Eins Mitchelle Tarnama (1), Boedi Prasetyo (2)
The general background of this study lies in the central importance of judicial consistency in upholding legal certainty within Indonesia’s criminal justice system. The specific background concerns the contrasting outcomes in the Gregorius Ronald Tannur case, where the Surabaya District Court acquitted the defendant while the Supreme Court later imposed a prison sentence, revealing potential procedural irregularities and integrity issues within the judiciary. The knowledge gap emerges from the limited scholarly examination that systematically connects judicial disparity with its legal, institutional, and socio-justice implications. This study aims to analyze the disparity between Decision No. 454/Pid.B/2024/PN.Sby and Decision No. 1466/K/Pid/2024, and to evaluate its impact on public trust, legal certainty, and judicial accountability. The results show that differences in legal interpretation, assessment of evidence, procedural deviations, and external influences contribute significantly to the disparity, with substantial consequences for the perception of justice. The novelty of this research lies in offering an integrated normative–comparative analysis that links judicial reasoning, structural weaknesses, and ethical considerations within one evaluative framework. The implications emphasize the urgent need for strengthened judicial supervision, clearer sentencing guidelines, and systemic reforms to ensure fairness, transparency, and the restoration of public confidence in Indonesia’s legal system.
Highlights:
Highlights how differing court decisions undermine legal certainty and consistency.
Emphasizes the role of judicial integrity in maintaining public confidence.
Identifies the need for stronger oversight and clearer sentencing guidelines.
Keywords: Judicial Disparity, Legal Certainty, Judicial Integrity, Sentencing Inconsistency, Public Trust
Negara Indonesia menempatkan hukum sebagai landasan utama dalam mengatur perilaku warga negara maupun tindakan pemerintah. Dalam sistem hukum tersebut, setiap orang diperlakukan secara setara tanpa mempertimbangkan posisi sosial, jabatan, atau latar belakang pribadi. Prinsip ini dikenal sebagai asas kesetaraan di depan hukum (equality before the law), yang menegaskan bahwa tidak ada satu pun warga negara yang memperoleh perlakuan istimewa. Konsekuensinya, siapa saja yang terbukti melanggar hukum harus bertanggung jawab atas perbuatannya sesuai ketentuan yang berlaku. Aturan hukum memiliki kekuatan memaksa dan memberikan sanksi bagi pelanggar, sehingga keberadaannya mampu menjaga keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, kepatuhan terhadap hukum menjadi fondasi terciptanya keadilan dan ketertiban sosial [1].
Hukum dibangun untuk mewujudkan tiga tujuan pokok, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian bagi seluruh warga negara. Aturan hukum diharapkan mampu memberikan dampak positif yang nyata sehingga kehidupan sosial dapat berlangsung secara teratur. Untuk memenuhi fungsi tersebut, sistem hukum harus terus berkembang dan beradaptasi dengan perubahan zaman, kebutuhan masyarakat, serta dinamika sosial yang semakin kompleks. Dengan sifatnya yang fleksibel dan responsif, hukum dapat berperan tidak hanya sebagai instrumen pengendali perilaku, tetapi juga sebagai sarana membangun tatanan masyarakat yang tertib, harmonis, dan berkeadilan. Pada akhirnya, keberlanjutan negara hukum Indonesia sangat bergantung pada kemampuan hukumnya dalam menjawab tantangan dan perkembangan baru dalam kehidupan masyarakat [2].
Pada prinsipnya, hakim adalah pihak yang dianggap paling memahami dan menguasai hukum, serta memiliki kewenangan luas dalam mengambil keputusan tanpa dipengaruhi oleh pihak mana pun. Meskipun memiliki kebebasan dalam menjatuhkan putusan, bukan berarti hakim dapat bertindak semena-mena atau mengabaikan ketentuan yang berlaku. Setiap putusan pengadilan harus lahir dari proses penilaian yang mendalam, khususnya terhadap seluruh fakta yang muncul selama persidangan berlangsung. Hal ini menjadi krusial karena hakim berperan sebagai simbol keadilan dan dituntut menunjukkan integritas dalam menentukan nasib pihak yang berperkara. Selain berpedoman pada aturan hukum yang berlaku, hakim juga berkewajiban memastikan bahwa keputusan yang diambil selaras dengan rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Putusan yang disusun secara objektif dan transparan akan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Dengan demikian, hakim memikul tanggung jawab moral sekaligus profesional yang sangat besar untuk menjaga kredibilitas lembaga hukum dan memastikan bahwa setiap proses peradilan berjalan secara adil, jujur, dan dapat dipertanggungjawabkan [3].
Kemandirian lembaga peradilan merupakan fondasi utama dalam penyelenggaraan negara hukum modern. Gagasan ini sejalan dengan hasil Konferensi International Commission of Jurists di Bangkok tahun 1965, yang menekankan perlunya kekuasaan kehakiman yang bebas dari intervensi serta tidak berpihak sebagai syarat tegaknya prinsip rule of law. Karena itu, peradilan yang benar-benar independen menjadi kunci untuk memastikan bahwa proses penegakan hukum berjalan secara jujur, berimbang, dan mengutamakan objektivitas. Sistem peradilan yang bebas dari tekanan pihak mana pun juga mampu menjaga kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Dengan demikian, independensi hakim bukan sekadar prinsip formal, tetapi elemen esensial bagi terwujudnya keadilan yang sesuai dengan dinamika nilai-nilai masyarakat.
Gregorius Ronald Tannur, putra dari politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) asal Nusa Tenggara Timur, Edward Tannur, yang saat itu berusia 32 tahun, menjadi tersangka dalam perkara penganiayaan yang menyebabkan kematian kekasihnya, Dini Sera Afrianti, berusia 29 tahun (BBC, 2024). Peristiwa tragis ini berawal pada malam Selasa, 3 Oktober 2023, ketika Ronald dan Dini keluar rumah sekitar pukul 18.30 WIB. Keduanya kemudian menuju sebuah tempat karaoke di kawasan Jalan Mayjend Jonosewojo, Surabaya, dan tiba sekitar pukul 21.00 WIB untuk bergabung dengan tujuh orang teman mereka sambil mengonsumsi minuman beralkohol.
