Poppy Primadana Top Gea (1), Rasji Rasji (2)
General Background: Komisi III DPR RI holds a strategic supervisory role in Indonesia’s legal governance, particularly in ensuring accountability and justice within law-enforcement institutions. Specific Background: The increasing volume of public complaints indicates growing public reliance on legislative oversight to address perceived injustices, procedural irregularities, and allegations of abuse of authority in the criminal justice system. Knowledge Gap: Despite its significance, the mechanism for processing complaints in Komisi III lacks standardized procedures and remains underexplored in academic legal studies, especially regarding its conformity with constitutional principles and good governance. Aims: This study aims to analyze the legal basis, implementation, and limitations of Komisi III’s complaint-handling mechanism, as well as identify structural and normative barriers that affect its effectiveness. Results: The findings show that complaints are handled through stages of submission, verification, hearings, and recommendations, yet face obstacles such as unclear boundaries of authority, absence of SOPs, bureaucratic constraints, political intervention, and weak inter-institutional coordination. Novelty: This research provides a comprehensive normative-juridical assessment integrating legal doctrine with practical institutional dynamics. Implications: Strengthening procedural clarity, transparency, and technology-based administration is essential to enhance Komisi III’s constitutional role in ensuring accountable, responsive, and rights-oriented law enforcement in Indonesia.
Highlights:
Komisi III’s complaint mechanism lacks standardized SOPs, creating inconsistencies.
Political dynamics and limited authority hinder effective follow-up of cases.
Strengthening transparency and digital systems is essential to improve public trust.
Keywords: Komisi III DPR RI, Public Complaints, Legislative Oversight, Legal Mechanism, Accountability
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) merupakan unsur fondasi sentral ketatanegaraan Indonesia, yang memiliki tugas pokok sebagai perwakilan rakyat dalam menjalani fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran. Pada demokrasi representatif, DPR RI sesuai dengan yang diintrusikan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwasanya DPR berperan sebagai kanal akomodasi kepentingan aspirasi masyarakat [1]. dan kebijakan negara dalam memastikan ekspresi kolektif dari masyarakat dapat tersalurkan melalui parlementer. Aspek krusial dari peran ini adalah penanganan pengaduan masyarakat, yang sering kali menjadi indikator efektivitas lembaga legislatif khususnya Komisi III Dewan Perwakilan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi pengawasan dan responsivitas terhadap isu-isu dalam penegakan hukum [2].
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi salah satu dari ketiga belas komisi permanen di DPR RI memiliki kewenangan yang spesifik dalam bidang hukum. Kewenangan ini diatur melalui Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerahn, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Komisi III bertanggung jawab atas pengawasan pelaksanaan Undang-Undang terkait hukum pidana, peradilan, kepolisian, kejaksaan, pemberantasan korupsi dan lain-lain terkait mitra kerja Komisi III itu sendiri. Komisi III sering menerima pengaduan masyarakat terkait pelanggaran hukum, ketidakadilan dalam proses peradilan, atau masalah keamanan yang mempengaruhi kesejahteraan sosial. Komisi III tidak hanya melakukan evaluasi kebijakan dan kinerja lembaga penegak hukum, melainkan juga menerima serta menindaklanjuti pengaduan masyarakat terkait persoalan penegakan hukum. Pengaduan masyarakat yang diproses tidak hanya sekedar mengurusi kepentingan individu namun kelompok masyarakat, organisasi non-pemerintah (LSM) yang sekiranya menunjukkan kompleksitas peran Komisi III sebagai mediator anatar masyarakat dan eksekutif.
