Login
Section Recent Cases

A Critical Analysis of the Fulfillment of the Intent Element in the Dissemination of Private Content under the Electronic Information and Transactions Crime, Based on Decision No. 805/Pid.Sus.2024/PN.Jkt.Sel.

Analisis Kritis Pemenuhan Unsur Kesengajaan Penyebarluasaan Konten Pribadi Dalam Tindak Pidana ITE Studi Putusan Nomor 805/Pid.Sus.2024/PN.Jkt.Sel
Vol. 21 No. 1 (2026): February:

Halgi Sujuangon Jhansen Rambe (1), Ade Adhari (2)

(1) Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

General Background: The rapid advancement of digital technology has increased legal challenges related to electronic information misuse, particularly within Indonesia’s Special Criminal Law governing Electronic Information and Transactions (EIT). Specific Background: Cases involving the dissemination of private content frequently raise questions regarding the fulfillment of intent or dolus as a requirement for criminal liability. Knowledge Gap: Judicial inconsistencies in assessing intent—especially in distinguishing intentional acts from negligence—indicate the need for deeper doctrinal analysis. Aims: This study critically examines the fulfillment of intent in the dissemination of private content under Article 27 ayat 1 jo. Article 45 ayat 1 of the EIT Law, based on Decision No. 805/Pid.Sus.2024/PN.Jkt.Sel. Results: The findings show that the court’s analysis relied on three key elements: actus reus, the absence of rights or consent, and mens rea reflected in the perpetrator’s awareness of wrongdoing, while also considering the defendant’s negligence or culpa. Novelty: This study exposes discrepancies between courtroom facts and judicial reasoning, revealing conceptual misalignment in applying intent within EIT cases. Implications: The research provides a clearer analytical framework for judges and legal practitioners to differentiate intentional wrongdoing from negligence in future EIT adjudications.


Highlights:




  • The study clarifies how intent is assessed in private-content dissemination cases under the EIT Law.




  • Findings show discrepancies between courtroom facts and the court’s interpretation of intent.




  • The research offers a clearer framework for distinguishing intent from negligence in future cases.




Keywords: Intent, Negligence, EIT Law, Private Content, Criminal Liability

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Dari tahun ke tahun semakin maju dalam hal perkembangan teknologi semakin pesat juga kemajuan teknologi yang diciptakan agar lebih optimal untuk menggunakan suatu teknologi agar memudahkan kita dalam hal apapun, namun pada kenyataannya masih banyak memakai atau mengaplikasikan hal-hal yang negatif ke dalam teknologi tersebut, banyak suatu tindak pidana yang berisikan dengan kasus-kasus Teknologi dan masuk dalam ranah hukum pidana, tentunya hukum pidana sangat melekat bagi suatu artikel yang diangkat dan dibuat oleh penulis, hukum pidana menjadi salah satu ranah hukum penting untuk menegakkan suatu keadilan yang dimana seseorang telah melanggar aturan atau undang-undang yang sudah dibuat, hukum pidana berisikan larangan perbuatan yang dilanggar oleh undang-undang seperangkat dengan sanksi-sanksi untuk Terdakwa, di dalam penelitian artikel ini memfokuskan kepada Hukum Pidana Khusus atau biasa disebut dengan Pidana Khusus disingkat dengan (PID-SUS), dikarenakan tindak pidana ITE termasuk Hukum Pidana Khusus yakni peraturan yang mengatur pidana berserta sanksi diluar dalam KUHP (regulasi tersendiri) [1].

