Human Resource Management
DOI: 10.21070/ijler.2019.V2.29

Management Pattern of Marriage Registrar Assistant Officer in Indonesia: an Example from Bandung, West Java


Pola Manajemen Petugas Pembantu Pegawai Pencatat Nikah di Indonesia: Contoh dari Bandung, Jawa Barat

UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Indonesia

(*) Corresponding Author

management marriage registrar officer

Abstract

The purpose of this study was to find out how the pattern of human resource management Assistant Registrar of Marriage Registrar (P3N) in KUA Cimaung District, Bandung Regency. This study uses field research, with the technique of collecting data through observation and interviews with related parties, namely the Head of KUA, Cimaung District and Head of KUA, Pangalengan District, Guidance Section for Islamic Community, Ministry of Religion Office Bandung and P3N in the Cimaung District and Pangalengan Districts. The results of this study are that the HR management pattern of the Registrar’s Employee Assistance Officer (P3N) in Cimaung District KUA is good and follows excellent management standards, as reflected in the recruitment process until the supervision phase. The admission procedure is carried out in stages from the village, sub-district and district level.

Introduction

Dalam konteks manajemen pengembangan umat Islam Indonesia, Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan kelembagaan yang penting. KUA merupakan lembaga di Kementerian Agama tingkat Kecamatan yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat Muslim dalam urusan perkawinan dan pembinaan keluarga Muslim agar menjadi keluarga sakinah. Di samping itu, kantor ini bersama-sama dengan Pengadilan Agama memberikan pelayanan talak, rujuk, dan masalah waris. Dalam masalah pembinaan umat secara umum KUA memiliki kewenangan untuk terlibat seperti ibadah haji, pendidikan agama dan keagamaan, serta kerukunan umat beragama. Oleh karena itu dapat diperkirakan bahwa kedudukan KUA sangat strategis dalam pembinaan kehidupan sosial keagamaan masyarakat Muslim secara luas.

Untuk lebih meningkatkan pelayanan, beberapa tahun terakhir ini Kementerian Agama melalui KUA menekankan pentingnya standar pelayanan kepada masyarakat, yang disebut dengan pelayanan prima. Pelayanan prima harus menjadi tujuan dan target dari para pegawai KUA. Sebagai institusi yang langsung berhubungan dengan masyarakat, KUA diharapkan dapat memberikan pelayanan memuaskan. Pelayanan prima oleh Pemerintah, termasuk KUA merupakan bagian dari upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governace) [1].

Dalam meningkatkan pelayanan prima, KUA seringkali terbentur dengan permasalahan luas wilayah dan sulit terjangkaunya area kerja KUA yang tidak ditunjang dengan prasarana yang memadai. Dengan demikian untuk menunjang serta mendukung tugas-tugas dan peningkatan kualitas Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam meningkatkan pelayanan prima, maka diperlukan mitra kerja yang mengakomodir kinerja KUA tersebut. Dalam hal ini mitra kerja tersebut ialah petugas Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N). Oleh karena itu keberadaan P3N sangatlah dibutuhkan [2].

Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah, yang dimaksud dengan petugas Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) adalah anggota masyarakat tertentu yang diangkat oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota untuk membantu tugas-tugas Pegawai Pencatat Nikah (PPN) [3]. P3N mempunyai peran yang penting dalam pelayanan nikah dan rujuk, diantaranya proses perkawinan yang diawali dari pemberitahuan kehendak nikah, pendaftaran, serta pelaksanaannya tidak terlepas dari keberadaan P3N. Selain membantu mengantarkan anggota masyarakat yang hendak menikah ke KUA dan mendampinginya dalam pemeriksaan, P3N juga melaksanakan tugas pembinaan ibadah dan pembinaan kehidupan beragama di kalangan masyarakat desa.

Hanya saja melalui Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/I Tahun 2015 tentang Pengangkatan P3N, yang mana di dalamnya dipahami bahwa pengangkatan P3N hanya dapat dilakukan di KUA dengan tipologi D1, yaitu daerah pedalaman atau pegunungan, serta KUA tipologi D2, yaitu daerah terluar/perbatasan negara atau daerah kepulauan [4]. Maka disimpulkan bahwa untuk KUA dengan tipologi selain D1 dan D2 tidak diperkenankan melakukan pengangkatan P3N.

Selain dalam hal pelayanan publik pencatatan perkawinan, tantangan lain yang sedang dihadapi oleh KUA adalah menepis tuduhan yang menyatakan bahwa biaya pencatatan nikah mahal. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2000 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004, biaya pencatatan nikah dan rujuk adalah sebesar Rp. 30.000 (tiga puluh ribu rupiah). Jika disesuaikan dengan kondisi saat ini tentulah sudah tidak memadai apalagi bila peristiwa nikah ini dilaksanakan di luar balai nikah (LBN) dan dalam waktu di luar jam kerja [5].

