Login
Section Recent Cases

Analysis of Unilateral Termination of Employment Without the Establishment of an Industrial Relations Dispute Resolution Institution in a Force Majeure Situation (Study of Supreme Court Decision Number 374 K/Pdt.Sus-PHI/2023)

Analisis Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak Tanpa Penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam Keadaan Force majeure (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 374 K/Pdt.Sus-PHI/2023)
Vol. 21 No. 1 (2026): February:

Muhammad Restu Arrasyiid (1), Rasji Rasji (2)

(1) Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hulum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hulum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

General background: Termination of employment (PHK) in Indonesian labor law requires strict procedural safeguards to protect workers. Specific background: The rise of unilateral PHK during the COVID-19 pandemic, often justified as force majeure, created tensions between substantive justification and mandatory procedural requirements. Knowledge gap: Despite existing regulations, ambiguity persists regarding the legal definition, evidentiary standards, and interaction between force majeure provisions in Article 164(1) and the imperative procedural requirements of Article 151(3). Aims: This study analyzes the legal framework governing PHK due to force majeure and evaluates the validity of termination without formal determination by industrial relations dispute-resolution bodies, focusing on Supreme Court Decision No. 374 K/Pdt.Sus-PHI/2023. Results: Findings show that force majeure lacks a clear legal definition, enabling inconsistent interpretation; the Supreme Court affirmed that termination without procedural determination is null and void, yet still applied reduced compensation under Article 164(1), creating normative inconsistency and insufficient deterrence for employers. Novelty: This research identifies the dual inconsistency between procedural imperatives and substantive relief for employers, proposing a reconstructed normative framework. Implications: Clear statutory definitions, stricter evidentiary standards, and alignment between procedural compliance and compensation rules are required to strengthen worker protection and prevent misuse of force majeure claims.


Highlights:




  • Termination of employment without a determination from the industrial dispute settlement body is null and void pursuant to Article 151(3).




  • Force majeure is recognized but lacks a clear legal definition and standardized evidentiary requirements.




  • Supreme Court Decision 374/2023 reveals an inconsistency between procedural violations and the reduced compensation granted.




Keywords: Force Majeure, Employment Termination, Industrial Relations, Legal Procedure, Worker Protection

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Ikatan kerja antara buruh dan pemberi kerja membentuk relasi hukum yang melahirkan hak serta kewajiban dalam aktivitas produksi. Konstitusi menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang pantas sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2). Jaminan konstitusional ini dioperasionalisasikan melalui UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah direvisi oleh UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang menempatkan perlindungan pekerja sebagai prioritas dalam setiap aspek hubungan industrial, termasuk dalam situasi pemutusan hubungan kerja.

Pemutusan hubungan kerja dalam sistem hukum ketenagakerjaan nasional ditempatkan sebagai jalan terakhir yang harus dielakkan (ultimum remedium) [1]. Pasal 151 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 secara tegas mewajibkan setiap pemutusan hubungan kerja harus mendapat penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Tanpa adanya penetapan tersebut, pemutusan hubungan kerja dinyatakan batal demi hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 151 ayat (4). Ketentuan ini bersifat mutlak tanpa memberi ruang pengecualian, menunjukkan bahwa negara memandang pemutusan hubungan kerja sebagai langkah yang harus melalui kontrol yudisial guna melindungi pekerja dari tindakan sewenang-wenang pengusaha. Sifat imperatif dari ketentuan ini mengandung konsekuensi yuridis sangat kuat, pemutusan hubungan kerja yang batal demi hukum dianggap tidak pernah terjadi dan tidak menimbulkan akibat hukum apapun [2].

Kenyataan di lapangan menunjukkan kesenjangan signifikan antara norma hukum dengan praktik. Pemutusan hubungan kerja sepihak tanpa penetapan lembaga berwenang masih sering terjadi, terutama ketika terjadi kondisi darurat yang diklaim sebagai keadaan memaksa (force majeure) [3]. Banyak pelaku usaha memandang bahwa dalam situasi darurat, ketentuan prosedural dapat diabaikan karena kejadian berada di luar kontrol mereka. Pandangan ini menciptakan praktik yang bertentangan dengan ketentuan hukum positif yang seharusnya menjadi pedoman dalam pelaksanaan pemutusan hubungan kerja.

Pandemi COVID-19 yang dinyatakan sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 memperburuk persoalan ini secara masif. Berbagai perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja dengan mendalilkan pandemi sebagai force majeure, mengabaikan prosedur yang telah ditetapkan regulasi [4]. Praktik ini memunculkan pertanyaan mendasar: dapatkah dalil force majeure meniadakan kewajiban prosedural yang bersifat imperatif dalam Pasal 151 ayat (3)? Apakah penetapan pandemi sebagai bencana nasional secara otomatis membebaskan pengusaha dari kewajiban mengikuti prosedur hukum yang telah ditetapkan? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi semakin mendesak mengingat dampaknya yang sangat luas terhadap perlindungan hak-hak pekerja.

Permasalahan menjadi lebih kompleks karena ketidakjelasan pengaturan mengenai force majeure dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia. Pasal 164 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 mengatur pemutusan hubungan kerja akibat penutupan usaha karena force majeure dengan memberikan kompensasi yang lebih rendah dibandingkan pemutusan hubungan kerja normal. PP No. 35 Tahun 2021 kemudian membedakan force majeure yang mengakibatkan penutupan usaha dengan force majeure yang hanya mengakibatkan efisiensi, dengan konsekuensi kompensasi yang berbeda. Meskipun demikian, baik UU No. 13 Tahun 2003 maupun PP No. 35 Tahun 2021 tidak memberikan definisi tegas perihal apa yang dimaksud dengan force majeure, kriteria objektif untuk menentukannya, mekanisme pembuktian yang harus dipenuhi, dan standar yang harus digunakan dalam menilai suatu keadaan sebagai force majeure [5].