Tentunya dalam pembahasan ini untuk memidana suatu tindakan oleh seseorang menjadi salah satu hal yang penting untuk mencari tahu unsur-unsur apa saja yang menjadi suatu pemenuhan unsur-unsur pemidanaan, syarat-syarat pemidanaan sangat amat lah penting dalam penerapan untuk memidana seseorang agar lebih efektif untuk menjatuhkan hukuman bagi seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana menurut S.R. Sianturi dalam peristilahan di Indonesia, delik atau het strafbare feit telah diterjemahkan oleh para sarjana dan juga telah digunakan dalam berbagai perumusan undang-undang dengan berbagai istilah bahasa Indonesia sebagai perbuatan yang dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana [2]. Pemenuhan-pemenuhan unsur-unsur pemidanaan menjadi fondasi untuk melihat suatu tindakan apa yang sudah dilakukan oleh seseorang apakah sudah memenuhi unsur yang sudah disebutkan atau tidak, hakim adalah salah satu aparat penegak hukum yang seharusnya paham dan menerapkan syarat pemidanaan ini karena hakim menjadi salah satu tiang fondasi terkuat untuk menjatuhkan sanksi pidana.

Dalam penelitian ini pun kesengajaan juga menjadi perihal yang penting untuk dibahas, kesengajaan atau sebutannya dolus adalah perbuatan yang disengaja oleh seseorang yang melanggar hukum, pembagian bentuk dalam kesengajaan juga dibagi menjadi 3 sengaja dengan maksud, sengaja dengan sadar kepastian, dan sadar dengan kemungkinan [3]. Menentukan suatu kesengajaan pun menjadikan peran penting untuk dalam mencari suatu pertanggungjawaban pidana, karena suatu kesengajaan juga mensyaratkan suatu ancaman pidana apa yang diterapkan ke Terdakwa. Dalam penerapannya KUHP menitikberatkan pada kata “sengaja” atau “dengan sengaja” pasal demi pasal kata sengaja menjadi suatu syarat untuk memidana seseorang yang bersalah dengan kata sengaja, pemenuhan unsur ini pun juga berkaitan dengan syarat pemidanaan agar terpenuhi suatu perbuatan yang sudah dilakukan seseorang.

Tidak hanya itu saja dari kesengajaan dapat dipidana, adapun kelalaian bisa menjadi faktor agar mencari tahu apakah seseorang salah atau tidak melakukan tindak pidana dengan Kelalaian, kelalaian atau biasa disebut dengan culpa, kelalaian juga menjadi bentuk kesalahan yang berlandasan pertanggungjawaban pidana sama seperti kesengajaan, pada umumnya syarat utama memidana seseorang haruslah adanya kesalahan yang diperbuat, yang bisa diharfiahkan kealpaan adalah perbuatan yang teledor dalam melakukan sesuatu yang kurangnya hati-hati atau kurang menduga-duga, menurut menurut D.Schaffmeister, N. Keijzer dan E.PH. Sutorius, skema kelalaian atau culpa yaitu [4]: 1. Culpa lata yang disadari (alpa) CONSCIOUS : kelalaian yang disadari, contohnya antara lain sembrono (roekeloos), lalai (onachttzaam), tidak acuh. Dimana seseorang sadar akan risiko, tetapi berharap akibat buruk tidak akan terjadi; 2. Culpa lata yang tidak disadari (Lalai) UNCONSCIUS : kelalaian yang tidak disadari, contohnya antara lain kurang berpikir (onnadentkend), lengah (onoplettend), dimana seseorang seyogianya harus sadar dengan risiko, tetapi tidak demikian.

Hal-hal yang sudah dijelaskan diatas sudah menjadikan suatu pemenuhan semua unsur-unsur pemidanaan antara syarat pemidanaan, kesengajaan, serta kelalaian, ketiga perihal ini saling berkesinambungan terkhususkan dalam ranah hukum pidana, secara lebih rinci dalam penelitian ini mengidentifikasi suatu pemenuhan unsusr kesengajaan dalam penyebarluasan video pribadi dalam tindak pidana undang-undang ITE, keterkaitan antara ketiga pemenuhan unsur tindak pidana ITE ini sangat dibutuhkan untuk melengkapi suatu penulisan karya ilmiah yang dibuat oleh penulis agar lebih rinci dan jelas, oleh karena itu, dilatarbelakang yang dibuat untuk mengetahui suatu pemenuhan suatu unsur kesengajaan dalam tindak pidana ITE, serta mencari tahu apakah benar dan bisa terdakwa memenuhi unsur-unsur kesengajaan dalam penyebarluasan konten pribadi dalam tindak pidana ITE.

