Mochammad Ridho Nasrullah (1), Rugun Romaida Hutabarat (2)
General Background: Grounds for the exclusion of criminal liability serve as essential mechanisms within Indonesian criminal law to ensure that punishment is not imposed automatically when the elements of a crime are fulfilled, but instead aligned with substantive justice. Specific Background: Although Articles 48–51 of the Criminal Code regulate justifying and excusing grounds, judicial practice demonstrates variations in how judges assess their validity. Knowledge Gap: Limited scholarship has comprehensively explained the principles applied by judges in determining whether these grounds are legally acceptable, particularly in cases involving psychological conditions and proportionality assessments. Aims: This study aims to analyze the normative framework of grounds for criminal exemption and identify the principles guiding judicial evaluation. Results: The findings show that judges consistently apply the principles of proportionality, subsidiarity, and culpa in causa, while also assessing trial facts, the defendant’s mental state, and the balance between the threat faced and the defensive act. Novelty: This research highlights that judges also consider jurisprudence and customary law as extended bases for exemption beyond the Criminal Code. Implications: These findings underscore the need for consistent judicial guidelines to ensure that the application of grounds for criminal exemption remains aligned with the objectives of criminal law and the pursuit of substantive justice.
Highlights:
Keywords: Criminal Exemption, Judicial Principles, Proportionality, Indonesian Criminal Code, Substantive Justice
Hukum pidana merupakan bagian dari sistem hukum yang mengatur tindakan–tindakan yang dilarang dan disertai dengan ancaman sanksi sebagaimana telah diatur dalam Undang- Undang [1] serta memiliki tujuan melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kejahatan dengan menegakkan norma-norma hukum [2]. Sistem hukum pidana bertindak sebagai pondasi dalam menjaga keadilan dalam suatu negara [3]. Setiap manusia berhak memiliki hak untuk kebebasan, hak untuk mencari tempat yang aman, berhak untuk hidup. sesuai yang diatur dalam UUD1945 [4]. Namun demikian, terdapat perbedaan antara hukum positif (rechts positiviteit) dengan kenyataan hukum dalam praktik (recht werkelijkheid). Masyarakat kerap menemukan penerapan hukum yang tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang dirumuskan Undang-Undang yang telah dirumuskan. Menurut Utrechtt berpendapat bahwa segala tindakan yang bertentangan dengan asas-asas hukum dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum [4].
Secara teoritis, setiap pelanggaran norma harus dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja dan melawan hukum [5]. Pompe memberikan pendapat tidak setiap pembunuhan melawan hukum, seperti yang dinyatakan pada Pasal 338 KUHP tentang pelanggaran. Pendapat tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 49 KUHP tentang pembelaan diri. Karena itu, undang-undang mendefinisikan tindak pidana sebagai tindakan yang dapat dihukum [5]. Salah satu persoalan yang sering muncul saat penerapan hukum pidana yaitu tidak semua tindakan yang dilakukan oleh pelaku walaupun memenuhi unsur tindak pidana harus dijatuhi pidana. Pada hukum pidana, ada situasi tertetu yang memungkinkan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana kepada seseorang meskipun perbuatannya memenuhi unsur-unsur tindak pidana [6], yaitu suatu kondisi yang menyebabkan pelaku tidak dapat dipidana walaupun unsur deliknya terpenuhi. Alasan penghapus pidana dapat dipakai guna menghapus pidana dari suatu perbuatan, seperti yang diatur pada Pasal 48 hingga 51 KUHP [6]. Pada penerapannya, hakim bertanggung jawab untuk menentukan apakah kondisi atau keadaan tertentu yang disebutkan dalam alasan penghapus pidana dapat diterapkan [7].
Secara umum, terdapat dua jenis alasan penghapus pidana, diantaranya ialah alasan pembenar (rechtvaardigingsground) serta alasan pemaaf (schuldduitsluitingsground). Alasan pembenar menghilangkan sifat melawan hukum dari tindakan yang terkait dengan tindak pidana (strafbaarfeit) [7] sehingga tindakan terdakwa menjadi patut dan benar [8], sementara alasan pemaaf yaitu keadaan yang menghapus kesalahan atau kekeliruan yang berkaitan dengan terdakwa yang terkait dengan pertanggungjawaban (toerekeningsvatbaarheid) [4], perbuatan terdakwa tetap melawan hukum tetapi tidak dapat dipidana dikarenakan tidak terdapat kesalahan [8]. Dalam kasus pembenar, perbuatan pelaku dinilai benar menurut hukum, misalnya dalam melakukan pembelaan terpaksa (noodweer) yang dilakukan dalam keadaan darurat [5]. Sebaliknya, dalam alasan pemaaf menilai bahwa pelaku tidak layak dipidana karena kondisi pelaku atau psikologis tertentu, misalnya dalam noodweer excess. Noodweer excess merupakan perbuatan yang melampaui batas pembelaan yang diperlukan [5].
