Gilbert Purba (1), Rahaditya Rahaditya (2)
General Background: Violence committed collectively poses broader social risks because it disrupts public order and triggers wider societal anxiety. Specific Background: In Indonesian criminal law, vis publica in Pasal 170 KUHP functions as a key qualifier distinguishing ordinary assault from public-order crimes, yet its judicial interpretation remains inconsistent. Knowledge Gap: Existing scholarship has not clarified how vis publica should operate as a basis for sentencing aggravation under Pasal 170 ayat (2) KUHP, nor how judges should evaluate its causal relevance to social disturbance. Aims: This study analyzes the juridical status of vis publica as a judicial consideration in imposing aggravated penalties for collective violence. Results: Findings show that vis publica acts as a legal threshold for classifying the offense as a public-order crime, but it only justifies aggravated sentencing when judges demonstrate its concrete contribution to expanding social harm. Novelty: This research formulates a structured reasoning model requiring judges to link public visibility with measurable disturbance before escalating punishment. Implications: Strengthening doctrinal clarity on vis publica supports proportional sentencing, enhances legal certainty, and improves consistency in judicial decision-making in collective-violence cases.
Highlights:
Vis publica is the legal threshold that transforms individual assault into a public-order crime.
Aggravated sentencing requires a proven causal link between public visibility and expanded social harm.
Judicial reasoning must be structured, proportional, and grounded in measurable disturbance.
Keywords: Vis Publica, Pasal 170 KUHP, Collective Violence, Sentencing Aggravation, Public Order.
Hukum pidana sebagai instrumen negara memegang peranan sentral dalam menjaga ketertiban dan keamanan publik. Hukum pidana bukan semata-mata alat untuk membalas kesalahan individu tetapi juga merupakan sarana perlindungan kolektif terhadap gangguan ketertiban umum. Hukum pidana bertujuan untuk menyeimbangkan kepentingan perlindungan masyarakat dan prinsip-prinsip keadilan dalam penjatuhan pidana, sehingga setiap unsur delik yang menyangkut ranah publik patut dikaji secara komprehensif [1].
Dalam spektrum tindak kekerasan, fenomena pengeroyokan atau kekerasan bersama menempati posisi khusus karena akibatnya sering kali melampaui kerugian individual dan mengganggu rasa aman publik. Oleh karenanya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan Pasal 170 untuk mengakomodasi karakteristik tersebut. Pertimbangan ini menuntut analisis mendalam terhadap elemen “terang-terangan” (vis publica) yang menjadi pembeda mendasar antara delik penganiayaan biasa dengan delik terhadap ketertiban umum.
Unsur vis publica bukan sekedar kualifikasi lokasi di muka umum, tetapi menyangkut aspek kemampuan perbuatan untuk dilihat, menimbulkan keresahan, dan mengganggu tata ketertiban bersama [2]. Pemaknaan normatif dan empiris atas unsur ini menentukan apakah suatu perbuatan layak digolongkan ke dalam Pasal 170 atau tetap pada ranah Pasal-pasal penganiayaan lainnya. Studi yuridis menunjukkan bahwa penafsiran vis publica sering memengaruhi putusan hakim dalam menerapkan ketentuan pemberatan berdasarkan Pasal 170 ayat (2) KUHP.
Pasal 170 ayat (2) KUHP mengenakan ancaman pidana yang meningkat apabila kekerasan bersama mengakibatkan akibat yang lebih berat seperti luka-luka, luka berat, atau kematian, sehingga unsur vis publica berfungsi sekaligus sebagai pemicu penjatuhan sanksi lebih berat berdasarkan dampak terhadap ketertiban umum [3]. Implikasi normatifnya menimbulkan persoalan tentang kapan publikitas perbuatan menjadi alasan pemberatan yang proporsional.
