Login
Section Recent Cases

Investigation Mechanism to Obtain Information from Suspects Allegedly Committing Criminal Acts

Mekanisme Penyidikan untuk Mendapatkan Keterangan Terhadap Tersangka yang Diduga Melakukan Tindak Pidana
Vol. 21 No. 1 (2026): February:

Rheihan Nurrizki Romlih (1), Boedi Prasetyo (2)

(1) Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hulum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hulum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

General background of this study lies in the central role of investigation as a crucial stage in the Indonesian criminal justice process, where investigators are responsible for collecting evidence and obtaining suspect statements under KUHAP. Specific background concerns recurring procedural deviations in practice, including coercive interrogation, absence of legal counsel, and improper documentation, which undermine due process and violate constitutional protections. Knowledge gap emerges from limited scholarly analysis that systematically connects the normative framework of KUHAP with its practical implementation in suspect examinations. This study aims to examine the investigation mechanisms for obtaining suspect statements while prioritizing legal protection, based on a normative legal research method analyzing statutory rules and legal doctrine. Results show that although KUHAP clearly regulates summons procedures, notification of rights, voluntary statements, prohibition of coercion, and standardized documentation through BAP, significant discrepancies remain in field practices. Novelty of this research lies in offering an integrated assessment of normative provisions, operational challenges, and concrete procedural reforms, particularly mandatory audio-visual recording and strengthened oversight. Implications highlight the urgency of improving investigator professionalism and ensuring transparent, accountable investigations to safeguard suspect rights and preserve the integrity of the criminal justice system.


Highlights:




  • Clear KUHAP procedures often differ from actual investigative practices.




  • Suspect statements must be obtained voluntarily without coercion.




  • Strong oversight and audio-visual recording are essential for accountable investigations.




Keywords: Investigation, Suspect Rights, KUHAP, Legal Protection, Criminal Procedure

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Penyidikan adalah fase dalam menyelesaikan kasus pidana setelah tahap penyelidikan, yang merupakan langkah awal untuk menentukan ada atau tidaknya tindakan kriminal dalam suatu kejadian. Saat terungkapnya adanya tindak pidana, penyidikan bisa segera dilakukan sesuai dengan hasil dari penyelidikan. Kegiatan penyelidikan, fokusnya terletak pada suatu perbuatan “mencari dan menemukan” beberapa “peristiwa” sudah diberitahu atau diperkirakan sebagai suatu tindakan yang kriminal. Kepada penyidikan, hal yang menjadi perhatian utama terletak pada upaya “mencari dan mengumpulkan bukti.” Penyidikan adalah tahap lanjutan setelah penyelidikan mengenai suatu tindakan kriminal. Ketentuan dan pembatasan yang ketat dalam pelaksanaan langkah paksa setelah mengumpulkan bukti awal yang cukup untuk mengungkap suatu peristiwa yang diduga merupakan tindakan kriminal[1].

Ketika penyelidikan dilakukan menemukan barang bukti dari pelaku yang melakukan kejahatan. Pasal 1 butir 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membahas tentang proses penyidikan, yang merupakan serangkaian tindakan oleh penyidik sesuai dengan prosedur yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang menjelaskan tentang kejahatan yang terjadi serta untuk menemukan pelaku.

Tersangka adalah individu yang dicurigai melakukan tindakan yang melanggar hukum pidana, dan saat ini sedang dalam tahap pemeriksaan awal untuk menentukan apakah terdapat cukup bukti untuk mengajukan perkara ini ke pengadilan [2]. Pasal 1 ayat 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa tersangka adalah orang yang, berdasarkan bukti awal, pantas dicurigai sebagai pelaku kejahatan akibat tindakan atau kondisi yang dimilikinya. Orang sudah dapat dikatakan menjadi tersangka ketika perbuatannya terbukti sebagai kejahatan yang didukung oleh berbagai bukti, yang di mana seseorang dapat dikatakan tersangka ketika terdapat minimal dua alat bukti yang sah, antara lain seperti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, ataupun juga keterangan.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah peraturan hukum yang mengatur jalannya proses peradilan pidana, mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga keputusan pengadilan. Salah satu aspek krusial yang diatur dalam KUHAP adalah hak-hak terdakwa, yang merupakan bagian dari perlindungan hak asasi manusia (HAM). KUHAP mencakup prinsip-prinsip perlindungan bagi tersangka demi memastikan proses hukum berlangsung secara adil dan tanpa penyalahgunaan [3]. KUHAP dibuat dengan tujuan agar dapat ditegakkannya dan diaturnya mengenai proses dalam melakukan acara peradilan terkhusus pidana [4].