Dalam perkara tindak pidana UU ITE pada Putusan Pengadilan Nomor 805/Pid.Sus.2024/PN.Jkt.Sel melatarbelakangi dimana sesuai judul yakni menganalisis suatu pemenuhan unsur sengaja dalam penyebarluasan konten pribadi, secara garis besar untuk melatarbelakangi kasus yang di angkat, terdakwa telah dihukum dengan hukuman pada Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE, terdakwa telah di tuntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan sengaja menyebarluaskan atau memperjual-belikan video Pornografi, namun pada kenyataannya dalam fakta persidangan tidak ditemukan bukti bahwa terdakwa menyebarluaskan suatu konten pornografi tersebut, keterangan dari terdakwa bahwa ia membuat video tersebut untuk konsumsi pribadinya saja, namun dalam agenda terakhir (Putusan) hakim menimbangkan bahwa memang betul penerapan undang-undang ITE ini Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE telah diaplikasikan untuk terdakwa tetapi hanya diganti dengan kata “dengan sengaja membuat video”, hakim mempertimbangkan bahwa terdakwa secara sah karena kesalahannya dalam membuat video konten pornografi, bukan menyebarluaskan ataupun memperjual-belikan video tersebut, hal ini telah menjadi isu penting dalam penerapan hukum di indonesia undang-undang ini masih menjadi kontroversial dalam penerapan suatu hukumnya, jika diambil kesimpulan dari latarbelakang kasus ini yaitu persidangan ini atau putusan ini bertentangan dengan Fakta-fakta Persidangan, agar menjawab semua latarbelakang perkara ini akan diangkat suatu permasalahan dalam penelitian ini dalam hal pemenuhan suatu unsur kesengajaan penyebarluasan konten pribadi serta unsur kelalaian terdakwa Putusan Pengadian Jakarat Selatan Nomor 805/Pid.Sus.2024/PN.Jkt.Sel.

Penelitian ini berfokus pada analisis kritis terhadap pemenuhan unsur kesengajaan dalam tindak pidana penyebarluasan konten pribadi berdasarkan ketentuan hukum pidana ITE melalui studi Putusan Nomor 805/Pid.Sus.2024/PN.Jkt.Sel. Permasalahan utama yang dikaji adalah bagaimana hakim menilai dan membuktikan adanya unsur kesengajaan dalam tindakan terdakwa ketika menyebarluaskan konten pribadi serta apakah pertimbangan hukum yang digunakan dalam putusan tersebut telah sesuai dengan doktrin kesengajaan dalam hukum pidana dan ketentuan UU ITE. Sejalan dengan itu, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan memastikan pemenuhan unsur kesengajaan dalam tindak pidana penyebarluasan konten pribadi, sekaligus mengidentifikasi apakah tindakan terdakwa dalam perkara tersebut merupakan bentuk kesengajaan atau kelalaian, guna menilai ketepatan konstruksi pertanggungjawaban pidana yang diterapkan oleh hakim dalam putusan tersebut.

Metode

Penelitian berjudul “Analisis Kritis pemenuhan unsur kesengajaan penyebarluasan konten pribadi dalam tindak pidana ITE” merupakan suatu jenis penelitian yuridis normatif yang menggunakan teknik analisis data Kualitatif berikut menghasilkan suatu data serta analisis, Penelitian ini juga dibuat dengan cara pendekatan penelitian hukum sosiologis, yang dimana bagaimana penerapan dari suatu hukum yang diciptakan sudah sepenuhnya berfungsi dilapangan. Sumber data dalam penelitian ini diantaranya data primer dengan cara wawancara, observasi, serta kuesioner di lapangan bersama para penasehat hukum (pengacara), terdakwa, dan jaksa serta data sekunder melalui dokumen-dokumen yang sudah dikumpulkan oleh penulis agar mendapatkan suatu data yang konkret untuk menjawab penelitian yang dibuat [5]. Teknik penelusuran bahan hukum ini diaplikasikan agar memperoleh data yang dibutuhkan ialah studi kepustakaan library research. Karya ilmiah ini data sekunder dikumpulkan dengan menggunakan studi pustaka, suatu cara guna dalam mengumpulkan suatu data melalui data tertulis dengan mempergunakan konten analisis [6].