Ketidakjelasan ini melahirkan ketidakpastian hukum yang serius. Di satu sisi, regulasi mengakui pemutusan hubungan kerja karena force majeure dengan konsekuensi pengurangan hak pekerja berupa kompensasi yang lebih rendah. Di sisi lain, Pasal 151 ayat (3) secara mutlak mewajibkan penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial untuk setiap pemutusan hubungan kerja tanpa memberikan pengecualian apapun termasuk untuk kondisi force majeure [5]. Timbul pertanyaan krusial, apakah pengakuan terhadap pemutusan hubungan kerja yang diakibatkan karena force majeure dalam Pasal 164 ayat (1) secara implisit memberikan kelonggaran terhadap kewajiban prosedural dalam Pasal 151 ayat (3). Atau justru meskipun pemutusan hubungan kerja dilakukan karena force majeure, kewajiban prosedural tetap harus dipenuhi tanpa pengecualian.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 374 K/Pdt.Sus-PHI/2023 menggambarkan problematika ini secara konkret. PT Bintang Prima Lestari Utama melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap Surianto dengan alasan penutupan usaha akibat pandemi COVID-19 yang menyebabkan penjualan hasil produksi furniture untuk ekspor terus menurun, tanpa memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Perusahaan hanya memberikan sebagian hak pekerja dengan dalih pandemi merupakan force majeure yang berada di luar kendalinya. Pekerja kemudian mengajukan gugatan untuk mempertanyakan keabsahan pemutusan hubungan kerja tersebut dan menuntut pemenuhan hak-haknya secara penuh sesuai ketentuan yang berlaku.

Kasus ini mencerminkan beberapa kesenjangan mendasar yang menjadi fokus utama penelitian ini. Pertama, kesenjangan antara norma prosedural imperatif yang mewajibkan penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan praktik yang menganggap force majeure dapat menghapus kewajiban tersebut. Kedua, ketidakjelasan hubungan sistematis antara ketentuan force majeure dalam Pasal 164 ayat (1) dengan kewajiban prosedural dalam Pasal 151 ayat (3), yang menimbulkan pertanyaan apakah kedua ketentuan ini bersifat kumulatif atau dapat saling mengesampingkan. Ketiga, kebingungan mengenai perhitungan hak pekerja dalam pemutusan hubungan kerja karena force majeure, mengingat pengaturan yang berbeda dalam Pasal 164 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 dan Pasal 45 PP No. 35 Tahun 2021. Keempat, ketiadaan mekanisme dan standar pembuktian force majeure yang jelas, sehingga tidak ada pedoman objektif untuk menilai apakah suatu keadaan benar-benar dapat dikategorikan sebagai force majeure atau hanya kesulitan ekonomi biasa [6].

Kesenjangan-kesenjangan tersebut berpotensi merugikan kepentingan pekerja sebagai pihak yang lebih lemah dalam hubungan industrial. Ketiadaan kejelasan pengaturan membuka celah penyalahgunaan dalil force majeure oleh pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa memenuhi kewajiban prosedural dan substantif yang seharusnya [7]. Dalam situasi krisis seperti pandemi, posisi tawar pekerja sangat lemah sehingga mereka cenderung menerima keputusan sepihak pengusaha tanpa mempertanyakan keabsahan hukumnya. Pekerja seringkali tidak memiliki akses informasi dan kemampuan untuk membuktikan bahwa keadaan yang diklaim pengusaha sebagai force majeure sebenarnya bukan force majeure atau masih dapat dikontrol oleh pengusaha.

Kajian akademik terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 374 K/Pdt.Sus-PHI/2023 menjadi sangat penting dan urgen karena beberapa alasan. Pertama, putusan ini merupakan salah satu putusan pertama Mahkamah Agung yang secara khusus menghadapi dilema antara penegakan kewajiban prosedural yang bersifat imperatif dengan pertimbangan kondisi force majeure dalam konteks pandemi COVID-19. Kedua, putusan ini berpotensi menjadi preseden hukum (yurisprudensi) bagi kasus-kasus serupa di masa mendatang, sehingga analisis mendalam terhadap ratio decidendi dan pertimbangan hukum yang digunakan oleh Mahkamah Agung sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum. Ketiga, putusan ini dapat memberikan jawaban normatif mengenai hubungan antara aspek prosedural (Pasal 151 ayat (3)) dengan aspek substantif (Pasal 164 ayat (1)) dalam pemutusan hubungan kerja karena force majeure.

Penelitian ini berupaya menganalisis secara komprehensif dan sistematis dua permasalahan mendasar yang muncul dari kasus tersebut. Pertama, mengenai pengaturan hukum pemutusan hubungan kerja karena force majeure dan perhitungan hak-hak pekerja menurut Pasal 164 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, termasuk keterkaitannya dengan PP No. 35 Tahun 2021 dan ketiadaan definisi legal serta standar pembuktian force majeure yang jelas. Kedua, mengenai keabsahan hukum pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diwajibkan Pasal 151 ayat (3), dan bagaimana Mahkamah Agung menangani konflik antara pelanggaran prosedur imperatif dengan adanya alasan substantif berupa force majeure yang sah.

Berdasarkan uraian tersebut, tampak jelas terdapat kesenjangan signifikan antara norma hukum positif (das sollen) dengan kenyataan praktik di lapangan (das sein) dalam pemutusan hubungan kerja karena force majeure. Kesenjangan ini bersumber dari ketidakjelasan pengaturan yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi mencederai prinsip-prinsip fundamental perlindungan pekerja yang menjadi landasan filosofis hukum ketenagakerjaan nasional. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi akademik berupa analisis yuridis normatif yang mendalam terhadap problematika pemutusan hubungan kerja karena force majeure dan memberikan masukan bagi penyempurnaan pengaturan hukum ketenagakerjaan di masa mendatang untuk memberikan perlindungan yang lebih optimal bagi pekerja sebagai pihak yang lebih lemah dalam hubungan industrial.

