Nailah Ariqah (1), Amad Sudiro (2)
General Background: The rapid growth of Indonesia’s skincare industry has increased consumer dependence on cosmetic products, while the circulation of hazardous and non-compliant items continues to rise. Specific Background: Despite regulatory controls under Law Number 8 of 1999 on Consumer Protection, many producers still disregard safety standards, leading to health risks and information asymmetry. Knowledge Gap: Existing studies seldom integrate legal doctrine, regulatory mechanisms, and practical enforcement challenges in analyzing producers’ liability for unsafe skincare products. Aim: This study examines the scope of legal liability borne by skincare producers for product safety violations under the Consumer Protection Law. Results: Findings show that the law imposes strict obligations on producers to ensure product safety, provide accurate information, and comply with BPOM standards; violations may trigger civil compensation, administrative sanctions, or criminal penalties. Novelty: This research systematically synthesizes strict liability, product liability, and preventive legal duties within the context of Indonesia’s contemporary skincare market, highlighting gaps between normative mandates and real-market practices. Implications: Strengthening regulatory enforcement, transparency, and consumer awareness is crucial for achieving a fair, ethical, and accountable skincare industry.
Highlights:
Highlights producers’ strict liability for ensuring skincare product safety.
Outlines civil, criminal, and administrative sanctions for safety violations.
Emphasizes the gap between legal regulations and real-world industry practices.
Keywords: Legal Liability, Skincare Producers, Product Safety, Consumer Protection, Strict Liability
Pendahuluan
Penggunaan produk perawatan kulit telah menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari masyarakat Indonesia. Nilai pasar industri kosmetik nasional meningkat dari sekitar 1,31 miliar dolar AS pada tahun 2021 menjadi sekitar 1,94 miliar dolar AS pada tahun 2024, dengan proyeksi pertumbuhan rata-rata lebih dari lima persen per tahun hingga 2028 [1]. Angka ini mencerminkan perubahan pola konsumsi masyarakat yang semakin memandang skincare bukan lagi sebagai pelengkap kosmetik, tetapi sebagai kebutuhan kesehatan kulit yang dipakai secara konsisten. Pertumbuhan yang pesat mendorong hadirnya ribuan produk baru dari berbagai skala usaha, mulai dari perusahaan besar yang berteknologi tinggi hingga brand rumahan yang menjalankan produksi secara mandiri dan memanfaatkan media sosial serta e- commerce sebagai saluran pemasaran utama. Perluasan pasar ini memperkaya pilihan konsumen, namun pada saat yang sama memperbesar potensi munculnya produk yang tidak memenuhi standar keamanan.
Fenomena perluasan pasar tersebut berbanding terbalik dengan masih tingginya temuan produk skincare ilegal atau mengandung bahan berbahaya di lapangan. Dalam kurun waktu Oktober sampai November 2024, otoritas pengawasan menemukan lebih dari 205 ribu produk kosmetik ilegal atau berisiko membahayakan kesehatan dengan estimasi nilai ekonomi hampir sembilan miliar rupiah [2]. Pada awal tahun 2025, temuan meningkat hingga lebih dari 205 ribu produk dari sedikitnya 91 merek, dengan nilai peredaran diperkirakan melampaui tiga puluh satu miliar rupiah. Produk-produk tersebut mencakup skincare tanpa izin edar, kosmetik racikan dengan kandungan berbahaya seperti merkuri, hidrokuinon, atau steroid, serta produk dengan komposisi yang tidak sesuai label [3]. Informasi yang disajikan kepada konsumen pun tidak selalu akurat; berbagai klaim seperti “aman”, “alami”, atau “tanpa bahan kimia berbahaya” sering kali tidak memiliki dasar ilmiah yang dapat diverifikasi. Kombinasi antara pemasaran digital yang agresif, perputaran produk yang sangat cepat, dan lemahnya literasi konsumen membuat risiko kesehatan semakin meningkat, mulai dari iritasi kulit dan dermatitis hingga efek jangka panjang akibat paparan bahan berbahaya.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) memberikan landasan normatif bagi terciptanya hubungan yang seimbang antara pelaku usaha dan konsumen. UUPK menempatkan konsumen sebagai pihak yang harus dilindungi haknya, terutama hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang [4]. Kewajiban pelaku usaha sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 mengharuskan produsen memberikan informasi yang benar, jujur, dan tidak menyesatkan, serta menjamin kualitas barang yang dipasarkan. Selain itu, Pasal 8 melarang peredaran barang yang tidak memenuhi standar, tidak sesuai dengan label, atau berpotensi membahayakan kesehatan [4]. Ketentuan ini secara langsung berkaitan dengan praktik produksi dan distribusi skincare.