Sekitar pukul 00.30 WIB pada Rabu dini hari, 4 Oktober 2023, situasi berubah ketika terjadi pertengkaran di antara keduanya. Di tengah percekcokan tersebut, Ronald menendang kaki kanan Dini hingga membuatnya terjatuh, lalu memukul bagian kepala korban menggunakan botol minuman keras. Aksi kekerasan ini memicu rangkaian kejadian yang berujung pada kematian Dini. Kejadian ini kemudian mendapat perhatian luas publik karena melibatkan unsur kekerasan dalam hubungan intim dan posisi sosial keluarga pelaku.
Pertengkaran sempat disaksikan oleh petugas dilokasi. Bahkan, Ketika berada di lift menuju basement, Ronald kembali memukul kepala Dini sebanyak 2 (dua) kali. Situasi semakin memburuk di area basement. Saat Dini duduk dilantai bersandar pada pintu mobil, Ronald masuk ke dalam kendaraannya tanpa memberikan peringatan dan menginjak pedal gas. Mobil tersebut kemudian melindas tubuh dini hingga terseret sekitar lima meter. Akibat insiden ini, dini terkapar dalam kondisi tak sadarkan diri, dan rekaman video kejadian sempat beredar dan viral dimedia sosial. Melihat Dini tak berdaya, Ronald membawanya dengan kursi roda ke sebuah apartemen di Jalan Raya Lontar. Ia sempat mencoba memberikan napas buatan, tetapi Dini tidak menunjukkan tanda-tanda respons. Akhirnya, Dini dibawa ke RS National Hospital Surabaya dan dinyatakan meninggal dunia pada pukul 02.32 WIB.
Setelah rangkaian penyelidikan dilakukan, Ronald kemudian ditetapkan sebagai tersangka dengan dugaan pelanggaran Pasal 351 dan Pasal 359 KUHP. Proses persidangannya dimulai pada Maret 2024, di mana Jaksa Penuntut Umum menuntut hukuman penjara selama 12 tahun disertai kewajiban membayar restitusi mencapai ratusan juta rupiah. Meskipun demikian, pada 24 Juli 2024, Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan putusan bebas terhadap Ronald karena menilai dakwaan yang diajukan jaksa tidak dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan. Putusan ini menimbulkan kegaduhan publik, terutama setelah muncul dugaan adanya praktik suap yang disebut-sebut melibatkan majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut.
Dugaan adanya praktik suap tersebut kemudian ditindaklanjuti melalui penyelidikan intensif hingga akhirnya Kejaksaan Agung menetapkan mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, sebagai tersangka dalam perkara suap yang berkaitan dengan putusan bebas Gregorius Ronald Tannur. Zarof disangka menerima suap berupa janji maupun pemberian dengan total nilai mencapai Rp 4,67 miliar, termasuk sejumlah gratifikasi lain yang berkaitan langsung dengan pengurusan putusan bebas dalam kasus pembunuhan tersebut. Selain itu, ia juga diindikasikan telah melakukan praktik serupa sejak tahun 2012 dan berhasil mengumpulkan uang serta emas mendekati angka Rp1 triliun dari berbagai perkara yang ditanganinya. Penangkapannya dilakukan pada Kamis, 4 Oktober 2024, bersamaan dengan penyelidikan Kejaksaan Agung terhadap tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo serta pengacara Ronald, Lisa Rahmat, yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara itu, Ronald sendiri ditangkap oleh penyidik Kejati Jawa Timur pada 27 Oktober 2024, setelah Mahkamah Agung menyatakan dirinya bersalah atas tindak penganiayaan berat yang menyebabkan kematian Dini Sera Afrianti dan menjatuhkan hukuman penjara selama lima tahun.
Kasus yang menyeret nama Gregorius Ronald Tannur memperlihatkan adanya masalah mendasar terkait keterbukaan dan akuntabilitas dalam tubuh peradilan. Perbedaan putusan di setiap tingkat persidangan menunjukkan masih adanya kelemahan sistemik yang dapat membuka peluang terjadinya ketidakadilan. Situasi tersebut menegaskan perlunya pengawasan yang kuat, baik dari mekanisme internal lembaga peradilan maupun dari lembaga eksternal seperti Komisi Yudisial serta kontrol masyarakat. Lebih jauh, perkara ini membuktikan bahwa agenda reformasi hukum tidak cukup berhenti pada penyempurnaan regulasi, melainkan harus menyentuh dimensi moralitas, integritas, dan etika para aparat penegak hukum. Karena itu, kepercayaan publik terhadap institusi peradilan hanya dapat tumbuh apabila prinsip keadilan, independensi, dan bebas dari praktik korupsi benar-benar diterapkan secara nyata dalam setiap tahapan proses peradilan.
Hal tersebut tampak dari adanya perbedaan putusan antara Putusan Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby dan Putusan Nomor 1466/K/Pid/2024. Pengadilan Negeri Surabaya melalui putusan pertamanya menyatakan Gregorius Ronald Tannur tidak bersalah dan membebaskannya dari dakwaan. Namun, Mahkamah Agung pada tingkat kasasi justru membatalkan putusan tersebut dan menjatuhkan hukuman penjara selama 5 tahun kepada Ronald Tannur. Perbedaan hasil antara kedua tingkatan peradilan ini menunjukkan adanya disparitas putusan yang cukup signifikan.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penelitian ini memusatkan perhatian pada dua permasalahan utama, yakni bagaimana implikasi terjadinya disparitas putusan antara Pengadilan Negeri Surabaya dan Mahkamah Agung dalam perkara pembunuhan yang melibatkan Ronald Tanur, serta bagaimana konsekuensi hukum yang dapat dikenakan terhadap hakim apabila terbukti melanggar kode etik atau melakukan penyalahgunaan kewenangan dalam menjatuhkan putusan bebas atas perkara tersebut. Sejalan dengan rumusan masalah tersebut, tujuan dari penulisan artikel jurnal ini adalah untuk menganalisis secara mendalam disparitas putusan dalam kasus Ronald Tanur dan untuk mengetahui sejauh mana dampak putusan tersebut memengaruhi persepsi dan kondisi sosial masyarakat pada saat ini.
Penelitian mengenai Implikasi Disparitas Putusan Pengadilan Negeri Surabaya dan Mahkamah Agung dalam Mewujudkan Keadilan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pemilihan pendekatan tersebut didasarkan pada tujuan penelitian yang berfokus pada pengkajian asas-asas hukum, norma-norma hukum, serta doktrin-doktrin yang menjadi dasar pertimbangan dalam putusan pengadilan. Melalui pendekatan normatif, analisis dilakukan terhadap bahan hukum yang relevan untuk memahami konsistensi dan penerapan hukum pada kedua putusan tersebut.
