Financial Technology
DOI: 10.21070/ijler.2019.V2.17

Legal protection for Provider in Peer to Peer Lending: an Example from Indonesian Regulation


Perlindungan hukum untuk Penyedia Pinjaman Peer to Peer: Contoh dari Peraturan Indonesia

Faculty of Law, Universitas Islam Kadiri
Indonesia

(*) Corresponding Author

Legal Protection Investor Financial Technology Fintech Peer to Peer Lending

Abstract

The Financial Technology peer to peer (P2P) lending concept still finds many weaknesses, especially in terms of legal protection for parties and risk management from Fintech itself. P2P Lending Regulation in Indonesia currently uses POJK No. 77 / POJK / 2016 concerning technology-based money lending and borrowing services. The position of Fintech P2P lending is similar to a bank, but the concept is a different agreement. Fintech P2P lending funds can come from investors or funders or cooperate with legal entities or banks. Considering that the risk posed by Fintech P2P lending is very large, Fintech must also implement consumer protection, risk management and prudential principles like a bank credit agreement so as to cover the risk of bad credit, the Fintech platform uses other means to protect funds from investors or investors. the other is with the protection fund as done by the Coin works platform. The protection fund does not cover the entire fund invested by the funder, depending on the availability of protection funds and the amount of credit that is experiencing congestion. The POJK regulation in article 19 describes the agreement clause which must contain the dispute resolution mechanism and the settlement mechanism if the implementation of lending and borrowing services is not able to continue operations, so that with the rules related to the clause it is expected that the funder will still get legal certainty and protection for funds.

Pendahuluan

Perkembangan teknologi informasi telah memberikan perubahan yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat. Industri teknologi informasi menjadi industri yang diunggulkan karena memberikan kemudahan dan efisiensi waktu, Perkembangan teknologi informasi juga mendorong berkembanganya kegiatan perindustrian dan perdagangan. Pengaruh perkembangan teknologi terhadap kegiatan perindustrian dan perdagangan juga dikarenakan perkembangan teknologi di bidang financial. Salah satu bentuk perkembangan teknologi di bidang jasa keungan adalah kehadiran Financial technology (Fintech). Financial Technology atau Fintech adalah suatu bentuk kemajuan teknologi yang memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam melakukan transaksi keuangan. Financial Technoloy merupakan suatu inovasi di bidang jasa keuangan yang memberikan kemudahan bagi masyarakat [1].

Sejarah kemunculan Fintech diawali pada tahun 2004 di Inggris oleh Zopa, yaitu institusi keuangan di Inggris yang menjalankan jasa peminjaman uang . Sedangkan di Indonesia sendiri fintech mulai di kenal di September 2015 sejak munculnya Asosiasi Fintech Indonesia. Asosiasi ini bertujuan untuk menyediakan partner bisnis yang terpercaya dan dapat diandalkan untuk membangun ekosistem fintech di Indonesia [2]. Financial technology atau Fintech merupakan hasil gabungan antara jasa keuangan dengan teknologi yang akhirnya mengubah model bisnis dari konvensional menjadi moderat, yang awalnya dalam membayar harus bertatap-muka dan membawa sejumlah uang kas, kini dapat melakukan transaksi jarak jauh dengan melakukan pembayaran yang dapat dilakukan dalam hitungan detik saja.

Perkembangan Fintech tidak serta merta diikuti dengan keberadaan payung hokum yang dapat melindungi para pihak yang bergerak di bidang financial technology. Saat ini Fintech belum memiliki undang-undang tetapi sudah memiliki beberapa payung hukum salah satunya yaitu Peraturan Bank Indonesia No. 19/12 / PBI / 2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial [3]. Dalam pasal 1 angka 1 dijelaskan bahwa teknologi financial adalah penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi,dan/atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran.