Hasil dan Pembahasan

Analisis Kritis Pemenuhan Unsur Kesengajaan Penyebarluasaan Konten Pribadi Dalam Tindak Pidana Ite Studi Putusan Nomor 805/Pid.Sus.2024/PN.Jkt.Sel

Syarat Pemidanaan menjadi tujuan atau kiblat untuk menentukan dan menjatuhkan suatu sanksi hukuman bagi para pelaku/terdakwa yang melakukan kesalahan, beberapa ahli mengatakan syarat pemidanaan ini salah satunya adalah E.Mezger unsur-unsur pemidanaan dibagi menjadi 4 diantaranya yaitu [7]:

1. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan);

2. Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif maupun yang subjektif);

3. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang;

4. Diancam dengan pidana.

Menjatuhkan suatu hukuman kepada Terdakwa tidak semena-mena menjatuhkan pidana begitu saja, akan tetapi untuk menjatuhkan bahwa Terdakwa terbukti bersalah juga mempunyai suatu petunjuk agar tidak salah untuk menghukum. Di teori syarat pemidanaan ini juga mempunyai dua pandangan yang berbeda yaitu suatu padangan Monistic dan Dualistik, pandangan Monistik adalah suatu pandangan yang dimana penggabungan suatu tindak pidana agar memenuhi unsur pemidanaan sedangkan Dualistik adalah pemisahan antara perbuatan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, dari pandangan Monistik ahli Van Hamel menyatakan bahwa unsur-unsur pemidanaan diantaranya:

1. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang

2. Melawan hukum

3. Dilakukan dengan kesalahan

4. Patut dipidana [7]

Setelah menjelaskan suatu pandangan dari Monistik yang dimana pandangan Monistik adalah penggabungan suatu unsur-unsur pemidanaan lalu adapun dari pandangan Dualistik yang dimana pemisahan antara Tindak Pidana dan pertanggungjawaban pidana yang memisahkan antara tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang dan apakah seseorang tersebut bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka dari pandangan Dualistik ini memisahkan antara pemenuhan unsur pidana dan pertanggungjawaban pidananya, salah satu ahli menyatakan dalam pandangan Dualistik yaitu menurut Moeljatno diantaranya adalah:

1. Perbuatan (manusia)

2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil) dan

3. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil) [7]

Dalam memidana untuk seseorang yang bersalah haruslah seseorang tersebut memenuhi suatu unsur yang telah diuraikan diatas, hakim adalah peran penting dalam penerapan suatu Syarat Pemidanaan ini karena pemegang erat keputusan untuk menjatuhkan hukuman kepada seseorang yang bersalah melakukan kejahatan, baik itu kejahatan yang direncanakan ataupun dengan sengaja. Hal ini sangatlah penting bagi Majelis Hakim untuk menjatuhkan suatu Tindakan untuk menghukum seseorang untuk dipidana agar tidak salah untuk menjatuhkan hukum kepada Terdakwa. Teori Syarat Pemidanaan ini juga penting bagi jaksa, pengacara ataupun aparat penegak hukum lainnya untuk mengidentifikasi perbuatan apa atau kesalahan yang memenuhi unsur-unsur pemidanaan agar lebih kompleks dalam mengetahui kejahatan apa yang sudah terjadi [8].