Ketika pelaku bertindak melampaui batas akibat guncangan jiwa yang parah. Pelaku tidak bisa dipidana karena hilangnya kesalahan sebagaimana dalam kasus pemaaf. Hakim memutuskan alasan penghapus pidana. Dalam kondisi tersebut, hakim tidak dapat menjatuhkan pidana kepada pelaku [9]. Penilaian tersebut harus mempertimbangkan alat bukti, fakta persidangan serta asas-asas hukum pidana. dengan demikian peran hakim penting dalam memastikan penerapan alasan penghapus pidana diberikan secara tepat. Berdasarkan uraian tersebut, tulisan ini membahas mengenai pengaturan alasan penghapus pidana dalam sistem hukum pidana Indonesia, serta prinsip–prinsip hakim dalam menilai alasan penghapus pidana.
Rumusan masalah dalam penelitian ini berfokus pada dua hal utama, yaitu bagaimana penentuan alasan penghapus pidana diatur dan diterapkan dalam sistem hukum pidana Indonesia, serta bagaimana prinsip-prinsip yang digunakan oleh hakim dalam menilai keberadaan alasan penghapus pidana tersebut dalam suatu perkara. Kajian ini penting untuk memahami landasan normatif dan doktrinal terkait alasan pembenar maupun pemaaf, sekaligus menelaah bagaimana hakim mempertimbangkan unsur-unsur hukum, fakta persidangan, serta asas-asas keadilan dalam menentukan apakah suatu perbuatan dapat dikecualikan dari pemidanaan.
Metode penelitian yang dipakai untuk penulisan ini yaitu penelitian hukum normatif yang berasal dari bahasa Inggris yakni legal research dalam bahasa Belanda juridich ondezoek. Dalam hal ini, penelitian hukum normatif [10] dilakukan dengan mengakaji atau menganalisis data sekunder yang berupada bahan hukum primer serta sekunder [11] dengan pendekatan yang dipakai yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach) [12].
Tidak terdapat batasan atau definisi hukum mengenai tindak pidana pada hukum pidana yang berlaku di Indonesia, melainkan hanya memiliki dasar hukum. Suatu perbuatan (feit) dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana (starfbaar feit) apabila telah termuat dalam Undang-Undang. KUHP tidak memberikan definisi mengenainya, namun Pasal 1 ayat (1) KUHP berfungsi sebagai hanya landasan juridis [11]. Simons berpendapat bahwa tindak pidana wajib mengandung unsur seperti perbuatan manusia, tindakan yang dapat mengakibatkan hukuman pidana, serta melawan hukum yang dilakukan dengan kesalahan serta perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang dapat bertanggungjawab [11].
Dalam penjelasan Simons mengenai unsur tindak pidana diantaranya ialah perbuatan manusia, seperti berbuat, tidak berbuat, ataupun membiarkan, perbuatan yang dilakukan diancam pidana (stratbaar gesteld) bahwa perbuatan tersebut secara jelas didefinisikan sebagai tindak pidana dalam Undang-Undang, terpenuhinya melawan hukum (onrechtmatig) bahwa sifat melawan hukum ini dapat hilang karena alasan pembenar seperti pembelaan terpaksa atau noodweer, perbuatan tersebut harus dilakukan dengan kesalahan (met Schuld in verband staand) karena asas bahwa tidak ada pidana tanpa kesalahan, dan yang terakhir perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang bisa bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar person). Orang yang melakukan perbuatan harus mampu mempertanggungjawabkan tindakannya, artinya memiliki kondisi yang sehat, mampu mengendalikan tindakan [11]. Jika pelaku tidak mampu bertanggung jawab, sebagai contah karena gangguan jiwa yang berat, maka unsur tindak pidana tidak terpenuhi dan dapat diterapkan alasan pemaaf seperti yang telah diatur pada Pasal 44 KUHP. Selain daripada unsur tindak pidana, Simons berpendapat bahwa unsur tindak pidana terdiri dari unsur objektif serta subjektif, unsur obyektif diantaranya merupakan perbuatan individu, akibat yang terlihat dari perbuatan itu serta terdapat kondisi tertentu yang menyertai perbuatan itu sendiri seperti pada Pasal 281 KUHP sifat dimuka umum ataupun openbaar[11]. Bahwa dalam tindak pidana, suatu perbuatan dapat dilihat secara nyata dari luar dan tidak berkaitan dengan keadaan batin pelaku. Unsur objektif yang pertama adalah perbuatan orang, yaitu tindakan atau kelalaian yang dilakukan pelaku. Unsur kedua berupa akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut, misalnya kerusakan, luka, atau terganggunya ketertiban.