Finansial technology atau fintech adalah penyedia jasa keuangan dengan mengandalkan teknologi. Ada 4 klasifikasi jasa keuangan dengan basis teknologi atau Fintech menurut Bank Indonesia yaitu

  1. Crowdfunding dan peer to peer landing merupakan Fintech yang memberikan sarana mempertemukan pencari modal dan investor.
  2. Market aggregator
  3. Risk and investment management, konsepnya adalah seperti financial planner namun berbentuk digital. Pengguna akan diarahkan produk investasi mana yang cocok untuknya sesuai preferensi diberikan.
  4. Payment, settlement, dan clearing. Fintech di sini bergerak di bidang pembayaran seperti e-wallet dan payment getaway.

Kategori Fintech yang mulai berkembang beberpa tahun terakhir adalah dengan fintech kategori pinjaman, pembiayaan dan penyediaan modal atau disebut dengan Peer To Peer lending atau P2P lending.

Peer to Peer (P2P) Lending, yaitu sarana bagi pencari modal dan investor di bidang pinjaman uang atau kredit. Konsep ini memberikan kemudahan di mana penyedia menyediakan sarana yang memungkinkan pemilik dana atau investor dan pencari modal atau peminjam dapat melakukan proses pinjam meminjam secara online atau melalui teknologi informasi. Dengan adanya platform tersebut maka portal pinjaman dapat dengan mudah diakses kapan saja dan dimana saja tanpa harus mengantri seperti di bank. Kehadiran Finteh P2P lending ini tentunya merupakan terobosan baru yang memberikan kemudahan khususnya bagi usaha kecil yang membutuhkan modal dengan segera. P2P Lending saat ini ada dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), salah satu bentuk pengawasannya dengan diberlakukannya Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 tentang layanan pinjam meminjam uang dengan berbasis teknologi.

Kehadiran POJK No. 77/POJK.01/2016 adalah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hokum bagi para pengguna fintech P2P Lending [4]. Hal yang harus dilakukan pertama kali kali oelh penyelenggara fintech adalah mendaftarkan perusahaan nya pada Otoritas Jasa Keuangan. Fintech P2P Lending sebagai penyelenggara layanan jasa pinjam meminjam uang melalui teknologi tentunya juga memiliki resiko yang besar. Cara kerja Fintech P2P lending adalah melalui platform Fintech P2P lending yang sudah tersedia pencari modal mengajukan pinjaman pada penyedia aplikasi dengan mengirimkan data-data yang diperlukan kemudian dianalisis oleh penyedia layanan diterima tidaknya pengajuan pinjaman tersebut. Sumber Dana atau modal dari fintech yang akan dipinjamkan berasal dari investor bisa dari orang perseorang atau badan hokum. Sebagai contoh cara kerja perusahaan Fintech Lending “Koin Works” Di dalam platform KoinWorks menghubungkan pendana dengan beragam Peminjam berdasarkan kebutuhan pinjaman masing-masing. Pendana bisa mengalokasikan dana depositnya ke masing-masing peminjam yang tersedia. Dana yang dinvestasikan akan langsung ditambahkan ke dalam total dana yang dibutuhkan Peminjam. Dana yang terkumpul nantinya akan dicairkan dan diberikan kepada sang Peminjam dan pendana akan mendapatkan bunga pengembalian sebagai hasil investasi pendana setiap bulannya. Perusahaan Fintech Lending juga bisa bekerjasama dengan Bank dan perusahaan multi finance sebagai penyedia sumber dana seperti halnya yang dilakukan oleh Platform “Tunai Kita”, sehingga cara kerjanya pencari dana cukup mengajukan pinjaman yang dibutuhkan dan langsung dianalisis oleh “Tunai Kita” untuk kelayakan nya.