Sebagai landasan hukum dalam penanganan kasus pidana, petugas penegak hukum diwajibkan untuk menjalankan tugas mereka sesuai dengan peraturan yang berlaku dan menghormati hak asasi manusia, terutama bagi pihak yang terlibat dalam kasus kriminal. KUHAP berisi ketentuan tentang prosedur penyelesaian kasus pidana dan memberikan perlindungan. Hal ini dapat diamati dalam penjelasan bahwa KUHAP berperan sebagai hukum acara pidana yang mencakup aturan mengenai disiplin dalam penyelesaian kasus pidana dan telah memberikan legitimasi terhadap hak asasi tersangka untuk membela kepentingan mereka.

Berdasarkan aturan KUHAP menyatakan bahwa seseorang yang diduga atau dicurigai terlibat dalam tindak kriminal tetap berhak atas hak-hak yang perlu dihormati dan dilindungi. KUHAP melindungi hak-hak tersangka dengan menyatakan bahwa seseorang yang dituduh melakukan kejahatan dipandang memiliki status setara dengan individu lain dalam pandangan hukum. Dengan adanya pengakuan serta perlindungan terhadap hak-hak tersangka, ini dapat memastikan tersangka terlindungi dari tindakan semena-mena penyidik dalam proses penyidikan [5].

Penyidikan harus memperhatikan perlindungan hukum terhadap hak-hak pelaku sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP, termasuk hak untuk mendapatkan bantuan hukum saat ditahan, hak untuk berkomunikasi dengan penasihat hukum, serta penerapan prinsip “praduga tak bersalah”. Perlindungan diberikan kepada seseorang yang dicurigai sebagai individu sampai terdapat cukup bukti serta putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Sebenarnya, hak yang dimiliki oleh tersangka atau Terdakwa merupakan hak yang didapatkan selama proses penyidikan atau pada tahap pemeriksaan sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang lebih dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) [6].

Untuk mengungkap sebuah peristiwa pidana, penyidik sering melakukan pemeriksaan kepada tersangka guna memperoleh keterangan. Hal ini menjadi wewenang penyidik dalam menjalankan tugasnya. Wewenang, yang juga disebut sebagai otoritas, dapat diartikan sebagai hak atau kekuasaan untuk melakukan tindakan, kuasa dalam pengambilan keputusan, serta melimpahkan tugas atau tanggung jawab kepada individu atau lembaga lain [7]. Pemberian kewenangan kepada penyidik berdasarkan pada tugasnya untuk menegakkan hukum serta menjaga ketertiban masyarakat dan melindungi hak-hak tersangka. Pemberian kewenangan tersebut adalah tanggung jawab pelaksanaan penegakan hukum dan ketertiban [8]. Keterangan dari tersangka merupakan salah satu jenis alat bukti yang legal sesuai dengan Pasal 184 KUHAP, walaupun kekuatan pembuktiannya tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan alat bukti lain. Pemeriksaan terhadap tersangka harus dilakukan secara objektif dan tidak boleh mengesampingkan hak-hak fundamental yang melekat pada tersangka sebagai subjek hukum [9].

Praktik penyidikan di Indonesia sering menghadapi berbagai masalah, terutama berkaitan dengan teknik yang diterapkan oleh penyidik dalam mendapatkan keterangan. Kasus-kasus terkait dugaan intimidasi, tekanan fisik atau psikologis, dan penyiksaan masih kerap terungkap. Pasal 117 KUHAP secara jelas menegaskan bahwa pernyataan yang diberikan oleh tersangka harus dilakukan tanpa adanya paksaan dalam bentuk apa pun. Proses penyidikan yang melanggar prosedur tidak hanya merugikan hak tersangka, tetapi juga membahayakan integritas penegakan hukum dan dapat mengakibatkan ketidak sahannya alat bukti yang diperoleh secara ilegal [10].