Permasalahan muncul ketika kenyataan di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan antara ketentuan hukum dan praktik pelaku usaha. Tidak sedikit produsen yang mengabaikan standar keamanan, memasarkan produk tanpa izin, atau menggunakan bahan berbahaya demi mendapatkan hasil instan yang diminati konsumen. Asimetri informasi semakin memperberat posisi konsumen; produsen mengetahui seluruh komponen formula dan risiko produknya, sementara konsumen hanya bergantung pada label dan promosi yang disediakan pelaku usaha. Ketika terjadi kerugian, konsumen sering kali tidak mengetahui mekanisme penyelesaian, sementara produsen kerap berupaya mengalihkan tanggung jawab melalui pernyataan sepihak yang sebenarnya dilarang oleh Pasal 18 UUPK.
Pelanggaran keamanan produk skincare juga berdampak pada kepentingan publik dimana roduk berbahaya tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menimbulkan beban kesehatan masyarakat dan mengganggu ekosistem perdagangan yang sehat [5]. Dalam hal ini, tanggung jawab produsen tidak hanya dipahami sebagai kewajiban moral, tetapi sebagai kewajiban hukum yang ditegakkan melalui mekanisme ganti rugi, sanksi administratif, maupun sanksi pidana. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana UUPK mampu menjawab tantangan baru dalam industri skincare yang semakin kompleks, terutama di era digital yang memungkinkan peredaran produk dengan sangat cepat.
Kondisi tersebut menunjukkan pentingnya mengkaji secara mendalam bentuk pertanggungjawaban produsen skincare atas pelanggaran keamanan produk menurut UUPK, sekaligus menilai sejauh mana ketentuan hukum tersebut diimplementasikan dalam praktik. Penelitian ini menjadi relevan untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai posisi hukum produsen, perlindungan terhadap konsumen, serta potensi perbaikan regulasi agar keamanan produk skincare dapat terjamin dalam lingkungan industri yang berkembang dinamis. Pembahasan yang sistematis mengenai aspek normatif dan realitas pasar diharapkan mampu memberikan kontribusi akademik maupun praktis bagi pengembangan hukum perlindungan konsumen di Indonesia.
Rumusan masalah dalam penelitian ini mencakup dua hal pokok. Pertama, bagaimana pengaturan hukum mengenai tanggung jawab produsen skincare atas keamanan produk dalam perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kedua, bagaimana bentuk pertanggungjawaban hukum produsen skincare terhadap pelanggaran keamanan produk berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tersebut.
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif (normative legal research) yang berfokus pada kajian terhadap norma-norma hukum positif [6]. Pada penelitian ini, norma positif merujuk kepada norma yang mengatur tanggung jawab produsen atas pelanggaran keamanan produk skincare. Pendekatan ini menempatkan hukum sebagai sistem norma yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, serta doktrin hukum. Penelitian ini menganalisis substansi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan kewajiban pelaku usaha dan hak konsumen atas keamanan produk, serta dikaitkan dengan regulasi pelengkap seperti Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengenai standar keamanan kosmetik.
Pendekatan konseptual dan perbandingan hukum juga digunakan untuk memahami prinsip product liability dan strict liability dalam konteks tanggung jawab produsen skincare di Indonesia. Jenis penelitian ini bersifat deskriptif-analitis, yaitu menggambarkan pengaturan hukum yang berlaku dan menganalisis penerapannya terhadap kasus pelanggaran keamanan produk. Data yang digunakan berupa data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer (undang- undang, peraturan pemerintah, dan peraturan BPOM), bahan hukum sekunder (literatur, jurnal hukum, hasil penelitian terdahulu), serta bahan hukum tersier (kamus hukum dan ensiklopedia). Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, sedangkan analisis data menggunakan metode analisis kualitatif yuridis untuk menafsirkan ketentuan hukum dan menarik kesimpulan normatif mengenai bentuk pertanggungjawaban produsen skincare terhadap konsumen [7].