Rumusan masalah dalam penelitian ini mencakup dua hal utama. Pertama, bagaimana pengaturan hukum mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) karena keadaan memaksa (force majeure) serta bagaimana perhitungan hak-hak pekerja menurut Pasal 164 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kedua, bagaimana keabsahan tindakan PT Bintang Prima Lestari Utama yang melakukan PHK terhadap Surianto tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ditinjau berdasarkan Pasal 151 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif yang bersifat deskriptif-analitis, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan studi kasus (case study approach). Sasaran penelitian ini menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan (termasuk UU No. 13 Tahun 2003 , UU No. 11 Tahun 2020, dan PP No. 35 Tahun 2021) serta Putusan Mahkamah Agung Nomor 374 K/Pdt.Sus-PHI/2023, didukung bahan hukum sekunder berupa literatur dan jurnal hukum terkait. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumen, yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan metode interpretasi hukum secara deduktif untuk menjawab rumusan masalah.

Hasil dan Pembahasan

A. Pengaturan Hukum Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja Karena Force majeure dan Perhitungan Hak-Hak Pekerja Menurut Pasal 164 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003

Pasal 164 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 mengatur pemutusan hubungan kerja karena perusahaan tutup disebabkan keadaan dengan memberikan kompensasi berupa 1 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, serta uang penggantian hak. Ketentuan ini kemudian diperjelas melalui PP No. 35 Tahun 2021 yang membedakan force majeure yang mengakibatkan penutupan perusahaan (kompensasi 1 kali pesangon) dengan force majeure yang hanya mengakibatkan efisiensi tanpa penutupan (kompensasi 0,5 kali pesangon) [6]. Pembedaan ini menunjukkan bahwa hukum ketenagakerjaan mengakui adanya gradasi dampak force majeure dengan konsekuensi kompensasi yang berbeda.

Persoalan mendasar dalam pengaturan ini adalah ketiadaan definisi legal force majeure dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Baik UU No. 13 Tahun 2003 maupun PP No. 35 Tahun 2021 hanya menyebutkan istilah "keadaan memaksa (force majeure)" tanpa memberikan kriteria, unsur, atau mekanisme pembuktian yang jelas [3]. Ketiadaan definisi legal ini menimbulkan ketidakpastian hukum karena pengusaha dan pekerja dapat memiliki interpretasi berbeda mengenai apakah suatu keadaan dapat dikategorikan sebagai force majeure atau tidak. Ketidakpastian ini berpotensi disalahgunakan oleh pengusaha untuk mengklaim berbagai situasi sebagai force majeure guna mengurangi kewajiban kompensasi.

Mengingat ketiadaan definisi dalam hukum ketenagakerjaan, doktrin hukum perdata menjadi rujukan untuk menentukan kriteria force majeure. Doktrin mengidentifikasi tiga unsur kumulatif: tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable), tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur (beyond control), dan bersifat mutlak sehingga debitur sama sekali tidak dapat melaksanakan kewajibannya (absolute impossibility) [8]. Ketiga unsur ini harus dipenuhi secara bersamaan. Doktrin juga membedakan force majeure dengan kesulitan ekonomi biasa (hardship) yang merupakan risiko bisnis normal seperti penurunan permintaan, persaingan usaha, atau kesalahan manajemen [7].

Penerapan konsep force majeure dalam hukum ketenagakerjaan tidak dapat dilakukan secara langsung dari hukum perdata umum tanpa mempertimbangkan karakteristik khusus hubungan kerja. Hubungan kerja bukan sekedar hubungan kontraktual biasa, melainkan hubungan yang mengandung unsur ketergantungan ekonomi pekerja terhadap upah untuk memenuhi kebutuhan hidup [9]. Oleh karena itu, penerapan force majeure harus dilakukan dengan kehati-hatian dan tidak boleh merugikan hak-hak dasar pekerja. Hukum ketenagakerjaan sebagai hukum yang bersifat melindungi pihak lemah harus memastikan bahwa dalam kondisi force majeure sekalipun, pekerja tidak kehilangan seluruh perlindungan hukumnya.

Landasan filosofis pengaturan force majeure terletak pada prinsip keseimbangan dan keadilan. Di satu sisi, hukum melindungi pekerja sebagai pihak lemah. Di sisi lain, hukum mengakui bahwa dalam kondisi force majeure yang benar-benar di luar kendali pengusaha, tidak adil membebankan kompensasi penuh seperti pemutusan hubungan kerja normal [10]. Pasal 164 ayat (1) merupakan titik tengah yang memberikan perlindungan ekonomi kepada pekerja meskipun tidak maksimal, sambil tidak membebani pengusaha melampaui kemampuannya dalam kondisi darurat.

Aspek pembuktian force majeure merupakan persoalan krusial, namun kurang diatur jelas dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Tidak ada pengaturan eksplisit mengenai beban pembuktian, standar pembuktian, dan alat bukti yang dapat digunakan [6]. Berdasarkan prinsip hukum pembuktian dalam Pasal 1865 KUHPerdata, beban pembuktian berada pada pihak yang mengajukan dalil, dalam hal ini pengusaha yang mendalilkan force majeure [11]. Pengusaha harus membuktikan secara konkret dan objektif bahwa force majeure benar-benar terjadi dan memenuhi seluruh unsur menurut doktrin hukum.

Pengusaha harus membuktikan tiga hal secara kumulatif. Pertama, bahwa keadaan force majeure benar-benar terjadi melalui dokumen resmi seperti surat keterangan dari instansi berwenang. Dalam konteks pandemi COVID-19, pengusaha dapat merujuk pada Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana nasional. Kedua, bahwa keadaan tersebut memenuhi unsur-unsur force majeure yaitu tidak dapat diduga, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pengusaha, dan bersifat mutlak. Ketiga, yang paling penting adalah bahwa keadaan force majeure benar-benar menyebabkan ketidakmungkinan perusahaan melanjutkan operasional sehingga pemutusan hubungan kerja tidak terhindarkan [5].

Pembuktian ketiga ini memerlukan bukti konkret seperti laporan keuangan yang menunjukkan penurunan pendapatan atau kerugian, data produksi yang menurun, bukti pemutusan kontrak oleh klien, bukti kesulitan bahan baku, atau surat pernyataan bank mengenai kesulitan likuiditas. Laporan keuangan yang diaudit akuntan publik memiliki nilai pembuktian lebih kuat dibanding laporan internal. Pengusaha juga harus membuktikan telah berupaya semaksimal mungkin menghindari pemutusan hubungan kerja melalui langkah-langkah seperti pengurangan biaya operasional, penundaan investasi, pengurangan gaji manajemen, atau restrukturisasi utang. Bukti upaya-upaya ini penting untuk menunjukkan bahwa pemutusan hubungan kerja benar-benar merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) [12].