Perdebatan akademik memusat pada dua dimensi yaitu pertama, apakah vis publica harus dipahami secara objektif yaitu lokasi dan potensi disaksikan, dan kedua, sejauh mana faktor subjektif seperti niat pelaku untuk menimbulkan keresahan publik mempengaruhi penetapan unsur tersebut [4]. Konsekuensinya terhadap pembuktian di persidangan dan pertimbangan hakim cukup signifikan, karena standar pembuktian vis publica dapat berbeda antar putusan.
Namun dalam praktik peradilan, penerapan asas vis publica menunjukkan variasi interpretatif. Sejumlah putusan menekankan keberadaan saksi atau bukti bahwa publik benar-benar menyaksikan perbuatan, sementara putusan lain menilai cukup apabila perbuatan dilakukan di ruang terbuka yang “dapat dilihat” meskipun pada saat kejadian tidak ada saksi langsung. Variasi inilah yang menjadi bahan kritik terkait kepastian hukum dan konsistensi penerapan Pasal 170 KUHP.
Perspektif tujuan pemidanaan juga menuntut agar pemberatan berdasarkan vis publica tidak sekadar formalitas. Sanksi yang lebih berat haruslah berfungsi untuk melindungi ketertiban umum (preventif) dan memberi rasa keadilan (retributif/proporsional). Maka, penggunaan vis publica dalam ratio decidendi hakim perlu dievaluasi berkaitan dengan asas proporsionalitas dan kepastian hukum [5]. Dalam praktik kehakiman, ratio decidendi yang memuat pertimbangan vis publica seringkali menyertakan faktor-faktor seperti tempat kejadian (ruang terbuka/tertutup), jumlah pelaku, jumlah saksi, dan karakter tindakan yang apakah terdapat motif provokatif. Analisis ini penting karena memberi gambaran elemen penilaian yang dapat dijadikan indikator objektif oleh penegak hukum.
Implikasi empiris terhadap aparat penegak hukum juga terlihat pada fase penyidikan dan penuntutan. Penyidik dan jaksa perlu mengumpulkan bukti yang secara khusus memadai untuk unsur vis publica, misal dokumentasi lokasi, keterangan saksi, dan rekaman, agar argumentasi bahwa perbuatan tersebut “terang-terangan” tidak mudah digugat di pengadilan. Kelemahan pembuktian di tahap awal sering menjadi pintu keluarnya penerapan Pasal 170 oleh hakim.
Rumusan masalah dalam penelitian ini berfokus pada dua pertanyaan utama, yaitu bagaimana kedudukan vis publica sebagai pertimbangan hakim dalam menentukan pemberatan pidana pada delik kekerasan bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (2) KUHP, serta apakah penggunaan vis publica dalam ratio decidendi telah mampu menjamin keseimbangan antara perlindungan terhadap ketertiban umum dan penerapan prinsip keadilan dalam pemidanaan. Kedua aspek ini penting dikaji untuk memahami sejauh mana konsep vis publica digunakan sebagai dasar yuridis dalam memperberat hukuman, sekaligus menilai apakah penerapannya tetap memperhatikan proporsionalitas dan hak-hak terdakwa dalam proses peradilan pidana.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang menitikberatkan pada kajian terhadap norma, asas, serta doktrin hukum positif yang mengatur delik kekerasan secara bersama-sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 Ayat (2) KUHP [6]. Metode ini dipilih karena vis publica bukan hanya berperan sebagai unsur delik, tetapi juga berpotensi menjadi elemen pertimbangan pemberat pidana dalam ratio decidendi hakim, sehingga analisisnya harus bertumpu pada pengkajian hukum tertulis (ius constitutum) serta penafsiran teoritis dari para ahli hukum pidana.
Penelitian normatif dalam jurnal ini dilakukan melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), serta pendekatan kasus (case approach) untuk menelaah putusan pengadilan yang relevan, khususnya terhadap pemaknaan unsur "terang-terangan/vis publica" dalam penjatuhan pidana kekerasan bersama yang mengakibatkan luka berat atau maut. Pendekatan ini digunakan karena Pasal 170 KUHP berada dalam rezim perlindungan ketertiban umum (public order), sehingga implementasi vis publica dalam pembuktian, penuntutan, dan penjatuhan sanksi perlu diuji berdasarkan argumentasi yuridis yang bersumber dari aturan hukum dan pola praktik peradilan.