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta hukum serta hubungan antara fakta-fakta yang ditemukan dalam putusan pengadilan [4]. Melalui pendekatan ini, penelitian berusaha untuk menganalisis konstruksi hukum yang dibangun oleh hakim dalam pertimbangan hukumnya, serta mendeskripsikan implementasi prinsip-prinsip keadilan restoratif dalam putusan tersebut. Melalui analisis tersebut, penelitian berupaya menunjukkan sejauh mana nilai-nilai pemulihan, dialog, keseimbangan antara hak pelaku dan korban, serta upaya menghindari punitivisme diakomodasi dalam proses peradilan. Pendekatan ini pada akhirnya diharapkan mampu memberikan gambaran komprehensif mengenai kualitas pertimbangan hakim serta kesesuaian putusan dengan tujuan hukum yang lebih luas.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian in terdiri dari 2 data yaitu;
1. Data Primer
Putusan nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby dan Putusan nomor 1466/K/Pid/2024 merupakan data utama dalam penelitian ini. Sumber data diperoleh dari putusan pengadilan, literatur hukum, dan pemberitaan media yang kredibel, dengan tujuan untuk menilai sejauh mana putusan hakim telah mencerminkan penerapan hukum yang sesuai dengan prinsip keadilan.
2. Data Sekunder
Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer maupun sekunder. Bahan hukum primer meliputi ketentuan peraturan perundang-undangan yang relevan, termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya pasal-pasal yang mengatur tindak pidana terhadap nyawa seperti Pasal 338 dan Pasal 351 ayat (3) KUHP, serta berbagai putusan Mahkamah Agung dan perkara peradilan lain yang memiliki keterkaitan dengan objek kajian.
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui:
a. Studi dokumen terkait putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya.
b. Menggunakan bahan hukum sekunder, yaitu berbagai sumber kepustakaan seperti buku ajar dari para pakar hukum, artikel dalam jurnal ilmiah bidang hukum, pandangan para ahli, serta contoh-contoh kasus hukum yang relevan
Pendekatan penelitian merupakan cara yang digunakan peneliti untuk memperoleh data guna menjawab isu yang sedang diulas. Dalam kajian hukum dikenal beberapa bentuk pendekatan, seperti pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan, pendekatan melalui putusan pengadilan, pendekatan historis, pendekatan perbandingan, serta pendekatan yang berbasis pada konsep-konsep hukum. Dalam studi ini digunakan pendekatan peraturan, yaitu teknik analisis yang dilakukan dengan menelaah ketentuan hukum, norma, dan regulasi yang berkaitan dengan objek penelitian. Pendekatan ini memastikan bahwa pembahasan dibangun di atas dasar hukum positif sehingga setiap kesimpulan memiliki pijakan normatif yang jelas. Selain itu, penelitian ini juga memakai pendekatan putusan, yakni meninjau dan membedah beberapa yurisprudensi atau putusan pengadilan yang mengandung kesamaan isu atau keterkaitan substansi dengan perkara yang diteliti. Penelaahan putusan tersebut memungkinkan peneliti untuk memahami pola pertimbangan hakim, variasi penerapan norma, serta kecenderungan praktik peradilan dalam menyelesaikan isu serupa.
Penggunaan dua jenis pendekatan tersebut memungkinkan penelitian dilakukan secara lebih komprehensif dan berimbang karena analisis tidak berhenti pada ketentuan hukum tertulis, tetapi juga menelaah bagaimana aturan tersebut diterapkan oleh lembaga peradilan. Kombinasi ini memastikan bahwa konstruksi argumen didukung oleh landasan normatif yang kuat sekaligus diperkuat oleh putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan mampu menghadirkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai konsistensi penerapan hukum serta keselarasan putusan peradilan dengan prinsip-prinsip dasar dalam sistem hukum.
Kronologi pada 3 Oktober 2023, korban dihubungi oleh saksi 1 dan terdakwa untuk diajak karaoke yang bertempat di Blackhole KTV. Korban menyetujui ajakan saksi dan tidak lama kemudian 4 saksi lain ikut bergabung. Korban dan saksi lainnya berada diroom 7 untuk berkaraoke dan meminum alkohol. Lalu pada dini hari Rabu tanggal 4 Oktober 2023 pukul 00.00 WIB 3 saksi meninggalkan lokasi karena sudah mabuk berat. Korban ditinggal sendiri Bersama terdakwa diroom 7. Lalu, sekitar pukul 00.10 WIB korban dan terdakwa meninggalkan lokasi dengan membawa alkohol. Saat mereka berdua turun menggunakan lift menuju parkiran mobil, korban dan terdakwa mengalami cekcok yang berujung terdakwa menampar dan mencekik leher korban serta berusaha menghindari pukulan perlawanan korban terhadap terdakwa. Selanjutnya, terdakwa menendang kaki kiri korban hingga jatuh lalu dibalas oleh korban yang menarik baju terdakwa. Selanjutnya terdaTerdakwa membalas dengan memukul bagian kepala korban menggunakan botol alkohol yang tadi dibawa dari room 7. Keluar dari lift, berada di basement cekcok masih berlanjut yang membahas tentang siapa yang memulai konflik pertama kali. Untuk membuktikan argumentasi terdakwa, korban dan terdakwa kembali masuk ke tempat karaoke atau Blackhole KTV untuk meminta rekaman cctv kepada staff Blackhole KTV (saksi 6). Namun, permintaan terdakwa tidak disetujui karena tidak ada rekaman. Selanjutnya, korban dan terdakwa turun kembali menuju parkiran mobil menggunakan lift. Setelah itu mereka menuju ke ruangan Manajemen Mall untuk meminta rekaman cctv lift yang tadi mereka gunakan. Namun saat mereka menghampiri tidak ada orang di ruangan tersebut. Pada akhirnya korban menunggu di parkiran mobil sambil mengirim pesan suara ke saksi 1, sedangkan terdakwa kembali menuju ke ruangan staf Blackhole KTV untuk meminta kembali rekaman cctv tetapi tidak membuahkan