Hasil dan Pembahasan
Pertumbuhan industri kosmetik dan produk perawatan kulit di Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat secara progresif dalam satu dekade terakhir. Peningkatan jumlah produsen yang terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menandai transformasi perilaku masyarakat yang semakin memperhatikan aspek estetika dan kesehatan kulit. Fenomena tersebut menggambarkan dinamika ekonomi kreatif yang berorientasi pada kebutuhan pasar modern, namun di sisi lain memunculkan problem hukum baru terkait kewajiban pelaku usaha dalam menjamin keamanan produk yang beredar. Kasus-kasus penarikan produk skincare karena kandungan bahan berbahaya seperti merkuri, hidrokuinon, atau pewarna sintetis ilegal memperlihatkan bahwa sebagian produsen belum mematuhi standar keselamatan yang ditetapkan negara. Kondisi ini mempertegas urgensi penerapan sistem tanggung jawab hukum yang tegas sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) sebagai kerangka regulatif utama dalam melindungi konsumen dari risiko kesehatan akibat produk kosmetik yang tidak aman.
Konsep tanggung jawab produsen merupakan bagian integral dari struktur hukum perlindungan konsumen yang bertujuan menciptakan keseimbangan posisi antara pelaku usaha dan masyarakat pengguna produk. Dalam Pasal 2 UUPK ditegaskan bahwa pelaksanaan perlindungan konsumen berlandaskan asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, keselamatan konsumen, serta kepastian hukum [8]. Keberadaan asas keamanan dan keselamatan menandai bahwa setiap pelaku usaha berkewajiban menjamin barang atau jasa yang diperdagangkan tidak menimbulkan ancaman terhadap kesehatan manusia. Kewajiban tersebut bersifat mengikat dan memiliki daya paksa hukum, sehingga keamanan produk menjadi bagian dari tanggung jawab hukum yang tidak dapat diabaikan oleh produsen skincare yang memasarkan produknya di wilayah hukum Indonesia.
Kewajiban tersebut diperjelas melalui Pasal 7 huruf a dan b UUPK yang mengharuskan pelaku usaha beritikad baik dalam menjalankan kegiatan usahanya serta memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi, komposisi, serta jaminan produk. Ketentuan ini diperkuat oleh Pasal 8 ayat (1) yang melarang produksi atau peredaran barang yang tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan [9]. Pada sektor kosmetik, standar keamanan tersebut dirumuskan melalui regulasi teknis BPOM, di antaranya Peraturan BPOM Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan ke Indonesia dan Peraturan Kepala BPOM Nomor 19 Tahun 2015 tentang Persyaratan Teknis Kosmetika. Kedua regulasi tersebut berfungsi memastikan bahwa setiap produk telah melewati uji keamanan, stabilitas, dan efektivitas, serta diproduksi sesuai prinsip Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik (CPKB). Dengan demikian, sistem hukum positif Indonesia menempatkan produsen sebagai entitas yang memikul tanggung jawab penuh terhadap kualitas dan keamanan hasil produksinya.
Pengaturan tanggung jawab produsen skincare atas keamanan produk juga berkaitan erat dengan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UUPK. Prinsip ini menetapkan bahwa pelaku usaha wajib mengganti kerugian yang dialami konsumen akibat penggunaan produk yang dihasilkan atau diperdagangkan, tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan [10]. Keberadaan prinsip tersebut memperkuat posisi konsumen yang selama ini dianggap lemah dalam menghadapi korporasi besar. Dengan mekanisme tanggung jawab mutlak, beban pembuktian dialihkan kepada pelaku usaha, sehingga konsumen tidak harus membuktikan kesalahan atau kelalaian produsen. Dalam sektor kosmetik, apabila penggunaan produk menimbulkan iritasi, alergi, atau kerusakan kulit akibat bahan berbahaya, maka tanggung jawab ganti rugi otomatis melekat pada produsen yang mengedarkan produk tersebut.