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa bahan hukum primer seperti KUHP, KUHAP, dan Memorie van Toelichting (MVT) Pasal 170 KUHP yang menjadi dasar historis-normatif pembentukan delik a quo. Selain itu, digunakan pula bahan hukum sekunder berupa buku, jurnal, artikel ilmiah, dan kajian akademik yang membahas delik kekerasan kolektif, teori causalitas, tujuan pemidanaan, serta pertimbangan hakim dalam menilai unsur publikitas suatu perbuatan pidana. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan (library research) secara sistematis dan komprehensif, dengan teknik penelusuran literatur hukum pidana baik print maupun digital.
Seluruh data kemudian dianalisis menggunakan teknik analisis kualitatif-normatif, melalui proses penelaahan keterkaitan antar norma hukum, penafsiran doktrin, serta konsistensi penerapan vis publica dalam putusan pengadilan. Analisis dilakukan dengan menilai apakah unsur vis publica dipakai hakim sekedar sebagai dasar pembuktian unsur delik atau dikembangkan lebih jauh sebagai pertimbangan dalam pemberatan pidana, serta bagaimana keseimbangannya dengan asas proporsionalitas dan keadilan. Penelitian ini bertujuan memberikan pemahaman yuridis yang mendalam mengenai kedudukan dan urgensi vis publica dalam proses penjatuhan pidana sehingga dapat menjelaskan parameter ideal penggunaan vis publica dalam delik Pasal 170 Ayat (2) KUHP.
Vis publica dalam Pasal 170 ayat (2) KUHP tidak dapat dipahami secara sederhana sebagai “terlihat oleh umum”, melainkan sebagai sifat publik dari kekerasan yang potensial mengganggu ketertiban sosial. Dalam doktrin klasik, publikitas perbuatan adalah unsur yang memberi legitimasi kepada negara untuk merespons lebih berat, sebab kekerasan massal membawa efek resonansi sosial yang berbeda dibanding kekerasan individual [7].
Frasa “terang-terangan” (openlijk) sejak awal penjelasan MVT dimaksudkan untuk menegaskan bahwa serangan dilakukan di ruang yang mengisyaratkan kolektivitas, bukan dalam ranah privat, dan bukan pula delik antar-individu belaka. Ini menunjukkan bahwa vis publica berperan sebagai bridge element yang mengalihkan delik dari “crime against a person” menjadi“crime against public order”[8].
Dalam penjatuhan pidana, hakim tidak sedang menilai vis publica sebagai faktor tambahan, melainkan sebagai titik balik penalaran hukum. Jika unsur ini terbukti, konsepsi hukumnya berubah. Negara menjadi pihak yang secara langsung berkepentingan, dan pidana bertumpu pada perlindungan kolektif.
Vis publica, bila dibaca bersamaan dengan Pasal 170 ayat (2), tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi prasyarat awal sebelum hakim masuk ke penilaian akibat, misal luka berat atau maut. Logika pasal ini bersifat bertahap, bukan akumulatif, sehingga penilaian vis publica selalu mendahului penilaian berat akibat. Dalam praktik interpretasi, publikitas dalam pengeroyokan memiliki dua parameter utama: yaitu terbukaan ruang dan persepsi masyarakat saat perbuatan berlangsung. Hakim sering kali menggunakan konstruksi sosial kontekstual selain legal formal, sebab kekerasan kolektif tidak dapat dilepaskan dari setting sosial terjadinya.