Dari latar belakang yang telah di jelaskan tersebut, penulis merumuskan masalah, yaitu bagaimana mekanisme penyidikan untuk mendapatkan keterangan terhadap tersangka yang diduga melakukan tindak pidana dengan mengutamakan perlindungan hukum? Berdasarkan analisis tersebut, studi tentang mekanisme pengusutan untuk memperoleh keterangan dari tersangka yang diduga melakukan tindak pidana menjadi penting, baik dari segi teori maupun praktik. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan analisis terkait dasar hukum, praktik investigasi, serta saran untuk meningkatkan mutu dan profesionalisme penyidik, sehingga dapat mewujudkan penyidikan yang objektif, transparan.

Metode

Jenis penelitian ini menerapkan metode hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara menganalisis bahan pustaka atau data sekunder [11], yang bertujuan untuk menganalisis cara penyidikan terhadap terduga yang melakukan kejahatan serta meninjau norma-norma hukum yang relevan, terutama terkait dengan cara penyidikan terhadap terduga yang diduga melakukan kejahatan. Studi ini menitikberatkan pada kajian dasar hukum dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu yang sedang dianalisis.

Peter Mahmud Marzuki menjabarkan bahwa penelitian hukum normatif merupakan upaya untuk mengidentifikasi aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, serta doktrin-doktrin hukum guna mengatasi masalah hukum yang dihadapi [12]. Jenis ini adalah penelitian hukum normatif yang mengutamakan objek kajian berkaitan dengan norma atau peraturan hukum. Studi hukum normatif menganalisis norma atau ketentuan hukum sebagai suatu jaringan yang berkaitan dengan sebuah kejadian hukum. Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan argumentasi hukum sebagai landasan dalam menentukan apakah sebuah kejadian benar atau salah dan seharusnya kejadian tersebut sesuai dengan hukum [13].

Jenis penelitian ini adalah hukum normatif dapat dimaknai sebagai metode atau pendekatan analisis yang berlandaskan pada sejumlah norma-norma hukum, serta landasan hukum yang berhubungan dengan isi ketentuan hukum yang bersifat umum dan spesifik. Penelitian hukum normatif merupakan jenis penelitian yang dilaksanakan dalam konteks hukum melalui analisis dan kajian terhadap sumber-sumber pustaka, baik dari segi primer maupun sekunder.

Hasil dan Pembahasan

  • A. Mekanisme penyidikan untuk mendapatkan keterangan terhadap tersangka yang diduga melakukan tindak pidana dengan mengutamakan perlindungan hukum

Penyidikan aktivitas penyidik yang diatur oleh peraturan bertujuan untuk menemukan dan mengumpulkan bukti pelaku tindakan kriminal. Asal kata penelitian berasal dari kata sidik yang bermakna memeriksa, menyelidiki, dan menyidik, atau mengamati; ini adalah istilah dan definisi secara hukum. Penyidikan juga diartikan dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP, yang menyebutkan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilaksanakan oleh penyidik sesuai dengan cara serta ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang dapat menjelaskan suatu tindak pidana yang telah terjadi dan bertujuan untuk menemukan tersangka yang sebenarnya [14].

Dasar dilakukannya suatu penyidikan sesuai dengan ketentuan yang tertera pada Pasal 4 peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, anatara lain:

1. Laporan Polisi/terdapatnya pengaduan

2. Surat perintah tugas

3. Laporan berdasarkan dengan hasil penyelidikan

4. Surat dengan perintah penyidikan, dan

5. Surat pemberitahuan bahwa dimulainya penyidikan (SPDP).

Mengacu pada Pasal 1 angka 21 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012, "Bukti permulaan adalah alat bukti yang meliputi laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, digunakan untuk menilai bahwa seseorang telah melakukan kejahatan sebagai landasan untuk melakukan penangkapan." [15]. Bahwa dalam hal ini sudah sangat pasti mengidentifikasi seseorang sebagai tersangka, perlu tersedia bukti-bukti yang valid. Tidak bisa menetapkan seseorang yang bahkan baru dicurigai sebagai pelaku kejahatan jika tidak ada bukti yang valid menurut hukum.