Persoalan kritis muncul dalam kasus pandemi COVID-19. Penetapan pandemi sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 tidak secara otomatis berarti setiap perusahaan mengalami force majeure yang membenarkan pemutusan hubungan kerja [4]. Tidak semua perusahaan mengalami dampak sama dari pandemi. Beberapa sektor justru mengalami peningkatan permintaan seperti e-commerce, teknologi informasi, dan layanan kesehatan. Pengusaha tetap harus menunjukkan dampak spesifik pandemi terhadap perusahaannya secara konkret. Tanpa pembedaan ini, setiap kesulitan ekonomi dapat diklaim sebagai force majeure untuk mengurangi kompensasi pekerja.

Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 374 K/Pdt.Sus-PHI/2023, PT Bintang Prima Lestari Utama mendalilkan bahwa pandemi COVID-19 menyebabkan penjualan furniture untuk ekspor menurun sehingga perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan menutup usaha. Mahkamah Agung menerima dalil ini dan menerapkan kompensasi sesuai Pasal 164 ayat (1). Pertanyaan kritis adalah: apakah pembuktian yang diajukan perusahaan memenuhi standar pembuktian force majeure yang ketat? Apakah penurunan penjualan ekspor benar-benar mengakibatkan ketidakmungkinan absolut untuk melanjutkan operasional, ataukah hanya kesulitan yang masih mungkin diatasi melalui strategi bisnis lain seperti pengalihan target pasar domestik, diversifikasi produk, atau efisiensi operasional.

Cara menghitung kompensasi berdasarkan Pasal 164 ayat (1) yaitu dengan menjumlahkan (1 × pesangon) + (1 × penghargaan masa kerja) + penggantian hak yang seharusnya diterima pekerja. Jumlah pesangon dan penghargaan masa kerja ini mengacu pada lamanya pekerja bekerja, sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan (3) dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Untuk pesangon, nilainya bisa berkisar antara 1-9 bulan gaji bergantung berapa lama karyawan tersebut bekerja, sementara untuk penghargaan masa kerja nilainya berkisar 2-10 bulan gaji dengan syarat sudah bekerja paling sedikit 3 tahun. Adapun penggantian hak mencakup jatah cuti tahunan yang belum sempat diambil, biaya transportasi untuk pulang, kompensasi untuk tempat tinggal dan biaya kesehatan yang besarnya 15% dari total pesangon dan penghargaan masa kerja, serta komponen lain yang sudah disepakati dalam kontrak kerja [2].

Dalam kasus Surianto dengan masa kerja 21 tahun 5 bulan dan upah Rp3.379.907,00, perhitungan kompensasinya adalah: uang pesangon 1 × 9 bulan = Rp30.419.163,00; uang penghargaan masa kerja 8 bulan = Rp27.039.256,00; uang penggantian hak 15% = Rp8.618.762,00; total = Rp66.077.181,00. Dikurangi kompensasi yang telah diterima Rp9.911.577,00, maka jumlah yang harus dibayar adalah Rp56.165.604,00.

Persoalan kritis muncul ketika pengaturan force majeure diterapkan dalam kasus pemutusan hubungan kerja yang prosedurnya tidak sah. Dalam kasus PT Bintang Prima Lestari Utama, meskipun pemutusan hubungan kerja dinyatakan bertentangan dengan hukum karena dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diwajibkan Pasal 151 ayat (3), Mahkamah Agung tetap menerapkan perhitungan kompensasi berdasarkan Pasal 164 ayat (1). Pendekatan ini menimbulkan inkonsistensi: pemutusan hubungan kerja dinyatakan bertentangan dengan hukum namun pekerja tidak mendapat kompensasi penuh sebagaimana seharusnya diterima dalam pemutusan hubungan kerja yang tidak sah.

Idealnya, pelanggaran prosedur yang bersifat imperatif seharusnya membawa konsekuensi kewajiban membayar kompensasi lebih tinggi sebagai sanksi. Pengusaha yang melanggar prosedur seharusnya menanggung konsekuensi penuh berupa kompensasi sesuai ketentuan pemutusan hubungan kerja normal atau bahkan lebih tinggi, terlepas dari ada tidaknya force majeure [6]. Prinsip ini memberikan efek jera (deterrent effect) kepada pengusaha untuk tidak melakukan pemutusan hubungan kerja sepihak tanpa mengikuti prosedur. Tanpa sanksi tegas, ketentuan prosedural dalam Pasal 151 ayat (3) kehilangan daya paksa karena pengusaha dapat mengabaikan prosedur tanpa konsekuensi finansial signifikan.

Mahkamah Agung tampaknya mengambil pendekatan pragmatis dengan mempertimbangkan kondisi objektif perusahaan yang mengalami kesulitan akibat pandemi COVID-19. Pendekatan ini mencoba menyeimbangkan perlindungan hak pekerja dengan kemampuan ekonomi perusahaan [13]. Keseimbangan ini penting untuk memastikan perlindungan hukum tidak hanya teoretis namun dapat dilaksanakan secara riil. Pemberian kompensasi terlalu tinggi dapat memberatkan pengusaha yang mengalami kesulitan sehingga perusahaan bangkrut dan tidak mampu membayar kompensasi sama sekali. Sebaliknya, kompensasi terlalu rendah merugikan pekerja yang kehilangan mata pencaharian.

Berdasarkan analisis di atas, dapat diajukan posisi akademik bahwa pengaturan force majeure dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia memerlukan rekonstruksi normatif untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan optimal bagi pekerja. Rekonstruksi ini mencakup tiga aspek fundamental.

Pertama, perlu ada definisi legal force majeure dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang tegas dan komprehensif. Definisi ini harus memuat unsur-unsur force majeure secara jelas, kriteria objektif untuk membedakan force majeure dengan kesulitan ekonomi biasa, dan contoh-contoh konkret keadaan yang dapat dikategorikan sebagai force majeure. Definisi legal ini akan mengurangi ketidakpastian hukum dan mencegah penyalahgunaan dalil force majeure oleh pengusaha [3].