Literatur penjatuhan pidana berbasis ketertiban umum menegaskan bahwa publikitas suatu delik bukan hanya soal saksi, tetapi juga potensi persebaran ketakutan (fear of crime) di lokasi dan narasi yang muncul setelah kejadian. Hakim yang mengabaikan dimensi ini berisiko menjatuhkan pidana tanpa memahami basis politik kriminal Pasal 170 itu sendiri.
Kedudukan vis publica menjadi semakin kuat ketika hakim membaca pasal ini dalam kerangka kontrol sosial represif yang legitimate. Semakin publik perbuatan, semakin tinggi potensi kerusakan sosial, dan semakin longgar pula justifikasi pemberatan pidana. Namun kelonggaran itu tetap bertumpu pada standar argumentasi hukum yang jelas.
Dalam pembuktian unsur vis publica, tidak ada keharusan jumlah saksi tertentu [9]. Tetapi terdapat kebutuhan bagi hakim untuk menjelaskan mengapa ruang publik itu relevan sebagai dasar pemberatan. Beberapa akademisi menyebut bahwa publikitas delik memberi kontribusi langsung terhadap kualitas ancaman pidana, bukan sekadar menjadi formal reasoning.
Hakim dalam menerapkan vis publica berada dalam persimpangan antara legal formalism dan social realism. Legal formalism hanya menilai locus delicti sedangkan social realism menilai gelombang efek sosialnya. Pasal 170 menghendaki keduanya, sebab sifat deliknya adalah sosial-kolosal. Beberapa putusan mengenai kejahatan dengan “pengeroyokan” menampilkan pola serupa, hakim menempatkan unsur “terang-terangan” sebagai penanda bahwa kekerasan kolektif bersinggungan dengan ruang perlindungan masyarakat luas, sehingga ancaman pidana bertransformasi menjadi pidana berbasis gangguan publik [10].
Dari pendekatan penjatuhan pidana, vis publica memberi bobot logis pada pertanggungjawaban bersama. Semakin publik pengeroyokan, semakin berkurang kemampuan penegak hukum memisahkan peran individual pelaku, sehingga negara cenderung menggunakan pertanggungjawaban kolektif. Meski demikian, pemberatan tetap harus dibangun lewat proporsionalitas reasoning, bukan sekedar asumsi emosional.
Vis publica juga memiliki implikasi pada pembentukan keyakinan hakim (conviction intime). Dalam delik yang terjadi di tengah khalayak, hakim sering kali menilai adanya indirect evidence berupa situational awareness publik, misalnya konteks perkelahian di ruang terbuka, jam, momentum, dan kerumunan yang mungkin terbentuk seketika. Beberapa penelitian normatif-empiris menilai bahwa vis publica dalam Pasal 170 lebih berfungsi sebagai elemen konstruktif, bukan pemberat otomatis. Artinya ia membuka pintu pemberatan, bukan menjamin pemberatan, sehingga keharusan etis hakim adalah menguraikan argumentasi rasionalnya secara build- up [11].
Dalam teori pertimbangan hakim, publikitas delik adalah faktor yang harus masuk dalam tahapan klasifikasi delik, bukan sekadar menjadi hal yang disebut lewat satu atau dua kalimat. Ini menuntut pembahasan yang memperlihatkan analytical rigor terutama ketika delik menyebabkan luka berat atau kematian. Literatur kebijakan pemidanaan menyebut bahwa ruang publik yang menjadi locus vis publica faktual meningkatkan kualitas deliknya menjadi delik yang meresahkan. Hakim berhak merespons lebih berat, sebab ancaman kolektif selalu dinilai berbeda secara kriminal politik dibanding ancaman individual. Dalam penilaian pasal ini, vis publica berkaitan pula dengan fenomena intensitas perhatian publik terhadap putusan. Delik yang terjadi di ruang terbuka cenderung menyedot narasi sosial, sehingga hakim kerap kali merasa perlu menghadirkan fungsi edukatif pidana [12].