Tingginya volume pengaduan masyarakat yang masuk ke Komisi III menunjukkan adanya harapan dan kebutuhan masyarakat terhadap lembaga legislatif untuk menjadi jembatan dalam menyelesaikan persoalan hukum yang mereka hadapi. Masyarakat seringkali menghadapi kesulitan dalam memperoleh keadilan melalui proses hukum formal, terutama apabila berhadapan dengan aparat penegak hukum yang dianggap bersikap tidak objektif, lamban, atau bahkan diduga melakukan pelanggaran kewenangan. Oleh karena itu, keberadaan Komisi III dipandang sebagai alternatif saluran yang mampu memberikan atensi dan dorongan kepada lembaga penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan lembaga peradilan. Pengaduan yang masuk pada umumnya berkisar pada dugaan kriminalisasi, pelanggaran prosedur penyidikan, ketidakberesan proses penuntutan, penyalahgunaan wewenang, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam sistem parlementer pengaduan masyarakat tidak dapat dipandang sebelah mata. Pengaduan masyarakat itu sendiri salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam menentukan pembentukan tata aturan pemerintah yang dibentuk dalam hal kepentingan masyarakat. Penanganan pengaduan masyarakat merupakan bentuk kita tidak hanya mengandalkan pertemuan fisik untuk menyampaikan aspirasi melainkan sudah memanfaatkan instrumen digital ataupun non digital. Dikatakan bahwa pengaduan masyarakat dapat disebut sebagai berjalannya mekanisme prosedur pengawasan di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Fenomena meningkatnya kesadaran hukum masyarakat turut mendorong bertambahnya jumlah pengaduan yang masuk ke Komisi III. Masyarakat kini semakin berani menyampaikan ketidakpuasan mereka terhadap proses penegakan hukum, kriminalisasi, penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum, perlakuan tidak adil, hingga dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dalam hal menelusuri dan menyelesaikan permasalahan di tengah masyarakat tersebut, Komisi III berfungsi menjadi jembatan antara keluhan masyarakat dengan lembaga penegak hukum sehingga keberadaan mekanisme pengaduan menjadi elemen penting dalam mewujudkan akuntabilitas negara dan perlindungan hak-hak warga negara.
Mekanisme penanganan pengaduan masyarakat oleh Komisi III dapat berlangsung melalui berbagai bentuk kegiatan, seperti rapat dengar pendapat umum (RDPU), rapat dengar pendapat (RDP), rapat kerja dengan pemerintah atau aparat penegak hukum, maupun kunjungan kerja ke lapangan. Meskipun kegiatan-kegiatan tersebut pada prinsipnya bertujuan untuk menggali informasi dan menyelesaikan permasalahan hukum yang diadukan, namun pelaksanaannya seringkali dinilai tidak seragam dan tidak memiliki standar prosedur tertulis yang mengikat. Sebagian pengaduan diproses dengan cepat dan memperoleh tindak lanjut yang jelas, sementara sebagian lainnya dapat tertunda tanpa kejelasan arah penyelesaian. Ketidakseragaman ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas dan akuntabilitas mekanisme penanganan pengaduan di Komisi III.
Mekanisme pengaduan sudah diatur secara formal melalui peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan termasuk tata tertib internal, pelaksanaannya tidak selalu berjalan secara optimal. Baik secara hambatan dan kendala dalam menjalankan tanggung jawab untuk memenuhi penyelesaian terhadap aspirasi masyarakat. Kendala-kendala yang dialami dimulai dari keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh Komisi III, lalu banyaknya jumlah pengaduan masyarakat yang diterima tidak sebanding dengan kapasitas sumber daya manusia, hingga hambatan koordinasi dengan instansi eksternal. Selain daripada itu, dinamika pergerakan politik di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia turut mempengharuhi efektivitas tindak lanjut pengaduan, terutama ketika kasus yang dilaporkan menyangkut kepentingan politik tertentu atau pihak-pihak berpengaruh.
Adanya potensi intervensi atau tekanan politik dalam proses tindak lanjut pengaduan juga menjadi isu yang sering dibahas. Komisi III berhubungan langsung dengan institusi-institusi penegak hukum yang rentan terhadap politisasi, setiap langkah yang diambil komisi dalam menindaklanjuti pengaduan masyarakat dapat memiliki implikasi politik yang signifikan. Misalnya, ketika komisi memanggil pejabat kepolisian atau kejaksaan untuk memberikan penjelasan mengenai suatu kasus, tindakan tersebut dapat dianggap sebagai bentuk intervensi legislatif. Di sisi lain, apabila komisi tidak menindaklanjuti suatu laporan, masyarakat dapat memandangnya sebagai bentuk ketidakpedulian atau keberpihakan kepada lembaga tertentu. Situasi ini menunjukkan perlunya mekanisme yang lebih terstruktur dan berbasis pada legalitas yang kuat, agar setiap tindakan Komisi III tidak menimbulkan persepsi negatif dan tetap berjalan sesuai mandat konstitusional.