Permasalahan muncul berkaitan perlindungan bagi penyedia dana apabila peminjam dana tidak mampu membayar pinjamannya. Bank Indonesia menegaskan dalam PBI No. 19/2/PBI/2017 pasal 2 bahwa perusahaan Fintech harus menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen resiko dalam menjalankan jasanya. Sehingga perlu dipertanyakan sejauh mana fintech P2P lending memberikan perlindungan bagi penggunanya ditinjau dari POJK No. 77/POJK/2016 tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi. Tujuan dari penelitian ini untuk mengkaji perlindungan hokum bagi penyedia dana atau kreditur dalam Fintech P2P Lending.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam paper ini menggunakan Yuridis Normative dengan pendekatan masalah menggunakan pendekatan Perundang-undangan (statute Approach) yaitu menggunakan menggunakan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016 tentang layanan pinjam meminjam uang dengan basis teknologi. Langkah-langkah analisis dilakukan dengan cara mengidentifikasikan fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan, pengumpulan bahan hukum dan bahan non hukum yang sekiranya mempunyai relevansi dengan isu hokum, menelaah isu hukum berdasarkan bahan hukum yang telah dikumpulkan, menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hokum, memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun dalam kesimpulan.

Diskusi dan Pembahasan

Financial Technoloy merupakan suatu inovasi di bidang jasa keuangan yang merubah cara hidup bagi masyarakat menjadi semakin mudah dan efisisen. Keberadaan fintech saat ini belum memiliki undang-undang tetapi sudah memiliki beberapa payung hukum salah satunya yaitu Peraturan Bank Indonesia No. 19/12 / PBI / 2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial dan POJK No. 77/POJK. 01/2016 tentang layanan pinjam meminjam dengan basis teknologi. Yang secara khusus mengatur dan mengawasi keberadaan Fintech dengan kategori P2P Lending yaitu fintech dengan layanan jasa pinjam meminjam uang.

Pasal 1 angka 3 POJK No. 77/POJK.01/2016 amenjelaskan bahwa Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. Jadi Fintech P2P Lending adalah suatu platform yang menyediakan sarana bagi pencari modal untuk mendapatkan pinajaman uang dengan lebih mudah, cepat da efisien.

Cara kerja Fintech P2P lending menjadikan kedudukannya hampir sama dengan bank. Pasal 2 POJK No. 77/POJK/2016 menjelaskan bahwa penyelenggara fintech harus berbadan hokum bisa dalam bentuk perseroan terbatas ataupun koperasi. Penyelenggara layanan fintech P2P Lending juga harus memiliki modal yang disetor sebagaiman diatur dalam pasal 4 bahwa Fintech P2P dengan badan hukum perseroan terbatas wajib memiliki modal disetor paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) pada saat pendaftaran dan untuk badan hokum koperasi wajib memiliki modal sendiri paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) pada saat pendaftaran Penyelenggara wajib memiliki modal disetor paling sedikit Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) pada saat mengajukan permohonan perizinan [5].

Sumber dana Fintech P2P Lending berasal dari dana investor bisa dari perorangan ataupun badan hokum, konsep ini sama dengan jasa perbankan yaitu penghimpunan dana. Perbedaannya adalah dalam layanan finteh P2P Lending hubungan hokum dengan pemberi dana atau investor adalah perjanjian pemberi pinjaman dengan penyelenggara fintech sebagaimana diatur tersendiri dalam pasal 19 POJK No. 77/POJK/2016. Dalam pasal 19 diatur secara lengkap bahwa klausula dai perjanjian itu harus memuat, nomor perjanjian; tanggal perjanjian; identitas para pihak; ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak; jumlah pinjaman; suku bunga pinjaman; besarnya komisi; jangka waktu; rincian biaya terkait; ketentuan mengenai denda (jika ada); mekanisme penyelesaian sengketa, dan mekanisme penyelesaian dalam hal Penyelenggara tidak dapat melanjutkan kegiatan operasionalnya. Selain itu penyelenggara juga diwajibkan menyediakan akses informasi kepada Pemberi Pinjaman atas penggunaan dananya. Akses informasi sebagaimana dimaksud paling sedikit memuat:jumlah dana yang dipinjamkan kepada Penerima Pinjaman; tujuan pemanfaatan dana oleh Penerima Pinjaman; besaran bunga pinjaman; dan jangka waktu pinjaman, tetapi tidak termasuk informasi terkait identitas Penerima Pinjaman. Sehingga pemilik dana atau pemberi pinjaman mengetahui penggunaan dananya.