Namun, dicatat pula dalam berbagai kajian kritis, vis publica tidak boleh menjadi alasan pengaburan logical link antara fakta dan kebutuhan pidana. Hakim tidak boleh menghukum karena delik “viral di masyarakat”, tetapi karena delik membawa kualitas publik yang secara teoritis dikehendaki Pasal 170. Kedudukan vis publica sebagai pertimbangan pemberat juga memerlukan pembacaan sistematis terhadap asas pemidanaan. Jika vis publica terbukti, ia menjadi fondasi penilaian hakim untuk masuk ke ayat (2) ke-2 dan ke-3, bukan sekadar faktor yang berdiri berdampingan.
Secara akademik, vis publica adalah legal qualifier yang memperkuat peran negara sebagai representasi korban kolektif (masyarakat umum). Negara tidak hadir hanya sebagai penuntut pidana, tetapi sebagai subjek yang berkepentingan langsung atas gangguan ketertiban.
Dengan demikian, dalam Pasal 170 ayat (2), vis publica bukan aksesori pertimbangan, tetapi awal mula sekaligus legal threshold sebelum hakim menakar hukuman yang sesuai. Jika threshold ini terbukti, hakim memiliki alasan yang valid dan jelas untuk menaikkan bobot penjatuhan pidana, sepanjang dianalisis secara rasional dan bukan sekadar disebut.
Ratio decidendi hakim adalah bangunan argumentasi yang seharusnya berdiri di atas tiga pilar yaitu legal basis, pembuktian fakta, dan tujuan pemidanaan. Dalam konteks Pasal 170 ayat (2) KUHP, vis publica masuk di pilar kedua yaitu fakta, namun efeknya berhubungan juga dengan pilar ketiga yaitu legitimasi pemberatan pidana [13]. Persoalan kerap muncul ketika vis publica dipakai sebagai indikator kerusuhan sosial, tetapi standar ukurnya tidak eksplisit dalam KUHP. Akibatnya, hakim sering mengonstruksinya sendiri dalam putusan, dan pada saat itu lah ratio decidendi diuji, apakah sebagai seorang hakim, ia dapat bertindak rasional atau sekedar latah pada narasi publik.
Banyak putusan kekerasan kolektif menunjukkan, vis publica lebih sering digunakan sebagai formal justification untuk “menaikkan ayat”, bukan sebagai dasar analisis dampak sosial yang riil. Ini dipandang problematik karena pemberatan pidana membutuhkan argumentasi yang adil dan terukur. Ratio decidendi yang baik dapat membedakan public visibility dengan public disturbance. Public visibility adalah “bisa dilihat orang”, sementara disturbance adalah “mengguncang rasa aman publik” [14]. Bila yang dipakai hanya kemungkinan dan alasannya, maka belum cukup hingga level pemberatan.
Dalam politik kriminal, delik pada Pasal 170 KUHP memang memuat dimensi publik, namun bukan berarti semua tindakan yang terjadi di ruang terbuka harus langsung dilihat sebagai ancaman bagi ketertiban umum. Negara tidak diberikan kewenangan untuk menyederhanakan alasan hanya sampai “di tempat umum”. Ratio hakim harus mampu menjelaskan mengapa vis publica relevan terhadap bobot pidana, bukan hanya menjelaskan “bagaimana ia terbukti”. Jika tidak, ia berisiko melahirkan argumentasi yang hampa, padahal ayat (2) Pasal 170 adalah respon atas akibat berat, bukan respon atas locus delicti belaka.
Dalam banyak literatur, asas public order protection memiliki fungsi preventif dan edukatif, namun pemidanaan preventif tidak boleh melompat-lompat dari fakta sosial yang belum cukup tergali. Pemberatan harus tetap melalui reasoning yang bertahap dan memperhatikan prinsip kehati-hatian. Prinsip keseimbangan antara perlindungan publik dan keadilan pemidanaan mensyaratkan hakim menimbang intensitas perbuatan, bukan intensitas pemberitaan. Vis publica baru berkontribusi pada pemberatan pidana bila ada hubungan jelas antara publikitas perbuatan dan efek sosialnya.
