Login
Section Labor Law

The Legal Status of Gig Economy Workers in Indonesia's Digital Platform Industry (2022-2025)

Problematika Status Hukum Pekerja Gig Economy dalam Industri Platform Digital Indonesia (2022-2025)
Vol. 21 No. 1 (2026): February:

Adi Pratomo Kusuma Wardhana (1), Rasji Rasji (2)

(1) Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

General Background: The rapid expansion of Indonesia’s digital economy during 2022–2025 has intensified the reliance on gig-based labor across transportation, logistics, and on-demand services. Specific Background: Despite their substantial contribution, gig workers’ legal standing remains ambiguous because platform companies categorize them as “partners” while exercising algorithmic control resembling conventional employment. Knowledge Gap: Existing Indonesian labor regulations have not adapted to digital platform work, leaving uncertainty regarding worker rights, social protection, and dispute-resolution mechanisms. Aims: This study analyzes the legal status of gig workers in Indonesia’s platform industry and examines the legal problems arising from the absence of explicit regulatory recognition. Results: Findings show that gig workers fulfill substantive elements of employment—work, wage, and command—yet remain excluded from protections related to minimum income, social security, occupational safety, and industrial dispute settlement. Novelty: This research provides a comprehensive doctrinal analysis demonstrating that algorithmic management constitutes a form of digital subordination, positioning gig workers within disguised employment relationships under Indonesian labor law. Implications: Regulatory reform is urgently required to establish clear employment categories, ensure fair protection standards, and align national policy with global trends in safeguarding platform workers.


Highlights:




  • Gig workers exhibit substantive employment elements despite being labeled as partners.




  • Algorithmic management creates digital subordination and economic dependency.




  • Regulatory gaps leave gig workers without adequate social, wage, and dispute-resolution protections.




Keywords: Gig Economy, Platform Work, Legal Status, Algorithmic Control, Labor Protection

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Gig economy telah menjadi fenomena global, termasuk di Indonesia, di mana jutaan masyarakat bekerja sebagai pengemudi ojek daring, kurir logistik, pekerja lepas desain grafis, penulis konten, task-based worker, atau penyedia layanan rumah tangga berbasis aplikasi [1]. Namun, meskipun platform digital menyebut mereka sebagai “mitra”, praktik hubungan kerja yang terbentuk menunjukkan adanya indikasi kuat bahwa relasi tersebut sebenarnya masuk kategori hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya pekerjaan, perintah, dan upah. Dalam konteks pekerja gig, platform memberikan tugas (jobs) melalui aplikasi, melakukan pengaturan tarif dan insentif, menentukan wilayah kerja melalui algoritma, serta menerapkan sistem suspend dan offboarding sepihak yang pada hakikatnya mencerminkan unsur “perintah”. Di saat yang sama, penghasilan pekerja ditentukan oleh tarif yang sepenuhnya diatur platform, sehingga terpenuhi pula unsur “upah” sebagaimana diatur dalam Pasal 88 dan Pasal 89 UU Ketenagakerjaan. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa meskipun diberi label “kemitraan”, hubungan yang berjalan memiliki substansi hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam hukum positif Indonesia [2].

Lebih lanjut, pola relasi yang terbentuk antara pekerja gig dan perusahaan platform memperlihatkan kontrol yang sangat intensif melalui mekanisme algoritmik, seperti rating system, penentuan order, pemantauan lokasi, penilaian performa, dan sistem sanksi otomatis. Mekanisme kontrol data ini pada satu sisi bertentangan dengan prinsip kemitraan sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM, yang menekankan adanya kesetaraan, saling membutuhkan, dan saling menguntungkan [3]. Dalam kenyataannya, posisi tawar pekerja gig jauh lebih lemah, dan mereka tidak memiliki kebebasan penuh untuk menegosiasikan tarif, syarat kerja, ataupun mekanisme penghentian kemitraan. Bahkan, pengendalian yang dilakukan platform melalui sistem algoritmik berpotensi memenuhi kriteria hubungan kerja subordinatif dalam doktrin hubungan industrial, di mana majikan mengendalikan cara dan proses kerja pekerja. Dengan demikian, penggunaan istilah “mitra” oleh platform bukan hanya tidak relevan secara empiris, tetapi juga berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap asas perlindungan pekerja dan kepastian hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 huruf b Undang-Undang Ketenagakerjaan [4].

Pada saat yang sama, perkembangan teknologi dan meningkatnya kebutuhan masyarakat menyebabkan platform digital mendominasi sektor transportasi publik, logistik, dan layanan harian. Hal ini mengakibatkan pekerja gig mengalami ketergantungan ekonomi terhadap platform, sehingga mereka sulit menolak aturan atau perubahan kebijakan sepihak yang diberlakukan [5]. Ketergantungan tersebut semakin memperkuat argumentasi bahwa pekerja gig berada dalam posisi hubungan kerja terselubung (concealed employment). Sayangnya, hingga 2025, Indonesia belum memiliki regulasi komprehensif yang secara tegas mengatur status pekerja platform digital. Pemerintah memang telah menerbitkan beberapa regulasi sektoral, seperti Permenhub Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor untuk Kepentingan Masyarakat, yang mengatur ketentuan tarif dan keselamatan pengemudi ojek online. Namun regulasi ini tidak menyelesaikan persoalan mendasar mengenai status hukum pekerja, karena hanya mengatur aspek teknis transportasi, bukan hubungan industrial atau hak pekerja [6].