hasil dan terdakwa kembali turun menuju parkiran mobil. Saat sampai di mobil, terdakwa melihat korban sedang duduk bersandar di sebelah kiri mobil terdakwa tepatnya di pintu depan sebelah kiri mobil. Lalu, terdakwa bertanya kepada korban “mau pulang atau tidak?” tetapi korban tetap diam dan tidak menjawab. Terdakwa yang sedang tersulut emosi bergegas menuju kedalam mobil dan melajukan mobil tanpa memperdulikan ada korban yang sedang bersandar di mobilnya. Merasa ada yang salah dengan mobilnya, terdakwa berhenti untuk memeriksa korban yang sudah tergeletak di tengah jalan. Kemudian datang saksi 7 beserta saksi 8,9,10 yang melihat korban sekaligus menanyakan keterkaitan hubungan korban dengan seseorang yang sedang berada disana yaitu terdakwa. Pada awalnya, terdakwa mengaku tidak mengenali korban tetapi muncullah saksi 11 yang melihat terdakwa Bersama korban yang memasuki Blackhole KTV. Akhirnya terdakwa mengaku mengenal korban dan kemudian membawakan barang korban sekaligus korban untuk meninggalkan lokasi kejadian pada pukul 00.10 WIB. Terdakwa membawa korban ke apartement korban menggunakan kursi roda lalu menitipkan korban ke security 1 (saksi 12) apartement tersebut. Security 1 meminta identitas terdakwa tetapi terdakwa menolak dan pergi meninggalkan apartement. Ternyata terdakwa tidak meninggalkan apartement tetapi justru memarkirkan mobilnya dan terdakwa diam-diam menuju ke kamar korban. Hal ini diketahui oleh security 2 (saksi 13) dan langsung diintrogasi tentang apa hubungan korban dengan terdakwa. Ketika terdakwa sedang diintrogasi di kamar korban, ada tetangga korban (saksi 14) yang melihat korban di kursi roda lobby apartement dan memeriksa keadaan korban yang ternyata sudah tidak sadarkan diri. Saksi 12 menghubungi saksi 13 tentang keadaan korban lalu saksi 13 bersama terdakwa menghampiri korban yang selanjutnya korban dibawa ke rumah sakit menggunakan mobil korban. Sesampainya di rumah sakit, korban langsung diperiksa oleh dr. Felicia Limantoro (saksi 15) menggunakan alat pacu jantung sekaligus memeriksa pupil mata korban dan menunjukkan bahwa korban sudah tidak bernyawa. Lalu saksi 15 menyarankan agar korban segera dibawa ke IKF RSUD Dr. Soetomo untuk dilakukan autopsi karena menurut saksi 15 bahwa kematian ini termasuk kematian tak wajar. Selanjutnya, terdakwa diperiksa untuk memberikan penjelasan mengenai perbuatannya dan diproses secara hukum atas dugaan menyebabkan hilangnya nyawa korban secara sadar dan bertanggung jawab. Jaksa Penuntut Umum kemudian menyusun dakwaan terhadap Gregorius Ronald Tannur dengan menggunakan ketentuan Pasal 338 KUHP, atau sebagai alternatif Pasal 351 ayat (3) KUHP, serta turut mencantumkan Pasal 359 KUHP dan Pasal 351 ayat (1) KUHP sebagai lapisan dakwaan lain yang dianggap relevan dengan tindakannya.
Dampak dari keputusan yang dihasilkan dalam lingkungan peradilan yang terkontaminasi sangat luas dan mendalam. Salah satunya adalah ketimpangan akses terhadap keadilan, di mana hanya kelompok tertentu yang mampu membeli keadilan. Menurut Soetandyo (1999), “hukum menjadi barang mewah yang hanya dapat dinikmati oleh mereka yang berduit dan berkuasa.” Dalam kondisi ini, rakyat kecil semakin sulit memperoleh perlindungan hukum yang adil. Bahkan, mereka kerap menjadi korban dari sistem yang seharusnya melindungi. Seperti yang dikemukakan oleh Komnas HAM (2015), “Praktik hukum yang diskriminatif menciptakan lingkaran ketidakadilan structural”. Hal ini menunjukkan bahwa peradilan yang tidak bersih tidak hanya mencederai individu, tetapi juga merusak stabilitas negara secara keseluruhan [5].
1. Pertimbangan Hakim Terhadap Putusan Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby dengan Putusan Nomor 1466/K/Pid/2024
Proses penilaian oleh hakim merupakan kegiatan analitis yang dilakukan secara cermat dan mendalam oleh majelis, dengan berpegang pada ketentuan hukum agar putusan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan rasa keadilan. Dalam proses tersebut tergambar prinsip keadilan, kepastian, dan manfaat bagi semua pihak yang bersengketa. Setiap putusan wajib menunjukkan bahwa hakim telah menelaah secara netral seluruh persoalan yang muncul selama pemeriksaan perkara.
Seorang hakim tidak diperkenankan memberikan putusan sebelum memperoleh keyakinan penuh bahwa peristiwa yang didakwakan benar-benar terbukti melalui alat bukti yang sah menurut hukum. Keyakinan tersebut menjadi pijakan untuk menentukan apakah terdapat hubungan hukum serta tanggung jawab antara para pihak. Dengan demikian, kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan harus dijalankan secara independen dan bebas intervensi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Alasan hukum atau ratio decidendi merupakan inti dari sebuah putusan karena bagian inilah yang menjelaskan dasar logis majelis dalam mengambil keputusan. Sebelum sampai pada tahap analisis hukum, hakim terlebih dahulu merumuskan rangkaian kejadian yang muncul dari proses persidangan, baik berdasarkan keterangan saksi, penjelasan terdakwa, maupun alat bukti lainnya. Rangkaian fakta tersebut berfungsi untuk menggambarkan kembali peristiwa hukum sebagaimana yang sebenarnya terjadi [6].
Menurut Rusli Muhammad, suatu putusan harus memuat dua bentuk pertimbangan, yaitu pertimbangan yang bersifat yuridis dan pertimbangan yang bersifat sosial. Pertimbangan yuridis berkaitan dengan unsur perbuatan pidana atau actus reus, yakni aspek-aspek objektif yang menunjukkan tindakan nyata dari pelaku. Di sisi lain, pertimbangan sosial mencakup kondisi masyarakat, nilai yang berkembang, serta potensi dampak putusan terhadap lingkungan sosial tempat perkara tersebut timbul.