Dalam Theorie Van De Redelijke Toerekening, akibat berat dari delik Pasal 170 KUHP tidak dapat langsung dibagi rata pada semua pelaku hanya karena perbuatannya dilakukan openlijk. Hakim tetap wajib membuat attribution logic meskipun deliknya kolektif. Jika vis publica digunakan dalam ratio untuk memperberat pidana, reasoning harus dapat menjawab pertanyaan lanjutan yaitu apakah publikitas memperluas akibat? Jika jawabannya tidak teruraikan, maka pemberatan pidana bisa kehilangan dasar teoretisnya.
Dalam kajian putusan, publikitas seringkali dipakai sebagai “selimut reasoning” untuk menutupi kesulitan memetakan peran individual pelaku, padahal kesulitan penegakan hukum tidak dapat dijadikan alasan pemberatan tanpa analisis kausalitas dan proporsionalitas. Penafsiran vis publica dalam ratio decidendi harusnya menjadi pintu masuk dari general prevention, tetapi general prevention bukanlah alasan pembenar pidana berat bila fakta sosial ancaman tidak terjelaskan secara memadai. Hakim sering terjebak pada ilusi bahwa publikitas adalah “lebih berbahaya”. Namun dalam kenyataannya, banyak aksi keroyok yang terjadi di ruang terbuka tetapi sifatnya sekonyong-konyong, tidak terorganisir, dan tidak bermotif mengacau, sehingga deliknya hanya memenuhi unsur delik Pasal 170 KUHP, bukan unsur pemberat seperti yang diatur dalam Pasal 170 ayat 2 KUHP.
Dalam Black’s Criminal Law Principles, publikitas delik menjadi fundamentum negara menghukum karena delik bersinggungan dengan ruang norma kolektif. Tapi prinsip ini tidak otomatis memberi bobot moral untuk memperberat pidana tanpa penalaran lanjutan di putusan. Vis publica sendiri bersifat norma terbuka. Maka untuk dipakai sebagai dasar ratio pemberat, hakim membutuhkan additional reasoning device seperti: apakah perbuatan memicu kerumunan lanjutan, memprovokasi balas dendam, atau memperluas efek trauma sosial.
Dalam teori kuantifikasi penghukuman, semakin luas potensi publik menyaksikan, semakin besar kedudukan negara intervensi. Namun besarnya intervensi negara tidak bisa disamakan dengan besarnya pidana, karena pidana hanya bisa diperberat bila akibatnya juga layak diperberat, bukan karena ruangnya layak diintervensi. Ini yang sering hilang dalam ratio hakim pemula dimana hakim memberi garis bawah pada vis publica sebagai “tempat umum”, padahal Pasal 170 ayat 2 KUHP menghendaki kausalitas antara publikitas dan perluasan akibat pidana sebelum pidana diperberat.
Hakim yang menaruh vis publica sebagai alasan pemberat pidana tanpa mengaitkannya dengan indikator social harm multiplier berisiko menafsirkan pasal secara parsial dan melanggar prinsip proporsionalitas. Karena itu, kedudukan vis publica dalam ratio tidak boleh berdiri sendiri, tetapi harus melebur dalam narasi analisis dampak yang menjelaskan perannya dalam menentukan estimasi dampak yang diterima oleh masyarakat umum/sosial sebelum menentukan pidana pemberatan. Ratio decidendi yang menjamin keseimbangan harus memuat legal reasoning etiquette yaitu memetakan vis publica sebagai threshold delik, lalu menimbang apakah ia memperluas akibat, lalu baru menakar sanksi pidana. Tanpa urutan ini, hakim sama saja menaikkan pidana hanya karena deliknya bising, bukan meresahkan.