Ketidaksinkronan antara praktik industri dan kerangka hukum ketenagakerjaan mengakibatkan kekosongan norma yang berdampak serius bagi perlindungan pekerja gig. Misalnya, Pasal 99 hingga Pasal 101 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa semua pekerja berhak mendapatkan jaminan sosial. Namun karena pekerja gig tidak diakui sebagai pekerja, mereka tidak otomatis mendapatkan perlindungan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan seperti pekerja lainnya. Kontrol algoritmik yang memaksa pekerja untuk bekerja dalam ritme tinggi juga menimbulkan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (K3), tetapi perlindungan K3 yang diatur dalam Pasal 86 dan Pasal 87 UU Ketenagakerjaan tidak dapat diberlakukan kepada mereka. Selain itu, tidak adanya pengakuan hubungan kerja menyebabkan pekerja gig tidak dapat mengajukan sengketa hubungan industrial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, sehingga akses terhadap keadilan bagi pekerja gig menjadi sangat terbatas [7].

Pada aspek lain, perubahan tarif dan insentif yang dilakukan sepihak oleh platform juga menimbulkan persoalan mengenai kepastian pendapatan. Pasal 88A dan 88B UU Ketenagakerjaan menegaskan bahwa pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan layak. Namun dalam gig economy, penurunan tarif per kilometer, pemotongan biaya layanan, dan perubahan skema insentif sering terjadi tanpa negosiasi atau partisipasi pekerja. Hal ini bertentangan dengan asas fairness dalam hukum ketenagakerjaan serta prinsip non-diskriminasi dalam Pasal 6 UU Ketenagakerjaan. Dengan demikian, status “mitra” yang disematkan pada pekerja gig bukan hanya tidak mencerminkan kenyataan hubungan kerja, tetapi juga menyebabkan hak-hak pekerja yang diatur dalam hukum positif tidak dapat dipenuhi. Pada akhirnya, seluruh kondisi tersebut memperlihatkan bahwa gig economy tumbuh sangat cepat sementara kerangka hukum ketenagakerjaan Indonesia tidak berkembang secepat itu. Akibatnya, pekerja gig berada dalam posisi rentan, tidak memiliki perlindungan hukum yang memadai, dan sering kali menanggung seluruh risiko operasional pekerjaan. Ketidaksinkronan antara kenyataan empiris dan norma hukum inilah yang menjadi akar permasalahan hukum status pekerja gig di Indonesia pada periode 2022–2025.

Rumusan masalah dalam penelitian ini difokuskan pada dua aspek utama. Pertama, bagaimana status hukum pekerja gig economy dalam industri platform digital di Indonesia pada periode 2022–2025 jika ditinjau dari kerangka hukum ketenagakerjaan nasional, mengingat belum adanya kejelasan mengenai posisi mereka apakah sebagai pekerja, mitra, atau bentuk hubungan kerja lain. Kedua, apa saja problematika hukum yang muncul akibat ketidakjelasan hubungan antara pekerja gig dan perusahaan platform digital, termasuk persoalan perlindungan hak, jaminan sosial, dan kepastian hukum dalam pelaksanaan hubungan kerja di sektor ekonomi berbasis platform tersebut.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk mengkaji kesesuaian dan kekosongan norma dalam regulasi ketenagakerjaan Indonesia, terutama Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 beserta Putusan MK terkait, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, serta regulasi sektoral seperti Peraturan Menteri Perhubungan mengenai transportasi daring. Melalui pendekatan ini, penelitian menilai sejauh mana peraturan yang ada mampu menjawab permasalahan status hukum pekerja gig dan perlindungannya dalam hubungan kerja digital. Pendekatan konseptual digunakan untuk menelaah teori-teori hubungan kerja, konsep kemitraan, prinsip perlindungan pekerja, serta perkembangan doktrin mengenai gig economy dalam literatur hukum kontemporer. Pendekatan ini membantu membangun kerangka teoritis untuk memahami apakah hubungan antara pekerja gig dan platform digital lebih tepat dikualifikasikan sebagai hubungan kerja, hubungan kemitraan, atau hybrid employment model yang membutuhkan norma baru.

Selain itu, pendekatan kasus dilakukan dengan menganalisis putusan-putusan pengadilan yang relevan, termasuk putusan Mahkamah Agung dan putusan Pengadilan Hubungan Industrial terkait perselisihan antara pekerja gig dan perusahaan platform. Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola argumentasi, kecenderungan putusan, serta perbedaan interpretasi mengenai unsur-unsur hubungan kerja. Data sekunder diperoleh dari literatur buku, jurnal nasional, laporan penelitian, dan kebijakan pemerintah periode 2022–2025. Data kemudian dianalisis secara kualitatif melalui penafsiran sistematis, historis, dan teleologis untuk menemukan jawaban atas problematika hukum yang muncul akibat ketidakjelasan status pekerja gig. Dengan metode tersebut, penelitian ini berupaya memberikan gambaran komprehensif mengenai kebutuhan pembaruan regulasi guna menciptakan kepastian hukum dalam industri platform digital Indonesia.

Hasil dan Pembahasan

A. Status Hukum Pekerja Gig Economy Dalam Industri Platform Digital Indonesia Pada Periode 2022–2025 Berdasarkan Kerangka Hukum Ketenagakerjaan Nasional

Perkembangan gig economy di Indonesia pada periode 2022–2025 membawa perubahan besar dalam dinamika ketenagakerjaan nasional. Dengan semakin dominannya platform digital seperti Gojek, Grab, Maxim, ShopeeFood, Lalamove, dan berbagai freelance marketplace, hubungan kerja tradisional berubah menjadi model hibrida yang memadukan fleksibilitas, teknologi algoritmik, dan pola kerja berdasarkan permintaan (on-demand) [8]. Namun, perubahan ini tidak diiringi pembaruan regulasi yang memadai, sehingga menimbulkan persoalan mendasar mengenai status hukum pekerja gig dalam kerangka hukum ketenagakerjaan Indonesia. Pada bagian ini, pembahasan difokuskan pada bagaimana posisi pekerja gig dalam hukum positif Indonesia, bagaimana unsur “hubungan kerja” seharusnya dikonstruksi, serta problematika yang muncul akibat ketidakjelasan status tersebut [9].