Dalam kerangka negara hukum, setiap tindakan dan kewenangan lembaga negara harus berlandaskan pada prinsip legalitas [3]. Kewenangan Komisi III dalam menindaklanjuti pengaduan masyarakat tidak boleh melampaui batas yang ditentukan oleh undang-undang. Namun persoalannya, batas kewenangan komisi seringkali tidak jelas karena DPR dan jajarannya tidak memiliki fungsi eksekutif yang berwenang secara langsung mengubah atau menghentikan proses hukum. DPR hanya dapat menjalankan fungsi pengawasan, meminta klarifikasi, memberikan rekomendasi, atau mendorong aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti laporan masyarakat. Oleh sebab itu, penting untuk mengkaji sejauh mana mekanisme pengaduan yang dilakukan Komisi III dapat dikategorikan sebagai tindakan pengawasan yang sah, serta apakah terdapat potensi pelanggaran batas kewenangan atau penyalahgunaan fungsi.
Salah satu aspek penting dalam penelitian ini adalah kebutuhan untuk menilai kesesuaian mekanisme pengaduan masyarakat di Komisi III dengan prinsip-prinsip good governance, seperti transparansi, akuntabilitas, kepastian hukum, dan partisipasi publik. Tanpa mekanisme yang jelas dan terstandar, Komisi III rentan menimbulkan kesan bahwa pengaduan tertentu diprioritaskan berdasarkan pertimbangan politik atau kedekatan tertentu. Hal ini akan merugikan prinsip keadilan substantif dan dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif. Oleh karena itu, pengkajian yuridis mengenai mekanisme tersebut tidak hanya bertujuan untuk mengetahui landasan hukum yang mendasarinya, tetapi juga untuk menilai apakah praktik pelaksanaannya sejalan dengan etika dan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Keberadaan kajian normatif terkait mekanisme penanganan pengaduan masyarakat di Komisi III memiliki urgensi akademik. Hingga saat ini, penelitian mengenai mekanisme tersebut lebih banyak ditemukan dalam bentuk artikel populer atau laporan internal, namun belum banyak penelitian akademik yang memberikan analisis yuridis secara mendalam dan sistematis. Padahal, penelitian semacam ini sangat dibutuhkan untuk memperkaya literatur hukum tata negara dan hukum administrasi negara, sekaligus menjadi referensi bagi DPR RI dalam melakukan perbaikan tata kelola internal. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya relevan bagi pengembangan studi hukum, tetapi juga memiliki kontribusi praktis bagi penyempurnaan mekanisme pelayanan publik di lingkungan DPR RI.
Penelitian ini dianggap penting dilakukan untuk mengetahui sejauh mana dinamika pelaksanaan kewenangan Komisi III dalam menangani pengaduan masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang akan dipadukan dengan analisis preskriptif, penelitian ini diharapkan dapat memberikan representasi komprehensif mengenai mekanisme pengaduan, kendala-kendala yang ditemukan, serta diikuti solusi normatif yang dapat memperkuat peran Komisi III dalam mewujudkan keadilan substantif bagi masyarakat.
Metode penelitian yang digunakan dalan artikel ini adalah penelitian hukum yuridis-normatif. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder melalui studi pustaka yang relevan dengan penelitian. Dalam hal ini, penelitian ini menggunakan bahan hukum primer Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 jo Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Perwusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pasal 72 huruf (g). Kemudian bahan hukum sekunder yang menunjang bahan hukum primer berupa buku, jurnal penelitian, dan informasi dari internet yang dijadikan sebagai referensi dalam pembuatan artikel ini. Dengan demikian, metode analisis yang digunakan penelitian ini adalah kualitatif.
Kedudukan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari struktur dan fungsi lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai salah satu lembaga negara yang diberi mandat oleh Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk menjalankan fungsi legislasi, fungsi anggaran, serta fungsi pengawasan terhadap pemerintah [4]. Fungsi pengawasan inilah yang menjadi dasar legitimasi bagi Dewan Perwakilan Rakyat, termasuk Komisi III, untuk dapat menindaklanjuti laporan, keluhan, dan pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan negara di bidang penegakan hukum. Pada Pasal 20 Ayat (1) Undang-Undang Tahun 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah. Dengan demikian, penerimaan dan penanganan pengaduan masyarakat oleh Komisi III merupakan salah satu manifestasi pelaksanaan fungsi pengawasan tersebut [5].