Selanjutnya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 yang diterbitkan pada tanggal 27 Juni 2014, yang mana peraturan tersebut merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang “Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama“ ditetapkan bahwa biaya pencatatan nikah dan rujuk ditiadakan. Adapun jika pernikahan dilakukan di luar KUA, maka dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebesar Rp. 600.000 (enam ratus ribu rupiah) [6].

Besaran biaya yang diberikan oleh masyarakat mungkin terkesan “mahal”, padahal biaya tersebut tidak hanya untuk ongkos transportasi saja, melainkan juga kompensasi bagi petugas karena telah menggunakan waktu libur untuk melayani masyarakat. Biaya yang diberikan oleh masyarakat tersebut juga sebagian sebagai “uang lelah” petugas yang telah memberikan khutbah nikah, memimpin upacara serta menutupnya dengan doa. Untuk sekedar diketahui, dalam tradisi dan adat Melayu Riau, upacara adat pernikahan dirasa tidak afdal bila tidak dihadiri oleh petugas KUA dari awal hingga akhir prosesi.

Di samping itu, temuan menarik juga diperoleh di Bogor, bahwa variasi besaran tarif pencatatan nikah sangat ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat. Dalam hal ini ada beberapa tipologi kelas sosial masyarakat. Besarannya banyak ditentukan oleh P3N di lapangan. Mereka biasa melakukan pendekatan kepada keluarga-keluarga calon pengantin (catin) untuk menawarkan jasa sekaligus menentukan besaran biaya pengurusan pernikahan di KUA setempat.

Di wilayah yang taraf kehidupannya di bawah rata-rata (menengah ke bawah), biaya pendaftaran nikah berkisar Rp. 300.000 s/d Rp. 400.000-an. Sedangkan di wilayah yang taraf sosial tergolong menengah ke atas, biaya tersebut berkisar antara Rp. 400.000 s/d Rp. 800.000-an, bahkan bisa mencapai jutaan rupiah. Tentunya bagi kalangan ”menengah ke atas” seperti keluarga-keluarga yang berprofesi sebagai pengusaha dan sebagainya, besaran biaya pencatatan nikah Rp. 1.000.000,-an tidak dipermasalahkan dibanding dengan biaya resepsi yang mencapai puluhan juta bahkan ratusan juta. Sebaliknya bagi masyarakat menengah ke bawah seperti pedagang buah, tukang parkir, pengojek, tukang sayur, besaran biaya Rp. 300.000-an sangat memberatkan. Oleh karena itu ketika dihadapkan persoalan biaya perkawinan yang mahal, masyarakat kalangan menengah ke bawah mensiasatinya dengan tidak mendaftarkan perkawinannya ke KUA atau perkawinannya tidak tercatat di KUA (sering disebut dengan perkawinan dibawah tangan atau perkawinan sirri).

Dengan demikian menurut Penulis keberadaan P3N tidak sepenuhnya membantu dalam kinerja PPN dalam pelayanan prima KUA. Terjadinya perkawinan yang tidak tercatat di KUA (perkawinan sirri) yang merupakan dampak dari tingginya campur tangan P3N dalam menentukan tarif biaya pencatatan perkawinan hanyalah sebagian kecil permasalahan yang ditemukan. Seringkali ditemukan pula perkawinan dibawah umur tanpa adanya izin dari Pengadilan Agama, poligami liar tanpa adanya izin dari Pengadilan Agama, perkawinan yang mempelainya masih terikat perkawinan dengan orang lain dan masalah-masalah perkawinan lainnya. Hal ini bisa dikarenakan kurangnya pemahaman P3N terhadap wawasan keagamaan terutama fiqih munakahat serta pemahaman undang-undang yang berlaku terutama Undang-Undang Perkawinan.

Meskipun demikian keberadaan P3N memiliki peranan yang cukup penting dalam kehidupan beragama di Kelurahan/Desa. Masyarakat sudah kadung terbiasa dalam hal menyerahkan segala urusannya dalam hal rencana perkawinan dari awal sampai akhir. Pihak keluarga calon pengantin perhatiannya tersita habis dalam menyiapkan segala keperluan resepsi. Sehingga P3N lah yang kemudian menjadi pihak yang mengurusi masalah syarat administrasi perkawinan.

Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bagaimana pentingnya peran P3N dalam membantu tugas PPN, sementara di sisi lain dalam tataran realitas banyak di antaranya yang malah menimbulkan masalah lain, bahkan sampai ke urusan pidana, seperti kasus pemalsuan identitas. Kunci dari semua itu adalah dalam hal melakukan manajemen SDM terhadap P3N yang menjadi tanggung jawab bersama antara KUA dengan Kepala Seksi yang mengurusi masalah tersebut, yaitu seksi BIMAS Islam. Kondisi seperti itu kemudian mengakibatkan minat dan ketertarikan Penulis untuk membahas lebih lanjut dalam penelitian yang berjudul “POLA MANAJEMEN SDMPETUGAS PEMBANTU PEGAWAI PENCATAT NIKAH (P3N) DI KUA KECAMATAN CIMAUNG DAN KUA

METHOD

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah penelitian lapangan (field research), dengan Teknik pengumpulan data melalui pengamatan (observasi) dan wawancara (interview), dengan pihak yang terkait, yaitu Kepala KUA Kecamatan Cimaung dan Kepala KUA Kecamatan Pangalengan, Seksi Bimbingan Masyarakat Islam Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bandung dan P3N di wilayah Kecamatan Cimaung dan Kecamatan Pangalengan.

Lokasi penelitian dilakukan di Kantor Urusan Agama, tepatnya di Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimaung dan Kantor Urusan Agama Kecamatan Pangalengan, serta Desa-desa yang masuk ke dalam wilayah hukum KUA Kecamatan Cimaung dan Kecamatan Pangalengan. Hal ini dikarenakan Kantor Urusan Agama Kecamatan Cimaung dan Kantor Urusan Agama Kecamatan Pangalengan termasuk salah satu dari KUA yang memiliki beberapa masalah dalam penyelenggaraan tugasnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Manajemen SDM Petugas Pembantu Pegawai Pencatat Nikah di KUA Kecamatan Cimaung

Menurut Kepala KUA Kecamatan Cimaung, pola rekrutmen P3N di wilayah Kecamatan Cimaung dimulai dari rekomendasi Kepala Kelurahan/Desa, kemudian diperkuat oleh KUA Kecamatan Cimaung melalui usul dari Kepala KUA. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah. Selanjutnya Kepala KUA Kecamatan Cimaung menambahkan mampu lulus dalam tahapan seleksi berupa ujian tertulis dan ujian lisan yang dilaksanakan oleh Kemenag Kabupaten Bandung dan bertempat di KUA Kecamatan Cimaung. Diharapkan dari pola rekrutmen tersebut bisa berimplikasi terhadap meningkatnya kinerja KUA Kecamatan Cimaung dengan meninjau tugas, kerja dan peran P3N.

Dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat, P3N di wilayah Kecamatan Cimaung selalu menghimbau dan menyampaikan kepada masyarakat terlebih dahulu bahwa aturan-aturan dasar tersebut harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar oleh masyarakat. DN (P3N di wilayah Kec. Cimaung) memberikan informasi dan mengarahkan bahwa harus ada izin dari orang tua terlebih dahulu bagi seorang yang hendak menikah tapi usianya belum 21 tahun. Hal tersebut merupakan pengamalan dari Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [7].

Kemampuan lain yang dimiliki oleh P3N di wilayah KUA Kecamatan Cimaung ialah mampu menguasai prosedur administrasi perkawinan. Dalam mengurus prosedur administrasi perkawinan calon pengantin, DN (P3N di wilayah Kecamatan Cimaung) melengkapi pemberitahuan kehendak nikah calon mempelai dengan surat-surat yang diperlukan dalam syarat-syarat admistrasi perkawinan. Surat-surat yang diperlukan sebagai syarat-syarat administrasi perkawinan diantaranya :

  1. Surat persetujuan calon mempelai;
  2. Surat keterangan asal-usul;
  3. Surat keterangan orang tua;
  4. Surat keterangan untuk nikah;
  5. Surat izin bagi calon mempelai anggota ABRI;
  6. Akta cerai talak atau kutipan buku pendaftaran talak cerai/gugat jika seorang duda atau janda;
  7. Surat kematian suami/istri meninggal (model N-6);
  8. Surat izin dispensasi bagi calon mempelai yang belum mencapai umur menurut undang-undang nomor 1 tahun1974 pasal 6 dan pasal 7 ayat (2);
  9. Surat dispensasi camat bagi pernikahan yang akan dilangsungkan kurang dari sepuluh hari kerja sejak pengumuman;
  10. Surat keterangan tidak mampu dari kepala desa bagi mereka yang tidak mampu.

DN (P3N di wilayah Kecamatan Cimaung) mengarahkan kedua calon mempelai mengisi formulir-formulir yang telah disediakan oleh KUA Kecamatan dalam bentuk: N-1, N-2, N-3, N-4, dan N-7 [8]. Model N-5 yaitu surat izin orang tua bagi mereka yang melakukan pernikahan dibawah umur atas belum cukup umur. Model N-6 yaitu surat keterangan kematian suami, diisi bagi wanita yang ditinggal mati suaminya (janda/duda). Model N-8 yaitu surat keterangan persyaratan bagi yang mengajukan pernikahan ke KUA, akan tetapi mereka kekurangan persyaratan yang telah ditentukan oleh pihak yang bersangkutan. Model N-9 yaitu surat penolakan, pihak KUA akan menolak perkawinan bagi mereka yang mempunyai tali kerabat dekat, misalnya kakak ingin menikahi adiknya atau anak ingin menikahi ibunya. Model N-9 juga menolak melakukan pernikahan bagi wanita yang belum habis masa iddahnya atau masih ditalakraj’i.