Kedua, perlu ada pengaturan eksplisit mengenai mekanisme dan standar pembuktian force majeure. Pengaturan ini harus menetapkan bahwa beban pembuktian berada pada pengusaha sebagai pihak yang mendalilkan force majeure. Standar pembuktian harus bersifat ketat dan objektif, mengharuskan pengusaha menyampaikan bukti-bukti konkret berupa laporan keuangan audited, data operasional, bukti upaya mitigasi, dan dokumen lain yang menunjukkan dampak riil force majeure terhadap perusahaan. Standar pembuktian yang ketat akan melindungi pekerja dari klaim force majeure yang tidak berdasar [5].

Ketiga, dan paling penting, perlu ada pengaturan yang jelas mengenai hubungan antara force majeure sebagai alasan substantif dengan kewajiban prosedural dalam Pasal 151 ayat (3). Posisi akademik yang diajukan adalah bahwa force majeure tidak dapat mengesampingkan kewajiban prosedural yang bersifat imperatif. Pelanggaran terhadap kewajiban prosedural harus membawa konsekuensi pemberian kompensasi yang lebih tinggi atau sanksi finansial tambahan sebagai efek jera. Konstruksi normatif yang dapat diajukan adalah: pengusaha yang melanggar prosedur tidak berhak menggunakan dalil force majeure untuk mengurangi kompensasi. Force majeure hanya dapat dijadikan alasan mengurangi kompensasi apabila prosedur yang benar telah diikuti. Apabila prosedur dilanggar, hak menggunakan dalil force majeure gugur demi hukum dan pengusaha wajib membayar kompensasi sesuai ketentuan pemutusan hubungan kerja normal [5].

Konstruksi normatif ini lebih konsisten dengan prinsip perlindungan pekerja dan asas ultimum remedium yang menjadi landasan filosofis Pasal 151. Konstruksi ini juga memberikan insentif yang jelas bagi pengusaha untuk mematuhi prosedur dengan menciptakan pembedaan konsekuensi finansial yang signifikan antara pengusaha yang patuh dengan pengusaha yang melanggar. Penerapan konstruksi ini akan memperkuat fungsi protektif hukum ketenagakerjaan dan memberikan kepastian hukum yang lebih baik

B. Keabsahan Hukum Pemutusan Hubungan Kerja yang Dilakukan oleh PT Bintang Prima Lestari Utama Terhadap Surianto Tanpa Penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Ditinjau dari Pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Juncto UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja

Ketentuan dalam Pasal 151 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengatur bahwa pemutusan hubungan kerja baru bisa dilaksanakan setelah mendapat penetapan dari lembaga yang menangani penyelesaian sengketa hubungan industria. Ketentuan ini diperkuat oleh ayat (4) yang menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan adalah batal demi hukum. Kedua ayat ini membentuk norma imperatif yang tidak memberikan pengecualian apapun, termasuk untuk kondisi force majeure[1]. Status "batal demi hukum" (van rechtwege nietig) mengandung makna yuridis sangat kuat: pemutusan hubungan kerja dianggap tidak pernah terjadi dan tidak menimbulkan akibat hukum apapun. Pekerja secara hukum masih memiliki status sebagai pekerja dan berhak atas upah serta hak-hak lain selama masa pemutusan hubungan kerja yang tidak sah [2].

Persoalan mendasar dalam kasus PT Bintang Prima Lestari Utama adalah adanya pemisahan antara aspek prosedural dan aspek substantif dalam pemutusan hubungan kerja. Aspek prosedural merujuk pada kewajiban mengikuti mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam Pasal 151 ayat (3). Aspek substantif merujuk pada alasan atau dasar hukum pemutusan hubungan kerja, khususnya dalam hal ini adalah force majeure sebagaimana diatur dalam Pasal 164 ayat (1). Pertanyaan krusial yang muncul adalah: apakah alasan substantif yang sah (force majeure) dapat mengesampingkan kewajiban prosedural yang bersifat imperative, ataukah kedua aspek ini harus dipenuhi secara kumulatif tanpa dapat saling meniadakan.

Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 374 K/Pdt.Sus-PHI/2023 memberikan jawaban yang tegas namun berimplikasi kompleks. Mahkamah Agung menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja yang dilakukan PT Bintang Prima Lestari Utama tanpa penetapan adalah bertentangan dengan Pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003 juncto UU No. 11 Tahun 2020. Penegasan ini menunjukkan bahwa kewajiban prosedural bersifat mutlak dan tidak dapat dikesampingkan dengan alasan substantif apapun, termasuk force majeure yang sah. Posisi ini konsisten dengan bunyi Pasal 151 ayat (3) yang tidak memberikan pengecualian untuk situasi apapun. Ketentuan ini mencerminkan kehendak pembentuk undang-undang bahwa prosedur bukan sekadar formalitas administratif, melainkan instrumen perlindungan substantif untuk memastikan pemutusan hubungan kerja benar-benar merupakan jalan terakhir yang tidak dapat dihindari dan hak-hak pekerja dipenuhi secara adil [2].

Meskipun demikian, Mahkamah Agung tetap mempertimbangkan aspek substantif berupa force majeure dalam menentukan besaran kompensasi. Mahkamah Agung menetapkan kompensasi berdasarkan Pasal 164 ayat (1) yaitu 1 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Pendekatan ini menimbulkan inkonsistensi konseptual: di satu sisi pemutusan hubungan kerja dinyatakan bertentangan dengan hukum karena melanggar prosedur imperatif, namun di sisi lain pengusaha yang melanggar prosedur justru mendapat keringanan kompensasi karena alasan force majeure. Inkonsistensi ini menciptakan preseden berbahaya dimana pengusaha dapat mengabaikan prosedur tanpa menghadapi konsekuensi finansial yang signifikan, karena pada akhirnya mereka tetap hanya perlu membayar kompensasi force majeure yang lebih rendah.