Tidak terdapat penjelasan detail tentang definisi perbuatan memaksa di dalam KUHAP. Walaupun demikian, usaha paksa seperti dipahami sebagai salah satu kekuasaan atau serangkaian tindakan yang diatur oleh perundang-undangan kepada petugas penegak hukum untuk mencabut kebebasan. Upaya paksa mencakup sejumlah langkah yang diambil oleh penyidik untuk melakukan penyidikan. Jika tindakan itu dilakukan tanpa landasan hukum, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia, terutama terkait dengan hak dan kebebasan individu yang terkena dampak.

Dasar hukum untuk proses peradilan pidana, yang artinya bahwa mewajibkan para penegak hukum untuk melaksanakan tugas mereka dalam bertindak selaras juga menghormati hak asasi yang dimiliki setiap manusia sekalipun seseorang itu tersangka tindak pidana. KUHAP memuat ketentuan mengenai mekanisme tentang penyelesaian suatu perkara pidana dan juga memberikan jaminan atas hak asasi bagi tersangka. Hal tersebut tercemin dalam pernyataan telah KUHAP berfungsi sebagai suatu hukum acara pidana yang mencakup tentang disiplin.

Terdapat juga prosedur pemanggilan terduga tersangka yaitu dengan meliputi penyampaian surat panggilan tertulis oleh penyidik dengan tenggang waktu minimal tiga hari sebelum tanggal pemeriksaan. Pemanggilan merupakan aktivitas untuk memperoleh informasi, penjelasan, serta identifikasi mengenai tersangka, saksi ahli, serta barang bukti, atau terkait elemen-elemen dari tindakan kriminal, posisi atau peran individu. Untuk memastikan bahwa panggilan yang terlaksana oleh pihak hukum kepada semua tahap pemeriksaan telah dianggap sah dan valid.

Pasal 112 ayat 1 dan 2, yang berbunyi, Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menjelaskan alasan pemanggilan secara tepat, memiliki wewenang untuk memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang resmi, sambil mempertimbangkan jangka waktu yang wajar antara penerimaan panggilan dan hari individu tersebut diharuskan untuk memenuhi panggilan itu, lalu Orang yang dipanggil harus hadir kepada penyidik, dan jika tidak hadir, penyidik mengeluarkan panggilan lagi, dengan instruksi kepada petugas untuk mengantarnya

Pasal 114 KUHAP menyatakan bahwa ketika seseorang dicurigai melakukan tindak pidana sebelum penyidik memulai pemeriksaan, penyidik wajib memberitahukan tersangka akan haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa dalam situasinya ia harus didampingi oleh penasihat hukum sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 56.

Sebelum pemeriksaan dijalani atau dilakukan kepada terduga tersangka, anggota yang memeriksa harus mengasih tahu keistimewaan nya tersangka yang telah diorganisir dalam ketentuan perundang-undangan yaitu KUHAP, adalah:

1. Pada Pasal 51 butir a yaitu, “tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai”, agar seorang tersangka tahu tindakan hukum apa yang menjerat dirinya.

2. Dilanjut hak-hak tersangka juga ada pada Pasal 52 yang menyatakan, “Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.” Pada Pasal ini sudah sangat tegas seorang pelaku tidak dapat dipaksa oleh pihak manapun dalam memberikan keterangannya karna keterangan tersebut akan menjadi cacat hukum.

3. Pasal 53 ayat 1 menyebutkan, saat tahap penyidikan serta pengadilan, pelaku atau terdakwa mempunyai hak mendapatkan pertolongan juru bahasa setiap saat yang diatur dalam Pasal 177.

Terdapat BAB III Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 mengatur tentang bagaimana standar perilaku seharusnya yang dimiliki oleh seorang Polri dalam menegakan hukum. Dalam Pasal 10 disebutkan bahwa, Menegakan atau menjalankan peran, setiap anggota kepolisian wajib mengikuti ketentuan berperilaku, yaitu:

1. Selalu melaksanakan kewajiban diberikan oleh Undang-Undang terhadap mereka.

2. Menghargai serta menjaga harkat manusia pada saat menjalankan tugasnya.

3. Tiada diperbolehkan melakukan kekerasan, kecuali diperlukan guna mencegah tindak kejahatan atau menolong menangkap pelanggar hukum sesuai dengan aturan penggunaan kekerasan.

4. Informasi yang berperangai tertutup dalam kekuasaan harus dirahasiakan kecuali bila diperlukan untuk melaksanakan tugas atau demi kewajiban peradilan.