Selanjutnya DN (P3N di wilayah Kecamatan Cimaung) menyelenggarakan pengumuman tentang adanya kehendak calon mempelai melangsungkan perkawinan. Hal ini berdasarkan kepada pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975. PPN dan P3N mengumumkan kehendak nikah (model N-C) pada papan pengumuman setelah syarat-syarat terpenuhi [9]. Pengumuman tersebut sebagai berikut:

  1. Akad nikah dilakukan dibawah pengawasan atau dihadapan PPN dengan didampingi oleh P3N. Setelah akad nikah dilangsungkan, kemudian dicatat dalam akta nikah dan dibuat rangkap dua (model N).
  2. Apabila pernikahan dilangsungkan diluar balai nikah, dicatat dalam halaman empat (model NB) dan ditandatangani oleh mempelai pria, mempelai wanita, wali nikah, dan saksi-saksi, serta PPN yang mengawasinya, kemudian segera dicatat dalam akta nikah dan ditandatangani oleh PPN dan wakil PPN (P3N).
  3. Akad nikah dibacakan, dan diterjemahkan kedalam bahasa yang dimengerti oleh yang berangkutan dan saksi-saksi, kemudian ditandatangani oleh mempelai pria, mempelai wanita, wali nikah, saksi-saksi dan PPN.
  4. PPN membuat kutipan akta nikah (model NA) dibuat rangkap dua dengan nomor dan kode yang sama. Nomor tersebut (…./…./…/….) menunjukan nomor urut dalam tahun, nomor urut dalam bulan, angka romawi dan angka tahun.
  5. Kemudian kutipan akta nikah diberikan kepada mempelai pria dan mempelai wanita.
  6. Pada nomor tengah (model NB) daftar pemeriksaan nikah diberi nomor yang sama pada nomor akta nikah.
  7. Pada akta nikah dan kutipan akta nikah harus ditandatangani oleh PPN. Dalam hal ini wakil PPN melakukan pemeriksaan dan menghadiri akad nikah diluar akad nikah. Disini wakil PPN hanya menandatangani daftar pemeriksaan nikah pada kolom lima dan enam dan menandatangani akta nikah pada kolom enam.
  8. PPN berkewajiban mengirimkan akta nikah kepada pengadilan agama yang mewilayahinya, ini diberikan apabila buku akta nikah telah selesai dikerjakan.

Surat pengumuman tersebut ditempelkan menurut formulir yang ditetapkan oleh kantor catatan perkawinan (KUA) pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. Kemudian menurut isi yang dimuat dalam pengumuman itu menurut pasal 9 PP No. 9 Tahun 1975 [10], diantaranya:

  1. Nama, umur, agama / kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai. Apabila salah seorang atau keduanya pernah melakukan perkawinan maka disebutkan nama istri dan / suami mereka terlebih dahulu.
  2. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.

Pengumuman tersebut bertujuan agar masyarakat umum mengetahui siapakah orang-orang yang hendak menikah. Selain itu, pengumuman ini bertujuan apabila ada pihak yang keberatan terhadap perkawinan yang hendak dilangsungkan maka yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada kantor pencatat perkawinan. Setelah semua syarat terpenuhi DN sebagai P3N yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita mencatat dan meneliti syarat-syarat yang dipenuhi dalam kehendak nikah dan dalam buku (model N-10). Selanjutnya yang bersangkutan dibantu oleh DN memberitahukan kehendaknya kepada PPN dengan membawa surat-surat yang diperlukan.

DN sebagai sampel P3N di wilayah Kecamatan Cimaung mempunyai kualifikasi mampu menjelaskan dan memahami fiqihmunakahat, mengamalkan peraturan perundang-undangan dan menguasai prosedur administrasi perkawinan. Oleh karena itu, DN sebagai P3N di wilayah Kecamatan Cimaung memiliki peran dan tugas yang signifikan terhadap kinerja KUA Kecamatan Cimaung. Di samping itu, DN merupakan buah karya dari pola rekrutmen P3N yang diadakan di KUA Kecamatan Cimaung. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa implikasi pola rekrutmen dapat mempengaruhi kinerja KUA Kecamatan melalui peran dan tugas P3N. Apabila pola rekrutmen P3N dikelola dengan sistem yang baik akan menghasilkan P3N yang cakap dan profesional sehingga berimplikasi terhadap kinerja KUA Kecamatan. Sederhananya input yang baik akan menghasilkan output yang baik pula dan sebaliknya.