Dari perspektif teori hukum, terdapat dua kemungkinan konstruksi normatif yang berbeda. Konstruksi pertama adalah bahwa aspek prosedural dan substantif berdiri secara independen. Pelanggaran prosedur mengakibatkan pemutusan hubungan kerja batal demi hukum, namun apabila hubungan kerja sudah tidak dapat dilanjutkan dan pengadilan kemudian menetapkan putus hubungan kerja, maka alasan substantif (force majeure) tetap relevan untuk menentukan besaran kompensasi. Konstruksi kedua adalah bahwa pelanggaran prosedur yang bersifat imperatif harus membawa konsekuensi pemberian kompensasi yang lebih tinggi atau setidaknya kompensasi normal sebagai sanksi atas pelanggaran tersebut. Pengusaha yang melanggar prosedur tidak seharusnya mendapat keringanan kompensasi meskipun terdapat alasan force majeure yang sah. Konstruksi kedua lebih memberikan perlindungan kepada pekerja dan menciptakan efek jera (deterrent effect) bagi pengusaha untuk tidak mengabaikan prosedur hukum [6].

Mahkamah Agung dalam putusan ini tampak mengadopsi konstruksi pertama dengan pertimbangan pragmatis. Mahkamah Agung mempertimbangkan kondisi objektif perusahaan yang mengalami kesulitan akibat pandemi COVID-19 sehingga tidak adil apabila perusahaan dibebankan kompensasi penuh yang melampaui kemampuannya [13]. Pertimbangan ini mencerminkan upaya hakim untuk menemukan keseimbangan antara perlindungan hak-hak pekerja dengan kemampuan ekonomi perusahaan. Pemberian kompensasi terlalu tinggi dapat menyebabkan perusahaan benar-benar bangkrut dan tidak mampu membayar kompensasi sama sekali sehingga pekerja justru tidak mendapatkan apa-apa. Pendekatan pragmatis ini dapat dipahami dari perspektif efektivitas putusan pengadilan, namun berpotensi melemahkan fungsi protektif hukum ketenagakerjaan dan menciptakan moral hazard dimana pengusaha tidak memiliki insentif kuat untuk mematuhi prosedur hukum.

PT Bintang Prima Lestari Utama menerbitkan Surat Keputusan Pemutusan Hubungan Kerja Nomor 200/BPLU/VII/2020 tertanggal 6 Juli 2020 terhadap Surianto tanpa terlebih dahulu memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Perusahaan mendalilkan bahwa pandemi COVID-19 menyebabkan penjualan hasil produksi furniture untuk ekspor mengalami penurunan terus menerus sehingga perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan terpaksa menutup usaha. Dalil force majeure ini kemudian dijadikan pembenaran untuk memberikan kompensasi yang lebih rendah sesuai Pasal 164 ayat (1) dan mengabaikan prosedur yang diwajibkan Pasal 151 ayat (3).

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan dalam Putusan Nomor 156/Pdt.Sus-PHI/2021/PN Mdn menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) dengan pertimbangan tidak adanya surat anjuran dari mediator sebagai prasyarat formal. Pertimbangan ini menunjukkan penerapan prosedur yang sangat formalistik tanpa mempertimbangkan substansi perlindungan pekerja. Mahkamah Agung membatalkan putusan ini dengan pertimbangan bahwa Surianto telah melakukan pengaduan ke Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Deli Serdang dan telah diterbitkan surat pemberitahuan untuk dilakukan mediasi, sebagaimana dibuktikan dengan Surat Nomor 565/36/DK-2PHI/DS/2021 tertanggal 19 Februari 2021. Meskipun tidak terdapat surat anjuran formal, Surianto telah menempuh jalur mediasi sebagaimana diwajibkan undang-undang. Pendekatan Mahkamah Agung ini mencerminkan interpretasi yang lebih substantif dan pro-worker, dimana yang terpenting adalah bahwa pekerja telah berupaya menempuh jalur mediasi, bukan sekedar ada tidaknya dokumen formal tertentu [9].

Isu sentral dalam kasus ini adalah bagaimana Mahkamah Agung menangani konflik antara pelanggaran prosedur imperatif (Pasal 151 ayat (3)) dengan alasan substantif yang sah (force majeure dalam Pasal 164 ayat (1)). Mahkamah Agung menegaskan bahwa pemutusan hubungan kerja bertentangan dengan hukum karena dilakukan tanpa penetapan [14]. Penegasan ini konsisten dengan bunyi Pasal 151 ayat (3) dan (4) yang tidak memberikan pengecualian. Implikasi logis dari pernyataan ini seharusnya adalah bahwa pemutusan hubungan kerja batal demi hukum dan pekerja berhak dipekerjakan kembali atau mendapat kompensasi penuh. Namun Mahkamah Agung kemudian menetapkan putus hubungan kerja sejak 6 Juli 2020 dengan kompensasi sesuai Pasal 164 ayat (1) untuk force majeure.

Penetapan ini menciptakan dua konsekuensi yuridis yang saling bertentangan. Konsekuensi pertama, pemutusan hubungan kerja sepihak oleh perusahaan dinyatakan tidak sah sehingga secara hukum hubungan kerja dianggap masih berlangsung sampai dengan ditetapkannya putus hubungan kerja oleh Mahkamah Agung. Konsekuensi kedua, pekerja hanya menerima kompensasi force majeure yang lebih rendah meskipun pemutusan hubungan kerja yang dilakukan perusahaan melanggar prosedur imperatif. Pertanyaan kritis yang muncul: apakah pengusaha yang melanggar norma imperatif seharusnya mendapat keringanan kompensasi? Bukankah seharusnya pelanggaran norma imperatif justru membawa konsekuensi pembebanan yang lebih berat sebagai sanksi dan efek jera [6].