Secara organisatoris, bahwa Komisi III sendiri merupakan bagian dari alat kelengkapan yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat yang secara khusus diberikan kewenangan untuk menangani permasalahan di bidang hukum. Ruang lingkup tugas dan tanggung yang dimiliki Komisi III berada dalam lampiran yang telah dicantumkan yaitu Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat yang mengatur pembidangan komisi. Komisi III menangani kepentingan terkait lembaga-lembaga yang menjadi mitra kerja antara lain, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Narkotika Nasional (BNN) [6]. Delapan mitra kerja tersebut terlibat dalam proses penegakan hukum sehingga proses pelaporan yang berkaitan dengan hal tersebut dapat dilimpahkan serta diselesaikan secara langsung dengan mitra kerja terkait.
Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa Komisi III menjadi komisi yang paling sering menerima aduan masyarakat dari berbagai permasalahan hukum yang dialami masyarakat hampir selalu berhubungan dengan institusi strategis negara Indonesia. Hal ini menunjukkan ekspektasi lebih dari masyarakat kepada Komisi III untuk dapat menyelesaikan kompleksitas masalah hukum yang dialami masyarakat sehingga timbul harapan masyarakat kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dapat memperbaiki kualitas penegakan hukum secara menyeluruh.
Melalui perspektif teori ketatanegaraan, kedudukan Komisi III sebagai alat kelengkapan didasarkan pada prinsip checks and balances [7]. Komisi III tidak memiliki kewenangan eksekutorial dalam penegakan hukum. Hal itu memberikan kesan pada Komisi III tidak dapat membatalkan, mempercepat, atau menghentikan suatu proses hukum. Di satu sisi, Dewan Perwakilan Rakyat memiliki kewenangan pengawasan yang memungkinkan mereka meminta keterangan, klarifikasi, dan akuntabilitas dari lembaga penegak hukum. Berdasarkan hal tersebut, tindakan Komisi III dalam menindaklanjuti pengaduan masyarakat merupakan bagian dari upaya memastikan bahwa lembaga-lembaga penegak hukum menjalankan kewenangannya sesuai prinsip due process of law [8]. dan tidak menyimpang dari koridor konstitusi. Hal ini sejalan dengan pendapat Hadjon yang menyampaikan bahwa dalam negara hukum modern, fungsi pengawasan legislatif bukan sekedar pengawasan administratif, melainkan juga pengawasan terhadap prosedur hukum dan pelaksanaan prinsip-prinsip kepastian hukum.
Dalam menjalankan tanggung jawabnya terdapat batas-batas yang harus dijaga oleh Komisi III agar fungsi pengawasan tersebut tidak berkembang menjadi bentuk intervensi terhadap proses penegakan hukum. Dewan Perwakilan Rakyat tidak memiliki kewenangan yudisial, sehingga tidak dapat menilai benar atau salahnya subtansi perkara, menentukan siapa bersalah, atau mengarahkan aparat penegak hukum untuk mengambil keputusan tertentu dalam suatu kasus. Kewenangan tersebut merupakan domain lembaga penegak hukum dan lembaga peradilan [9]. Kedudukan normatif Komisi III diperlukan pemahaman sebagai lembaga yang menjembatani pengaduan masyarakat dan memastikan adanya respons institusional yang akuntabel dari aparat penegak hukum, tanpa mengambil alih kewenangan substantif dari lembaga tersebut.
Hubungan antar lembaga yang sudah terjalin membuat keberadaan Komisi III memiliki posisi strategis sehingga dapat menjadi saluran terjadinya komunikasi antara masyarakat dengan lembaga-lembaga terkait. Hambatan struktural dapat menjadi faktor terjadinya keterbatasan informasi, biaya akses, serta budaya birokrasi yang tidak selalu responsif. Pada dasarnya kewenangan formal yang dimiliki Komisi III dapat memberikan ruan bagi masyarakat untuk menyalurkan kendala yang terjadi dan meminta institusi terkait untuk membetikan klarifikasi atau tindak korektif. Dengan pertimbangan tersebut, Komisi III menjalankan fungsinya sebagai watchdog yang mengawasi jalannya penegakan hukum agar tetap berjalan sesuai prinsip-prinsip konstitusional [10].