Beberapa pakar menekankan, hakim perlu membedakan antara “public locus” dan “public threat”. Vis publica hanya mengafirmasi locus delicti; sedangkan threat harus dibangun dari fakta disturbance, bukan dari caranya delik tergelar. Dengan demikian, penggunaan vis publica dalam ratio untuk memperberat sanksi pidana harus menampilkan justifikasi dampak sosial yang konkret dan teruraikan. Ini bukan sekadar standar akademik, tetapi standar yuridis etik.
Dalam logika sentencing rationality, hakim yang memakai vis publica sebagai rasio pemberatan wajib memperlihatkan relevansi kausalnya terhadap peningkatan social anxiety atau potensi gangguan ketertiban pasca-kejadian. Tanpa elaborasi itu, penggunaan vis publica lebih tepat dipahami sebagai unsur delik klasifikasi yang melekat pada Pasal 170 ayat (1) KUHP, dan tidak otomatis bergeser menjadi pemberat di ayat (2).
Oleh karenanya, dalam Pasal 170 ayat (2) KUHP, vis publica seharusnya menjadi penanda derajat intervensi negara atas delik, tapi derajat pidana diperberat hanya ketika penanda itu terbukti memperluas nilai meresahkan akibat kekerasan bersama. Penegakan pidana yang adil tidak menolak vis publica, namun menolak vis publica yang dipakai tanpa argumentasi dampak pada strafwaardigheid delik itu sendiri.
Maka, ketika vis publica dipakai sebagai ratio pemberat pidana, reasoning harus lebih menyerupai analisis efek sosial kausal daripada sekadar narasi legal-lokatif [15]. Urutan reasoning yang tertib akan menjamin bahwa Pasal 170 ayat (2) KUHP tetap proporsional, sekaligus vis publica tidak direduksi menjadi mantra pemberat tanpa makna disturbance. Dengan cara itu pula, kedudukan vis publica terjelaskan secara ilmiah sebagai threshold delik publik yang conditional untuk menjadi pemberat pidana, bukan default.
Vis publica dalam Pasal 170 KUHP harus dipahami sebagai kualifikasi publik dari suatu kekerasan kolektif yang bersinggungan langsung dengan ketertiban umum, bukan sekadar penanda bahwa perbuatan terjadi di tempat terbuka atau dapat dilihat orang. Doktrin hukum pidana Indonesia menegaskan bahwa Pasal 170 KUHP dirumuskan sebagai delik tegen openbare orde (kejahatan terhadap ketertiban umum), sehingga publikitas perbuatan berfungsi sebagai threshold awal yang mengubah karakter delik dari ranah individual menjadi ranah perlindungan kolektif yang menjadi kepentingan negara secara langsung. Namun, vis publica tidak otomatis menjadi faktor pemberat pidana; ia baru dapat berkontribusi pada pemberatan penjatuhan pidana yang diatur di ayat Pasal 170 ayat (2) KUHP apabila hakim mampu menjelaskan korelasi kausal antara publikitas perbuatan dan perluasan dampak sosial yang menimbulkan keresahan publik di masyarakat.
Penggunaan vis publica dalam ratio decidendi seharusnya mengikuti penalaran bertingkat yaitu unsur vis publica dibuktikan terlebih dahulu kemudian dianalisis kontribusinya terhadap perluasan bahaya sosial baru dijadikan dasar untuk menakar pidana yang proporsional dan adil. Apabila ratio decidendi berhenti hanya pada pembuktian vis publica sebagai locus delicti (lokasi di tempat umum), alasan tersebut dinilai prematur dan reduktif untuk dijadikan pembenar pidana yang lebih berat, karena pemberatan pidana dalam Pasal 170 ayat (2) KUHP sesungguhnya bertumpu pada akibatnya (luka berat atau maut), bukan ruang terjadinya semata. Politik kriminal yang melekat pada pasal ini memberi diskresi kepada hakim untuk memperberat, tetapi tetap mengikatkan diskresi itu pada etika penalaran pidana dan asas proporsionalitas, bukan asumsi emosional atau general prevention yang tidak terjelaskan.