Unsur subjektif daripada tindak pidana diantaranya merupakan terdapat orang yang bertanggungjawab dan adanya kesalahan (dolus atau culpa), artinya tindakan tersebut wajib dilakukan dengan kesalahan di mana bisa dikaitkan dengan akibat dari tindakan tersebut ataupun dengan situasi mana tindakan tersebut dilakukan [11]. Berdasarkan unsur subjektif dari tindak pidana, bahwa mengenai orang yang bertanggungjawab artinya, orang tersebut mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya dan mampu untuk mengetahui bahwa perbuatannya salah. Bahwa adanya kesalahan, dalam hal ini perbuatan harus dilakukan dengan unsur kesengajaan atau kelalaian misalnya pelaku sadar bahwa tindakannya melanggar hukum.Hukum pidana memiliki ketentuan-ketentuan yang dapat seseorang tidak dapat dipidana sekalipun perbuatannya termuat dalam tindak pidana. Terdapat keadaan-keadaan tertentu yang disebut dengan alasan penghapus pidana dalam KUHP [7]. Alasan penghapus pidana atau strafuitsluittingsgroden didefinisikan sebagai situasi atau keadaan khusus yang jika dipenuhi, walaupun unsur-unsur delik terpenuhi, tidak dapat dijatuhkan pidana [4].
Hukum pidana Indonesia mengatakan bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila perbuatannya memenuhi unsur tindak pidana yang sudah ditentukan dalam Undang-Undang. Namun demikian, hukum pidana juga mengenal ketentuan di mana memungkinkan seseorang tidak dijatuhi pidana meskipun perbuatannya memenuhi unsur delik yaitu alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgronden) di mana berarti suatu keadaan yang dapat menyebabkan pelaku dibebaskan dari pidana. Artinya, meskipun perbuatan pelaku secara formil memenuhi rumusan tindak pidana, pelaku tidak bisa dipidana karena alasan pembenar ataupun alasan pemaaf. sehingga pemidanaan tetap memperhatikan keadilan substantif dan kondisi pelaku. Alasan penghapus pidana yaitu peraturan yang dalam hal ini ditujukan kepada hakim [11]. Achmad Soema menjelaskan bahwa ada beberapa alasan untuk menghapuskan pidana diantaranya adalah [7]:
1. Alasan Pembenar
Alasan pembenar merupakan alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya tindakan, sehingga apa yang dilakukan terdakwa menjadi tindakan yang dibenarkan, meskipun perbuatannya sudah memenuhi rumusan delik dalam Undang-Undang, tindakan terdakwa tetap dibenarkan karena alasan pembenar. Pasal 49 ayat (1) tentang pembelaan terpaksa, Pasal 50 mengenai peraturan undang-undang serta Pasal 51 ayat (1) mengenai perintah jabatan, masing-masing diatur dalam KUHP, memberikan alasan pembenar.
2. Alasan Pemaaf
Alasan pemaaf merupakan alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa, perbuatan terdakwa tetap bersifat melawan hukum yang merupakan perbuatan pidana akan tetapi, tidak dapat dipidana dikarenakan tidak terdapat kesalahan. Alasan pemaaf ini berkaitan dengan pribadi terdakwa [7], artinya terdakwa tidak bersalah ataupun tidak bisa dipertanggungjawabkan meskipun tindakannya bertentangan dengan hukum. Dengan demikian tidak ada pemidanaan bagi terdakwa. Hal ini diatur dalam KUHP, Pasal 44 tentang ketidakmampuan bertanggung jawab, Pasal 49 ayat (2) tentang noodweer excess, Pasal 51 ayat (2) tentang itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah memberikan alasan pemaaf.
Ketentuan alasan pembenar terdapat dalam Bab III KUHP [4] yang mencakup berbagai keadaan atau situasi yang menyebabkan suatu tindakan yang sebenarnya memenuhi unsur tindak pidana menjadi alasan penghapus pidana diantaranya adalah:
Pasal 48 yang menyebutkan mengenai keadaan darurat Berbunyi
“Barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat dihindari tidak boleh dihukum.”
Berdasarkan Pasal 48 KUHP, bahwa keadaan darurat tersebut tidak dibenarkan apabila terdapat pilihan lain dari perbuatan yang dapat dipidana.
Pasal 49 ayat (1) membahas mengenai pembelaan terpaksa (noodweer). Berbunyi
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain dari serangan yang melawan hukum dan mengancam dengan segera pada saat itu juga tidak boleh dihukum.”
Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) KUHP, pembelaan terpaksa (noodweer) dilakukan apabila serangan seketika yang mengancam raga, kehormatan, kesusilaan ataupun menyangkut harta benda. Serangan tersebut merupakan tindakan yang melawan hukum, tidak terdapat pilihan selain melakukan pembelaan [4], pembelaan wajib sebanding dengan serangan.
Pasal 50 yang menyebutkan mengenai pelaksanaan ketentuan Undang-Undang. Berbunyi
“tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan peraturan undang-undang.”