Status hukum pekerja gig economy pada periode 2022–2025 merupakan salah satu isu paling kompleks dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia. Kompleksitas ini muncul karena relasi kerja pada industri platform digital tidak sesuai dengan struktur normatif yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, serta regulasi turunannya seperti PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Pada dasarnya, hukum ketenagakerjaan Indonesia hanya mengenal dua bentuk hubungan kerja formal: hubungan kerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Keduanya didasarkan pada unsur hubungan kerja sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan, yaitu adanya (1) pekerjaan, (2) upah, dan (3) perintah. Namun, dalam praktik gig economy, pekerja kerap dikategorikan sebagai mitra sehingga tidak dianggap berada dalam hubungan kerja, meskipun secara faktual platform mengendalikan hampir seluruh aspek proses kerja melalui algoritma digital, sistem penilaian kinerja, dan ketentuan sepihak dalam Terms of Use [10].

Dari sisi legal formal, relasi kerja dalam platform digital pada periode 2022–2025 mengalami ketegangan antara fakta lapangan dan norma hukum. Perusahaan platform seperti transportasi daring, layanan pengantaran makanan, kurir logistik, maupun platform jasa profesional terus mempertahankan skema kemitraan yang berlandaskan Perjanjian Kemitraan, Terms and Conditions, atau Service Agreement. Skema ini dibuat agar perusahaan platform tidak dikualifikasikan sebagai pemberi kerja sehingga tidak berkewajiban melaksanakan perlindungan normatif seperti jaminan upah minimum (Pasal 88 UU Ketenagakerjaan), jaminan sosial ketenagakerjaan (Pasal 99), waktu kerja dan waktu istirahat (Pasal 77–85), ataupun perlindungan K3 (Pasal 86). Namun, penelitian empiris pada 2022–2025 menunjukkan bahwa pekerja gig tetap bergantung pada platform untuk mendapatkan order, tunduk pada sistem algoritmik yang mempengaruhi jam kerja dan pendapatan, serta dapat mengalami suspend sepihak tanpa mekanisme keberatan [11]. Hal ini memperlihatkan bahwa unsur “perintah” tetap ada meskipun disamarkan dalam bentuk instruksi digital. Dengan demikian, terdapat indikasi kuat bahwa hubungan kerja sesungguhnya lebih dekat kepada hubungan kerja subordinatif daripada hubungan kemitraan yang setara [12].

Selanjutnya, Pasal 50 UU Ketenagakerjaan menegaskan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pekerja dan pemberi kerja. Perjanjian kerja tersebut dapat dibuat baik secara tertulis maupun lisan, namun harus memuat syarat-syarat tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 52–54. Dalam industri platform digital, hubungan ini tidak muncul melalui mekanisme perjanjian kerja, melainkan melalui persetujuan elektronik yang bersifat sepihak (adhesion contract). Model kontrak seperti ini tidak memungkinkan pekerja untuk melakukan negosiasi sehingga menunjukkan ketidakseimbangan posisi tawar. Dari perspektif doktrin hukum kontrak, model perjanjian yang dipaksakan (take it or leave it) tersebut dapat dianggap tidak memenuhi unsur kesetaraan para pihak sebagaimana prinsip kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Kondisi ini memperkuat argumen bahwa relasi antara platform dan pekerja gig bukanlah hubungan kemitraan yang setara, melainkan hubungan kerja terselubung (disguised employment relationship) yang seharusnya tunduk pada hukum ketenagakerjaan [13].Di sisi lain, PP No. 35 Tahun 2021 mengenai PKWT, alih daya, dan hubungan kerja memberikan indikator yang semakin memperjelas status hubungan kerja. Regulasi ini menegaskan bahwa pekerja yang terikat pada sistem kerja yang dikendalikan, diawasi, dan dinilai oleh perusahaan, termasuk dalam hubungan kerja subordinatif. Dalam konteks platform digital, sistem algoritma memiliki fungsi yang secara substansial sama dengan manajer atau supervisor pada perusahaan konvensional [14]. Algoritma menentukan besaran tarif, urutan order, disiplin kerja, hingga sanksi. Apabila pekerja menolak order tertentu, sistem dapat menurunkan tingkat penerimaan (acceptance rate) yang kemudian berdampak pada skor kinerja dan peluang mendapatkan order. Mekanisme ini menunjukkan adanya functional control yang bersifat permanen [15]. Dengan demikian, unsur perintah dalam Pasal 1 angka 15 terpenuhi bukan melalui perintah langsung manusia, tetapi perintah yang termanifestasi dalam bentuk sistem digital. Model pengawasan algorithmic control ini menyebabkan para pekerja gig tetap berada pada posisi subordinasi sebagaimana pekerja formal. Selain itu, dari perspektif perlindungan sosial, status hukum pekerja gig economy juga dapat dianalisis melalui ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan. Pemerintah memang telah menetapkan bahwa pekerja platform dapat dikategorikan sebagai Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) sehingga dapat mengikuti skema BPJS secara mandiri. Namun, hal ini tidak menjawab permasalahan inti, yaitu siapa yang seharusnya menanggung kewajiban iuran dasar jika pekerja tersebut sesungguhnya adalah pekerja dalam hubungan kerja. Menurut Pasal 19 UU BPJS, pemberi kerja wajib mendaftarkan dan membayar iuran jaminan sosial bagi pekerjanya. Dengan demikian, jika pekerja gig dianggap memiliki hubungan kerja substantif, maka kewajiban itu seharusnya berada pada perusahaan platform. Namun, karena platform mendefinisikan pekerja sebagai mitra, seluruh beban iuran dialihkan kepada individu. Hal ini menyebabkan pekerja gig tidak memperoleh perlindungan jaminan sosial yang layak, terutama dalam konteks risiko kecelakaan kerja yang sangat tinggi pada sektor transportasi daring dan kurir logistik [16].