Namun P3N di wilayah Kecamatan Cimaung kerap dihadapkan beberapa kendala dalam melaksanakan pelayanan terhadap masyarakat. Kendala P3N tersebut disinyalir bisa hadir dari berbagai faktor, baik dari faktor yang bersifat eksternal maupun faktor yang sifatnya internal dari P3N itu sendiri. Kendala-kendala tersebut diantaranya :

Pertama, pola pikir instan (serba mudah) masyarakat Kecamatan Cimaung menjadi salah satu kendala P3N di wilayah Kecamatan Cimaung yang bersifat eksternal. Pola pikir instan masyarakat Kecamatan Cimaung tercermin dari sikap mereka dalam menghadapi persoalan yang ingin cepat dan mudah tanpa melalui tahapan-tahapan yang telah ditentukan. Masyarakat cenderung memilih “jalan pintas” dengan keluar uang banyak daripada mengikuti prosedur-prosedur yang cukup menyita waktu.

Menurut AD (P3N diwilayah Kecamatan Cimaung) mengilustrasikan apa yang pernah terjadi di wilayah Kecamatan Cimaung, laki-laki yang hendak menikah lagi sedang ia masih memiliki istri. Kemudian AD menuturkan laki-laki tersebut lebih memilih “jalan pintas” dari pada mengikuti prosedur permohonan izin poligami ke Pengadilan Agama. Padahal dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, seorang suami yang hendak beristeri lebih dari satu, wajib mengajukan permohonan izin poligami kepada Pengadilan Agama di daerah hukum yang mewilayahi tempat tinggalnya.

Adapun prosedur izin poligami dalam Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan Agama. Namun sebelumnya, calon suami datang ke Kelurahan/Desa meminta surat pengantar ke Pengadilan Agama dengan membawa KTP dan Kartu Keluarga. Kemudian Pemohon mengajukan permohonan Izin Poligamirangkap 4 ke Pengadilan Agama dengan membawa [11]:

  1. Foto Copy Buku Nikah
  2. Foto Copy KTP Suami Isteri dan calon isteri
  3. Foto Copy Kartu Keluarga
  4. Surat Pernyataan Berlaku Adil
  5. Surat Pernyataan Tidak keberatan dimadu
  6. Surat Pernyataan Tidak Keberatan Jadi Isteri Kedua
  7. Surat Keterangan status calon isteri dari Desa
  8. Surat Keterangan Penghasilan dari Desa/Instansi
  9. Surat Keterangan tentang harta bersama suami isteri
  10. Foto Copy Akte Cerai ( khusus bagi janda )
  11. Surat Ijin dari atasan (khusus bagi PNS)

Setelah berkas lengkap, Pemohon membayar panjar biaya yang telah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Agama. Selanjutnya Pemohon dan Termohon menghadiri persidangan pada tanggal yang telah ditentukan. Sidang pertama, Pemohon dan Termohon akan didamaikan melalui upaya mediasi. Apabila upaya mediasi berjalan buntu, sidang selanjutnya antara Pemohon dan Termohon diberi kesempatan untuk membuktikan alasan kebenaran permohonan pemohon dan kebenaran jawaban termohon dalam replik-duplik secara lisan atau tertulis.

Dalam melakukan pemeriksaan alasan-alasan permohonan izin poligami, Pengadilan wajib memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan. Pemeriksaan alasan-alasan izin poligami dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya (Pasal 42 PP Nomor 9 Tahun 1975). Apabila jalannya persidangan berjalan alot maka Majelis Hakim memungkinkan untuk melakukan penundaan persidangan.

Sidang selanjutnya, Pemohon dan Termohon akan diberi kesempatan mengajukan bukti atau saksi-saksi. Dalam hal ini Pengadilan Agama memeriksa berdasarkan Pasal 57 KHI [12], diantaranya :

  1. Ada atau tidaknya alasan yang memugkinkan seorang suami kawin lagi;
  2. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tulisan, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan;
  3. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan :
  1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau
  2. Surat keterangan pajak penghasilan, atau
  3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.

Persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama (Pasal 58 ayat (2) KHI). Apabila sang istri tidak mau memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan salah satu alasan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 57 KHI, Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi (Pasal 59 KHI) [13].

Selanjutnya Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada Pemohon dan Termohon untuk memberikan kesimpulan masing-masing secara lisan maupun tertulis dengan menganalisa dan menggali fakta kejadian dan fakta hukum yang ada. Apabila Majelis Hakim berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan Agama memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.

Setelah diperoleh izin poligami sebagaimana prosedur diatas, datang ke Kelurahan/Desa dengan membawa penetapan izin poligami dan meminta surat-surat untuk pernikahan berupa surat keterangan model N1, N2, N3, & N4. Selanjutnya surat-surat keterangan tersebut didaftarkan ke KUA Kecamatan dimana akan dilangsungkan Perkawinan Poligami tersebut.