Tanggung jawab yang dimaksud tidak hanya bersifat kompensatoris, tetapi juga mencakup dimensi preventif dan represif. Dimensi preventif tampak melalui kewajiban produsen untuk mematuhi standar keamanan serta memberikan informasi yang akurat mengenai komposisi bahan, cara penggunaan, dan potensi efek samping produk. Sementara dimensi represif diwujudkan melalui sanksi administratif, perdata, maupun pidana terhadap pelaku usaha yang mengabaikan ketentuan hukum. Pasal 62 UUPK menyatakan ancaman pidana penjara maksimal lima tahun atau denda hingga dua miliar rupiah bagi produsen yang memperdagangkan barang tidak sesuai standar keamanan sebagaimana ditentukan Pasal 8 [11]. Sistem sanksi berlapis ini menegaskan bahwa tanggung jawab produsen tidak hanya terbatas pada hubungan perdata dengan konsumen, melainkan juga melibatkan kepentingan publik untuk menjamin keamanan produk di pasaran.
Hak atas keamanan dan keselamatan dalam konsumsi barang atau jasa merupakan hak dasar konsumen sebagaimana tertuang pada Pasal 4 huruf a UUPK. Hak ini berimplikasi pada tanggung jawab hukum produsen untuk menjamin bahwa setiap barang yang dipasarkan tidak menimbulkan risiko kesehatan bagi pengguna [12]. Hak tersebut memiliki dimensi moral dan sosial yang kuat, sebab menyangkut penghormatan terhadap hak asasi manusia untuk memperoleh perlindungan atas tubuh dan kesehatannya. Pelanggaran terhadap ketentuan keamanan produk berarti pelanggaran terhadap martabat manusia yang harus dilindungi oleh negara. Pada industri skincare, penggunaan bahan aktif berisiko tinggi tanpa pengujian toksikologis atau pengawasan dari BPOM menjadi bentuk pelanggaran serius terhadap hak tersebut.
Pengawasan terhadap keamanan kosmetik diselenggarakan melalui mekanisme sertifikasi dan evaluasi oleh BPOM. Proses pengawasan mencakup dua tahap, yaitu pra-edar dan pasca-edar. Tahap pra-edar berfokus pada penilaian mutu, manfaat, dan keamanan produk sebelum memperoleh nomor notifikasi edar, sedangkan tahap pasca-edar mencakup inspeksi sarana produksi, pengujian sampel produk di pasar, serta investigasi terhadap laporan efek samping. Kewajiban pencantuman nomor notifikasi pada kemasan kosmetik menjadi bukti legalitas produk sekaligus sarana perlindungan bagi konsumen. Produk yang tidak memiliki nomor notifikasi dianggap ilegal dan dapat ditarik dari peredaran serta dikenai sanksi hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sistem pengawasan ini mencerminkan implementasi konkret prinsip tanggung jawab produsen yang diatur dalam UUPK.
Hubungan antara produsen dan konsumen dalam industri kosmetik cenderung tidak seimbang karena konsumen tidak memiliki kapasitas teknis untuk menilai keamanan bahan kimia dalam produk yang dibelinya. Ketimpangan informasi ini menuntut adanya transparansi dan keterbukaan dari pihak produsen dalam memberikan informasi kepada publik. Pasal 9 ayat
(1) huruf k UUPK melarang pelaku usaha membuat pernyataan menyesatkan mengenai manfaat, komposisi, atau risiko produk. Pernyataan hiperbolis seperti “bebas bahan kimia” atau “aman untuk semua jenis kulit” tanpa bukti ilmiah yang valid dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum yang menyesatkan [13]. Keberadaan aturan ini menegaskan fungsi hukum sebagai sarana pembentukan etika bisnis yang jujur dan bertanggung jawab dalam industri skincare.