5. Tiada diperkenankan untuk mengadu domba, menerima perbuatan perlakuan kejam serta hukuman brutal, tidak berperikemanusiaan atau menghina martabat manusia, serta tidak mewujudkan instruksi dari atasan atau situasi hebat seperti saat peran.

6. Menjamin keselamatan sepenuhnya terhadap kesehatan individu yang terdapat dalam penahanannya, terutama harus mengambil tindakan untuk menyediakan pelayanan medis jika dibutuhkan.

7. Tiada diperkenankan melaksanakan korupsi dalam wujud apa pun, ataupun menyalahgunakan kuasa lainnya yang tidak sejalan dengan profesi penegak hukum.

8. Wajib menghargai undang-undang, norma perilaku, dan kode etik yang berlaku.

Seperti yang sudah tertera di atas tentang kewajiban anggota polri dalam melaksanakan kewajibannya, yaitu tidak boleh menggunakan kekerasan dalam proses untuk mendapatkan suatu keterangan dari tersangka. Nyatanya kekerasan dalam proses penyidikan masih sering terjadi, tidak hanya kekerasan yang dilakukan tetapi pemalsuan kesaksian masih dilakukan guna mendapatkan jawaban yang diinginkan, hal ini sudah menyalahi aturan yang berlaku serta melanggar kode etik anggota polri yaitu yang seharusnya menghormati dan menghargai martabat setiap manusia.

Pasal 28G ayat 2 undang-undang Dasar negara republik indonesia tahun 1945 memberikan perintah, “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain” [16]. Pernyataan Pasal tersebut merupakan suatu penegasan tentang larangan untuk berbagai segala penyiksaan apapun, baik secara fisik maupun mental, kepada segala orang.

Prosedur pemeriksaan tersangka yang dilakukan terlebih dahulu yaitu dengan memastikan identitas sesuai dengan dokumen resmi, lalu dilakukannya untuk penyampaian pertanyaan, baik pertanyaan terbuka maupun pertanyaan tertutup. Setelah diajukannya pertanyaan, pihak penyidik tidak dapat memaksa tersangka untuk menjawab pertanyaan serta tidak boleh menggunakan kekerasan untuk mendapatkan jawabannya. Karena berdasarkan Pasal 117 point 1 KUHAP, menyatakan bahwa pelaku atau terdakwa berhak memberikan penjelasan secara sukarela, tiada adanya desakan fisik maupun psikis.

Tersangka juga berhak untuk mendapatkan dukungan hukum sebagai hak milik tersangka. Menurut Pasal 54 untuk keperluan perbuatan membela, tersangka maupun terdakwa memilik haknya untuk mendapatkan dukungan penasihat hukum saat proses dan pada setiap tahap pemeriksaan. Tersangka berhak didampingi oleh penasihat hukum selama pemeriksaan dilakukan dan penyidik wajib untuk mengizinkan tersangka didampingi oleh penasihat hukumnya.

Pencatatan keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) harus dilakukan secara cermat dengan mencatat identitas lengkap pihak yang diperiksa, waktu dan tempat pemeriksaan, pertanyaan dan jawaban secara rinci, serta pernyataan tambahan. Keterangan harus dicatat sesuai dengan kata-kata yang digunakan oleh yang diperiksa tanpa tekanan dan kemudian BAP wajib dibacakan kembali kepada yang diperiksa sebelum ditandatangani untuk memastikan keakuratannya. Mekanisme penyidikan harus dilakukan dengan benar guna mendapatkan keterangan yang asli tanpa ada paksaan ataupun penyiksaan yang terjadi.

Simpulan

Secara normatif mekanisme penyidikan untuk memperoleh keterangan tersangka sudah diatur sangat jelas dan lengkap di KUHAP dan peraturan pelaksana, misalnya seperti ketentuan tentang pemanggilan, pemberitahuan tentang hak-hak tersangka, pencatatan BAP, namun praktiknya dilapangan masih banyak sekali mengalami penyimpangan dari ketentuan-ketentuan tersebut.

Keterangan tersangka merupakan keterangan yang menjadi salah satu bukti yang sah, tetapi harus diperoleh secara sukarela tanpa ada paksaan ataupun penyiksaan fisik maupun psikis dalam proses penyidikannya, apabila diperoleh dengan cara-cara melanggar prosedur, keterangan tersebut menjadi dinyatakan tidak sah dan merusak integritas proses peradilan.

