenuhan hak atas informasi pada era globalisasi ini karena hak akses internet secara universal telah diterima sebagai hak dasar manusia,[6] yang merupakan aktualisasi beragam dari Hak Asasi Manusia, misalnya seperti hak atas mencari informasi dan hak atas kebebasan berbicara, berpendapat serta berekspresi. Menurut Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), menjelaskan bahwa setiap manusia berhak melakukan kebebasan dalam berpendapat serta berekspresi.[7] Arti kebebasan tersebut yakni kebebasan untuk menerima infromasi, mencari imformasi, serta menyampaikan informasi melalui media sosial tanpa adanya gangguan dan batasan. Pemerintah berhak melakukan pembatasan atau pemutusan akses internet apabila keadaan tersebut termasuk dalam keadaan darurat. Jadi, jika ada suatu konten yang melanggar hukum seharusnya yang dibatasi adalah kontennya bukan akses jaringannya. Berdasarkan Pasal 40 Ayat 2b Undang-undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjelaskan pembatasan hak atas internet bisa dilakukan terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang mempunyai konten yang melanggar hukum dan pembatasan tersebut tidak meliputi pemutusan akses jaringan internetnya. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka setiap manusia berhak untuk mendapatkan akses internet dan dapat mengecam Negara atau pemerintah yang menghalang-halangi atau bahkan melarangnya menggunakan akses internet tersebut.[8]

Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu suatu hak dasar yang telah ada di diri manusia sejak lahir dan berlaku kapan pun, dimana pun serta kepada siapa pun. Sesuai dengan adanya ketentuan Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwasanya Negara, terutama Pemerintah memiliki tanggung jawab terhadap Hak Asasi Manusia setiap rakyatnya berupa Perlindungan, Pemajuan, Penegakkan serta pemenuhan.[9] Selanjutnya ketentuan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menjelaskan bahwa Pemerintah wajib dan bertanggungjawab atas hak asasi manusia dalam menghormati, melindungi, menegakkan serta memajukan.[10] Hak Asasi Manusia merupakan sebuah anugerah yang dimiliki setiap manusia, karena itu Negara wajib dalam melindungi, menghormati serta memenuhi hak asasi manusia bagi rakyatnya. Kemudian berdasarkan Pasal 28F ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan setiap manusia berhak juga untuk melakukan komunikasi dalam memperoleh informasi supaya dapat menambah wawasan serta dapat mengembangkan pribadi serta lingkungan sosialnya. Jadi, setiap manusia memiliki hak dalam mencari informasi, memperoleh informasi, memiliki informasi, mengolah informasi serta menyampaikan informasi dengan menggunakan berbagai jenis saluran ada dan Negara maupun pemerintah tidak dapat membatasi hak asasi manusia dalam kebebasan berkomunikasi dan mencari informasi. Apabila Negara atau Pemerintah membatasi Hak Asasi Manusia, maka bisa dikatakan sebagai perbuatan yang melangar Hak Asasi Manusia sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang – undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menjelaskan bahwasanya perbuatan seseorang atau sekelompok orang baik itu aparat Negara yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja dalam kelalaian, membatasi serta mencabut hak asasi manusia seseorang maupun sekelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang maka perbuatan tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

Dengan adanya latar belakang diatas, maka penulis memiliki tujuan yaitu untuk mengetahui apakah putusan hakim nomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT sudah sesuai dengan peraturan Hak Asasi Manusia serta untuk mengetahui apakah hak akses internet merupakan bagaian dari Hak Asasi Manusia.

Metode

Penulisan Hukum ini memerlukan sebuah metode penelitian yang tepat supaya mendapatkan hasil yang diinginkan, karena itu metode penelitian hukum yuridis normatif yang dipakai oleh penulis. Metode penelitian hukum yuridis normatif berbasis pada bahan-bahan dan kaidah-kaidah hukum yang sudah ada.[11] Penelitian ini bertumpu pada pengkajian terhadap aturan hukum yang mempunyai isi konsep teoritis yang berhubungan dengan isu hukum atas apa yang diteliti oleh penulis.

Pendekatan masalah merupakan metode dasar dalam melakukan sebuah penelitian. Penulis dalam pendekatan yang dipakai yakni pendekatan pada kasus atau biasa dikenal dengan case approach yaitu dengan memperlajari kasus - kasus serta undang – undang yang berkaitan pada isu hukum.