Berdasarkan Pasal 50 KUHP, perbuatan mampu menghapus sifat melawan hukum. Seseorang tidak dapat dipidana karena melakukan suatu tindakan untuk memenuhi perintah Undang-Undang.
Pasal 51 ayat (1) yang menyebutkan mengenai pelaksanaan perintah jabatan. Berbunyi
“tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang sah.”
Andi Hamzah berpendapat perintah tersebut dikarenakan jabatan, karena ada hubungan hukum publik antara yang memberikan perintah dengan yang diberi perintah. Dalam hal ini, seseorang tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum ketika dia melakukan perintah yang sah [4]. Pasal 50 ayat (1) KUHP tidak berlaku jika terjadi penyalahgunaan wewenang, tindakan yang dilakukan melampaui batas kewenangan yang telah diberikan Undang-Undang ataupun perbuatan tersebut tidak proposional atau melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Penekanan alasan pemaaf berada pada penghapusan kesalahan yang dilakukan terdakwa, meskipun perbuatan terdakwa dianggap melanggar hukum, mereka tidak bisa dipidana sebab dianggap tidak bersalah. Bab III KUHP mencakup ketentuan-ketentuan alasan pemaaf, diantaranya [4]:
Pasal 49 ayat (2) membahas pembelaan yang melewati batas (noodweer excess). Berbunyi
“Pembelaan yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.”
Berdasarkan Pasal 49 ayat (2) KUHP, pembelaan yang melewati batas (noodweer excess) merupakan alasan pemaaf artinya pelaku tidak dapat dipidana, tetapi perbuatannya tetap bertentangan dengan hukum serta terdapat hubungan langsung antara serangan yang terjadi pada keguncangan jiwa sehingga menyebakan tindakan yang berlebih.
Pasal 51 ayat (2) yang menyebutkan tentang pelaksanaan perintah jabatan yang tidak sah. Berbunyi
“Perintah jabatan yang tidak sah tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintah itu dengan itikad baik mengira bahwa perintah tersebut adalah sah dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaanya.”
Berdasarkan Pasal 50 ayat (2) KUHP, perintah yang diberikan sebenarnya tidak sah, tetapi pelaku tidak bisa dipidana jika ia beritikad baik serta menganggap perintah itu sah.
Pasal 48 sampai dengan 51 KUHP menjelaskan alasan penghapus pidana untuk kondisi-kondisi tertentu yang menyebabkan seorang pelaku tidak dapat dipidana, baik karena hilangnya sifat melawan hukum dengan alasan pembenar maupun hapusnya kesalahan dengan alasan pemaaf.
Putusan Hoge Raad pada tanggal 2 Februari 1965 menyebutkan bahwa serangan perlu didefinisikan sebagai serangan terhadap raga, kehormatan kesusilaan atau harta benda. Tetapi juga suatu perbuatan yang menimbulkan bahaya yang mengancam langsung terhadap hal-hal tersebut. Berdasarkan rumusan tersebut terdapat unsur-unsur pembelaan terpaksa atau noodweer yakni pembelaan terpaksa, membela diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri ataupun orang lain kemudian adanya serangan yang sangat dekat yang melanggar hukum [13]. Pembelaan harus proporsional, memiliki tujuan untuk menghentikan serangan secara subsidiatiitas serta seimbang antara kepentingan yang dibela dan cara yang digunakan dan kepentingan yang dikorbankan [14].
Terdapat perbedaan mengenai ketentuan common law dalam pembelaan terpaksa yaitu karena common law ini tidak memberikan pembelaan terhadap serangan yang berkaitan dengan kehormatan kesusilaan. Menurut common law dinegara Inggris, pembelaan terpaksa (self defence) merupakan seseorang yang menggunakan kekuatan (force) yang masuk akal dalam tiga situasi: membela diri atau orang lain dan Membela harta sendiri. Pembelaan tersebut harus menjawab pertanyaan seperti apakah orang yang membela diri berada di bawah ancaman serangan sengaja oleh korban? Kemudian jika itu benar, apakah orang yang membela diri mengambil tindakan untuk mencegah serangan ini? Selanjutnya jika itu benar, apakah pertahanan yang diberikan sebandingdengan Tingkat bahaya yang ditimbulkan oleh serangan? [14].
Pasal 3 ayat (1) Criminal Law Act (Undang-Undang Hukum Pidana) inggris tahun 1967 menyatakan
“A person may use such force as is reasonable in the circumstances in the prevention of crime, or in effecting or assisting in the lawful arrest of offenders or suspected offendes or of persons unlawfully at large.”
Jika diterjemahkan, sebagai berikut:
“Seorang individu dapat menggunakan kekuatan yang wajar dalam keadaan tertentu untuk mencegah kejahatan, atau dalam melaksanakan atau membantu penangkapan yang sah terhadap pelaku kejahatan, tersangka kejahatan, atau orang yang berada di luar kendali hukum.”