Pengaturan mengenai tanggung jawab produsen skincare tidak dapat dilepaskan dari doktrin product liability yang berkembang dalam sistem hukum internasional. Doktrin ini menempatkan produsen sebagai pihak yang wajib menanggung akibat hukum dari produk yang cacat baik pada aspek desain, proses produksi, maupun pelabelan. Prinsip tersebut diadopsi ke dalam sistem hukum Indonesia melalui Pasal 19 hingga Pasal 22 UUPK yang memberikan hak kepada konsumen untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang timbul akibat produk yang merugikan. Mekanisme penyelesaian dapat dilakukan melalui jalur pengadilan atau lembaga non-litigasi seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Mekanisme tersebut memberikan akses yang lebih luas bagi masyarakat untuk memperoleh keadilan, terutama bagi korban pelanggaran keamanan kosmetik yang mengalami kerugian kesehatan jangka panjang. Kerangka hukum yang mengatur tanggung jawab produsen juga bersinggungan dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), khususnya Pasal 1365 tentang perbuatan melawan hukum. Pasal ini menyatakan bahwa setiap perbuatan yang menimbulkan kerugian kepada pihak lain menimbulkan kewajiban bagi pelakunya untuk mengganti kerugian tersebut. Apabila produsen memasarkan produk skincare yang tidak memenuhi standar keamanan, tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum. Integrasi antara UUPK dan KUHPerdata menciptakan sistem hukum yang saling melengkapi dalam menegakkan tanggung jawab produsen sekaligus menjamin perlindungan hak-hak konsumen.
Efektivitas penerapannya masih menghadapi sejumlah tantangan dimana pengawasan pasca-edar kerap tidak sebanding dengan laju pertumbuhan produk baru, sementara tingkat kepatuhan pelaku usaha terhadap ketentuan BPOM masih rendah, terutama pada sektor usaha kecil dan menengah. Kondisi tersebut diperburuk oleh rendahnya literasi hukum di kalangan produsen lokal yang sering menganggap prosedur sertifikasi produk sebagai beban administratif, bukan kewajiban hukum. Penegakan sanksi administratif dan pidana terhadap pelanggaran keamanan produk pada sisi lainnya masih belum optimal sehingga tidak menimbulkan efek jera. Situasi ini mengindikasikan perlunya sinergi antara regulasi yang tegas, pengawasan yang konsisten, serta pembinaan hukum yang berorientasi pada peningkatan kesadaran tanggung jawab pelaku usaha.
Sistem tanggung jawab produsen yang diatur dalam UUPK dapat dipahami melalui tiga dimensi utama. Pertama, dimensi pengaturan yang menekankan kewajiban hukum produsen untuk menjamin keamanan produk dan menyediakan informasi yang benar. Kedua, dimensi kelembagaan yang melibatkan peran BPOM, BPSK, serta lembaga peradilan sebagai pengawas dan penegak hukum. Ketiga, dimensi penegakan yang mencakup penerapan sanksi administratif, perdata, dan pidana sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelanggaran. Ketiga dimensi tersebut membentuk kerangka hukum yang tidak hanya bersifat represif tetapi juga preventif dalam menjaga keseimbangan antara hak konsumen dan kepentingan ekonomi pelaku usaha [14].
Paradigma hubungan produsen dan konsumen dalam sistem hukum Indonesia telah mengalami pergeseran dari prinsip caveatemptoryang menempatkan konsumen sebagai pihak yang harus berhati-hati menuju prinsip caveatvenditoryang menuntut kehati-hatian produsen dalam memasarkan produknya. Pergeseran tersebut menandai peralihan tanggung jawab moral menjadi tanggung jawab hukum yang melekat pada setiap pelaku usaha. Produsen skincare wajib memastikan seluruh proses produksi, distribusi, hingga pemasaran memenuhi standar keamanan dan kejujuran informasi sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan. Keberlakuan UUPK menjadi refleksi keseriusan negara dalam menjamin hak kesehatan masyarakat serta mendorong terwujudnya tata kelola industri kosmetik yang etis, transparan, dan berkeadilan.
Hubungan hukum antara produsen dan konsumen pada ranah perdagangan modern didasarkan pada asas kepercayaan dan tanggung jawab moral yang tinggi. Produsen memiliki kewajiban hukum untuk menjamin mutu, keamanan, serta kelayakan setiap produk yang dipasarkan, terlebih pada sektor kosmetika yang bersentuhan langsung dengan kesehatan kulit manusia. Produk skincare berinteraksi dengan jaringan kulit secara terus-menerus sehingga mengandung potensi risiko yang tidak dapat diabaikan apabila proses produksinya tidak mengikuti standar keselamatan yang telah ditetapkan. Kegagalan dalam menjamin keamanan produk berimplikasi pada pelanggaran hak konsumen, yang tidak hanya menimbulkan kerugian material, tetapi juga berdampak serius terhadap kondisi fisik dan psikologis pengguna [15].