Melalui demokrasi perwakilan menunjukan keberadaan mekanisme pengaduan masyarakat di Komisi III memperlihatkan bentuk pertanggungjawaban politik sebagai Dewan Perwakilan Rakyat. Menduduki jabatan melalui konkretnya pelaksanaan mandat langsung dari rakyat untuk rakyat. Demokrasi perwakilan yang ada tidak hanya memberika kesan mekanisme partisipatif dalam pemilihan saja melainkan saat masa jabatan wakil rakyat tersebut. Melalui hal ini, pengaduan masyarakat merupakan wujud partisipatif non-elektoral yang memperkuat pergerakan demokrasi. Secara keseluruhan kedudukan normatif dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai lembaga pengawas yang memiliki kewenangan secara yuridis untuk menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat, mempunyai batas tertentu dalam pelaksanaannya dari segi keseimbangan kekuasaan, meningkatkan akuntabilitas lembaga penegak hukum, serta memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan demokrasi Indonesia [11].
Mekanisme penanganan pengaduan masyarakat oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi pengawasan legislatif terhadap lembaga penegak hukum mencakup dalam sistem negara hukum demokratis berperan untuk memastikan adanya akuntabilitas dan keterbukaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Dewan Perwakilan Rakyat terhadap alat kelengkapannya, seharusnya memastikan bahwa setiap tindakan institusi penegak hukum mulai dari penyidikan, penuntutan, maupun pelaksanaan putusan peradilan diharapkan tidak menyimpang dari prinsip keadilan, due process of law, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Komisi III menjadi aktor institusional yang menyediakan kanal formal bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan atau permohonan tindak lanjut atas persoalan hukum yang mereka hadapi namun belum memperoleh keadilan melalui jalur resmi penegakan hukum.
Pada susunan mekanisme pengaduan masyarakat di Komisi III memiliki dasar hukum pada beberapa instrumen peraturan perundang-undangan. Pasal 70 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang MD3 menyebutkan bahwa DPR melalui komisi memiliki fungsi untuk menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Selain itu, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tentang Tata Tertib yang mengatur bahwa komisi berwenang melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) sebagai sarana meminta keterangan dari masyarakat maupun lembaga penegak hukum terkait suatu pengaduan [12]. Melalui instrumen normatif tersebut tidak disertai dengan adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) baku mengenai bagaimana pengaduan harus diseleksi, ditangani, dan ditindaklanjuti, sehingga prosesnya masih sangat bergantung pada kebijakan pimpinan komisi dan dinamika politik internal. Hal ini berdampak pada kurangnya parameter objektif dan konsisten dalam menentukan prioritas penyelesaian suatu aduan.
Dalam proses pengaduan masyarakat biasanya dimulai dari pengajuan laporan tertulis oleh masyarakat kepada komisi, kemudian dilakukan klarifikasi administrasi oleh sekretariat. Apabila pengaduan memenuhi kriteria relevansi dengan lingkup kewenangan Komisi III, maka dapat diagendakan dalam rapat internal dan dilanjutkan dengan pelaksanaan RDPU untuk mendengar keterangan pelapor. Penyambutan penyelesaian masalah hukum dianggap memiliki urgensi atau menyangkut dugaan penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum, komisi dapat mengundang lembaga terkait melalui mekanisme Rapat Dengar Pendapat untuk dimintai klarifikasi. Pada tahap akhir, komisi dapat mengeluarkan rekomendasi yang ditujukan kepada lembaga penegak hukum atau instansi terkait untuk menindaklanjuti pengaduan tersebut [13].
Dapat dilihat bahwa Komisi III tidak memasuki ranah teknis penegakan hukum yang menjadi kewenangan eksekutif dan yudikatif. Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat dalam mekanisme pengaduan ini bersifat politis-konstitusional, bukan yudisial, sehingga tidak boleh mengarahkan aparat penegak hukum mengenai kesimpulan materiil atas perkara. Kedudukan komisi harus ditempatkan sebagai penyambung aspirasi dan pengawas jalannya prosedur hukum, bukan sebagai lembaga yang menentukan putusan hukum. Mekanisme ini memerlukan reformasi regulasi internal agar berjalan sesuai prinsip legalitas, akuntabilitas, proporsionalitas, serta non-diskriminatif dalam perlakuan terhadap pengaduan masyarakat. Dengan demikian, Komisi III dapat menjalankan perannya secara konstitusional dan efektif dalam memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem penegakan hukum.