Dalam konteks hukum sektoral, beberapa peraturan telah terbit untuk merespons fenomena kerja platform, tetapi sifatnya masih parsial dan tidak menyentuh hubungan kerja secara menyeluruh. Misalnya, Permenhub No. 12 Tahun 2019 yang mengatur ojek daring hanya menyentuh aspek tarif, keselamatan, dan kemitraan, namun tidak mengatur hubungan kerja. Di bidang logistik, tidak ada satu pun regulasi yang mengakui status pekerja platform sebagai pekerja formal. Kemudian, SE Menaker No. M/1/HK.04/II/2022 tentang Perlindungan Pekerja Berbasis Aplikasi memang berisi imbauan kepada platform untuk memberikan perlindungan K3, jaminan sosial, dan skema penyelesaian perselisihan [17]. Namun, sifatnya hanya surat edaran yang tidak memiliki kekuatan mengikat dan tidak dapat menegasi norma UU Ketenagakerjaan. Dengan demikian, regulasi-regulasi tersebut tidak memberikan kepastian status hukum, melainkan hanya memperkuat narasi kemitraan yang menguntungkan platform dan melemahkan posisi pekerja.

Permasalahan hukum ini semakin diperparah oleh absennya norma yang secara tegas mengatur hubungan kerja digital atau platform work. Undang-undang Cipta Kerja yang seharusnya mereformasi ketenagakerjaan tidak mengakomodasi bentuk kerja baru yang muncul akibat digitalisasi. Padahal, karakter gig economy sangat berbeda dengan hubungan kerja konvensional, baik dari segi fleksibilitas, model pendapatan, maupun struktur kontrol. Kekosongan hukum ini menyebabkan penegakan hukum tidak dapat berjalan optimal karena hukum belum mampu menjangkau realitas sosial yang berubah akibat perkembangan teknologi. Alhasil, terjadi ketidaksinkronan antara norma hukum dengan praktik industri, di mana pekerja platform berada pada wilayah abu-abu: tidak sepenuhnya pekerja, tetapi juga tidak memiliki karakter mitra yang sejajar secara ekonomi maupun kontraktual [17].

Hal lain yang memperkuat status subordinatif pekerja gig economy adalah mekanisme suspend atau putus mitra secara sepihak. Pada banyak kasus antara 2022–2025, pekerja gig dapat dinonaktifkan dari aplikasi tanpa pemberitahuan yang jelas, tanpa mekanisme pembelaan diri, dan tanpa kompensasi apa pun [18]. Dalam hukum ketenagakerjaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak bertentangan dengan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan yang mewajibkan adanya perundingan terlebih dahulu serta penyelesaian melalui Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PHI). Ketentuan ini menunjukkan bahwa bila hubungan kerja benar-benar setara sebagaimana konsep kemitraan, maka platform tidak dapat memutus hubungan sepihak. Namun kenyataannya berbeda: pekerja berada pada posisi bergantung penuh pada aplikasi, sementara perusahaan dapat memutus hubungan sewaktu-waktu. Ini menunjukkan bahwa hubungan kerja yang terjadi tidak memiliki ciri kemitraan, melainkan relasi kekuasaan sepihak sebagaimana hubungan kerja subordinatif.

Lebih jauh, fenomena ketidakpastian status hukum ini juga berdampak pada perlindungan pendapatan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 88 dan Pasal 89 UU Ketenagakerjaan, pekerja berhak atas upah yang layak serta perlindungan upah minimum. Namun, dalam platform work, tarif layanan sepenuhnya ditentukan oleh platform melalui formula algoritmik yang dapat berubah sewaktu-waktu tanpa konsultasi dengan pekerja. Ketidakpastian tarif ini mengakibatkan pendapatan pekerja sangat fluktuatif dan sering kali berada di bawah upah minimum kota (UMK), terutama setelah adanya kebijakan pengurangan insentif pada 2022–2025. Apabila pekerja gig dianggap sebagai pekerja dalam hubungan kerja, maka kondisi ini jelas merupakan pelanggaran terhadap hak atas upah layak. Namun, jika mereka digolongkan sebagai mitra, maka perlindungan upah tidak berlaku sama sekali. Dengan demikian, ketidakjelasan status hukum menyebabkan hilangnya perlindungan pendapatan yang seharusnya dijamin oleh negara [18].

Selain aspek pendapatan, pekerja gig juga tidak dilindungi oleh norma mengenai waktu kerja dan waktu istirahat sebagaimana diatur dalam Pasal 77–85 UU Ketenagakerjaan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak pekerja gig, khususnya pengemudi ojek daring dan kurir logistik, bekerja lebih dari 12 jam per hari demi mencapai jumlah order yang cukup untuk pendapatan minimum. Tidak adanya waktu istirahat wajib menyebabkan tingginya risiko kecelakaan kerja. Apabila mereka dianggap sebagai pekerja, maka kondisi tersebut melanggar batas jam kerja maksimal 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Namun, karena status mereka dikonstruksi sebagai mitra, platform tidak memiliki kewajiban memberikan waktu kerja yang wajar ataupun jaminan istirahat. Ketidakpastian hukum inilah yang kemudian memperkuat eksploitasi terselubung dalam industri gig economy.