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa produsen wajib bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul akibat penggunaan produk yang cacat atau tidak memenuhi standar keamanan. Pengaturan tersebut menempatkan produsen sebagai subjek hukum yang memiliki kewajiban absolut terhadap jaminan mutu dan keselamatan produk yang diproduksi serta diedarkan. Tanggung jawab tersebut tidak hanya muncul akibat unsur kesalahan atau kelalaian, tetapi juga dapat timbul secara otomatis apabila produk terbukti menimbulkan kerugian. Konsep pertanggungjawaban seperti ini menegaskan pentingnya prinsip tanggung jawab mutlak dalam sistem hukum perlindungan konsumen Indonesia, yang bertujuan memberikan perlindungan maksimal kepada masyarakat sebagai pihak yang rentan terhadap praktik usaha yang tidak etis.
C. Kewajiban Preventif Produsen terhadap Keamanan Produk
Pasal 8 UUPK menegaskan larangan bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan barang yang tidak memenuhi standar mutu, tidak mencantumkan informasi penting seperti tanggal kedaluwarsa, atau mengandung bahan berbahaya. Norma ini menciptakan dasar hukum bagi kewajiban preventif produsen agar seluruh produk yang beredar aman untuk digunakan. Dalam bidang kosmetika, ketentuan tersebut diperkuat oleh peraturan teknis dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), antara lain Peraturan BPOM Nomor 23 Tahun 2019 tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika yang mengatur kelayakan bahan aktif, batas penggunaan zat kimia, serta kewajiban pengujian stabilitas dan keamanan sebelum produk memperoleh izin edar.
Kewajiban preventif tersebut dapat diuraikan ke dalam tiga dimensi utama. Pertama, produsen memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan sistem pengawasan mutu internal yang ketat melalui mekanisme uji laboratorium, pengujian toksisitas, dan verifikasi stabilitas formula. Setiap tahapan produksi harus memastikan bahwa kandungan bahan aktif maupun bahan tambahan berada pada kadar aman [16]. Kedua, produsen berkewajiban memberikan informasi yang benar dan mudah dipahami oleh konsumen. Informasi tersebut mencakup komposisi, cara pemakaian, efek samping potensial, serta peringatan bagi konsumen yang memiliki kondisi kulit tertentu. Ketidaktepatan informasi atau penyembunyian data risiko dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap asas kejujuran dan keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan 10 UUPK. Ketiga, apabila ditemukan produk yang menimbulkan dampak negatif bagi pengguna, produsen wajib menarik produk tersebut dari peredaran dan melakukan penggantian atau kompensasi atas kerugian yang dialami konsumen. Mekanisme product recall ini merupakan bentuk tanggung jawab langsung yang menjadi manifestasi kewajiban etis sekaligus hukum. Kepatuhan terhadap kewajiban preventif merupakan bentuk perlindungan hukum yang bersifat proaktif. Prinsip ini menempatkan produsen tidak sekadar sebagai pelaku usaha yang berorientasi pada keuntungan, tetapi juga sebagai entitas sosial yang memiliki kewajiban moral dan hukum untuk menjamin keselamatan konsumen.
1. Prinsip-Prinsip Pertanggungjawaban Produsen
Konsepsi pertanggungjawaban produsen skincare dalam UUPK dapat dipahami melalui beberapa prinsip utama. Prinsip pertama adalah pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (fault liability) yang muncul apabila produsen terbukti lalai dalam memenuhi kewajiban hukumnya [17]. Kelalaian dapat berupa penggunaan bahan berbahaya, pengabaian prosedur uji keamanan, atau ketidakakuratan dalam pencantuman label. Bentuk pertanggungjawaban ini menuntut pembuktian unsur kesalahan produsen sebagai dasar pemberian sanksi atau ganti rugi.