Berdasarkan bunyi pasal tersebut, terdapat perbedaan dengan Pasal 49 KUHP Indonesia karena ada pembelaan diri terhadap pencegahan kejahatan.
Ketentuan pada Pasal 49 ayat (2), pembelaan yang melampaui batas atau noodweer excess memiliki kesamaan dengan noodweer yaitu mensyaratkan adanya serangan yang melanggar hukum serta membela tubuh, kehormatan kesusilaan dan harta benda, baik diri sendiri ataupun orang lain [14]. Noodweer excess adalah pembelaan terpaksa yang melampaui batas ketika seseorang mengalami perasaan perasaan cemas atau takut sehingga menyebabkan keadaan jiwa terganggu yang mengakibatkan serangan menjadi pembelaan diri yang berlebihan [15]. Pembelaan terpaksa merupakan sebuah alasan pembenar yang menghapuskan elemen melawan hukum dari suatu tindakan yang membela diri [14], meskipun perbuatannya melanggar hukum, pelaku tidak dapat dipidana karena unsur kesalahanya hilang sebagai alasan pemaaf. pembelaan yang melampaui batas atau noodweer excess menyangkut keadaan psikologis pelaku dan hubungan antara serangan serta guncangan jiwa yang hebat hingga tidak memiliki pilihan lain selain mencari jalan keluar [14] dan menyebabkan perbuatan yang berlebihan dapat menjadikan alasan penghapus pidana. Terdapat syarat-syarat untuk pembelaan yang melampaui batas (noodweer excess) diantaranya adalah melampaui batas pembealaan yang diperlukan, dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat dan kegoncangan jiwa yang luar biasa disebabkan oleh serangan [16], disinilah letak perbedaan pembelaan darurat yang Melawati batas [14]. Mengenai syarat-syarat tersebut, pelaku sebenarnya melakukan pembelaan diri tetapi, pembelaannya tidak seimbang dengan ancaman yang dihadapi dengan kondisi rasa takut yang luar biasa karena ancaman atau serangan yang terjadi dengan cepat sehingga pembelaan diperlukan karena tidak ada jalan lain untuk bertindak. Simons berpendapat bahwa letak melampaui bats-batas dari suatu pembelaan berada pada perbuatan tetap menyerang penyerang yang telah menghentikan serangannya itu, tidak dapat membuat pelakunya menjadi dihukum [17]. Berdasarkan hal tersebut, bahwa pembelaan dikatakan melampaui batas apabila seseorang masih menyerang balik meskipun penyerang telah berhenti melakukan serangan. Meskipun pembelaannya berlebihan, pelaku tidak dapat dihukum apabila terdapat keguncangan jiwa yang hebat pada kondisi pelaku akibat serangan tersebut.
Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Tujuannya adalah untuk menjaga negara hukum Republik Indonesia. Hakim memainkan peran yang sangat penting dalam proses penegakan hukum untuk mengadili, mereka memiliki otoritas yang bebas, dalam hal ini tidak diperbolehkan untuk dipengaruhi oleh kekuasaan lain dalam memutus suatu kasus. Tidak memilih, bebas, dan jujur harus menjadi dasar untuk melakukannya. Sebagai penegak hukum dan keadilan, hakim memiliki tugas untuk menjaga negara hukum, memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi masyarakat melalui keputusan mereka. Perkara yang diajukan ke pengadilan harus diperiksa, diselesaikan, dan diputuskan oleh hakim. Dengan memperhatikan hal-hal seperti keadilan (grerechtigheit), kepastian (rechsecherheit) dan kemanfaatan (zwachmatigheit) adalah cara untuk meningkatkan kualitas putusan hakim [18].
Dalam memutuskan suatu kasus pidana, hakim harus memiliki dasar yang kuat berdasarkan bukti dan keyakinan mereka sendiri serta bukti di persidangan. Mereka juga harus mempertimbangkan nilai-nilai hukum yang berlaku dalam masyarakat saat memutuskan suatu kasus pidana. Jika alasan penghapus pidana terbukti, hakim akan mengeluarkan putusan lepas atau bebas mengenai masalah ini [19]. Putusan lepas adalah Keputusan hakim bahwa terdakwa terbukti melakukan tindakan yang didakwakan tetapi tindakan tersebut tidak dianggap sebagai tindak pidana. Sedangkan putusan bebas merupakan keputusan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan pidana yang didakwakan [20].
Dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara, hakim dapat mencari peraturan perundang-undangan yang mengatur atau terkait dengan perbuatan pelaku yang dilakukan, jika peraturan perundang-undangan kurang cukup untuk mendapatkan peraturan yang mengatur, maka hakim dapat mencari sendiri peraturan yang mengatur perbuatan tersebut dengan mencari sumbersumber hukum seperti undang-undang (statute), kebiasaan (custom), keputusan hakim (jurisprudence), traktat (treaty), dan pendapat sarjana hukum (doktrin). Pasal 184 KUHAP mengatur jenis alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim untuk menjatuhi hukuman di pengadilan, termasuk keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa [19].