Unsur-unsur objektif dalam tindak pidana mencakup beberapa komponen penting.
1. Terdapat tindakan yang bersifat bertentangan dengan hukum, yakni perbuatan yang dianggap tidak sejalan dengan ketentuan atau norma yang berlaku (wederrechtelijkheid).
2. Ada larangan atau perintah yang ditetapkan oleh undang-undang, di mana setiap pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dikenai ancaman sanksi pidana.
3. Tersusun rangkaian peristiwa yang jelas, meliputi waktu kejadian, lokasi peristiwa, serta kondisi atau situasi yang mengiringinya.
Berdasarkan telaah terhadap ketiga putusan yang menjadi objek penelitian, terlihat bahwa majelis hakim dalam menentukan hukuman tidak hanya mengacu pada aturan hukum tertulis, tetapi juga menilai secara rinci apakah unsur-unsur objektif (actus reus) dari tindak pidana yang didakwakan benar-benar terbukti. Unsur objektif tersebut meliputi tindakan yang dilakukan oleh terdakwa, kondisi dan situasi saat peristiwa pidana berlangsung, serta keterkaitan sebab-akibat antara perbuatan pelaku dan akibat yang muncul dari tindakan tersebut. Dengan kata lain, hakim memastikan bahwa perbuatan yang diuraikan dalam dakwaan benar-benar memenuhi kualifikasi sebagai tindak pidana sebelum menetapkan pertanggungjawaban hukum kepada terdakwa. Selain aspek yuridis tersebut, hakim juga berkewajiban mempertimbangkan berbagai faktor non-yuridis sebelum menjatuhkan putusan. Pertimbangan ini mencakup latar belakang terdakwa, motif atau alasan pelaku melakukan kejahatan, dampak perbuatan terhadap korban maupun masyarakat, serta kondisi sosial, ekonomi, dan psikologis terdakwa. Faktor-faktor tersebut penting karena dapat memengaruhi tingkat kesalahan, berat-ringannya hukuman, serta keadilan substansial yang ingin dicapai melalui putusan pengadilan. Dalam praktiknya, pertimbangan non-yuridis turut menunjukkan bahwa hakim tidak hanya melihat kasus secara hitam-putih, tetapi juga secara kontekstual dan manusiawi [7].
Pertimbangan non-yuridis tersebut erat kaitannya dengan unsur subjektif atau prinsip mens rea dalam tindak pidana. Unsur subjektif merujuk pada keadaan batin, niat, serta sikap mental terdakwa ketika melakukan tindakan pidana. Unsur ini menggambarkan sejauh mana kesengajaan, kealpaan, atau bentuk kesalahan lain melekat pada diri pelaku. Dengan menilai mens rea, hakim dapat menentukan apakah pelaku benar-benar memiliki kehendak untuk melakukan kejahatan, apakah ia bertindak dalam tekanan, atau apakah terdapat kondisi tertentu yang memengaruhi penilaian moral atas perbuatannya. Penilaian ini sangat penting untuk memastikan proporsionalitas hukuman, sehingga setiap putusan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil bagi semua pihak yang terlibat [8].
Berdasarkan analisis di atas, pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Gregorius Ronald Tannur masih menunjukkan adanya kekeliruan dan belum sepenuhnya berlandaskan pada kaidah-kaidah hukum yang seharusnya diterapkan. Hal ini mengindikasikan perlunya evaluasi lebih mendalam terhadap kualitas pertimbangan yuridis yang digunakan dalam putusan tersebut.
2. Penyebab Terjadinya Disparitas Putusan Hakim terhadap Putusan Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby dengan Putusan Nomor 1466/K/Pid/2024
Pemidanaan pada hakikatnya merupakan wujud penerapan nyata dari aturan pemidanaan yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan, yang sebelumnya hanya bersifat umum dan normatif. Dalam menentukan besaran hukuman yang pantas dijatuhkan kepada seorang terdakwa (sentencing/straftoemeting), hakim berlandaskan pada asas proporsionalitas sebagai prinsip pokok. Asas ini menghendaki agar jenis sanksi maupun lamanya pidana selaras dengan tingkat kesalahan pelaku, konsekuensi yang ditimbulkan, serta kondisi yang menyertai terjadinya tindak pidana, sehingga putusan yang dihasilkan dapat merefleksikan keadilan. Adapun disparitas pidana dimaknai sebagai perbedaan penjatuhan hukuman antar perkara yang tetap berada dalam batas kewenangan hakim sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hakim diberikan ruang kebebasan (judicial discretion) untuk menilai setiap perkara secara independen, karena setiap kasus memiliki fakta, kondisi, dan karakteristik yang tidak selalu sama. Oleh sebab itu, dua perkara yang tampak serupa sekalipun dapat berujung pada putusan yang berbeda, sepanjang perbedaan tersebut dapat dijustifikasi secara hukum dan rasional berdasarkan fakta persidangan [9].
Disparitas juga dapat muncul dalam perkara yang melibatkan lebih dari satu pelaku atau tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama. Setiap pelaku mungkin memiliki peran, motif, tingkat keterlibatan, serta keadaan subjektif yang berbeda sehingga memengaruhi kadar pertanggungjawaban pidananya. Dalam konteks ini, hukuman tidak harus identik bagi seluruh pelaku, tetapi disesuaikan dengan kontribusi masing-masing dalam terjadinya tindak pidana. Dengan demikian, disparitas bukanlah bentuk ketidakadilan, melainkan konsekuensi logis dari penerapan asas individualisasi pidana yang bertujuan agar pemidanaan tetap manusiawi, proporsional, dan sesuai dengan kondisi konkret tiap pelaku [10], [11].