Berikut merupakan jenis bahan hukum yang dipakai penulis untuk mengumpulkan data pada penelitian, diantaranya ada sumber bahan hukum primer terdiri atas kumpulan beberapan bahan yang memiliki kekuatan hukum mengikat, yakni sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1948.
  3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Keadaan Bahaya
  4. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Tahun 1966
  5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
  6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
  7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil)
  8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
  9. Putusan Pengadlan Tata Usaha Negara – Jakarta Nomor Perkara 230/G/TF/2019/PTUN-JKT.

Kemudian bahan hukum sekunder terdiri dari bahan yang dipakai dalam menjelaskan tentang penelitian terdahulu, diantaranya yaitu buku-buku hukum, artikel ilmiah serta beberapa jurnal yang relavan dengan adanya isu hukum.

Analisa adalah suatu proses dalam bentuk penyederhanaan yang mudah dibaca dan dipahami untuk menemukan jawaban dari pokok masalah isu hukum. Dalam penelitian ini, analisa yang digunakan yaitu metode deduktif yang mana analisa tersebut menjelaskan suatu hal yang bersifat umum untuk dijadikannya sebuah kesimpulan tekait dengan pembatasan akses internet oleh pemerintah dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM).

Hasil dan Pembahasan

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan nomor perkara 230/G/TF/2019/PTUN-JKT berisi tentang putusan dengan pertimbangan-pertimbangan dalam sengketa. Sengketa tersebut terjadi antara para penggugat yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) selaku dari penggugat pertama dan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFAnet) selaku dari penggugat kedua dengan melawan para tergugat yaitu Menteri Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia selaku tergugat kesatu dan Presiden Republik Indonesia selaku tergugat kedua.

Dalam putusan nomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT yang menjadi objek gugatan tersebut ialah tindakan pemerintah dalam melakukan pembatasan dan pemutusan akses jaringan internet di Papua dan Papua Barat pada tanggal 14 Agustus 2019 sampai dengan tanggal 09 September 2019. Jika dilihat dari adanya objek gugatan, maka tindakan pemerintah merupakan tindakan terhadap pembatasan Hak Asasi Manusia dalam melakukan kebebasan berekspresi yang seharusnya tindakan tersebut dapat dilakukan apabila adanya suatu keadaan bahaya atau keadaan darurat yang sesuai dengan legatitas yang berlaku.

Adapun yang menjadi analisa penulis dalam pertimbangan-pertimbangan hukum putusan hakim Nomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT ditinjau dari Hak Asasi Manusia, yaitu sebagai berikut:

  1. Bahwa dalam perkara sengketa a quo ini,[12] pemerintah telah melakukan pembatasan terhadap hak asasi masyarakat Papua dan Papua Barat, karena itu Majelis Hakim menyimpulkan harus adanya 3 unsur yang harus dipenuhi dalam melakukan pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia;
  2. Bahwa jika dilihat pada ketentuan Pasal 28J Ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Pasal 70 serta Pasal 73 Undang-undang Hak Asasi Manusia ditegaskan bahwa untuk melakukan pembatasan pada hak, harus terpenuhinya syarat-syarat serta alasan-alasan, yakni sebagai berikut:
  1. Pertama, dengan membuktikan jika pembatasan yang dilakukan itu perlu dilakukan atau diadakan secara proporsional;
  2. Kedua, tercapai atau tidaknya dari salah satu tujuan yang diatur, yaitu dalam memenuhi suatu petisi yang adil seimbang dengan adanya peninjauan terhadap nilai agama, moral, ketertiban umum, keamanan, kesusilaan atau kesehatan masyarakat yang demokratis atau menjamin adanya penghormatan dan pengakuan terhadap hak atas nama baik pihak atau;
  3. Ketiga, pembatasan yang dilakukan harus diatur oleh undang-undang yang berlaku.
  1. Bahwa tindakan pemerintah dalam melakukan pembatasan dan pemutusan akses jaringan internet di Papua dan Papua Barat tersebut tidak sesuai dengan adanya peraturan-peraturan pada Hak Asasi Manusia;
  2. Bahwa dalam kasus tersebut, pembatasan serta pemutusan akses jaringan internet di Papua ini sudah memenuhi salah satu syarat yakni guna menangani keamanan dan ketertiban umum pada kericuhan yang terjadi di Papua dan Papua Barat, akan tetapi permbatasan tersebut tidak memenuhi syarat yang lainnya yaitu tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan tidak dilakukan secara proporsional;
  3. Bahwa apabila ingin melakukan pembatasan pada hak, pemerintah harus memerhatikan adanya syarat dan alasan yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan Pasal 28J Ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Pasal 70 serta Pasal 73 Undang-undang Hak Asasi Manusia;
  4. Bahwa dalam Siaran Pers No. 154/HM/Kominfo/-08/2019 disebutkan tujuan dilakukannya pembatasan dan pemutusan akses jaringan internet ini guna mencegah kehidupan masyarakat Papua dan Papua Barat dalam situasi darurat, akan tetapi siaran tersebut tidak menjelaskan secara rinci bahwa kebijakan tersebut perlu dilakukan dengan adanya suatu keadanya daurat dan unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi;
  5. Bahwa dengan adanya Siaran Pers tersebut, Majelis Hakim meyatakan pengumuman yang dilakukan oleh tergugat II tidaklah sesuai dengan adanya prinsip dalam hal keadaan yang darurat terhadap pembatasan Hak Asasi Manusia, pertimbangan tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya;[13]
  6. Bahwa apabila Tergugat II ingin melakukan pembatasan pada Hak Asasi Manusia karena adanya suatu keadaan bahaya, maka Tergugat II harus mengumumkan secara resmi bahwa adanya ancaman pada kehidupan dan keberadaan bangsa sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Ayat (1) Kovenan Hak Sipil & Politik serta dijelaskan juga adanya syarat yang harus dipenuhi yakni:[14]
  1. Pertama, pembatasan tersebut dilakukan karena adanya situasi bahaya;
  2. Kedua, pembatasan tersebut tidak bertentangan pada kewajiban yang lainnya;
  3. Ketiga, tindakan tersebut tidak adanya unsur diskriminasi pada agama, bahasa, ras, jenis kelamin, warna kulit atau asal-usul sosial.
  1. Bahwa dijelaskan pada Pasal 12 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Presiden memiliki wewenang dalam menetapkan keadaan darurat apabila adanya suatu ancaman pada keselamatan warga negaranya dan keadaan darurat tersebut harus memenuhi syarat sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang yang ada;
  2. Bahwa dijelaskan juga pada Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Presiden boleh menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti dari undang-undang apabila adanya suatu keadaan yang terpaksa dan perlu dilakukan yakni seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya;
  3. Bahwa pada ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No. 23/PRP/1959 ditegaskan adanya ciri pada keadaan bahaya yakni, adanya suatu keadaan yang mengancam wilayah Repbulik Indonesia dalam kerusuhan, pemberontakan atau bencana alam, adanya perang serta adanya suatu keadaan yang membahayakan kehidupan Negara;
  4. Bahwa pada ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang No. 23/PRP/1959 juga menjelaskan keadaan bahaya atau keadaan darurat tersebut hanya boleh disampaikan oleh Presiden;
  5. Bahwa apabila melakukan tindakan pembatasan terkait keadaan darurat atau bahaya, maka tindakan tersebut terjadi karena adanya ancaman bagi kehidupan bangsa, keadaanya tersebut telah menggangu ketertiban wilayah Indonesia, misalnya seperti kerusuhan, pemberontakan serta bencana alam, keadaan tersebut dibutuhkannya suatu penanganan yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan keadaan tersebut hanya berlaku apabila Presiden telah menerapkan secara resmi bahwa adanya suatu keadaan yang darurat;
  6. Bahwa dalam kasus ini, masyarakat Papua dan Papua Barat tidak menyatakan situasi tersebut termasuk dalam keadaan darurat, sehingga kebijakan tersebut tidak bisa dilakukan dengan alasan adanya keadaan darurat. Karena tidak semua kericuhan atau bencana termasuk kedalam syarat keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa;
  7. Bahwa pembatasan hak atas informasi dalam kebebasan berekspresi ini dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat dan alasan yang sah;
  8. Bahwa karena itu, tindakan yang dilakukan oleh Tergugat II bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 atau Pasal 2 Ayat (2) tentang Keadaan Bahaya;
  9. Bahwa Majelis Hakim juga menyatakan, pembatasan hak terhadap internet dapat dilakukan oleh pemerintah melalui pemutusan akses hanya pada konten atau informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum dan tidak mencakup pemutusan akses pada jaringan internet;
  10. Bahwa secara umum memang tidak ada pemberian wewenang terhadap pemerintah untuk melakukan tindakan terhadap pemutusan atau pembatasan pada akses jaringan internet ataupun saluran yang lainnya, karena berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi men-jelaskan bahwa adanya suatu larangan bagi setiap orang dalam melakukan tindakan penyelenggaraan telekomunikasi yang menyebabkan ganguan baik secara fisik maupun secara elektromagnetik;[15]
  11. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 40 Ayat 2b Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, pemerintah memiliki wewenang dalam melakukan pembatasan, akan tetapi pembatasan tersebut hanya pada konten yang memiliki muatan melanggar hukum bukan pada akses jaringan internetnya dan konten-konten tersebut juga dijelaskan sebagaimana yang telah disebutkan dalam ketentuan Pasal 27 sampai Pasal 29 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik;
  12. Bahwa dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 juga menegaskan pembatasan hak akses internet hanya dilakukan pada mereka yang menggunakan internet dengan melangar hukum dan pembatasan tersebut tidak dilakukan pada jaringan internetnya yang mana kebijakan tersebut sangat berdampak bagi mereka yang tidak melanggar aturan tersebut;
  13. Bahwa pada ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan negatif juga ditegaskan apabila ada suatu konten atau situs yang memiliki muatan negatif perlu adanya penanganan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dengan cara melakukan pemblokiran pada konten yang memiliki muatan negatif misalnya seperti ponografi atau kegiatan illegal lainnya;[16]
  14. Bahwa karena itu, tindakan yang dilakukan oleh para Tergugat bukanlah tindakan yang tepat, karena dengan adanya ketentuan-ketentuan diatas ditegaskan bahwa pembatasan hanya dapat dilakukan pada situs atau konten yang memiliki muatan melanggar hukum bukan pembatasan pada akses jaringan internetnya.