Apabila izin poligami dari Pengadilan Agama tidak diperoleh, maka menurut ketentuan Pasal 44 PP Nomor 9 Tahun 1975, Pegawai Pencatat Nikah dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin dari Pengadilan Agama. Ketentuan hukum yang mengatur tentang pelaksanaan poligami seperti telah diuraikan di atas mengikat semua pihak, pihak yang akan melangsungkan poligami dan pegawai percatat perkawinan. Apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan diatas, dikenakan sanksi pidana. Persoalan ini diatur dalam Bab IX Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 [14], diantaranya :

  1. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah akan dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah);
  2. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 12, dan 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengurusan permohonan izin poligami yang mencakup pengurusan dokumen-dokumen pengantar dan pelaksanaan sidang Pengadilan Agama yang berlarut-larut akan menyita waktu dan materi. Hal-hal tersebut menjadi alasan utama masyarakat menghindari permohonan izin poligami ke Pengadilan Agama karena prosesnya cukup menyita waktu dan berbelit-belit. AD (P3N di wilayah Kecamatan Cimaung) mengemukakan untuk mempermudah dan menghindari izin poligami, laki-laki tersebut lebih memilih jalan pintas. Jalan pintas tersebut di antaranya dengan tidak dicatatkannya perkawinannya di KUA Kecamatan atau kawin sirri. Selanjutnya ia menambahkan dapat pula dengan menjadikan perkawinannya menjadi perkawinan pertama. AD menjelaskan secara resmi perkawinannya dapat dicatatkan di KUA Kecamatan, akan tetapi terjadi pemalsuan dokumen yang dilakukan P3N atas dasar keinginan laki-laki tersebut. Kemudian pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh P3N dengan mencantumkan keterangan belum nikah dalam daftar pemeriksaan nikah dan lembar pemberitahuan kehendak nikah [15].

Jalan pintas tersebut bukan merupakan solusi (jawaban) ataupun jalan alternatif terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat. Hal ini dikarenakan jalan pintas tersebut sangat rentan dan dapat menimbulkan masalah-masalah baru dikemudian hari. Sudah tentu apabila perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama hanya berdampak terhadap orang-orang yang terlibat langsung dengan perkawinan tersebut. Sedangkan perkawinan yang dicatatkan di Kantor Urusan Agama sebagai jalan pintas dalam menghindari prosedur izin poligami akan berdampak langsung terhadap kinerja Kantor Urusan Agama.

Kedua, paradigma kurang baik masyarakat Kecamatan Cimaung terhadap Pengadilan Agama merupakan kendala P3N wilayah Kecamatan Cimaung selanjutnya yang bersifat eksternal. Paradigma yang berkembang, Pengadilan Agama disamakan dengan pengadilan tempat memutuskan dan menghukum orang yang melakukan tindakan pidana. Ada kesan orang yang mengalami persidangan di Pengadilan Agama merupakan sebuah aib dalam kehidupan bermasyarakat. Akibatnya bisa mempengaruhi keadaan psikis dan psikologis seseorang sehingga orang menjadi pesakitan dan malu untuk berinteraksi karena menanggung beban pernah berurusan dengan pengadilan.

SU (P3N di wilayah Kecamatan Cimaung) mengilustrasikan yang pernah terjadi di wilayah Kecamatan Cimaung, seorang janda cerai yang hendak menikah lagi tidak melampirkan akta cerai dari Pengadilan Agama. padahal dalam Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan jo. Pasal 65 UU Peradilan Agama mengatur dengan jelas bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan yang dapat dibuktikan dengan akta cerai dari Pengadilan. Janda tersebut enggan mengurus permohonan perceraiannya ke Pengadilan Agama akibat paradigma tadi sehingga ia tidak memiliki akta cerai dan membuka peluang P3N untuk melakukan “jalan alternatif”. SU mengemukakan jalan lain tersebut dengan meminta bantuan P3N agar dibuatkan surat keterangan kematian mantan suaminya dari Kelurahan/Desa, padahal mantan suaminya tersebut masih hidup. Dengan demikian janda tersebut menjadi janda mati sehingga tidak perlu melampirkan akta cerai dari Pengadilan Agama.

Hal ini bisa terjadi karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap kinerja Pengadilan Agama. Padahal secara yuridiksi Pengadilan Agama hanya memeriksa hal-hal yang berkaitan dengan hukum perdata bagi orang-orang yang beragama Islam dan terpisah secara mandiri dari hukum pidana. Sosialisasi baik dari Pengadilan Agama itu sendiri maupun dari P3N sebagai kepanjangan tangan KUA Kecamatan merupakan langkah kecil yang perlu diperhatikan dalam mengatasi kendala tersebut.