Dalam perkembangan global, berbagai negara telah mengakui bahwa pekerja gig economy tidak dapat diperlakukan sebagai mitra, melainkan sebagai pekerja dengan perlindungan tertentu (worker). Inggris melalui UK Supreme Court Uber Decision (2021) menetapkan bahwa pengemudi Uber adalah worker. Uni Eropa juga mengesahkan EU Platform Work Directive (2023) yang mengatur presumption of employment. Perkembangan internasional ini menjadi penting karena industri platform di Indonesia mengadopsi model bisnis global yang sama. Namun, Indonesia belum memiliki regulasi yang sejalan dengan tren perlindungan global. Dengan demikian, kerangka hukum ketenagakerjaan Indonesia antara 2022–2025 masih tertinggal dan belum mampu memberikan kejelasan status serta perlindungan yang memadai bagi pekerja platform digital. Berdasarkan seluruh uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa status hukum pekerja gig economy pada periode 2022–2025 berada dalam kondisi ketidakpastian normatif (legal uncertainty) yang sangat merugikan pekerja. Secara faktual, pekerja gig menjalankan pekerjaan yang memiliki ciri-ciri hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan. Namun secara hukum, mereka diposisikan sebagai mitra untuk menghindari kewajiban perlindungan normatif. Ketidaksesuaian antara norma hukum, doktrin ketenagakerjaan, dan praktik industri menyebabkan pekerja platform tidak memperoleh perlindungan upah, jaminan sosial, K3, waktu kerja yang layak, maupun mekanisme penyelesaian perselisihan yang adil. Dengan demikian, status hukum pekerja gig economy tidak dapat dikategorikan sebagai mitra sejajar, tetapi secara substansial lebih dekat kepada pekerja dalam hubungan kerja yang seharusnya dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan nasional.

B. Problematika Hukum yang Muncul Akibat Tidak Jelasnya Hubungan antara Pekerja Gig dan Perusahaan Platform Digital

Ketidakjelasan hubungan antara pekerja gig dan perusahaan platform digital dalam periode 2022–2025 memunculkan berbagai problematika hukum yang bersifat struktural, normatif, maupun implementatif. Problematika ini lahir karena sistem hukum ketenagakerjaan Indonesia masih berorientasi pada hubungan kerja tradisional yang mensyaratkan adanya unsur pekerjaan, upah, dan perintah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diperbarui melalui UU Cipta Kerja. Namun, perkembangan industri platform digital menciptakan model baru hubungan kerja yang tidak secara jelas masuk dalam dua kategori hubungan kerja formal (PKWT atau PKWTT) maupun kemitraan murni sebagaimana dikenal dalam hukum perdata. Ambiguitas ini menyebabkan kekosongan norma yang kemudian berimplikasi pada hilangnya perlindungan hukum, ketidakpastian status, dan rawan terjadinya eksploitasi terselubung terhadap jutaan pekerja platform digital di Indonesia [19].

Salah satu problematika paling mendasar adalah ketidakjelasan status hukum pekerja gig, apakah mereka merupakan “pekerja dalam hubungan kerja” atau “mitra independen”. Perusahaan platform digital seperti Gojek, Grab, ShopeeFood, Maxim, Lalamove, maupun platform jasa profesional selalu menyebut pekerja sebagai “mitra”, bukan “pekerja”, yang secara hukum berarti menegaskan bahwa tidak ada hubungan kerja subordinatif [20]. Namun, dalam kenyataannya, seluruh proses kerja dikendalikan oleh platform, mulai dari penentuan tarif, sistem algoritma yang mendistribusikan order, hingga sanksi berupa suspend atau pemutusan kemitraan [21]. Ketika pekerja harus mengikuti standar operasional yang ditentukan perusahaan platform dan pendapatan mereka sepenuhnya ditentukan oleh aplikasi, maka terdapat unsur “perintah” yang bersifat terselubung. Ketidaksesuaian antara label kontrak (kemitraan) dan fakta hubungan kerja (subordinasi) membuat pekerja tidak dapat menikmati perlindungan normatif sebagaimana diatur dalam Pasal 88 tentang hak atas upah layak, Pasal 86 tentang hak atas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, atau Pasal 77–85 tentang waktu kerja, istirahat, dan lembur.

Problematika berikutnya berkaitan dengan hilangnya perlindungan upah dan standar minimum pendapatan. Dalam hukum ketenagakerjaan, negara wajib mengatur upah minimum untuk menjamin standar hidup yang layak bagi pekerja. Namun, karena pekerja gig dianggap sebagai mitra, tarif mereka tidak tunduk pada ketentuan upah minimum provinsi/kota. Tarif layanan sepenuhnya ditentukan secara sepihak oleh perusahaan platform melalui formula algoritmik yang dapat berubah tanpa pemberitahuan sebelumnya [22]. Pada 2022–2025, banyak platform menurunkan insentif, membatasi bonus, dan mengubah skema perhitungan jarak tempuh, yang mengakibatkan penurunan drastis pendapatan pekerja. Kondisi ini memperlihatkan adanya ketidakadilan struktural karena pekerja tidak dapat menegosiasikan tarif maupun menolak perubahan sepihak. Jika pekerja gig dikualifikasi sebagai pekerja formal, maka kebijakan pemotongan insentif atau penurunan tarif tanpa persetujuan pekerja jelas bertentangan dengan Pasal 91 UU Ketenagakerjaan yang melarang pemberi kerja membayar upah lebih rendah dari ketentuan minimum. Ambiguitas status pekerja gig membuat perlindungan upah tidak dapat diberlakukan sehingga pekerja berada pada situasi rawan eksploitasi ekonomi.

Dalam aspek hubungan kerja, problematika lain juga muncul terkait ketiadaan pengaturan mengenai jam kerja, waktu istirahat, dan hak cuti. Pekerja gig tidak memiliki jam kerja tetap karena dianggap bekerja secara mandiri. Namun, kenyataannya, algoritma aplikasi sangat mendorong mereka bekerja lebih lama agar dapat memperoleh insentif harian atau memenuhi target tertentu. Di sektor ojek daring dan kurir logistik, banyak pekerja yang bekerja lebih dari 12–14 jam per hari tanpa istirahat yang memadai [23]. Pada saat yang sama, aplikasi tidak memberikan batas maksimal jam kerja sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 77 UU Ketenagakerjaan yang mengatur waktu kerja 40 jam per minggu. Tidak adanya perlindungan terhadap jam kerja membuat pekerja berada dalam situasi berbahaya, terutama bagi pengemudi transportasi daring yang menghadapi risiko kecelakaan di jalan. Jika seorang pekerja formal mengalami kecelakaan akibat kelelahan bekerja, maka negara mewajibkan pemberi kerja memberikan perlindungan BPJS Ketenagakerjaan, termasuk Jaminan Kecelakaan Kerja. Namun, pekerja platform tidak mendapatkan perlindungan tersebut karena status mereka dianggap bukan pekerja, sehingga saat terjadi kecelakaan mereka harus menanggung biaya sendiri. Ketidakjelasan status ini melahirkan problematika besar dalam perlindungan keselamatan kerja, meskipun pekerjaan mereka memiliki risiko tinggi.