Pada pelaksanaan mekanisme pengaduan masyarakat di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menunjukkan wujud konkrit pelaksanaan fungsi pengawasan legislatif, pelaksanaannya tidak terlepas dari sejumlah permasalahan yuridis yang membutuhkan perhatian serius agar fungsi tersebut tidak menyimpang dari prinsip negara hukum. Salah satu persoalan utama adalah ketidakjelasan batas kewenangan antara fungsi pengawasan DPR dan fungsi penegakan hukum yang menjadi domain eksklusif lembaga eksekutif dan yudisial. Dalam proses menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat, Komisi III sering kali masuk ke ranah teknis perkara, seperti menilai tindakan penyidik, mendesak penghentian atau pembukaan kembali suatu penyidikan, hingga memberikan rekomendasi substantif terhadap kasus perorangan. Tindakan semacam itu berpotensi melanggar asas pembagian kekuasaan karena Dewan Perwakilan Rakyat tidak memiliki wewenang untuk melakukan judicial review terhadap penanganan perkara yang sedang berjalan.
Masalah lain yang muncul adalah ketiadaan Standar Operasional Prosedur (SOP) atau pedoman hukum yang baku mengenai bagaimana pengaduan masyarakat harus diproses. Tanpa memperhatikan Standar Operasional Prosedur (SOP), keputusan komisi mengenai apakah suatu aduan perlu tindak lanjut atau tidak sangat bergantung pada interpretasi politik dan subjektivitas anggota komisi, bukan berdasarkan pertimbangan hukum yang objektif. Hal ini berpotensi menimbulkan praktik yang tidak konsisten, diskriminatif, atau bahkan mengarah pada selective response, di mana beberapa kasus ditangani dengan cepat, sementara kasus lain cenderung diabaikan. Selain berpengaruh pada keadilan prosedural bagi masyarakat, fenomena tersebut mengindikasikan dominannya pertimbangan politik di atas prinsip legalitas [14]. Ketidakkonsistensi terhadap indikator Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam memproses pengaduan masyarakat sering terjadi. Tanpa mempertimbangkan indikator tersebut,
Problematika berikutnya adalah potensi politisasi penegakan hukum yang muncul akibat karakter politik Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga representatif berbasis kepentingan partai politik. Pada titik tertentu, setiap pengawasan terhadap lembaga penegak hukum dapat dimanfaatkan untuk memperkuat posisi politik tertentu, bukan murni menjamin keadilan hukum. Ketika kekuasaan politik terlibat terlalu jauh dalam proses hukum, independensi peradilan menjadi terancam dan rule of law dapat terkikis. Terdapat pula risiko timbulnya undue influence terhadap mitra kerja Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia saat mereka dipanggil dalam rapat dengar pendapat untuk menjelaskan perkara tertentu [15]. Selain itu, masalah transparansi dalam memproses pengaduan masyarakat juga menjadi sorotan. Banyak kasus yang setelah dibahas dalam rapat komisi tidak diumumkan perkembangan penyelesaiannya kepada publik, sehingga prosesnya tidak dapat dievaluasi secara terbuka. Ditemukan bahwa asas akuntabilitas menuntut dokumentasi dan pelaporan hasil tindak lanjut secara sistematis dan dapat diakses publik. Kurangnya transmisi informasi ini menyebabkan ketidakpastian hukum dan mempersulit masyarakat menilai efektivitas fungsi pengawasan Komisi III.
Melalui perspektif metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan unsur normatif-kualitatif, sehingga evaluasi terhadap problematika yuridis tidak hanya bertumpu pada teks hukum positif, melainkan didukung juga pada realitas empiris implementasi hukum di masyarakat, bahwa dalam penelitian hukum kualitatif, analisis tidak hanya mengukur ada atau tidaknya aturan, tetapi juga bagaimana aturan itu dipraktikkan dan dipersepsikan oleh aktor hukum serta masyarakat. Oleh karena itu, studi ini memadukan analisis bahan hukum dengan penilaian terhadap praktik pengaduan dalam Komisi III untuk menemukan kesenjangan normatif dan struktural.
Dengan demikian, problematika yuridis yang muncul tidak sekadar bersifat administratif, melainkan menyangkut isu fundamental mengenai batas kewenangan, independensi penegakan hukum, objektivitas penanganan pengaduan, serta akuntabilitas terhadap publik. Tanpa pembenahan pada aspek-aspek tersebut, mekanisme pengaduan masyarakat di Komisi III berpotensi justru menjadi instrumen politik ketimbang sarana pemulihan keadilan. Oleh karena itu diperlukan reformasi kelembagaan internal, terutama melalui penyusunan regulasi teknis yang dapat menjamin bahwa setiap tindakan komisi tetap berada dalam koridor konstitusional dan etika pemerintahan yang baik serta tetap responsif terhadap kebutuhan masyarakat yang mencari keadilan.