Adanya perjanjian tersebut juga merupakan bentuk perlindungan hukum di dalam pemberian kredit. Perjanjian pemberian kredit yang telah disetujui oleh para pihak tentunya akan mengikat para pihak sebagaiamana Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Asas Pacta Sunt Servanda) [6]. Perjanjian kredit yang telah disepakati melahirkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, sehingga para pihak yang telah mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut dapat mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh untuk dilakukan.

Jadi sifat perjanjian antara penyedia dana atau pemberi pinjaman dengan penyenggara Fintech P2P lending tidak bisa disamakan dengan perjanjian penghimpunan dana yang dibuat oleh bank. Penghimpunan dana yang dilakukan oleh bank dilakukan dalam bentuk tabungan deposito dan giro bersifat perjanjian penitipan antara nasabah penyimpan dana dan bank,sehingga nasabah penyimpan dana tidak berhubungan langsung dengan nasabah peminjam dana. Hal itu tentunya berbeda dengan posisi penyedia dana yang ada dalam layanan Fintech P2P Lending yang mengetahui penggunaan dananya untuk pinjaman walaupun tidak secara langsung berhubungan dengan si penerima pinjaman.

Keberadaan pasal 19 yang memuat tentang klausula dari perjanjian yang dilakukan oleh penyelenggaran fintech p2p lending dengan pemberi pinjaman merupakan bentuk perlindungan bagi pemberi dana, karena konsep P2P Lending sama dengan konsep kredit tanpa agunan sehingga memiliki resiko yang sangat besar. Salah satu unsur dari perjanjian pinjam meminjam adalah adanya resiko hal itu juga yang berlaku pada perjanjian kredit di bank, degree of risk, yaitu resiko yang mungkin akan terjadi selama jangak waktu antara pemberian dan pelunasan kredit tersebut, sehingga untuk mengamankan pemberian kredit bank menggunakan perjanjian tambahan atau accesoair yaitu pengikatan jaminan dan agunan yang bertujuan menutup kemungkinan terjadinya wanprestasi [7]. Oleh karena itu dalam setiap pemberian kredit, bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan dan berdasarkan prinsip kehati-hatian. Konsep 5C adalah bentuk penerapan prinsip kehati-hatian bank, yaitu:

  1. Character, yaitu penilaian watak, perilaku atau kepribadian calon debitor. Fungsinya untuk mengetahui kejujuran dan iktikad baik calon debitor untuk melunasi atau mengembalikan pinjamannya.
  2. Capacity, yaitu Penilaian kemampuan calon debitor baik dalam bidang usahanya ataupun kemampuan manajerialnya, sehingga bank memiliki keyakinan bahwa usaha yang akan diberi fgasilitas kredit dapat dikelola oleh orang-orang yang tepat yang memiliki kemampuan yang baik sehingga bisa melunasi atau mengembalikan pinjamannya tepat waktu.
  3. Capital, yaitu penilaian terhadap modal, bank harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan calon debitor mulai dari awal hingga prediksi untuk masa mendatang. Dalam hal ini bank biasanya tidak memberikan modal menyeluruh , karena calon debitor dituntut untuk memiliki modal sendiri sehingga bank hanya membantu memberikan tambahan modal untuk calon debitor.
  4. Collateral, yaitu penilaian terhadap agunan atau barang jaminan. Seorang calon debitor umumnya diwajibkan oleh bank untuk menyediakan jaminan berupa agunan yang mudah dicairkan memiliki nilai ekonomis, dapat dialihkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit yang akan diberikan padanya. Agunan atau jaminan disini berfungsi untuk memberikan kepastian bahwa debitor tidak akan wanprestasi, dan jika ternyata debitor tidak bisa memenuhi prestasinya maka jaminan tersebut akan digunakan untuk melunasi hutang debitor.
  5. Condition of economy, yaitu penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitor. Bank harus bisa menganalisa keadaan pasar baik dalam negeri maupun luar negeri, baik masa lalu maupun masa yang akan datang, agar bank bisa memprediksi masa depan usaha calon debitor yang akan dibiayai.