Problematika hukum berikutnya adalah ketiadaan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dalam hukum ketenagakerjaan, setiap perselisihan antara pekerja dan pemberi kerja harus diselesaikan melalui tahapan perundingan bipartit, mediasi, konsiliasi, hingga penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Namun, mekanisme ini tidak dapat digunakan oleh pekerja gig karena hubungan mereka dengan platform tidak diakui sebagai hubungan kerja [24]. Akibatnya, ketika pekerja mengalami suspend sepihak, pengurangan tarif, atau akun dinonaktifkan secara tidak adil, mereka tidak dapat mengajukan gugatan ke PHI. Satu-satunya mekanisme yang tersedia adalah pengaduan melalui pusat bantuan pelanggan atau menyampaikan keberatan kepada pihak platform, yang pada praktiknya sering kali tidak responsif. Tidak adanya forum resmi penyelesaian sengketa menyebabkan posisi pekerja semakin lemah dan membuka ruang bagi perusahaan platform untuk melakukan tindakan sepihak tanpa mekanisme kontrol hukum [7].

Permasalahan hukum yang tidak kalah penting adalah terkait jaminan sosial dan perlindungan kesehatan, yang merupakan hak normatif pekerja sebagaimana tercantum dalam Pasal 99–100 UU Ketenagakerjaan dan diatur lebih lanjut melalui UU BPJS dan PP 82 Tahun 2019. Pekerja formal wajib diikutsertakan dalam BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan oleh pemberi kerja dengan skema pembagian iuran. Namun, pekerja gig harus membayar sendiri seluruh iuran, karena mereka dikategorikan sebagai Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU). Padahal, sebagian besar pekerja gig memiliki pendapatan yang fluktuatif sehingga tidak dapat secara rutin membayar iuran BPJS. Akibatnya, ketika mereka mengalami kecelakaan kerja atau sakit, tidak ada perlindungan sosial yang memadai. Ketiadaan perlindungan jaminan sosial ini merupakan problem hukum serius, terutama karena risiko pekerjaan mereka sangat tinggi. Secara doktrinal, jika hubungan kerja sebenarnya bersifat subordinatif, maka perusahaan platform seharusnya dianggap sebagai pemberi kerja dan wajib menanggung iuran BPJS [25]. Namun, karena status hubungan tidak jelas, kewajiban ini tidak dapat diberlakukan secara tegas.

Di tingkat kontraktual, problematika hukum muncul dari perjanjian kemitraan yang bersifat sepihak (standard form contract). Pekerja gig hanya diberikan pilihan untuk menerima seluruh klausul tanpa negosiasi (“take it or leave it”). Model kontrak adhesi seperti ini bertentangan dengan prinsip kebebasan berkontrak yang mensyaratkan adanya kesetaraan para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata. Banyak klausul dalam kontrak kemitraan justru membebaskan platform dari seluruh tanggung jawab hukum, sementara seluruh risiko dibebankan kepada pekerja [26]. Misalnya, klausul yang menyatakan bahwa platform tidak bertanggung jawab atas kerugian yang dialami mitra, klausul suspend sepihak, atau klausul perubahan sepihak terhadap skema tarif. Dalam konteks hukum perdata modern, klausul-klausul seperti ini dapat dikualifikasikan sebagai klausul eksenorasi yang merugikan salah satu pihak dan bertentangan dengan asas keadilan kontraktual. Namun, karena kontrak dianggap bukan hubungan kerja, maka uji keadilan kontrak ini jarang diterapkan dalam praktik.

Permasalahan hukum lain yang muncul akibat ketidakjelasan status hubungan kerja adalah terkait perpajakan. Sebagai mitra independen, pekerja gig dianggap sebagai wajib pajak orang pribadi non-karyawan sehingga mereka harus menghitung dan membayar pajak penghasilan sendiri. Namun, banyak pekerja gig tidak memahami tata cara perpajakan, tidak memiliki bukti potong pajak, atau tidak mendapatkan akses terhadap data transaksi yang lengkap. Sementara itu, platform tidak berkewajiban memotong PPh 21 sebagaimana dilakukan oleh pemberi kerja. Hal ini menciptakan kekacauan administrasi perpajakan yang berpotensi merugikan negara maupun pekerja. Ketidakjelasan status hubungan kerja juga menyebabkan tumpang tindih regulasi pajak yang tidak dapat diterapkan secara efektif. Ketiadaan status pekerja juga menyebabkan tidak adanya perlindungan terhadap diskriminasi dan perlakuan tidak adil, sebagaimana dijamin dalam Pasal 6 dan 153 UU Ketenagakerjaan. Dalam praktiknya, pekerja gig sering mengalami diskriminasi algoritmik, di mana sistem secara otomatis menurunkan rating, membatasi order, atau memprioritaskan pekerja tertentu berdasarkan parameter yang tidak transparan [27]. Di sisi lain, pekerja tidak memiliki hak untuk menuntut transparansi algoritma karena platform menganggap hal tersebut sebagai rahasia perusahaan. Ini merupakan problem hukum yang sangat modern: diskriminasi berbasis sistem digital tidak dapat diatur menggunakan instrumen hukum ketenagakerjaan tradisional. Ketidakterjangkauan hukum terhadap mekanisme kontrol digital menyebabkan pekerja gig berada dalam posisi rentan tanpa perlindungan [28].