2. Prinsip kedua adalah pertanggungjawaban mutlak ( strict liability ).
Dalam kerangka ini, produsen tetap memikul tanggung jawab hukum walaupun tidak terbukti bersalah [17]. Konsumen cukup menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara penggunaan produk dan timbulnya kerugian. Prinsip tersebut memiliki dasar filosofi bahwa pihak yang memperoleh manfaat ekonomi dari kegiatan produksi harus pula menanggung risiko sosial dari produk yang dihasilkannya. Penerapan tanggung jawab mutlak lazim diberlakukan terhadap produk-produk yang berisiko tinggi terhadap kesehatan, termasuk kosmetik, obat, dan makanan.
3. Prinsip ketiga adalah pertanggungjawaban atas produk cacat ( product liability )
Menekankan tanggung jawab produsen terhadap cacat desain, cacat produksi, maupun cacat label [18]. Produk dapat dikategorikan cacat desain apabila formula dasarnya telah mengandung risiko berbahaya, sementara cacat produksi terjadi apabila proses pembuatan tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan. Adapun cacat label berkaitan dengan informasi yang tidak akurat atau menyesatkan mengenai penggunaan dan efek produk. Ketiga prinsip ini membentuk struktur tanggung jawab hukum yang komprehensif, memastikan bahwa produsen bertanggung jawab atas setiap aspek dari siklus produksi hingga distribusi.
4. Kompensasi dan Restitusi sebagai Pertanggungjawaban Perdata
Kerugian yang dialami konsumen akibat penggunaan produk skincare yang tidak aman menimbulkan konsekuensi hukum bagi produsen untuk memberikan ganti rugi. Pasal 19 UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha wajib memberikan kompensasi atas kerusakan, pencemaran, atau kerugian akibat barang atau jasa yang dihasilkan. Bentuk kompensasi tersebut dapat berupa pengembalian uang, penggantian barang serupa, pemberian perawatan medis, atau bentuk restitusi lain yang proporsional dengan tingkat kerugian.
Mekanisme gugatan perdata terhadap produsen kosmetik sering kali menghadapi kendala pembuktian karena konsumen berada pada posisi lemah secara teknis maupun ekonomi. UUPK menawarkan solusi melalui prinsip pembalikan beban pembuktian, sebagaimana diatur dalam Pasal 28, yang mewajibkan produsen untuk membuktikan bahwa kerugian tidak disebabkan oleh produknya. Prinsip ini menjadi bentuk koreksi terhadap ketimpangan kekuatan antara pelaku usaha dan konsumen serta memperkuat asas perlindungan hukum yang adil. Selain gugatan individual, kerugian massal akibat produk kosmetik berbahaya dapat diajukan melalui mekanisme gugatan kelompok (classaction). Pengaturan ini memberi ruang bagi lembaga perlindungan konsumen untuk mewakili kepentingan masyarakat luas. Model ini sering digunakan pada kasus penarikan besar-besaran produk kosmetik yang mengandung bahan terlarang seperti merkuri atau hidrokuinon, yang berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan serius.
4. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelanggaran Keamanan Produk
UUPK tidak hanya mengatur tanggung jawab perdata, tetapi juga memuat mekanisme sanksi pidana bagi pelanggaran yang mengancam keselamatan publik. Pasal 62 mengatur ancaman pidana penjara hingga lima tahun dan denda maksimum dua miliar rupiah bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 8 hingga Pasal 17. Ketentuan ini memperlihatkan bahwa pelanggaran keamanan produk dipandang bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan sebagai tindak pidana yang mengandung unsur bahaya bagi kesehatan masyarakat.
Penerapan pertanggungjawaban pidana relevan apabila pelanggaran dilakukan secara sistematis, disengaja, atau menyebabkan dampak signifikan terhadap publik. Misalnya, penggunaan bahan kimia terlarang yang ditujukan untuk mempercepat hasil pemutihan kulit dapat dikategorikan sebagai bentuk kejahatan korporasi. Tanggung jawab hukum tidak hanya melekat pada individu pengurus, tetapi juga pada badan hukum produsen sebagai entitas korporatif. Penegasan ini sejalan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 yang memberikan panduan tentang mekanisme penanganan tindak pidana oleh korporasi [19]. Penerapan sanksi pidana terhadap entitas korporasi kosmetik diharapkan dapat menumbuhkan efek jera dan memperkuat etika tanggung jawab sosial pelaku industri.