Layanan pinjam meminjam berbasis teknologi sebagai salah satu bentuk Fimtech juga seharusnya menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalanakan usahanya. Hal itu sudah ditegaskan dalam pasal 2 PBI no. 19/2/PBI/2017 bahwa Bank Indonesia mengatur penyelenggaraan Teknologi Finansial untuk mendorong inovasi dibidang keuangan dengan menerapkan prinsip perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian guna tetap menjaga stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan sistem pembayaran yang efisien,lancar, aman, dan andal. Artinya dalam penyelenggaraan Fintech tetap harus memperhatikan prinsip perlindungan konsumen. Manajemen resiko dan kehati-hatian.

Beberapa platform sudah berusaha untuk menerapkan prinsip kehati-hatian. Salah satunya platform “Koin Works” [8], platform ini juga menerapkan penilaian untuk menilai kelayakan calon nasabah melalui beberapa aspek penting yaitu:

  1. Menilai karakter peminjam melalui beberapa cara dengan fokus memilih peminjam yang bertanggung jawab dan mampu. Hal ini dilakukan dengan menganalisa perilaku di platform kami, penilaian asosiasi, reputasi bisnis, sejarah kredit, serta faktor-faktor lainnya.
  2. Melihat keuangan peminjam untuk menilai apakah peminjam mampu membayar cicilan pinjamannya dengan melakukan simulasi keuangan peminjam dalam kondisi normal dan dalam kondisi hipotetis jika terjadi situasi yang merugikan pada bisnis atau industri.
  3. Memverifikasi data yang disertakan peminjam pada aplikasi. Ini mencakup identitas, lokasi, usaha dan kondisi keuangan, kemampuan mereka, dan lain-lain dengan cara verifikasi silang, melalui sumber-sumber yang ada di publik serta pihak ketiga, dan juga pemeriksaan secara acak.
  4. Melihat kemampuan usaha untuk berjalan. Pertumbuhan, stabilitas, reputasi, dan rekam jejak merupakan faktor penting dalam penilaian, juga melihat kondisi industri dan penyesuaian terhadap portofolio pinjaman.

Dengan penilaian character nasabah dan kondisi usahanya maka diharapan dapata mengurangi resiko terjadinya kredit macet. Tidak adanya pengikatan jaminan maka platform Koin Works ini menerapkan adaya alternative perlindungan lain bagi dana pemberi pinjaman yaitu dana proteksi. Dana proteksi ini digunakan untuk mengganti kerugian pemberi pinjaman apabila terjadi peminjam tidak dapat membayar pinjamannya. Meskipun KoinWorks menggunakan penilaian yang sangat ketat terhadap setiap pinjaman yang diajukan, aktivitas peminjaman memiliki tingkat risiko yang beraneka ragam dan risiko gagal bayar tetap mungkin terjadi seturut waktu. Dana Proteksi yang disediakan oleh perusahaan yang menyelenggarakan platform Koin Works bukanlah jaminan atas keamanan pendanaan dan nominalnya pun terbatas, serta tidak dicakup ataupun diamanatkan dalam aturan pemerintah. Kerja sama antara PT Lunaria Annua Teknologi selaku penyelenggara platform Koin works dan PT Lunaria Annua Indonesia selaku pemegang Dana Proteksi, perjanjian sewaktu-waktu bisa dibatalkan atau diputus dengan bertambahnya jumlah pinjaman yang gagal bayar, Dana Proteksi bisa sewaktu-waktu habis sehingga tidak bisa digunakan untuk mengganti tetapi hanya meminimalisir kerugian modal Pendana sedangkan investasi di peer to peer lending (P2P Lending) juga tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) [9]. Platform Koin works juga menerapkan bunga yang cukup tinggi bagi pinjaman yang memiliki resiko tinggi, tujuannya untuk memproteksi dana pemberi dana apabila pihak peminjam tidak mampu membayar.