Ketiga, tidak adanya honor (uang insentif) bagi P3N merupakan kendala yang bersifat internal dari P3N di wilayah Kecamatan Cimaung. Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah mengatur bahwa pengangkatan, pemberhentian, dan penetapan wilayah tugas P3N dilakukan dengan surat keputusan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota. Meskipun pengangkatan dan wilayah tugasnya diatur dengan sedemikian rupa, akan tetapi baik dalam peraturan tersebut maupun dalam surat keputusannya tidak mengatur besaran honor yang diterima oleh P3N.

Keadaan yang sama ditemukan di KUA Kecamatan maupun di Kelurahan/Desa yang menjadi induk dari perangkat P3N. Menurut Kepala KUA Kecamatan Cimaung tidak ada anggaran seperti honorarium atau tunjangan terhadap P3N dari KUA Kecamatan sebagai institusi yang mengawasi kinerja P3N secara langsung. Begitupun menurut Kepala Desa Pasirhuni tidak ada uang insentif dari Kelurahan/Desa, meski tidak termasuk ke dalam organ struktural, tapi secara organisatoris kerja P3N masuk ke dalam bagian Kelurahan/Desa.

Ironisnya P3N kerap melakukan pungutan liar di luar biaya yang ditetapkan oleh KUA Kecamatan dalam setiap pengurusan perkawinan yang terjadi di wilayah kerjanya. Hal tersebut menimbulkan stigma di masyarakat bahwa biaya operasional perkawinan menjadi mahal. Mahalnya biaya perkawinan mengakibatkan masyarakat berpikir ulang untuk mengeluarkan biaya perkawinannya. Ujung-ujungnya masyarakat menempuh perkawinan yang tidak dicatatkan di KUA Kecamatan karena menghindari biaya perkawinan yang mahal.

Tidak adanya ketersediaan uang insentif (honor) bagi P3N baik dari KUA Kecamatan maupun dari Kelurahan/Desa. Kemudian masyarakat yang enggan mengeluarkan biaya mahal terhadap perkawinannya mengakibatkan berkurangnya biaya operasional kerja P3N. Untuk menutupi biaya operasional kerja, P3N bahkan tidak tanggung-tanggung berani menempuh cara ekstrim. AD (P3N di wilayah Kecamatan Cimaung) mengemukakan yang pernah terjadi di wilayah Kecamatan Cimaung, P3N dari desa lain tidak segan-segan dengan berani memalsukan buku nikah yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Cimaung.

AD menuturkan sebenarnya dahulu pernah ada kebijakan dari KUA Kecamatan Cimaung mengenai uang kerahiman bagi P3N sebesar Rp. 5.000/peristiwa nikah. Akan tetapi kebijakan tersebut ditarik kembali ketika merebak berita mahalnya biaya nikah ditengah-tengah masyarakat. Selain itu apabila dibandingkan dengan biaya kebutuhan hidup sekarang, besaran uang kerahiman tersebut tidaklah sesuai.

DN dan SU menambahkan biasanya P3N mendapatkan biaya operasional kerja dari hasil presentasi nikah dan transportasi kepengurusan surat/dokumen nikah. SU menuturkan besaran nominalnya tidak ditentukan, P3N menerima upah kepengurusan nikah dari masyarakat dengan sukarela. Namun terkadang SU bisa menentukan sendiri biaya kepungurusan nikah dengan menyesuaikan kemampuan dan keadaan ekonomi warga.

Menurut AD (P3N di wilayah Kecamatan Cimaung), apabila mengandalkan biaya pengurusan nikah warga saja, sampai kapanpun P3N tidak dapat menutupi segala biaya kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu untuk menutupinya, dituntut peran aktif dari P3N dalam kehidupan masyarakat sekitar. AD dan DN selalu ikut berperan serta dalam kegiatan-kegiatan agama seperti dalam kegiatan majelista’lim, pendidikan madrasah diniyah, pengurusan zakat dan lain-lain. Di samping itu, P3N dapat pula mengembangkan potensi dan keahliannya di bidang lainnya seperti bidang pertanian yang dilakuakan oleh SU dan wiraswasta (berdagang) seperti yang dilakukan AD.

Pengawasan yang lebih ketat terhadap kinerja P3N di wilayah Kecamatan Cimaung bisa menjadi agenda dalam menghadapi kendala P3N yang bersifat eksternal. Menurut AD (P3N di wilayah Kecamatan Cimaung), sejauh ini KUA Kecamatan Cimaung turut menghadirkan dan mengundang semua P3N dalam RAPINTAP (Rapat Dina Tetap) yang rutin diadakan setiap triwulan. Akan tetapi dalam rapat tersebut lebih ditekankan kepada pengarahan dan optimalisai pelayanan masyarakat daripada pengawasan kinerja P3N.