Dari perspektif asas ultimum remedium yang menjadi landasan filosofis Pasal 151, kewajiban prosedural sebenarnya bertujuan memastikan bahwa pemutusan hubungan kerja benar-benar merupakan jalan terakhir yang tidak dapat dihindari. Proses perundingan bipartit, mediasi, dan penetapan pengadilan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mencari alternatif selain pemutusan hubungan kerja, misalnya pengurangan jam kerja, rotasi kerja, cuti sementara, atau pengurangan tunjangan dengan kesepakatan [1]. Pengusaha yang mengabaikan prosedur ini pada hakikatnya mengabaikan prinsip bahwa pemutusan hubungan kerja adalah ultimum remedium. Oleh karena itu, pengusaha seharusnya tidak mendapat keringanan kompensasi karena telah mengabaikan prinsip fundamental perlindungan pekerja. Mahkamah Agung dengan memberikan kompensasi force majeure kepada pengusaha yang melanggar prosedur sebenarnya telah menurunkan standar ultimum remedium dan melemahkan fungsi protektif dari ketentuan Pasal 151.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 374 K/Pdt.Sus-PHI/2023 dapat dikritik dari beberapa aspek yuridis-normatif. Pertama, putusan ini menciptakan inkonsistensi antara penegakan norma prosedural dengan pemberian sanksi. Mahkamah Agung menegaskan bahwa pemutusan hubungan kerja bertentangan dengan hukum namun tidak memberikan konsekuensi yang memadai atas pelanggaran tersebut. Pengusaha yang melanggar prosedur imperatif justru mendapat keringanan finansial. Inkonsistensi ini berpotensi menciptakan moral hazard dimana pengusaha tidak memiliki insentif kuat untuk mematuhi prosedur karena tidak ada sanksi finansial yang signifikan [3].

Kedua, putusan ini tidak memberikan efek jera (deterrent effect) yang memadai. Teori hukum mengajarkan bahwa sanksi hukum harus memiliki fungsi pencegahan (preventive function) selain fungsi penghukuman (punitive function). Sanksi yang tidak memadai akan menyebabkan norma hukum kehilangan daya paksa dan efektivitasnya [7]. Dalam kasus ini, pengusaha yang melanggar Pasal 151 ayat (3) hanya perlu membayar kompensasi force majeure yang sama dengan pengusaha yang mengikuti prosedur dengan benar. Tidak ada pembedaan konsekuensi antara pengusaha yang patuh dengan pengusaha yang melanggar. Kondisi ini menciptakan insentif negatif dimana pengusaha lebih memilih mengabaikan prosedur untuk menghemat waktu dan biaya, karena konsekuensi finansialnya sama saja.

Ketiga, putusan ini berpotensi menjadi preseden buruk bagi perlindungan pekerja dalam kasus-kasus serupa. Hakim pada tingkat bawah dapat merujuk pada putusan ini untuk membenarkan pemberian kompensasi force majeure kepada pengusaha yang melanggar prosedur dengan alasan pragmatis. Preseden ini akan melemahkan fungsi protektif Pasal 151 dan membuka celah bagi pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja sepihak dengan dalih force majeure tanpa mengikuti prosedur yang sah [3].

Keempat, putusan ini tidak menyelesaikan persoalan mendasar mengenai standar pembuktian force majeure. Mahkamah Agung tampak menerima dalil pandemi COVID-19 sebagai force majeure tanpa melakukan pemeriksaan mendalam mengenai dampak spesifik pandemi terhadap perusahaan tertentu. Penetapan pandemi sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 tidak secara otomatis berarti bahwa setiap perusahaan mengalami force majeure yang membenarkan pemutusan hubungan kerja [4]. Setiap perusahaan mengalami dampak yang berbeda tergantung sektor usaha, skala usaha, kondisi keuangan sebelum pandemi, dan upaya mitigasi yang dilakukan. Pengusaha seharusnya dibebani kewajiban pembuktian yang ketat untuk menunjukkan bahwa pandemi benar-benar menyebabkan ketidakmungkinan melanjutkan hubungan kerja, bukan sekedar kesulitan atau penurunan keuntungan yang merupakan risiko bisnis normal.

Berdasarkan kritik-kritik tersebut, dapat diajukan alternatif konstruksi normatif yang lebih memberikan perlindungan kepada pekerja dan konsisten dengan prinsip supremasi hukum. Alternatif pertama adalah bahwa pelanggaran terhadap Pasal 151 ayat (3) harus membawa konsekuensi pemberian kompensasi sesuai ketentuan pemutusan hubungan kerja normal (2 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak) tanpa dapat dikurangi dengan dalih force majeure. Konstruksi ini didasarkan pada prinsip bahwa pengusaha yang melanggar norma imperatif tidak seharusnya mendapat keringanan apapun. Force majeure hanya dapat dijadikan alasan untuk mengurangi kompensasi apabila prosedur yang benar telah diikuti. Apabila prosedur dilanggar, maka hak untuk menggunakan dalil force majeure gugur demi hukum [15].

Alternatif kedua adalah memberikan kompensasi tambahan berupa sanksi finansial kepada pengusaha yang melanggar prosedur. Selain kompensasi force majeure sesuai Pasal 164 ayat (1), pengusaha harus membayar denda atau kompensasi tambahan sebagai sanksi atas pelanggaran prosedur. Besaran sanksi dapat ditetapkan sebesar 1 kali uang pesangon sehingga total kompensasi menjadi 2 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Konstruksi ini menciptakan pembedaan yang jelas antara pengusaha yang patuh dengan pengusaha yang melanggar, sehingga memberikan insentif untuk mematuhi prosedur.

Alternatif ketiga adalah menerapkan standar pembuktian yang lebih ketat terhadap dalil force majeure. Pengusaha yang melanggar prosedur harus membuktikan dengan standar pembuktian yang lebih tinggi bahwa benar-benar terjadi force majeure yang memenuhi seluruh unsur menurut doktrin hukum. Beban pembuktian yang lebih berat ini merupakan konsekuensi dari pelanggaran prosedur dan memberikan perlindungan tambahan kepada pekerja. Standar pembuktian yang lebih tinggi dapat berupa kewajiban menyampaikan laporan keuangan yang diaudit, bukti upaya mitigasi yang telah dilakukan, surat keterangan dari instansi berwenang, dan dokumen-dokumen lain yang menunjukkan dampak riil force majeure terhadap perusahaan secara spesifik [5].Ketiga alternatif konstruksi normatif tersebut lebih konsisten dengan prinsip perlindungan pekerja dan memberikan efek jera yang memadai kepada pengusaha untuk tidak mengabaikan prosedur hukum. Konstruksi-konstruksi ini juga lebih sejalan dengan asas ultimum remedium yang menjadi landasan filosofis Pasal 151, karena memastikan bahwa pengusaha benar-benar mengupayakan alternatif selain pemutusan hubungan kerja melalui proses perundingan dan mediasi yang diwajibkan undang-undang. Penerapan salah satu alternatif konstruksi normatif ini dalam putusan-putusan mendatang akan memperkuat fungsi protektif hukum ketenagakerjaan dan memberikan kepastian hukum yang lebih baik bagi pekerja maupun pengusaha.