Maka dari itu, dalam menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan melalui alat bukti yang sah sebagaimana telah diatur dalam Pasal 184 KUHP. Keterangan saksi menjadi alat bukti karena saksi melihat, mendengar atau mengalami sendiri sebuah peristiwa, keterangan ahli memberikan penjelasan khusus mengenai suatu hal karena keahlian mereka, surat digunakan sebagai kekuatan pembuktian, petunjuk dilakukan untuk menguatkan rangkaian fakta ataupun kejadian sehingga membentuk Kesimpulan dan keterangan terdakwa dilakukan untuk menilai berdasaarkan alat bukti yang ada. Selain melihat bukti, hakim juga mempertimbangkan alasan pelaku, seperti Kesalahan pelaku, motivasi serta tujuan melakukan tindak pidana, cara melakukan tindak pidana, keadaan sosial ekonomi dan riwayat hidup pelaku, dampak tindak pidana terhadap masa depan pelaku, sikap serta tindakan pelaku setelah melakukan tindak pidana, pandangan masyarakat tentang tindak pidana yang dilakukan, sikap batin si pembuat, tanggung jawab pelaku terhadap korban, apakah tindakan pidana dilakukan dengan rencana [19].
Berdasarkan hal tersebut, hakim dapat mempertimbangkan berbagai faktor yang berkaitan dengan alasan pelaku dengan mempertimbangkan kesalahan, motif dan tujuan pelaku serta cara pelaku untuk melakukan tindakannya juga memperhatikan sikap batinnya. Hakim juga memperhatikan Riwayat hidup, kondisi sosial ekonomi, pengaruh serta sikap pelaku setelah kejadian seperti penyesalan ataupun Upaya memperbaiki kerugian yang telah diperbuat. Hakim juga dapat melihat pandangan masyarakat terhadap perbuatan tersebut, tanggung jawab pelaku terhadap korban, serta memperhatikan apakah pelaku melakukan suatu tindakan dengan rencana atau tidak dengan rencana. Namun, pandangan masyarakat tidak semestinya dijadikan dasar pertimbangan hakim, karena opini masyarakat bisa bersifat subjektif dan tidak relevan dengan objektivitas hukum.
Berkaitan dalam menilai kasus penghapus pidana dalam hal kasus pembenar ataupun pemaaf dalam Pasal 49 KUHP, terdapat beberapa asas-asas yang harus terpenuhi diantaranya adalah [21]:
1. Asas Proposionalitas
Proposionalitas artinya perlu terdapat keseimbangan antara tindakan yang diancam dengan dilanggar.
2. Asas Subsidaritas
Subsidaritas artinya harus memperhatikan hal yang tidak membahayakan orang lain.
3. Asas Culpa in Causa
Culpa in Causa artinya seseorang yang berada dalam situasi darurat dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya. Seseorang tidak bisa membela diri secara terpaksa dikarenakan ulahnya sendiri karena diserang oleh orang lain secara melawan hukum [13].
Bedasarkan asas-asas tersebut, Dalam menilai kasus penghapusan pidana, terutama kasus pembenar dan pemaaf pada Pasal 49 KUHP, hakim berpedoman pada beberapa asas, yaitu asas proporsionalitas yang menuntut adanya keseimbangan antara ancaman serangan dan tindakan pembelaan sehingga tidak terjadi secara berlebihan, juga asas subsidaritas yang mengharuskan pembelaan hanya boleh dilakukan ketika tidak terdapat cara lain yang lebih ringan dan tidak merugikan pihak lain, serta asas Culpa in Causa yaitu bahwa apabila seseorang karena perbuatannya sendiri sehingga meyebabkan serangan dari orang lain secara bertentangan dengan hukum maka tidak bisa membela diri sebagai pembelaan terpaksa. Ketiga asas ini membantu hakim memastikan bahwa alasan penghapus pidana diterapkan secara tepat, adil, dan sesuai tujuan hukum pidana.
Hakim dapat menolak atau menerima alasan pembenar ataupun pemaaf di luar ketentuan Undang-Undang [22]. Hakim yang menolak alasan pembenar dan pemaaf diluar dari ketentuan Undang-Undang dengan pandangan bahwa alasan pembenar ataupun pemaaf harus sesuai dengan yang tertulis pada KUHP sehingga tidak dapat diterapkan jika tidak ada didalam Undang-Undang. Pada prinsipnya alasan pembenar dan pemaaf diluar Undang-Undang tidak dapat diterapkan dalam hal sepertiGuru yang memukul siswa atau siswi atau pada kasus lalu lintas telah terdapat perdamaian atau telah diberi santunan ataupun pada kasus KDRT, pidana yang dijatuhkan janagn sampai membuat suami dengan istri bercerai [22]. Berdasarkan hal tersebut, tindakan guru yang memukul siswa ataupun siswinya sering dianggap sebagai bentuk kedisiplinan. Namun, pemulukan fisik tidak dapat dijadikan alasan pembenar ataupun pemaaf karena merupakan perbuatan melawan hukum, kecuali dalam batas sangat tertentu dan proposional yang dinilai oleh hakim. Dalam hal perdamaian, tidak menghapuskan sifat melawan hukum karena perbuatannya tetap salah dan kesalahan pelaku tetap ada karena itu perdamaian bukan alasan pembenar atau pemaaf, yang sudah diatur dalam KUHP.