Di bidang keselamatan kerja, ketidakjelasan status hukum pekerja gig menciptakan problematika serius terkait perlindungan K3. Pekerja gig khususnya di sektor transportasi daring mengalami risiko kecelakaan yang sangat tinggi, tetapi platform tidak berkewajiban memberikan pelatihan keselamatan, alat pelindung diri, atau kompensasi kecelakaan. Dalam hukum ketenagakerjaan, pemberi kerja wajib menjamin keselamatan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 86 UU Ketenagakerjaan dan UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Namun, karena pekerja gig dianggap bukan pekerja, kewajiban ini tidak dapat diterapkan. Dengan demikian, jutaan pengemudi dan kurir bekerja setiap hari tanpa jaminan keselamatan yang memadai, sekaligus tanpa hak atas kompensasi saat terjadi kecelakaan kerja. Problem hukum ini telah menyebabkan banyak kasus pekerja gig meninggal atau cacat permanen tanpa adanya pertanggungjawaban dari pihak platform. Di aspek kebijakan publik, problematika hukum muncul dari ketidaksinkronan antara berbagai regulasi sektoral. Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Kominfo, dan BPJS masing-masing menerbitkan regulasi yang berbeda-beda namun saling tumpang tindih. Kementerian Perhubungan mengatur tarif ojek daring, tetapi tidak menyentuh status pekerja. Kementerian Ketenagakerjaan mengeluarkan surat edaran tentang perlindungan pekerja aplikasi, tetapi tidak memiliki kekuatan hukum. BPJS mengatur jaminan sosial, tetapi tidak dapat memaksa platform menanggung iuran. Ketidaksinkronan regulasi ini memperburuk ketidakpastian hukum bagi pekerja gig dan menyulitkan penegakan perlindungan sosial.

Akhirnya, seluruh problematika hukum yang muncul akibat ketidakjelasan hubungan kerja pada gig economy mengarah pada satu persoalan besar, yaitu hilangnya prinsip negara sebagai pelindung pekerja. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mewajibkan negara memberikan perlindungan terhadap pekerjaan dan penghidupan yang layak. Ketika pekerja platform tidak diakui sebagai pekerja, negara kehilangan dasar untuk memberikan perlindungan yang memadai. Hal ini menciptakan fenomena “legal vacuum” di mana jutaan pekerja berada dalam ruang abu-abu hukum tanpa perlindungan normatif apa pun. Ketidakjelasan ini menjadi akar dari seluruh problematika hukum yang mengemuka sepanjang 2022–2025.

Simpulan

Ketidakjelasan status hukum pekerja gig economy dalam industri platform digital Indonesia pada periode 2022–2025 telah menimbulkan problematika yang kompleks dan multidimensional. Hubungan antara pekerja dan perusahaan platform yang dikonstruksikan sebagai “kemitraan” ternyata tidak sepenuhnya mencerminkan hubungan setara sebagaimana dimaksud dalam perjanjian perdata, melainkan menampakkan ciri-ciri hubungan kerja sebagaimana unsur dalam Pasal 1 angka 15 jo. Pasal 50 UU Ketenagakerjaan. Pola-pola seperti kontrol algoritmik, penentuan tarif sepihak, sistem suspensi akun, dan kewajiban mengikuti standar operasional platform menunjukkan adanya subordinasi yang cukup kuat. Namun, ketiadaan pengakuan formal terhadap unsur hubungan kerja menyebabkan pekerja gig berada pada posisi hukum yang rentan, tanpa akses memadai terhadap perlindungan upah, jaminan sosial, jaminan kecelakaan kerja, dan mekanisme penyelesaian sengketa ketenagakerjaan. Kekosongan regulasi ini semakin tampak karena regulasi sektoral seperti Permenhub untuk transportasi daring dan perluasan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan masih bersifat parsial, tidak menyentuh aspek hubungan industrial inti. Akibatnya, pekerja gig menjadi kelompok pekerja yang tidak terlindungi secara efektif, bahkan ketika mereka telah menjadi tulang punggung perekonomian digital Indonesia. Situasi ini menciptakan ketidakpastian hukum yang merugikan kedua belah pihak pekerja mengalami ketidakpastian hak, sementara platform tidak memiliki pedoman hukum yang jelas terkait batas kewajiban mereka.

Ke depan, diperlukan intervensi regulasi yang komprehensif dan berbasis realitas praktik hubungan kerja digital. Pertama, pemerintah perlu menyusun regulasi khusus mengenai hubungan kerja gig economy yang secara eksplisit mendefinisikan kategori pekerja digital, standar kemitraan yang adil, serta mekanisme identifikasi unsur hubungan kerja yang relevan untuk konteks platform digital. Regulasi ini dapat berupa revisi UU Ketenagakerjaan/UU Cipta Kerja atau penyusunan Undang-Undang baru tentang Pekerja Digital. Kedua, negara perlu menetapkan standar minimum perlindungan pekerja gig, terutama terkait kepastian upah, jaminan sosial wajib, keselamatan kerja berbasis risiko, dan transparansi algoritma yang digunakan untuk menentukan tarif maupun performa. Ketiga, mekanisme penyelesaian sengketa khusus pekerja gig perlu dibentuk, misalnya melalui lembaga mediasi digital di bawah Kemenaker, mengingat karakter sengketa yang seringkali berkaitan dengan algoritma, penangguhan akun, atau penilaian performa secara sepihak. Keempat, perusahaan platform harus didorong untuk menerapkan prinsip fair work dan transparansi digital agar tercipta hubungan kerja yang lebih setara dan berkelanjutan. Dengan regulasi dan kebijakan yang jelas, pekerja gig dapat memperoleh perlindungan hukum yang layak tanpa harus menghambat inovasi dalam ekosistem ekonomi digital. Pemerintah, platform, dan pekerja perlu membangun kerangka hubungan industrial modern yang adaptif, berkeadilan, dan memastikan kesejahteraan bagi semua pihak di dalam ekonomi digital Indonesia.