Simpulan

Pengaturan hukum mengenai pemutusan hubungan kerja yang diakibatkan force majeure menurut Pasal 164 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 jo. PP No. 35 Tahun 2021 memberikan kompensasi berupa 1 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Permasalahan mendasar adalah ketiadaan definisi legal force majeure, kriteria objektif, dan standar pembuktian yang jelas dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Pengusaha yang mendalilkan force majeure harus membuktikan secara konkret bahwa keadaan tersebut memenuhi unsur tidak dapat diduga sebelumnya, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pengusaha, dan bersifat mutlak sehingga tidak mungkin melanjutkan hubungan kerja. Penetapan pandemi COVID-19 sebagai bencana nasional tidak secara otomatis membuktikan force majeure bagi setiap perusahaan, melainkan harus dibuktikan dampak spesifiknya terhadap masing-masing perusahaan.

Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan PT Bintang Prima Lestari Utama terhadap Surianto tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah bertentangan dengan Pasal 151 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 yang bersifat imperatif dan tanpa pengecualian. Mahkamah Agung menegaskan bahwa kewajiban prosedural bersifat mutlak dan tidak dapat dikesampingkan dengan dalil force majeure. Meskipun demikian, Mahkamah Agung tetap mempertimbangkan aspek substantif berupa force majeure dalam menentukan besaran kompensasi dengan menerapkan Pasal 164 ayat (1). Pendekatan ini menciptakan inkonsistensi karena pengusaha yang melanggar norma imperatif justru mendapat keringanan kompensasi, sehingga tidak memberikan efek jera yang memadai dan berpotensi melemahkan fungsi protektif hukum ketenagakerjaan.

Pembentuk undang-undang perlu melakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan untuk memasukkan definisi legal force majeure yang tegas dan komprehensif, kriteria objektif untuk membedakannya dengan kesulitan ekonomi biasa, serta mekanisme dan standar pembuktian yang ketat agar tidak disalahgunakan oleh pengusaha untuk mengurangi hak-hak pekerja. Mahkamah Agung perlu menerbitkan pedoman atau Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang mengatur secara tegas bahwa pelanggaran terhadap kewajiban prosedural dalam Pasal 151 ayat (3) harus membawa konsekuensi pemberian kompensasi yang lebih tinggi atau sanksi finansial tambahan sebagai efek jera, sehingga pengusaha yang melanggar prosedur tidak mendapat keringanan kompensasi meskipun terdapat force majeure yang sah. Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan perlu melakukan sosialisasi intensif kepada pengusaha dan pekerja mengenai prosedur pemutusan hubungan kerja yang benar, pentingnya mengikuti mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, serta memperkuat fungsi pengawasan ketenagakerjaan untuk mencegah pemutusan hubungan kerja sepihak yang melanggar ketentuan Pasal 151 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003.

References

L. Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Revised Ed. Jakarta, Indonesia: PT RajaGrafindo Persada, 2014.

I. Yasar, “Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Atas Tindakan Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha Secara Sepihak,” Arena Hukum, vol. 11, no. 1, pp. 94–110, 2018.

A. Wijayanti, “Perlindungan Hukum Bagi Pekerja yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja Akibat Perusahaan Pailit,” Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, vol. 8, no. 1, pp. 107–123, 2019.

D. Ramadhani and W. Suryandono, “Perlindungan Hukum Pekerja dalam Pemutusan Hubungan Kerja Akibat Pandemi Covid-19,” Jurnal Ilmu Hukum, vol. 10, no. 2, pp. 312–330, 2021.

A. Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung, Indonesia: Citra Aditya Bakti, 2014.

M. H. Shubhan, “Pemutusan Hubungan Kerja Karena Alasan Mendesak (Force Majeure) Perspektif Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, vol. 28, no. 3, pp. 587–603, 2021.

A. Uwiyono, S. H. Hoesin, W. Suryandono, and M. Kiswandari, Asas-Asas Hukum Perburuhan. Jakarta, Indonesia: RajaGrafindo Persada, 2014.

J. Satrio, Wanprestasi Menurut KUHPerdata, Doktrin, dan Yurisprudensi. Bandung, Indonesia: PT Citra Aditya Bakti, 2014.

Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia: Dinamika dan Kajian Teori. Bogor, Indonesia: Ghalia Indonesia, 2010.

A. Kamilah, F. Kusworo, N. May, and R. Lestari, “Doktrin Force Majeure dalam Hukum Perikatan: Implikasi terhadap Kontrak Bisnis di Era Digital,” Indonesian Journal of Law and Justice, vol. 2, no. 4, pp. 11–25, 2025, doi: 10.47134/ijlj.v2i4.3870.

R. Subekti and R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta, Indonesia: Pradnya Paramita, 2008.

Y. J. Christiawan, “Kompetensi dan Independensi Akuntan Publik: Refleksi Hasil Penelitian Empiris,” Jurnal Akuntansi dan Keuangan, vol. 4, no. 2, pp. 79–92, 2002.

G. Suhardi, “Peranan Hukum dalam Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan,” Jurnal Pembaharuan Hukum, vol. 3, no. 2, pp. 185–198, 2016.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor 374 K/Pdt.Sus-PHI/2023, 2023.

C. Bagenda, S. M. Murni, Y. Fitrian, C. Andika, and N. Hidayati, “Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Perjanjian Berdasarkan Keadaan Memaksa (Force Majeure),” Jurnal Kolaboratif Sains, vol. 7, no. 12, pp. 4763–4768, 2024, doi: 10.56338/jks.v7i12.6569.