Berdasarkan hasil analisis mengenai mekanisme pengaduan masyarakat pada Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, bahwa pelaksanaan fungsi pengawasan DPR melalui pengelolaan pengaduan masyarakat memiliki dasar konstitusional yang kuat dan berperan penting dalam menjamin akuntabilitas penegakan hukum di Indonesia. Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi saluran partisipasi publik ketika masyarakat menghadapi hambatan dalam menjalankan hak-haknya melalui mekanisme hukum formal. Namun pada pelaksanaannya masih menghadapi kendala pada ketidakkonsisten dalam mengolah pengaduan masyarakat sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP), berpotensi mengalami tumpang tindih kewenangan antar lembaga terkait atas politik, serta menunjukkan kurang transparansi terhadap tindak lanjut pengaduan masyarakat yang diterima. Kondisi tersebut jelas diperlukan pembenahan agar fungsi dari Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai jembatan aspirasi masyarakat dapat berjalan secara efektif, berkesinambungan serta selaras dengan prinsip negara hukum dan pemisahan kekuasaan yang sudah diterapkan.
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia perlu menunjukkan konsistensi terhadap Standar Operasioanl Prosedur (SOP) dalam hal penanganan pengaduan masyarakat agar jelas dna terukur sebagai upaya memperkuat kepastian hukum hadir di tengah masyarakat yang menunjukkan pelaksanaan fungsi pengawasan tersebut. Selain dari pada itu, tingkat transparansi dan akuntabilitas perlu diarahkan melalui pelaporan terbuka serta pemanfaatan sistem informasi berbasis digital. Penguatan koordinasi baik secara pengolahan data pengaduan masyarakat sampai dengan hubungan antar lembaga-lembaga penegak hukum terkait agar tidak mengandung unsur ketergantungan akan politik. Dengan langkah-langkah tersebut, Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berperan lebih optimal dalam mewujudkan penegakan hukum yang condong kepada kepentingan masyarakat, berkeadilan, dan mengedepankan responsif terhadap aspirasi masyarakat Indonesia.
S. Sugiman, “Fungsi Legislasi DPR Pasca Amandemen UUD NKRI 1945,” Jurnal Ilmu Hukum dan Demokrasi, vol. 5, p. 178, 2020.
A. Budiman, “Efektivitas Pengaduan Masyarakat ke DPR RI,” Pemerintahan Dalam Negeri, vol. IV, no. 13/I/P3DI, p. 3, 2012.
H. Widodo, “Parameter Pengawasan Politik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Menurut UUD 1945,” Perspektif Hukum, vol. 4, no. 3, p. 482, 2019.
Z. A. Mochtar, Lembaga Negara dan Pemisahan Kekuasaan. Yogyakarta, Indonesia: UGM Press, 2016.
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 20A Ayat (1), 1945.
Indonesia, Tata Tertib DPR RI (Keputusan DPR RI Nomor 1/DPR RI/I/2019-2020), 2019.
J. Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2019.
P. M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta, Indonesia: UGM Press, 2019.
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24, 1945.
M. A. Jagaddhita, R. Hanani, and T. Yuniningsih, “Manajemen Pelayanan Aspirasi dan Pengaduan Masyarakat Pada Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,” Journal of Public Policy and Management Review, vol. 13, no. 3, pp. 299–314, 2024.
N. Rahman and Izzatusolekha, “Analisis Pengelolaan Pengaduan Aspirasi Masyarakat Daerah oleh DPD RI,” Jurnal Parlementaria, vol. 1, no. 3, p. 74, 2024.
Indonesia, Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2020.
S. Yuliati, “Pelayanan Pengaduan Masyarakat Maksimalkan Fungsi Pengawasan DPR,” 2024.
M. R. Bunda, “Analisis Efektivitas Kebijakan Pengaduan Publik dalam Pelayanan Administrasi Publik,” Scientific Journal Reflect: Economics, Accounting, Management, and Business, vol. 8, no. 1, p. 190, 2025.
M. Mahfud MD, “Politik Hukum untuk Independensi Lembaga Peradilan,” Jurnal Hukum IUS Quia Iustum, no. 2, pp. 79–95, 2016.