Dengan adanya penjelasan diatas, maka penulis berpendapat, yakni sebagai berikut:

  1. Bahwa penulis setuju dengan adanya 3 syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan pembatasan pada hak;
  2. Bahwa pemerintah harus memerhatikan adanya syarat dan alasan yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan Pasal 28J Ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Pasal 70 serta Pasal 73 Undang-undang Hak Asasi Manusia;
  3. Bahwa penulis juga setuju dengan ketentuan apabila pembatasan hanya dapat dilakukan pada situs atau konten yang memiliki muatan melanggar hukum bukan pembatasan pada akses jaringan internetnya;
  4. Bahwa penulis juga berpendapat, apabila ingin melakukan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dalam kebebasan hak atas informasi, maka perlu dipenuhinya syarat serta alasan yang tepat, karena pembatasan tersebut tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang tanpa adanya suatu alasan yang sah.

Berikut ini merupakan hasil akhir putusan majelis hakim mengenai putusan dalam nomor perkara 230/G/TF/2019/PTUN-JKT:

  1. Bahwa Majelis Hakim mengutarakan dalam eksepsi yang diajukan Tergugat I dan Tergugat II tidak dapat diterima;
  2. Bahwa dalam pokok perkara, Majelis Hakim menyetujui Gugatan yang diajukan oleh para Penggugat dengan menyatakan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan Pemerintah oleh Tergugat I dan Tergugat II merupakan perbuatan atau tindakan melanggar hukum yang dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan;
  3. Bahwa Majelis Hakim memutuskan menghukum Tergugat I dan Tergugat II dengan membayar biaya perkara yang dilakukan secara tanggung renteng sebesar Rp.457.000,- (empat ratus lima puluh tujuh ribu rupiah);

Dengan adanya hasil akhir putusan majelis hakim mengenai putusan dalam nomor perkara 230/G/TF/2019/PTUN-JKT, penulis berpendapat yakni sebagai berikut:

  1. Bahwa penulis sependapat dengan putusan hakim, yakni tidak menerima eksepsi yang diajukan oleh Tergugat I dan Tergugat II, karena surat gugatan yang diajukan oleh Penggugat I dan Penggugat II telah sesuai dengan persyaratan dalam surat gugatan yang bisa diajukan melalui (Legal Standing) mekanisme hak gugat organisasi yang berisi tentang kepentingan dalam memperjuangkan Hak Asasi Manusia yaitu hak atas informasi yang merupakan bagian dari hak-hak atas kebebasan dalam berekspresi.
  2. Bahwa penulis juga setuju dengan hasil putusan hakim yang menyatakan bahwa tindakan Tergugat I dan Tergugat II merupakan Perbuatan Melawan Hukum (PMH), karena tindakan pemerintah ini merupakan tindakan terhadap pembatasan Hak Asasi Manusia, yakni sebagai berikut:
    1. Telah melakukan pemutusan terhadap akses Dokumen dan/atau Informasi Elektronik;
    2. Telah melakukan perintah terhadap Penyelenggara Sistem Elektronik dalam melakukan pemblokiran atau pemutusan terhadap akses Dokumen Elektronik dan/atau Informasi Elektronik.
  1. Bahwa Hak Akses Internet ialah bagian dari Hak Asasi Manusia;
  2. Bahwa apabila pemerintah telah melakukan pembatasan terhadap akses jaringan internet, maka pemerintah juga telah melakukan pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM);
  3. Bahwa penulis setuju tindakan yang dilakukan oleh pemerintah mengandung unsur kekosongan hukum karena belum memenuhi Standard Operasional Prosedur dalam melakukan tindakan berupa pemutusan atau pembatasan terhadap akses jaringan internet;
  4. Bahwa berdasarkan ketentuan dari Pasal 40 Ayat 2b Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjelaskan pembatasan hak atas internet bisa dilakukan terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik yang mempunyai konten yang melanggar hukum dan pembatasan tersebut tidak meliputi pemutusan pada akses jaringan internetnya;
  5. Bahwa berdasarkan penjelasan diatas, penulis setuju dengan pertimbangan yang menyatakan pembatasan Hak Asasi Manusia dapat dilakukan dengan adanya 3 syarat yang harus dipenuhi;
  6. Bahwa penulis setuju apabila tindakan tersebut terjadi karena adanya kekosongan hukum, maka yang jadi permasalahan bukan mengenai ada tidaknya Standard Operasional Prosedur (SOP) terhadap pemutusan atau pembatasan terhadap akses pada jaringan internet, akan tetapi terhadap ada atau tidaknya suatu undang-undang yang mengatur kewenangan terhadap pemerintah dalam melakukan tindakan berupa pemutusan atau pembatasan terhadap akses pada jaringan internet bukan hanya pada konten yang mempunyai muatan melangar hukum;
  7. Bahwa Majelis Hakim dalam memutus perkara putusan 230/G/TF/2019/PTUN-JKT sudah sesuai dengan menyatakankan bahwa tindakan pemerintah tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, karena pemerintah tidak memiliki wewenang dalam melakukan pemutusan atau pembatasan terhadap akses jaringan internet.

Hak akses internet merupakan hak dalam kebebasan untuk mengakses internet, karena itu hak akses internet mengandung unsur hak atas kebebasan dalam berekspesi dan informasi. Setiap manusia memiliki hak atas kebebasan dalam mencari informasi, mendapatkan informasi serta menyampaikan informasi yang dapat dilakukan menggunakan berbagi macam saluran media. Karena itu, hak akses internet bisa dikatakan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia. Berlandaskan pada Pasal 28F ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjelaskan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk melakukan komunikasi serta boleh mendapatkan informasi. Kemudian Menurut Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki hak dalam melakukan kebebasan dalam berpendapat serta berekspresi. Arti kebebasan tersebut yakni kebebasan untuk menerima infromasi, mencari imformasi, serta menyampaikan informasi melalui media sosial tanpa adanya gangguan dan batasan. Di era globalisasi ini internet merupakan salah satu bagian penting dalam mencari, menerima serta menyampaikan suatu informasi.

Adapun prinsip-prinsip yang diramu oleh Free Speech Debate sebagai pedoman pemenuhan hak dalam bentuk “10 Prinsip Kebebasan Berpendapat”,[17] yaitu sebagai berikut:

  1. Setiap manusia dapat mengekspresikan diri secara bebas dalam mencari, mendapatkan serta menyampaikan baik informasi, gagasan maupun ide tanpa adanya batasan;
  2. Setiap manusia menyetujui untuk tidak adanya larangan dalam musyawarah serta pembagian informasi;
  3. Setiap manusia harus menghormati terhadap keyakinan atau kepercayaan orang lain dalam suatu hal, namun tidak berarti mempercayai isi dari keyakinan tersebut;
  4. Setiap manusia dapat melindungi internet serta semua bentuk saluran lainnya dari adanya gangguan-gangguan tidak sah yang dilakukan oleh kekuatan publik ataupun swasta;
  5. Setiap manusia berwenang atas kehidupan pribadi, namun jika demi kepentingan publik setiap manusia wajib menerima pengawasan;
  6. Setiap manusia memiliki hak untuk menantang dari adanya batasan dalam kebebasan berekspresi dan informasi, yaitu berdasarkan alasan-alasan dalam moralitas, ketertiban umum, keamanan nasional serta perlindungan kekayaan intelektual;
  7. Setiap manusia membutuhkan serta dapat mewujudkan media secara terbuka dan beraneka ragam, sehingga kita semua dapat berpasrtisipasi penuh dalam mewujudkan keputusan berdasarkan dari informasi yang baik dikehidupan politik;
  8. Setiap manusia harus mampu melawan hinaan yang menurunkan popularitas kita tanpa membatasi atau mengganggu perseteruan yang sah;
  9. Setiap manusia tidak dapat melakukan intimidasi terhadap kekerasan serta tidak menyetujui adanya ancaman kekerasan;
  10. Setiap manusia dapat berucap secara terbuka dengan kata-kata yang sopan tentang segala jenis perbedaan manusia.

Berdasarkan dengan adanya ketentuan diatas, maka dapat disimpulkan:

  1. Bahwa Internet itu sendiri merupakan bagian penting dalam berpendapat.
  2. Bahwa karena dengan adanya internet, setiap manusia dapat mencari informasi, menerima informasi serta menyampaikan informasi di banyak Negara.
  3. Bahwa karena internet bersifat luas, maka adapun visi yang diterangkan oleh Koalisi Hak dan Prinsip Ber-Internet dari pemanfaatan dan penggunaan media internet ditinjau dari Hak Asasi Manusia dalam bentuk “10 Hak Asasi Manusia di Internet”, yaitu sebagai berikut:

Artinya, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan yang sama baik dalam hak ataupun martabatnya. Kemudian hak dan martabat tersebut wajib dijunjung, dilindungi serta diwujudkan dalam ruang lingkup online;

Setiap manusia mempunyai hak privasi online, maksudnya adalah adanya kebebasan terhadap pengamatan, hak untuk memakai ekspresi serta hak dalam menyembunyikan data pribadi yang asli. Kemudian setiap manusia juga mempunyai hak dalam perlindungan data, yakni perlindungan dalam menjaga, mengolah, menghapus serta mengungkap data pribadi;

Dalam bahasa di Internet, suatu keanekaragaman harus diperkenalkan, kemudian inovasi teknis dan kebijakan wajib didorong untuk menyediakan adanya keberagaman dalam berekspresi;

Setiap manusia mempunyai kewajiban dalam menghormati serta melindungi hak asasi orang lain dalam ranah online, karena internet merupakan ruang yang kegunaannya yaitu untuk promosi, memajukan keadilan sosial serta perlindungan dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM);

Setiap manusia mempunyai hak mengakses secara umum dan bebas dalam konten Internet yang bebas dari adanya penyaringan, alasan komersal, politis, diskriminasi prioritas ataupun yang lainnya;

Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan sosial harus ditata dan dikelola dalam bentuk landasar hukum yang bersifat normatif untuk dijadikan kerangka internet. Berdasarkan prinsip keterbukaan dalam menjalankan akuntabilitas, hal tersebut dapat terjadi secara multitateral (banyak sisi) atupun transparan;

Setiap manusia mempunyai hak yang sama dalam menggunakan serta mengakses internet secara aman dan terbuka;

Pengaturan Internet dalam sistem komunikasi, format data ataupun dokumen harus dilandaskan pada standar yang terbuka dalam menjamin interoperabilitas lengkap, mempunyai kesempatan yang sama dan terbuka bagi setiap manusia;

Setiap manusia mempunyai hak untuk hidup, hak untuk aman dan bebas kemudian hak tersebut harus dihomati, dilindungi serta dipenuhi secara online. Hak-hak tersebut tidak diizinkan untuk dilanggar dan melanggar hak-hak yang lainnya dalam ranah online;

  1. Universal & Kesetaraan
  2. Perlindungan Privasi & Perlindungan Data
  3. Keanekaragaman
  4. Hak & Keadilan Sosial
  5. Kesamaan pada Jaringan
  6. Tata Kelola
  7. Aksesbilitas
  8. Pengaturan & Standar
  9. Kehidupan, Keamanan & Kebebasan
  10. Serikat & Ekspresi

Setiap manusia mempunyai hak dalam berkumpul secara bebas menggunakan Internet dalam keperluan budaya, politik, sosial ataupun yang lainnya. Kemudian setiap manusia juga berhak berekspesi secara bebas dalam mencari, menerima serta menyampaikan suatu informasi di Internet tanpa adanya sensor dan gangguan yang lainnya.