Namun, dalam prakteknya terdapat berbagai yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) sudah memakai alasan pembenar serta pemaaf di luar KUHP seperti berlakunya hukum setempat [22]. Pada perumusan putusan, Hakim perlu memperhatikan terkait dengan pembuktian karena dalam tahap ini penting dilakukan dalam pemeriksaaan di persidangan dengan tujuan mendapatkan kepastian pada peristiwa atau fakta yang diajukan, hal tersebut yang akan digunakan sebagai dasar untuk membuat keputusan yang seadil-adilnya [8]. Dalam kasus terdakwa pembenar, beberapa hakim merumuskan putusan Ontslaag, yang melepaskan terdakwa dari semua tuntutan hukum. Sebagian lainnya membuat putusan vrijspraak maka dari itu membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan. Jika syarat-syarat dakwaan tidak dipenuhi, putusan bebas (vrijspraak) diberikan. Jika terbukti benar namun tidak melanggar hukum, diputus ontslaag. Alasan pembenar serta pemaaf berbeda. Alasan pembenar jikalau unsur dakwaan tidak dipenuhi maka vrijspaak, namun alasan pemaaf jika unsur dakwaan dipenuhi namun terjadi hal eksepsional sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48-51 KUHP maka diputus ontslaag [8]. Berdasarkan hal tersebut, Pasal 48 hingga 51 KUHP pada dasarnya mengatur bagaimana alasan pembenar serta pemaaf dapat digunakan sebagai kasus penghapus pidana, akan tetapi dalam praktek peradilan bahwa hakim juga melihat berbagai yurisprudensi Mahkamah Agung untuk mengakui alasan-alasan penghapus pidana diluar KUHP, termasuk didalamnya hukum adat yang berlaku di masyarakat. Dalam merumuskan putusan, hakim membedakan secara tegas antara vrijspraak (putusan bebas) dan ontslag van alle rechtsvervolging (putusan lepas dari semua tuntutan hukum) menurut kategori alasan penghapus pidana yang digunakan. Putusan vrijspraak dijatuhkan apabila unsur-unsur delik tidak terbukti, sedangkan ontslag digunakan ketika terdakwa bersalah, namun tidak bisa dipidana karena alasan pembenar atau pemaaf.
Penentuan alasan penghapus pidana dalam sistem hukum pidana Indonesia menunjukkan bahwa suatu perbuatan dapat dipidana apabila seluruh unsur tindak pidana terpenuhi, termasuk unsur objektif seperti tindakan dan akibatnya, serta unsur subjektif seperti kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab. Alasan penghapus pidana terbagi menjadi alasan umum yang memuat Pasal 48, 50, dan 51 ayat (1) serta alasan khusus yang memuat Pasal 49 ayat (1) dan (2). Untuk menghapus sifat melawan hukum atau menghapus kesalahan pelaku, Pasal 48–51 dari KUHP menyediakan alasan pembenar dan pemaaf. Alasan pembenar membenarkan perbuatan yang secara formil memenuhi rumusan delik, sedangkan alasan pemaaf menghapus kesalahan pelaku meskipun perbuatannya tetap melawan hukum. Hakim dalam menilai ada atau tidaknya alasan tersebut perlu memperhatikan asas proporsionalitas, asas subsidiaritas, dan asas culpa in causa agar penerapannya tidak menyimpang dari tujuan hukum pidana.
Dalam praktik peradilan, penerapan alasan penghapus pidana tidak hanya didasarkan pada ketentuan KUHP, tetapi juga berkembang melalui yurisprudensi Mahkamah Agung, termasuk pengakuan terhadap hukum adat sebagai alasan penghapus pidana dalam kondisi tertentu. Namun terdapat pula alasan-alasan yang tidak dibenarkan di luar undang-undang, seperti pemukulan oleh guru, perdamaian dalam perkara lalu lintas, atau pertimbangan menjaga keutuhan rumah tangga dalam kekerasan dalam rumah tangga, karena tidak termasuk dalam kategori alasan pembenar atau pemaaf. Dalam merumuskan putusan, hakim membedakan antara putusan vrijspraak ketika unsur delik tidak terbukti dan ontslaag van alle rechtsvervolging ketika perbuatan terbukti namun tidak dapat dipidana karena alasan pembenar atau pemaaf. Dengan demikian, penerapan alasan penghapus pidana harus dilakukan secara cermat dan objektif, berdasarkan alat bukti, asas-asas hukum pidana, serta nilai keadilan substantif yang hidup di masyarakat.