Perlidungan penyedia dana sebagai penanggung resiko terbesar memang harus diutamakan, dan dalam hal ini penyelenggara layanan fintech harus sepenuhnya bertanggung jawab apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi selama perjanjian pinjam meminjam berlangsung. Kehadiran POJK No. 77/ POJK.1/ 2016 cukup memberikan kepastian hokum dalam upaya perlindungan dana pihak penyedia dana dalam layanan fintech P2P lending. Kewajiban penyelenggara fintech harus membuat perjanjian dengan pemberi pinjamana dalam bentuk dokumen elektronik dan penetapan kalusul apa saja yang harus dimuat dalam perjanjian tersebut sebagaimana diamuat dalam POJK No. 77/ POJK.1/ 2016 cukup membantu pihak penyedia dana atau pemberi pinjaman untuk mendapatakan rasa aman akan keberadaan dana yang dipinjamkannya mengingat Fintech P2P lending masih belum bekerjasama dengan asuransi yang bisa menanggung apabila terjadi kasus gagal bayar sebagaimana bank yang memiliki asuransi kredit ataupun Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Kesimpulan dan Saran

Konsep Fintech Peer To Peer Lending yang mirip dengan perjanjian kredit tanpa agunan tentunya memiliki resiko besar utamanya pada pihak kreditur atau penyedia dana. Sumber dana layanan Fintech P2P lending yang mengandalkan investor yang bersedia menyediakan dana untuk dipinjam tentunya harus mendapatkan perlindungan hokum tersendiri. Payung hokum Fintech Peer to Peer lending saat ini hanya Peraturan otoritas Jasa Keungan No.77/POJK.01/2016 tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi cukup memberikan perlindungan hokum bagi penyedia. Hal itu tampak pada adanya aturan klausula perjanjian yang harus dimuat dalam perjanjian antara pemberi pinjaman dengan penyelenggara Fintech P2P Lending sebagaiaman termuat dalam pasal 19 POJK Nomor 77/POJK.01/2016. Penyelenggara Fintech P2P Lending harus memberikan kepastian hokum berkaitan dengan mekanisme penyelesaian sengketa, dan mekanisme penyelesaian dalam hal Penyelenggara tidak dapat melanjutkan kegiatan operasionalnya dan hal itu harus dimuat dalam perjanjian. Jadi adanya perjanjian yang berupa dokumen elektronik tersebut dapat menjadi alat bukti apabila terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak karena perjanjian yang telah disepakati memiliki sifat Pacta Sun Servanda.

Saran dari penulis harusnya segera dibuat regulasi yang memadai seperti undang-undang bagi layanan Fintech P2P lending mengingat degree of risk nya yang tinggi, untuk menghindari terjadi nya tingginya angka kredit macet, karena tidak adanya jaminan yang mengikat. Serta perlunya lembaga seperti lembaga penjamin simpanan atau asuransi untuk memberikan jaminan keamanan bagi penyedia dana dalam layanan Finech P2P Lending.

References

  1. Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12 / PBI / 2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial
  2. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2005
  3. Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2003
  4. Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
  5. Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang layanan pinjam meminjam uang dengan basis teknologi
  6. Indonesia Fintech Insitute, “ Revolusi Digital Perbankan Membuat Manusia Menjadi Pengangguran” www.fintechinstitute.co.id/2017/10/15/revolusi-digital-perbankan-membuat-manusia-menjadi-pengangguran.html
  7. Bank Indonesia, “Edukasi Financial Technology” www.bi.go.id/id/edukasi-perlindungan-konsumen/edukasi/produk-dan-jasa-sp/fintech/Pages/default.aspx
  8. POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi www.ojk.go.id/id/regulasi/otoritas-jasa-keuangan/peraturan-ojk/Pages/POJK-Nomor-77-POJK.01-2016.aspx