Gagasan tentang disparitas pemidanaan dalam kajian hukum pidana maupun kriminologi pada dasarnya tidak pernah dimaksudkan untuk menghilangkan seluruh bentuk perbedaan hukuman antar pelaku tindak pidana. Perbedaan tertentu tetap dianggap wajar karena setiap perkara memiliki karakteristik yang berbeda, baik dari segi fakta, peran pelaku, maupun keadaan yang melatarbelakanginya. Namun demikian, gagasan tersebut berupaya untuk meminimalkan jarak atau selisih hukuman yang terlalu lebar sehingga putusan pidana tetap berada dalam batas yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila muncul pandangan kritis yang menilai bahwa pembenaran terhadap disparitas pidana justru dapat menimbulkan kegelisahan dalam sistem hukum. Ketika perbedaan putusan antarperkara menjadi terlalu besar, muncul kesan bahwa hukum berjalan tidak selaras dengan tujuan awalnya. Hukum yang idealnya harus mampu memberikan keadilan, kemanfaatan sosial, serta kepastian hukum, cenderung gagal memenuhi ketiga tujuan tersebut secara seimbang. Kondisi ini pada akhirnya memperkuat kebutuhan akan pedoman pemidanaan yang lebih komprehensif agar praktik peradilan tidak menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan bagi masyarakat.
Dalam perspektif keadilan, masyarakat dapat merasakan adanya ketidakselarasan karena pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatan serupa menerima hukuman yang sangat berbeda. Hal ini berpotensi menimbulkan persepsi negatif terhadap lembaga peradilan, seolah-olah putusan hakim bersifat subjektif dan tidak konsisten. Sementara dari aspek kepastian hukum, disparitas yang terlalu mencolok menegaskan bahwa diktum hukum tidak memberikan standar yang jelas bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Dengan demikian, kritik terhadap disparitas pemidanaan bukanlah upaya menolak kebebasan hakim sepenuhnya, tetapi seruan agar penerapannya tetap berada dalam koridor keadilan substantif. Pemidanaan diharapkan mampu mencerminkan kesetaraan di depan hukum, menghindari bias, serta menjaga kepercayaan publik terhadap integritas sistem peradilan pidana.
Dalam kerangka pemikiran tentang keadilan, Aristoteles menegaskan bahwa keadilan bermakna menempatkan setiap individu pada posisi yang memang layak ia peroleh. Ungkapan ini sering disejajarkan dengan prinsip fiat justitia pereat mundus, yang mengandung pesan bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa memandang konsekuensi apa pun yang mungkin terjadi. Disparitas dalam kasus ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor struktural, prosedural, dan substantif dalam sistem peradilan. Berikut adalah penyebab utama, dijelaskan secara sistematis:
a. Perbedaan Tingkat Pengadilan dan Fungsi Yurisdiksi
PN Surabaya, sebagai pengadilan tingkat pertama, fokus pada pemeriksaan fakta dan bukti secara langsung (Pasal 184 KUHAP), dengan hakim yang lebih dekat pada konteks lokal. Putusan PN 454/Pid.B/2024/PN.Sby mungkin lebih mempertimbangkan aspek mitigasi dan bukti local yang terkesan mendukung terdakwa. MA, dalam tingkat kasasi (1466/K/Pid/2024), hanya memeriksa aspek hukum formal, bukan fakta baru (Pasal 253 ayat (3) KUHAP). Jika MA menemukan kesalahan interpretasi hukum atau prosedur, putusan dapat dibatalkan atau diubah. Misalnya, MA mungkin menilai bahwa PN salah menerapkan pasal-pasal pidana, seperti Pasal 362 KUHP tentang pencurian, jika ada perbedaan dalam penilaian unsur-unsur tindak pidana.
b. Interpretasi Hukum dan Norma yang Berbeda
Hakim PN mungkin menginterpretasikan undang-undang berdasarkan konteks kasus spesifik, sementara Mahkamah agung lebih konsisten dengan yurisprudensi nasional. Dalam kasus pidana, disparitas sering terjadi karena Mahkamah agung memperketat penerapan hukum untuk efek jera, seperti dalam kasus korupsi atau narkotika. Jika putusan PN lebih ringan (misalnya, hukuman di bawah batas minimum), Mahkamah agung dapat memperberatnya berdasarkan putusan mahkamah agung sebelumnya (yurisprudensi), yang wajib diikuti hakim Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
c. Penilaian Bukti dan Fakta yang Tidak Konsisten
PN menilai bukti secara langsung selama persidangan, sedangkan MA hanya memeriksa apakah penilaian itu sah secara hukum. Jika MA menemukan bahwa PN salah menilai bukti (misalnya, mengabaikan bukti tidak langsung atau saksi ahli), putusan dapat diubah. Contoh umum: Dalam kasus pidana, PN mungkin membebaskan terdakwa karena bukti tidak cukup, tapi MA membatalkannya jika ada kesalahan prosedural dalam pengumpulan bukti (Pasal 183 KUHAP).
d. Kesalahan Prosedural atau Formal
MA sering membatalkan putusan PN karena pelanggaran prosedur, seperti ketidakpatuhan terhadap aturan acara (misalnya, Pasal 197 KUHAP tentang pemeriksaan saksi). Jika dalam putusan 454/Pid.B/2024/PN.Sby ada kekurangan formal, seperti tidak mencantumkan alasan hukum dengan jelas, MA dapat mengembalikan perkara atau mengubah putusan.
e. Pengalaman dan Kapasitas Hakim
Hakim PN di daerah seperti Surabaya mungkin memiliki beban kerja tinggi dan pengalaman terbatas, sehingga putusan kurang mendalam. Hakim MA, dengan spesialisasi lebih tinggi, dapat mendeteksi inkonsistensi. Data dari Komisi Yudisial (2023) menunjukkan bahwa hakim PN sering kali kurang terlatih dalam kasus kompleks, menyebabkan disparitas.
f. Faktor Eksternal dan Tekanan Sosial
Kasus yang mendapat sorotan media atau politik dapat memengaruhi putusan MA untuk menunjukkan komitmen penegakan hukum. Jika perkara ini melibatkan isu sensitif (misalnya, kejahatan berat), MA mungkin lebih ketat. Selain itu, akses ke sumber daya hukum (seperti advokat mahal) dapat memengaruhi proses banding/kasasi, memperbesar disparitas.
3. Implikasi Terhadap Mewujudkan Keadilan
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kewenangan negara yang bersifat mandiri untuk menyelenggarakan proses peradilan demi tercapainya penegakan hukum dan keadilan, yang berpedoman pada Pancasila serta UUD 1945. Rumusan ini menekankan bahwa seorang hakim tidak boleh dipahami sekadar sebagai pelaksana bunyi undang-undang semata, melainkan sebagai penafsir yang wajib menggali nilai, asas, serta tujuan hukum dalam memutus setiap perkara.