Tidak hanya suatu syarat pemidanaan yang harus dipenuhi, Adapun suatu perbuatan dan niat kejahatan dari seseorang yang melakukan perbuatan kejahatan atau tindak pidana, aparat penegak hukum mempunyai hak serta kewajibannya untuk mencari tahu suatu perbuatan dan niat jahat dari tersangak atau terdakwa, pada umumnya dalam ilmu hukum pidana perbuatan dan niat jahat ini mempunyai suatu teori agar bisa mengaplikasikan untuk penerapan mengidentifikasi suatu perbuatan dan niat jahat dari seseorang, teori ini bernama Kesengajaan [9]. Didalam teori ini mempunyai suatu 2 karakteristik yakni antara kehendak dan pengetahuan, dan didalam teori ini juga membuahi 3 corak kesengajaan diantaranya adalah, kesengajaan maksud tujuan, kesengajaan sadar kepastian, dan kesengajaan sadar kemungkinan, jika dikaitkan antara karakteristik dan corak kesengajaan yang sudah disebutkan memang mempunyai arti yang sama dan saling berkesinambungan dalam karakteristik kehendak sama seperti corak kesengajaan maksud tujuan yang dimana seseorang telah menghendaki atau sudah niat untuk melakukan tindak pidana dengan maksud untuk mencapai suatu tujuannya, dan kesengajaan sadar kepastian juga masuk kepada karakteristik kehendak, serta kesengajaan sadar kemungkinan sama seperti karakteristik pengetahuan yang dimana seseorang telah membayangkan suatu perbuatan yang ingin ia lakukan [7].

Posisi dari kesengajaan dalam Syarat Pemidanaan terletak pada 2 unsur dari syarat pemidanaan diantaranya adalah, adanya kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, yang memfokuskan posisi kesengajaan umumnya terletak pada kesalahan seseorang baik itu sengaja melakukannya ataupun lalai dalam melakukannya, dapat kita kemas dengan baik bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan didamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu [7].

Dalam penerapan suatu hukuman menjadi pedoman untuk menjatuhkan hukuman bagi seseorang, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau biasa disingkat KUHP menjadi salah satu regulasi peninggalan zaman kolonial belanda yang masih diaplikasikan hingga saat ini, tidak hanya KUHP Adapun regulasi yang mengikuti regulasi KUHP tersebut, jika dikaitan dengan suatu pandangan KUHP adalah menganut suatu pandangan MONISTIK, menurut Sudarto pandangan Monistik ini melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan [7]. Pada intinya pandangan Monistik adalah suatu pandangan yang menggabungkan menjadi satu kesatuan unsur-unsur pemidanaan, KUHP peninggalan Zaman Kolonial Belanda menganut aliran Monistik [10].

Pemenuhan unsur kesengajaan (dolus) pada tindak pidana yang menyebarluaskan konten pribadi melalui media elektronik dengan kasus penyebaran foto/video porno, atau data pribadi adalah isu penting untuk menjadi pembahasan dalam artikel yang penulis buat. Begitu banyak permasalahan dalam tindak pidana ITE mulai dari menyebarluaskan, pencemaran nama baik, pengungkapan data pribadi dan lain-lain, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang berbunyi “Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” [11].

Ada beberapa hal untuk mengetahui suatu pemenuhan unsur pidana penyebarluasan konten pribadi menurut undang-undang ITE, 3 aspek yang menjadi suatu pemenuhan unsur kesengajaan diantaranya adalah:

1. Perbuatan (actus reus)

Salah satu pemenuhan unsur kesengajaan ini dilihat dari sisi perbuatan apa yang dilakukan oleh Terdakwa, tidak hanya perbuatan saja adapun akibat yang timbul oleh perbuatan seseorang yang melakukan tindak pidana, dan hubungan sebab akibatnya yang dimana perbuatan dan akibat apa yang akan ditimbulkan jika Terdakwa melakukan kesalahan yang dilanggar. Menurut Zainal Abidin Farid, salah satu ahli pidana, actus reus merupakan “unsur delik” (elemen tindak pidana) yang esensial. Sementara itu, mens rea adalah sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan [12].