Dengan adanya ketentuan-ketentuan diatas, adapun yang menjadi dasar bahwa hak akses internet merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), yakni sebagai berikut:

  1. Bahwa menurut Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), menjelaskan setiap manusia memiliki hak dalam melakukan kebebasan dalam berpendapat serta berekspresi;
  2. Bahwa arti kebebasan tersebut ialah kebebasan untuk menerima infromasi, mencari informasi, serta menyampaikan informasi melalui media sosial tanpa adanya gangguan dan batasan;
  3. Bahwa berlandaskan pada Pasal 28F ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjelaskan setiap manusia memiliki hak untuk melakukan komunikasi serta boleh mendapatkan informasi;
  4. Bahwa setiap manusia dapat menggunakan berbagai jenis saluran yang tersedia dalam mencari informasi, menyampaikan informasi serta mengolah informasi.;
  5. Bahwa dengan adanya ketentuan-ketentuan diatas, maka hak akses internet bisa dikatakan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) karena sama-sama memilik hak secara bebas dalam berekspresi dan mencari, menerima serta menyampaikan informasi.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, adapun yang menjadi kesimpulan penulis yaitu sebagai berikut:

  1. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan dengan nomor perkara 230/G/TF/2019/PTUN-JKT sudah sesuai dengan peraturan Hak Asasi Manusia (HAM). Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut merupakan pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia dan tindakan tersebut mengandung unsur kekosongan hukum karena tidak sesuai dengan undang-undang serta belum memenuhi Standard Operasional Prosedur (SOP) untuk melakukan pemutusan atau pembatasan terhadap akses jaringan internet. Sehingga dalam hasil akhir putusan tersebut menyatakan bahwa tindakan pemerintah tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.
  2. Bahwa jika dilihat pada ketentuan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28F ayat (1), maka hak akses internet merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia, karena sama-sama memiliki hak dalam kebebasan berekspresi serta mempunyai hak dalam menerima, mencari serta menyampaikan informasi tanpa adanya batasan dan gangguan apapun.

References

  1. Lokataru Fiundation, Jakarta, 2019. “Throttling Blackout (Papua & Papua Barat)”, Mini Paper https://lokataru.id/throttling-blackout-papua-papua-barat/, diakses pada tanggal 21 November 2019.
  2. Siti Chaerani Dewanti, 2019, “Pembatasan Internet Dalam Mengatasi Konflik di Papua”, Info Singkat Vol.XI.No.17/I/Puslit/September/2019, diakses pada tanggal 09 September 2019.
  3. Souisa, Hellena, 2020, https://www.abc.net.au/indonesian/2020-06-05/bukan-pertama-kalinya-pemerintahan-jokowi-digugat-warganya/12320298, diakses pada tanggal 5 Juni 2020.
  4. Made Aryandi Singa Gothama dan Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, 2019, “Kewenangan Pemerintah dalam Membatasi Akses Media Sosial dalam Prespektif Hak Asasi Manusia”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 7, No. 9.
  5. Ahmad Porwo Edi Atmaja, 2021 “Kebebasan Mengakses Internet sebagai Hak Asasi Manusia: Telaah Hukum Internasional atas Pembatasan Akses Internet di Indonesia”, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro Semarang.
  6. Rival A. Belekubun, 2020, “Permasalahan Kebijakan Pemblokiran Internet di Papua dan Papua Barat Tahun 2019”, Paper Policy.
  7. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1948.
  8. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
  9. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  10. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
  11. Dr. Amiruddin, S.H., M.Hum. Prof. Dr. H. Zainal Asikin, S.H., S.U. 2016. Pengatar Metode Penelitian Hukum, Edisi Revisi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
  12. Putusan Tata Usaha Negara – Jakarta dengan Nomor Perkara : 230/G/TF/2019/PTUN-JKT.
  13. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
  14. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Tahun 1966.
  15. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
  16. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan negatif.
  17. Donny B.U., Internet, Kebebasan Berekspresi dan Hak Asasi Manusia (HAM), http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/12/Internet-Kebebasan-Berekspresi-dan-Hak-Asasi-Manusia-HAM.pdf, diakses pada tanggal 18 Juli 2017.