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman memiliki batasan dan tidak bersifat mutlak. Pembatasan ini mencakup tanggung jawab dari berbagai aspek. Di antaranya, tanggung jawab terhadap ketentuan hukum, kewajiban moral dan agama, kepatuhan pada sumpah jabatan, serta kepatuhan pada kode etik kehormatan hakim. Selain itu, akuntabilitas terhadap masyarakat atas keputusan-keputusan yang diambil, dan kejujuran dalam menjalankan keadilan berdasarkan hati nurani, juga menjadi batasan penting dalam menjaga independensi peradilan [12].
Disparitas dalam perkara Gregorius Ronald Tanur dapat mengganggu prinsip keadilan, seperti kepastian hukum dan kesetaraan. Masyarakat mungkin kehilangan kepercayaan jika putusan PN diubah drastis, sementara terdakwa atau korban merasa dirugikan. Dalam konteks mewujudkan keadilan, ini menunjukkan perlunya harmonisasi, seperti melalui pedoman yurisprudensi MA yang lebih ketat. Selain itu, penyusunan pedoman pemidanaan yang lebih terukur dapat membantu mencegah putusan yang berbeda terlalu jauh antarperkara serupa. Hal ini juga akan memperkuat persepsi bahwa hukum ditegakkan secara adil dan tidak dipengaruhi oleh faktor di luar proses peradilan yang semestinya.
Disparitas dalam kasus Ronald Tannur memiliki implikasi signifikan terhadap keadilan, yang dapat dilihat dari beberapa aspek:
a. Ketidakpastian Hukum
Perubahan hukuman menciptakan ketidakpastian bagi terdakwa dan masyarakat, melanggar asas kepastian hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945). Ini menunjukkan bahwa putusan PN tidak selalu final, sehingga litigasi menjadi mahal dan panjang, seperti yang dialami Tannur yang harus menjalani proses banding selama setahun.
b. Erosi Kepercayaan Publik
Survei dari Transparency International Indonesia (2023) menunjukkan bahwa kasus seperti ini menurunkan kepercayaan publik terhadap peradilan hingga 55%, karena masyarakat melihat disparitas sebagai bentuk inkonsistensi. Dalam konteks keadilan sosial, putusan MA yang lebih berat dipandang sebagai upaya penegakan hukum, namun bagi pihak terdakwa, ini dianggap sebagai ketidakadilan, terutama jika bukti dianggap tidak kuat.
c. Ketidakadilan Substantif
Disparitas ini dapat menguntungkan atau merugikan pihak tertentu. Ronald Tannur, dari anak seseorang yang berpengaruh, mungkin memiliki akses banding yang lebih mudah, namun hukuman yang diperberat menunjukkan bias terhadap koruptor besar. Secara lebih luas, ini mengganggu keadilan distributif, di mana korban korupsi (negara dan masyarakat) merasa belum terlindungi sepenuhnya oleh PN, sementara Mahkamah agung berusaha mengoreksi.
d. Dampak Sosial dan Ekonomi
Kasus ini memperpanjang stigma korupsi di sektor infrastruktur, mempengaruhi investasi dan pembangunan. Secara ekonomi, biaya hukum Ronald Tannur (termasuk banding) diperkirakan mencapai ratusan juta rupiah, menutup akses keadilan bagi pelaku korupsi kecil yang tidak mampu banding. Ini melanggar prinsip equality before the law, di mana keadilan harus merata tanpa memandang status sosial.
Asas keadilan adalah asas yang memastikan pemberian hak kepada individu sesuai dengan kapasitasnya atau penerapan hukum yang adil secara proporsional, asas ini juga dapat diartikan sebagai pemberian hak yang setara kepada setiap orang berdasarkan prinsip kesetimbangan yang layak [13]. Keadilan mengharuskan setiap perkara atau kasus untuk dipertimbangkan secara individual, dengan memperhatikan konteks yang melingkupinya. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang adil bagi satu individu dalam situasi tertentu mungkin tidak adil bagi individu lain dengan pihak yang berbeda
Disparitas putusan ini dapat menciptakan kesan bahwa hukum tidak diterapkan secara adil dan objektif, tetapi bergantung pada interpretasi hakim dalam setiap kasus. Disparitas putusan dapat menciptakan Kesan bahwa hukum tidak diterapkan secara adil dan objektif. Keadilan akan sulit diterapkan jika perbedaan pandangan hakim tidak rasional dengan hukum yang sudah jelas. Ketika memberikan putusan, hakim harus mempertimbangkan manfaat selain kriteria keadilan dan kepastian. Di samping konsep keadilan dan kepastian hukum, terdapat asas manfaat. Untuk memastikan bahwa putusan hukum yang dihasilkan bermanfaat bagi masyarakat luas dan individu yang mencari keadilan, asas manfaat didasarkan pada asas hukum. Menurut asas manfaat, hukum harus dapat memberikan kenikmatan pada Masyarakat tanpa memandang bulu. Penerapan hukum memberikan kepastian, tetapi sering kali mengorbankan keadilan yang sulit di terapkan. Dalam kasus Gregorius Ronald Tannur menunjukkan bahwa keadilan bagi korban sangat sulit didapatkan melalui hukum yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan sistemik diperlukan agar setiap putusan benar-benar mencerminkan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat [14].
Ketika hakim mengandalkan asumsi pribadi tanpa dasar yang jelas, hal tersebut tidak hanya merusak integritas putusan, tetapi juga berpotensi melanggar prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum yang merupakan pilar pada sistem hukum yang adil. Prinsip-prinsip ini menjadi bagian terpenting dari HAM, di mana setiap individu berhak mendapatkan perlakuan yang adil dan berdasar pada prosedur hukum yang jelas. Ketidakobjektifan untuk pengambilan keputusan dapat menciptakan ketidakadilan bagi korban dan merugikan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Lebih jauh lagi, hal ini mengurangi kepastian hukum, karena keputusan yang diambil berdasarkan asumsi pribadi dapat menimbulkan preseden buruk yang merusak konsistensi dalam penerapan hukum. Dengan demikian, ketergantungan pada asumsi pribadi oleh hakim tanpa mengacu pada bukti yang ada merupakan tindakan yang berisiko, yang tidak hanya melanggar hak-hak individu dalam mencari keadilan, tetapi juga meruntuhkan fondasi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dan perlindungan hukum yang seharusnya berlaku bagi semua pihak secara adil [15].