Di Kelurahan/Desa pun pengawasan terhadap P3N begitu longgar. Menurut Kepala Desa Pasirhuni, Kepala Kelurahan/Desa mengawasi kinerja P3N hanya sebatas dalam perihal administrasi yaitu rekomendasi nikah dari Kelurahan/Desa ke KUA Kecamatan, itupun jika memungkinkan. Apabila tidak memungkinkan Kepala Kelurahan/Desa cukup menerima laporan dalam bentuk registernya saja.

Sedangkan dalam menghadapi kendala yang bersifat internal, P3N seharusnya lebih memahami lagi mengenai pekerjaan dan konsekuensi pekerjaan dari P3N itu sendiri. DN dan AD menjelaskan pekerjaan P3N yang bersinggungan dan tidak lepas dengan norma-norma dan nilai-nilai agama mengakibatkan tanggung jawab pekerjaan yang langsung dengan Sang Pencipta. Apabila P3N melakukan pekerjaan dengan baik, maka konsekuensi pekerjaannya berupa pahala. Sebaliknya jika P3N melakukan pekerjaan kurang baik, maka perasaan dosa menjadi konsekuensinya. Dengan demikian hendaknya P3N dalam kinerjanya dilandasi dengan niat tulus serta ikhlas atas dasar ibadah.

Peran dan kerja P3N di masyarakat yang sangat signifikan dan konsekuensi pekerjaan yang berhubungan langsung dengan Tuhan bisa menjadi sebuah aspirasi bagi institusi pemerintah agar lebih memperhatikan kesejahteraan hidup P3N. Berdasarkan penuturan DN (P3N di wilayah Kecamatan Cimaung) meski kecil kemungkinan, tapi besar harapan bagi P3N agar diberi kesempatan masuk ke dalam Tenaga Honorer seperti Penyuluh Agama Honorer (PAH) di KUA Kecamatan. Setidaknya minimal P3N mendapatkan uang insentif/bulan dalam setiap pekerjaannya. Selain itu, mempunyai kesempatan untuk diikutsertakan dalam ujian Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Kategori KII di lingkungan Kementerian Agama.

KESIMPULAN

Pola manajemen SDM Petugas Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) di KUA Kecamatan Cimaung sudah baik dan mengikuti standar manajemen yang prima hal tersebut tercermin dari proses perekrutan sampai pada tahap pengawasan. Prosedur penerimaan dilakukan secara berjenjang dari tingkat kelurahan, Kecamatan sampai kabupaten. Tidak berhenti sampai di situ, dalam pelaksanaannya, Petugas Pegawai Pencatatan Nikah dilakukan evaluasi. Evaluasi pada KUA Kecamatan Cimaung dilakukan dengan mengundang semua P3N dalam RAPINTAP (Rapat Dina Tetap) yang rutin diadakan setiap triwulan.

References

  1. S. Saekhu, “Seputar Persoalan Pelayanan Wakaf di Kantor Urusan Agama (Kua) Kecamatan Kel- ing Kabupaten Jepara,” Economica: Jurnal Ekonomi Islam, vol. 5, no. 2, pp. 37–52, 2014.
  2. H. Hijriani, “Implementasi Pelayanan Pencatatan Pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) Keca- matan Sangasanga Kabupaten Kutai Kartanegara,” J. Adm. Negara, vol. 3, no. 2, pp. 534–538, 2015.
  3. U. Kulonprogo, “Peningkatan Kinerja Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N).” [Online]. Available: http://bimasislamkulonprogo.blogspot.com/2011/02/ peningkatan-kinerja-pembantu-pegawai.html
  4. T. P. B. K. K. B. P. dan Pengembangan Agama Jakarta, “Biaya Riil dan Ideal Pen- catatan Nikah di Kua di Berbagai Wilayah Indonesia Bagian Barat.” [Online]. Available: http://blajakarta.kemenag.go.id/executive-summary/ biaya-riil-dan-ideal-pencatatan-nikah-di-kua-di- berbagai-wilayah-indonesia-bagian-barat.html.
  5. M. Roqib, “Pernikahan Dini Dan Lambat: Merampas Hak-Hak Anak,” Yin Yang, vol. 5, no. 2, pp. 298–311, 2010.
  6. E. Roza, Y. Yasnel, and M. Mirawati, “Akul- turasi Islam dalam Adat Pengesahan Perkawinan Suku Sakai Solapan Kabupaten Bengkalis, Riau,” TSAQAFAH, vol. 15, no. 1, pp. 49–66, 2019.
  7. A. Wartini, “Poligami: Dari Fiqh Hingga Perundang- Undangan,” HUNAFA: Jurnal Studia Islamika, vol. 10, no. 2, pp. 237–268, 2013.
  8. L. Noviana, “Persoalan Praktik Poligami dalam Masyarakat Islam,” Jurnal Salam, vol. 15, no. 1, 2012.
  9. A. Samah, “Izin Isteri dalam Poligami Perspek- tif Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.” Hukum Islam, vol. 14, no. 1, pp. 34–44, 2014.