Hukumonline, “13 Pengertian Hukum Pidana Menurut Para Ahli Hukum,” Hukumonline, 2025. Accessed: Nov. 11, 2024. [Online]. Available: https://www.hukumonline.com/berita/a/pengertian-hukum-pidana-menurut-para-ahli-lt6524ee8b44187/
M. S. Daulah, “Hukum Pidana: Konsep, Tujuan, dan Implementasinya dalam Sistem Hukum Indonesia,” PKBH UIN SSC, 2024. [Online]. Available: https://pkbh.uinssc.ac.id/hukum-pidana-konsep-tujuan-dan-implementasinya-dalam-sistem-hukum-indonesia/
D. Djamaludin and Y. Arrasyid, “Pemenuhan Keadilan Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Melalui Tugas LPSK,” Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren, vol. 5, no. 2, pp. 31–40, 2024.
I. Baihaqi, M. T. Makarao, and S. N. Intihani, “Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas (Noodweer Excess) sebagai Alasan dalam Penghapusan Pidana,” Jurisdictie, vol. 6, no. 1, pp. 2–7, 2024.
P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2014.
Renaldy, S. Handoyo, and Rosdiana, “Penerapan Restorative Justice dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Penganiayaan di Polsek Balikpapan Selatan,” Jurnal Lex Suprema, vol. 1, no. 2, pp. 16–22, 2019.
R. K. Sari, Idham, and Novriwan, “Perbandingan Kebijakan Formulasi Alasan Penghapusan Pidana dan Kontribusinya terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Nasional,” Justicia Sains: Jurnal Ilmu Hukum, vol. 6, no. 2, pp. 356–367, 2021.
C. F. Sidauruk and R. R. Hutabarat, “Keterangan Saksi yang Mengakibatkan Putusan Bebas (Vrijspraak) Ditinjau dari Asas In Dubio Pro Reo,” UNES Law Review, vol. 5, no. 4, pp. 3399–3406, 2023.
K. T. Wibowo, Rustan, and M. J., Hukum Pidana: Sejarah, Teori, dan Dinamika Kontemporer. Banten, Indonesia: PT Sada Kurnia Pustaka, 2025.
I. J. Rifa’i and A. P., Metodologi Penelitian Hukum. Serang, Indonesia: Sada Penerbit, 2023.
K. Maulidah and M. R. Hengki, “Tinjauan Yuridis Terhadap Pembelaan Terpaksa sebagai Alasan Penghapus Pidana,” Jurnal Serambi Hukum, vol. 16, no. 2, pp. 94–103, 2023.
A. Darto, A. S. Alam, and F. D. Purwaningtyas, “Pertanggungjawaban Pidana bagi Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Pengidap Gangguan Kejiwaan,” Jurnal Ilmu Hukum Wijaya Putra, vol. 1, no. 2, pp. 259–268, 2023.
A. Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, 1st ed. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2017.
S. N. Azahra and R. R. Hutabarat, “Pembuktian Noodweer Excess pada Tindak Pidana Pembunuhan: Studi Putusan 272/PID/2020/PT PDG,” UNES Law Review, vol. 6, no. 2, pp. 6079–6084, 2023.
L. H. R. Heatubun and F. Irawan, “Tindakan Noodweer Exces dalam Tindak Pidana Pembunuhan,” Journal of Law, Administration and Social Sciences, vol. 2, no. 2, pp. 91–99, 2022.
Sudarto, Hukum Pidana 1, rev. ed. Semarang, Indonesia: Yayasan Sudarto, 2018.
P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung, Indonesia: Citra Aditya Bakti, 2018.
A. Arifin, “Peran Hakim dalam Mewujudkan Negara Hukum di Indonesia,” Indonesian Journal of Law Research, vol. 1, no. 1, pp. 8–15, 2023.
S. Bahri, “Problema dan Solusi Peradilan Pidana yang Berkeadilan dalam Perkara Pembelaan Terpaksa,” Jurnal Wawasan Yuridika, vol. 5, no. 1, pp. 133–145, 2021.
Anni, “Perbedaan Vonis Bebas dan Lepas pada Hukum Pidana,” Fakultas Hukum UMSU, 2024. Accessed: Nov. 11, 2024. [Online]. Available: https://fahum.umsu.ac.id
F. R. Refin and S. D. N. Azizi, “Dasar Hukum Pembelaan Terpaksa (Noodweer) dan Noodweer Excess,” Journal of Fundamental Justice, vol. 4, no. 2, pp. 14–22, 2023.
Mahkamah Agung RI, “Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2012,” 2012.