Dengan demikian, penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan vis publica dalam ratio pemberat pidana secara prinsip sah, tetapi bersifat conditional dan menuntut elaborasi dampak sosial-kausal yang konkret agar tidak sekadar menjadi formalitas alasan “terbuka dan terang-terangan”. Keseimbangan tujuan Pasal 170 ayat (2) KUHP, antara perlindungan ketertiban umum dan keadilan dalam pemidanaan hanya tercapai ketika hakim menempatkan vis publica sebagai ambang delik publik yang diuji lagi kontribusinya terhadap public social harm escalation sebelum menaikkan bobot pidana secara proporsional. Putusan yang menggunakan vis publica tanpa alasan tersebut tetap valid secara hukum, namun tidak mencapai kualitas ideal dalam sentencing rationality delik ketertiban umum yang seharusnya terukur, konsisten, dan argumentatif.
Sebagai rekomendasi perbaikan ke depan, pemaknaan vis publica dalam penerapan Pasal 170 ayat (2) KUHP memerlukan pedoman penalaran yang lebih terstruktur dan berbasis dampak sosial-kausal, baik melalui pembaruan norma penjelas dalam KUHP maupun perumusan sentencing guideline internal di lingkungan peradilan, agar hakim tidak hanya berhenti pada pertimbangan lokatif tetapi mampu menakar public social anxiety impact sebagai dasar pemberat yang terukur dan proporsional; di sisi penyidikan dan penuntutan, aparat juga perlu memperkuat desain pembuktian unsur “terang-terangan” dengan skema case building yang memperlihatkan disturbance link, sehingga argumentasi strafmaat pemberatan dapat diuji secara lebih konsisten, transparan, dan selaras dengan asas keadilan serta kepastian hukum.
T. Yanuar and Y. Putra, Hukum Pidana. Jakarta, Indonesia: PT Sangir Multi Usaha, 2022.
I. Rahmayanti et al., Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Orang Tua Terhadap Anak Ditinjau Dalam Perspektif Hukum Pidana. Jawa Tengah, Indonesia: Eureka Media Aksara, 2024.
A. A. I. Nadia et al., “Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Kekerasan (Pengeroyokan) Yang Menyebabkan Kematian,” Jurnal Preferensi Hukum, vol. 6, no. 1, pp. 8–13, 2025.
A. Istiqomah, W. Budyatmojo, and B. Setiyanto, “Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Tindakan Kekerasan Terhadap Orang atau Barang Yang Dilakukan Secara Bersama-sama,” Jurnal Hukum Pidana dan Penanggulangan Kejahatan, vol. 11, no. 2, p. 109, 2022.
L. Hakim, Penerapan dan Implementasi Tujuan Pemidanaan Dalam RKUHP dan RKUHAP. Yogyakarta, Indonesia: CV Budi Utama, 2020.
P. M. Marzuki, Penelitian Hukum. Jakarta, Indonesia: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung, Indonesia: Alumni, 2010.
A. Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta, Indonesia: Rineka Cipta, 2017.
Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum. Bandung, Indonesia: Sinar Baru, 2013.
A. I. Asa, M. M. Syamsuddin, A. Wahyudi, and A. Hamzah, “Aliran Filsafat Hukum Sebagai Cara Pandang (Worldview) Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana,” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, vol. 7, no. 2, pp. 199–227, 2025.
H. Putri, “Vis Publica Sebagai Legal Threshold Dalam Delik Kekerasan Bersama,” Jurnal Legis, vol. 5, no. 2, p. 198, 2022.
Sudarto, Hukum Pidana I. Semarang, Indonesia: Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990.
Muladi and B. Arief, Teori-Teori Hukum Pidana. Bandung, Indonesia: Refika Aditama, 2018.
R. Atmasasmita, Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta, Indonesia: Kencana, 2020.
P. P. Montolalu, “Kajian Yuridis Tentang Pemberatan Pidana Pada Recidive,” Lex Privatum, vol. 9, no. 11, pp. 158–167, 2021.