Pelanggaran yang sering ditemukan yaitu pemeriksaan tersangka tanpa pendampingan dari penasihat hukum meskipun diminta, menggunakan tekanan atau kekerasan dalam prosesnya, BAP yang tidak dibacakan/ditandatangani sesuai prosedur yang berlaku, dan minimnya penggunaan rekaman pemerikasaan, hal ini mengakibatkan potensi batalnya alat bukti dan kerugian hak asasi tersangka.

Seorang tersangka juga berhak mendapatkan perlindungan hukum dan setiap penyidik wajib untuk menghargai, menghormati segala hak-hak tersangka seperti mendapatkan bantuan hukum, penasihat hukum, bebas dari penyiksaan, harus menghargai pernyataan dari seorang tersangka tanpa ada paksaan sekalipun.

Selenggarakan pelatihan berkala tentang KUHAP, HAM, etika profesi, dan teknik wawancara tanpa tekanan bagi seluruh penyidik. Lalu tambahkan modul simulasi pemeriksaan dan studi kasus untuk meningkatkan keterampilan praktis. Penegak hukum juga harus konsisten memberitahukan hak-hak tersangka yang terdapat dalam aturan yang berlaku salah satunya KUHAP. Setiap kali pemeriksaan dimulai, apabila tersangka meminta penasihat hukum, pemeriksaan ditunda sampai pendamping hadir atau diupayakan akses hukum yang wajar.

Terapkan perekaman audio-visual untuk setiap pemeriksaan tersangka sebagai standar akuntabilitas guna mencegah klaim tekanan atau penyiksaan dan memperkuat nilai pembuktian BAP. Pastikan BAP memuat identitas lengkap, waktu/tempat, pertanyaan dan jawaban verbatim, serta dibacakan dan ditandatangani di hadapan saksi/pihak terkait. Gunakan checklist prosedural untuk mencegah kelalaian administratif.

Perkuat fungsi pengawasan internal dengan mekanisme audit penyidikan berkala dan pembentukan unit independen yang menangani pengaduan penyiksaan atau penyalahgunaan wewenang. Pemerintah/instansi terkait perlu memperluas layanan bantuan hukum gratis (legal aid) dan mendorong kerja sama dengan organisasi bantuan hukum agar tersangka berkemampuan lemah dapat segera memperoleh penasihat hukum. Lakukan program sosialisasi hak-hak tersangka kepada masyarakat sehingga orang yang dipanggil mengetahui haknya dan lebih mudah mengakses bantuan hukum. Perbarui SOP penyidikan sesuai putusan Mahkamah Konstitusi, peraturan pelaksana terbaru, dan standar internasional untuk menutup celah praktik yang melanggar hak tersangka.

References

M. Y. Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2000.

A. Daharis, “Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa dalam Proses Persidangan,” Jurnal Kolaboratif Sains, no. 6, p. 2208, 2024.

A. Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2008.

A. F. Rozi, “Penindakan oleh Penyidik Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa dalam KUHAP Bantuan Hukum,” Lex Mecatoria, no. 1, p. 32, 2025.

Aprilia and Siregar, “Perlindungan Hukum terhadap Hak Tersangka Melalui Upaya Praperadilan,” Journal of Criminal Law, p. 17, 2023.

Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 50–68, Government of Indonesia, 1981.

K. Hidjaz, Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia. Makassar, Indonesia: Pustaka Refleksi, 2010.

M. Y. Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta, Indonesia: Pustaka Kartini, 1993.

M. Y. Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2019.

L. Mulyadi, Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik, dan Permasalahannya. Bandung, Indonesia: PT Alumni, 2015.

S. Soekanto and S. Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta, Indonesia: Raja Grafindo Persada, 2013.

P. M. Marzuki, Penelitian Hukum. Jakarta, Indonesia: Kencana Prenada Group, 2007.

M. Fajar and Y. Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, 4th ed. Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Pelajar, 2017.

Indonesia, Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 Butir 2, Government of Indonesia, 1981.

Indonesia, Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012, Pasal 1 Angka 21, Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2012.

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28B Ayat (2), Government of Indonesia, 1945.