References

E. Afifah, “Comparative Study of Legal Regulations for Gig Economy Workers in the Transportation Sector: Indonesia and California,” Jurnal Restorasi Hukum, vol. 7, no. 2, 2023.

Q. H. Fadhlulloh and A. F. Azhari, “Comparison of Legal Status of Gig Economy Workers in Indonesia, the Netherlands, and the United Kingdom,” Fundamental Jurnal Ilmiah Hukum, vol. 12, no. 2, 2023.

H. Fadilah and M. D. Jamaludin, “Legal Analysis of Informal Worker Protection in the Creative Industry Sector,” Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan, vol. 12, no. 12, 2025.

N. R. Izzati, “Juridical and Empirical Existence of Non-Standard Employment in Indonesian Labor Law,” Masalah-Masalah Hukum, vol. 50, no. 3, 2021.

F. Karar, U. J. Handayani, D. A. Putri, and S. Handayani, “Legal Protection for MSMEs in Digital Business Contracts,” Eksekusi: Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi Negara, vol. 3, no. 2, 2025.

A. A. Latri, R. K. Riyanto, M. B. Firdaus, and M. G. S. Arjuna, “Workers’ Rights in the Gig Economy Era: Legal Protection for Freelancers and Contract Workers,” Media Hukum Indonesia, vol. 2, no. 2, 2024.

S. A. Nawangsari, “Legal Protection for Gig Economy Workers From the Perspective of Indonesian Labor Law,” Hakim: Jurnal Ilmu Hukum dan Sosial, vol. 3, no. 1, 2025.

J. Widodo, Digital Transformation and Worker Protection in the New Economy Era. Jakarta, Indonesia: Rajawali Pers, 2023.

R. M. Siregar, Social Justice in National Labor Law. Jakarta, Indonesia: Prenadamedia Group, 2022.

J. Stanford, “The Resurgence of Gig Work: Historical and Theoretical Perspectives,” Economic and Labour Relations Review, vol. 28, no. 3, pp. 382–401, 2017.

S. E. Zulkarnain Nasution, Microeconomics in the Disruption Era: Theory and Applications in the Digital Economy. Jakarta, Indonesia: Grafindo Publisher, 2025.

R. Fahriza and R. N. Ismeth, “Reforming Indonesian Labor Law to Protect Partnership-Based Work Relations,” Jurnal Multilingua, vol. 3, no. 4, pp. 1412–1482, 2023.

M. Stevania and S. H. Hoesin, “Legal Certainty of Employment Social Security for Gig Workers in Indonesia’s Gig Economy,” Jurnal Hukum, vol. 8, no. 2, pp. 174–182, 2021.

N. Alfiyani, “Comparison of Labor Regulations in the Indonesian Labor Law and the Job Creation Law,” An-Nizam: Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan, vol. 14, no. 2, pp. 121–139, 2020.

E. F. Minanda, “Legal Certainty in Social Welfare Reform During Economic Recession: A Justice Perspective,” Majalah Hukum Nasional, vol. 53, pp. 243–261, 2023.

J. R. Munton, Defining Employment and Work Relationships Under the Fair Work Act. Melbourne, Australia: University of Melbourne, 2022.

F. Shalihah, “Fixed-Term Employment Agreements in Indonesian Labor Law From a Human Rights Perspective,” UIR Law Review, vol. 1, p. 149, 2017.

F. A. Stevani, R. P. Silalahi, P. Syahla, and V. Maharani, “The Concept of Obligations in Contract Law: Theory and Its Application,” Jurnal Hukum, vol. 2, no. 4, pp. 972–979, 2024.

A. Yuli et al., Indonesia National Occupational Safety and Health Profile 2022. Jakarta, Indonesia: Ministry of Health, 2022.

O. V. Adyanata, “Legal Analysis of Work Agreements Between Shopee Express and Couriers Based on Employment Contracts,” Toposantaro: Jurnal Ilmu Hukum, vol. 2, no. 1, 2025.

A. R. N. Alam, “Platform Provider Liability Toward Gig Workers in Partnership Relations for Buyer’s Default,” Padjadjaran Law Journal, vol. 10, no. 2, 2022.

E. Afifah, “Comparative Legal Regulation for Gig Economy Workers in the Transport Sector: Indonesia and California,” Jurnal Restorasi Hukum, vol. 7, no. 2, 2024.

R. G. Anugrah, C. V. Djodjobo, and F. Rizza, “Work Partnership Patterns in the Sharing Economy (E-Commerce Logistics Case Study at Company X),” Cemerlang: Jurnal Manajemen dan Ekonomi Bisnis, vol. 2, no. 4, 2022.

R. Fadhillah and A. Suryono, “Legal Settlement of Breach of Employment Contract Disputes in Black On Box Cafe & Convention,” Hukum Inovatif, vol. 1, no. 2, 2024.

M. S. Nasution, S. Suhaidi, and M. Marzuki, “Legal Consequences of Oral Employment Agreements in Indonesian Labor Law,” Jurnal Ilmiah Metadata, vol. 3, no. 2, pp. 415–431, 2021.

D. O. Oswari, “Legal Analysis of Losses Due to Breach in Business Contracts,” Jendela Hukum dan Keadilan, vol. 9, no. 2, 2024.

R. K. Putra et al., “Legal Protection for Gig Economy Workers: A Civil Law Perspective in Indonesia,” Jurnal Perkara, vol. 2, no. 4, 2024.

M. I. Pratama and M. Adli, “Wage Default Against Workers in Micro Restaurants in Aceh Tamiang District,” Jurnal Ilmiah Mahasiswa, vol. 7, no. 2, 2023.