2. Tanpa Hak

Kata-kata Tanpa Hak ini dalam penerapan hukum pidana dikaitkan dengan tindak pidana ITE menyatakan bahwa jika tidak adanya izin atau persetujuan dari pemilik data pribadi yang bersangkutan dalam konten tersebut maka unsur Tanpa Hak masuk kedalam unsur pemenuhan Kesengajaan terkhususkan dengan Tindak Pidana ITE. Dalam pengertian umumnya tanpa hak ini bisa dikatakan dengan tanpa seizin dari pihak yang bersangkutan, menurut KBBI arti dari “tanpa” yaitu tidak dengan sedangkan “hak” adalah kewenangan menurut pandangan hukum, atau kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu [13].

3. Dengan sengaja (mens rea)

Tidak hanya dilihat dari suatu perbuatannya saja, suatu bentuk pemenuhan kesengajaan adalah dilihat dari kondisi-kondisi terdakwa, kata dengan sengaja dalam ranah ITE bukan hanya Tindakan fisik saja akan tetapi sikap batin pelaku juga dipertanyakan yang dimana terdakwa tahu akan perbuatannya yang tidak punya hak tapi masih saja melakukan perbuatan tersebut [13]. Dalam keterkaitan antara sengaja dan tanpa hak sudah diterapkan pada undang-undang ITE, kesinambungan antara sengaja dan tanpa hak ini diartikan terdakwa harus dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya Informasi atau Dokumen Elektronik [14].

Dalam perkara ini dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 805/Pid.Sus.2024/PN.Jkt.Sel juga mempunyai salah satu isu hukum bahwa terdakwa lalai dalam menyimpan data pribadinya, yang dimana dalam keterangan terdakwa bahwa ia membuat video konten pribadinya saja bukan untuk disebarluaskan ataupun diperjual-belikan namun hanyalah untuk konsumsinya pribadi, dalam hal ini jika dijelaskan lebih lanjut unsur kelalaian dalam hukum pidana disebut (culpa) yang mengartikan timbulnya akibat dilarang dikarenakan kurangnya hati-hati dalam melakukan tindakan, jelasnya jika pengartian lebih mudah seseorang melakukan tindakan pidana karena tidak memikirkan dahulu sebelum Bertindak yang pada akhirnya dihukum, menurut Moeljatno kelalaian (culpa) terjadi apabila seseorang tidak menghendaki timbulnya akibat yang dilarang, namun akibat itu terjadi karena ia kurang hati-hati atau tidak memperhatikan kewajiban untuk bersikap hati-hati [15]. Terdakwa dalam kasus ini telah didalilkan bahwa ia tidak hati-hati untuk menyimpan data pribadinya, yang pada akhirnya disalahgunakaan dan disebarluaskan oleh pihak lain yang dihukum juga, unsur kelalaian dari terdakwa ini memang sepenuhnya terpenuhi dan telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Dalam penerapan suatu regulasi yang telah diterapkan oleh terdakwa yakni Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE memiliki suatu konsekuensi terkhususkan dengan Kesengajaan, dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE disebutkan secara tegas yakni dengan rumusan “dengan sengaja” . Sehingga dalam hal mempertanggungjawabkan pidana harus dapat dibuktikan unsur kesalahannya. Untuk mengetahui unsur kesengajaan maka harus terdiri beberapa indikasi, yakni [16]:

1. Adanya niat atau kehendak yang disadari

2. Adanya perbuatan permulaan

3. Perbuatan yang melanggar hukum

4. Adanya akibat dari perbuatannya

Simpulan

Penelitian ini menganalisis secara mendalam pemenuhan unsur-unsur kesengajaan dalam ranah hukum pidana yang memfokuskan tindak pidana ITE dalam kasus penyebarluasan konten pribadi, fondasi hukum dan unsur pemidanaan sangatlah melekat didalam penelitian ini syarat-syarat pemidanaan menjadi salah satu fondasi penting untuk menjatuhkan suatu sanksi atau hukuman, konsep kesengajaan serta kelalaian juga menjadi syarat utama untuk memidana seseorang, kesalahan baik dibuat secara sengaja maupun dengan kelalaiannya pribadi menjadikan suatu unsur utama untuk menjatuhkan hukuman bagi terdakwa yang melakukan pelanggaran yang di atur dalam undang-undang yang sudah dirancang dan dibuat lalu disahkan.