Putusan ini berpotensi melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Jika masyarakat merasa bahwa putusan hukum tidak adil atau kurang transparan, kepercayaan mereka terhadap lembaga hukum dapat menurun. Prinsip hak asasi manusia mengharuskan adanya kepercayaan publik terhadap sistem peradilan agar setiap individu dapat memperoleh perlindungan hukum yang setara.
Kasus Gregorius Ronald Tannur mencerminkan adanya penyimpangan yang serius dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Meskipun Mahkamah Agung akhirnya membatalkan putusan bebas dan memberikan hukuman yang sesuai dengan hukum, proses Panjang yang penuh ketidaksesuaian. Ini menunjukkan betapa pentingnya pembenahan dalam sistem peradilan di Indonesia, reformasi dalam pengawasan hakim, penerapan transparansi digital dalam persidangan, serta penguatan integritas hakim harus menjadi prioritas utama agar keadilan dapat terwujud secara nyata. Hukum pada dasarnya berperan sebagai sarana pengendali perilaku masyarakat yang mengutamakan kepastian aturan serta keterikatan pada norma formal. Namun, pendekatan yang terlalu menitikberatkan pada teks sering kali mengabaikan dimensi etika dan realitas sosial, sehingga keadilan substantif menjadi sulit tercapai. Oleh karena itu, sistem hukum perlu dibangun dengan mempertimbangkan nilai kemanusiaan agar setiap orang memperoleh perlakuan yang adil dan setara tanpa diskriminasi. Menjaga integritas dalam suatu sistem peradilan, seorang hakim harus mampu bersikap secara transparan dalam menjalankan tugasnya, hakim harus memastikan bahwa setiap mengambil suatu keputusan harus didasarkan pada fakta yang ada. Seorang hakim berkewajiban untuk menolak segala bentuk bayaran atau suap. Dengan demikian, kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan dapat terus dipertahankan dan diperkuat.
Keputusan yang tidak mempertimbangkan bukti yang ada dapat dilihat sebagai pelanggaran pada HAM korban, yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Hak agar mendapat keadilan dan perlindungan hukum adalah hak yang diakui secara universal dan harus dipatuhi oleh setiap sistem peradilan. Selain itu, penerapan hukum acara pidana dalam kasus ini tampak tidak dilaksanakan secara menyeluruh karena tidak mempertimbangkan semua bukti yang relevan. Untuk menjamin bahwa keadilan benar-benar terwujud, penilaian menyeluruh terhadap seluruh bukti, termasuk visum et repertum, adalah suatu keharusan. Dengan demikian, keadilan yang sebenarnya dan kepastian hukum dapat dicapai, serta hak-hak korban dapat dihormati dan dilindungi, dan kepercayaan publik terhadapnya.
F. Lubis, D. V. Indah, N. P. Ayuni, and N. Z. Purba, “Kajian Asas-Asas Equality Before the Law dalam Praktik Peradilan Perdata,” Innovation: Journal of Social Science Research, vol. 5, no. 3, pp. 5390–5407, 2025.
Asriandi, “Kepastian Hukum Peninjauan Kembali Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 di Pengadilan Negeri Makassar,” 2017. [Online]. Available: http://repositori.uin-alauddin.ac.id/6045/1/ASRIANDI.pdf
A. Manan, Etika Hakim dalam Menyelenggarakan Peradilan. Jakarta, Indonesia: Prenada Media Group, 2007.
T. Wijaya, E. L. Fakhriah, and D. Haspada, “Penyelesaian Sengketa Tanah di Indonesia: Analisis Peraturan Kepala BPN Nomor 21 Tahun 2020,” Justitia Omnibus, vol. 6, no. 1, pp. 36–43, 2024. [Online]. Available: https://jurnal-pasca.unla.ac.id/index.php/iustitiaomnibus/article/download/154/126/647
M. S. Fath, M. Ratna, E. Widuatie, E. M. Yahya, A. Febrinianto, and Z. Firas, “Analisa Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Kasus Gregorius Ronald Tannur: Kajian terhadap Penyimpangan Putusan Hakim dan Reformasi Yudisial,” Intelektiva, vol. 7, no. 2, pp. 48–52, 2025.
M. R. Kasudarman and M. J. Ahmad, “Analisis Ratio Decidendi terhadap Putusan Pengadilan Negeri Gresik (No. 4/Pdt.G/2022/PN.Gsk) dalam Perkara Perbuatan Melawan Hukum,” Court Review: Jurnal Penelitian Hukum, vol. 4, no. 5, pp. 38–50, 2024.
R. P. Sirait, M. Mulyadi, and A. A. Alsa, “Studi Komprehensif terhadap Penipuan sebagai Predicate Crime dalam Pencucian Uang,” Binamulia Hukum, vol. 13, no. 2, pp. 377–391, 2024, doi: 10.37893/jbh.v13i2.944.
R. Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta, Indonesia: Aksara Baru, 1983.
L. F. Simanjuntan, E. Rusmiati, and B. A. Atmaja, “Dissenting Opinion oleh Hakim dalam Proses Pengambilan Putusan Perkara Tindak Pidana Korupsi sebagai Wujud Kebebasan Hakim,” Jurnal Mercatoria, vol. 16, no. 1, pp. 91–98, 2021.
A. Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia: Dari Retribusi ke Reformasi, 1st ed. Jakarta, Indonesia: Pradnya Paramita, 1986.
Muladi and B. N. Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung, Indonesia: PT Alumni, 1984.
Y. Siregar and Z. Erma, Kekuasaan Kehakiman. Tasikmalaya, Indonesia: Perkumpulan Rumah Cemerlang Indonesia, 2023.
O. Yanto, Negara Hukum: Kepastian, Keadilan dan Kemanfaatan Hukum (Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia). Bandung, Indonesia: Pustaka Reka Cipta, 2020.
E. L. C. A. P. Perdana and G. T. Batubara, “Implikasi Disparitas Putusan Hakim dalam Penerapan Prinsip Business Judgment Rule terhadap Implementasi Tujuan Hukum,” UNES Law Review, vol. 7, no. 4, pp. 1420–1435, 2025.
V. D. Tifoni and T. Michael, “Putusan No. 454/Pid.B/2024/PN.Sby tentang Kasus Pembunuhan Berdasarkan Perspektif Prinsip Hak Asasi Manusia,” 2025.