Dalam pemenuhan unsur kesengajaan dalam tindak pidana ITE semua unsur tersebut telah dituang dalam regulasi yang telah dibuat yaitu Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE mengatur larangan : "Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan". Unsur unsur yang sudah dijelaskan diatas sudah mencakup keseluruhan dalam undang-undang ini seperti unsur sengaja, tanpa hak, ataupun ada kelalaian jika terdakwa dinyatakan lalai dalam perbuatannya.

Diperlukan suatu penekanan dalam membuktikan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja ataupun dengan kelalaian dikarenakan kedua bentuk tersebut adalah kesalahan yang mendasari suatu pertanggungjawaban pidan yang berbeda. Pemanfaatan teori syarat pemidanaan terkhususkan Hakim yang menjatuhkan suatu keputusan dalam ranah hukum pidana, hakim harus menggunakan pandangan Monistik atau Dualistik sebagai kerangka teori yang kuat untuk mengidentifikasi apakah perbuatan terdakwa telah memenuhi semua unsur pemidanaan (termasuk melawan hukum dan kesalahan) sebelum menjatuhkan hukuman. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh pembaca untuk memahami bahwa tindak pidana ITE, khususnya penyebarluasan konten pribadi, tidak hanya dilihat dari aspek perbuatan fisik (actus reus) tetapi juga dari aspek niat dan sikap batin pelaku (mens rea).

References

A. N. Hakim and L. Yulia, “Dampak Teknologi Digital Terhadap Pendidikan Saat Ini,” Pediaqu: Journal of Social and Humanities Education, vol. 3, no. 1, pp. 220–229, 2024.

B. A. Oktavira, “Mengenal Unsur Tindak Pidana dan Syarat Pemenuhannya,” Hukum Online, 2023.

Erisamdy, “Teori-Teori Kesengajaan,” Erisamdyprayatna, 2023.

D. Schaffmeister, N. Keijzer, and E. P. H. Sutorius, Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.

J. Matheus and A. Gunadi, “Pembentukan Lembaga Pengawas Perlindungan Data Pribadi di Era Ekonomi Digital: Kajian Perbandingan dengan KPPU,” Justisi, vol. 10, no. 1, pp. 20–35, 2024.

S. Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1984.

Sudarto, Hukum Pidana I, Revised Ed. Semarang: Yayasan Sudarto, 1990.

A. Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan. Yogyakarta: Rangkang Education & PuKAP Indonesia, 2012.

A. B. Mallarangeng, Mustari, Firman, and I. Ali, “Pembuktian Unsur Niat Dikaitkan Dengan Unsur Mens Rea dalam Tindak Pidana Korupsi Andi,” Legal Journal of Law, vol. 2, no. 2, pp. 11–24, 2023.

N. Mubarok, “Sejarah Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia: Menyongsong Kehadiran KUHP 2023 dengan Memahami dari Aspek Kesejarahan,” Al-Qanun: Journal of Islamic Law Reform, vol. 27, no. 1, pp. 15–31, 2024.

S. U. Husna, E. Darmawijaya, and N. Fithria, “Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Kesusilaan dengan Cara Menyebarkan Foto Melalui Akun Media Sosial,” Paarhesia Journal, vol. 3, no. 1, pp. 67–79, 2025.

Z. A. Farid, Pengantar Ilmu Hukum Pidana. Jakarta: Prenada Media, 2010.

S. I. P. Puwa, “Dimensi Hukum Telematika Terhadap Penyebaran Foto Tanpa Izin: Studi Kasus Putusan Nomor 5/Pid.Sus/2023 PN Palu,” Iuris Studies: Journal of Legal Studies, vol. 6, no. 2, pp. 369–376, 2025.

Misno, “UU ITE 27 Ayat 3: Mengapa Setiap Klik dan Ketikan Anda Bisa Mengancam,” Yaplegal, 2022.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

E. Sinaga, “Tinjauan Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Pornografi Menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi,” Fiat Justisia: Journal of Law, vol. 8, no. 4, pp. 704–715, 2014.