5. Pertanggungjawaban Administratif dan Pengawasan Negara
Produsen skincare juga tunduk pada bentuk pertanggungjawaban administratif. BPOM berperan sebagai lembaga utama yang mengawasi keamanan, mutu, dan distribusi kosmetika di Indonesia. Pengawasan administratif meliputi perizinan, pemeriksaan fasilitas produksi, serta pengawasan label dan iklan [20]. Sanksi administratif dapat berupa peringatan tertulis, penarikan produk, pembekuan izin edar, pencabutan izin usaha, serta denda administratif. Penerapan sanksi administratif memiliki tujuan preventif yang kuat [20]. Melalui sistem ini, negara dapat memastikan kepatuhan pelaku usaha terhadap standar keamanan sebelum produk beredar. Integrasi antara kewenangan BPOM dan ketentuan UUPK membentuk sistem pengawasan yang bersifat berjenjang. Pendekatan seperti ini menegaskan bahwa tanggung jawab produsen tidak berakhir pada saat produk dijual, melainkan terus berlanjut selama produk tersebut masih digunakan oleh masyarakat.
6. Prinsip Keadilan dan Kepastian Hukum dalam Pertanggungjawaban Produsen
Konsep pertanggungjawaban hukum produsen tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme penegakan, tetapi juga mencerminkan nilai keadilan dan kepastian hukum. Prinsip keadilan menuntut keseimbangan antara hak konsumen untuk memperoleh produk yang aman dan hak produsen untuk berusaha secara wajar. Sementara itu, kepastian hukum memberikan jaminan bahwa setiap tindakan penegakan hukum memiliki dasar normatif yang jelas dan dapat diprediksi. UUPK dirancang untuk mengimplementasikan prinsip keadilan distributif, di mana kerugian yang diderita konsumen harus dipulihkan secara proporsional, sedangkan pelaku usaha yang bertindak lalai harus menanggung akibat hukumnya. Ketegasan norma hukum serta konsistensi penerapan sanksi menjadi prasyarat bagi terwujudnya kepastian hukum. Kepastian tersebut mendorong terciptanya stabilitas dalam kegiatan ekonomi, karena para pelaku usaha memiliki pedoman yang jelas dalam mengelola risiko hukum.
Simpulan
Kajian terhadap pengaturan hukum mengenai tanggung jawab produsen skincare atas keamanan produk menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah memberikan kerangka hukum yang cukup kuat bagi perlindungan kepentingan konsumen. Regulasi tersebut menegaskan bahwa setiap produsen berkewajiban menjamin keamanan, mutu, serta informasi yang benar atas produk yang dipasarkan. Kewajiban ini mencakup aspek produksi, distribusi, hingga penyampaian informasi melalui label dan iklan yang tidak menyesatkan. Mekanisme hukum yang diatur dalam undang-undang ini bertujuan menegakkan keseimbangan antara kepentingan produsen dan hak konsumen, serta menegaskan posisi negara sebagai pengawas dalam menjamin standar keamanan produk kosmetik. Kejelasan norma yang mengatur tanggung jawab hukum produsen berfungsi mencegah praktik ekonomi yang merugikan masyarakat dan mendorong terwujudnya sistem perdagangan yang beretika serta berkeadilan.
Pertanggungjawaban hukum produsen skincare memperlihatkan bahwa tanggung jawab tersebut bersifat menyeluruh, mencakup aspek perdata, pidana, dan administratif. Produsen wajib memberikan kompensasi atau ganti rugi atas kerugian yang timbul akibat produk yang tidak aman, dan dalam kasus tertentu dapat dikenakan sanksi pidana apabila terbukti lalai atau melakukan tindakan yang disengaja merugikan konsumen. Sanksi administratif pun menjadi instrumen korektif untuk memastikan kepatuhan terhadap standar produksi dan peredaran kosmetik yang aman. Penegakan tanggung jawab ini tidak hanya bertujuan memulihkan kerugian konsumen, tetapi juga menegakkan prinsip kehati-hatian dan etika bisnis yang sehat. Implementasi yang konsisten terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 berpotensi memperkuat kepercayaan publik terhadap industri skincare nasional serta menumbuhkan iklim usaha yang bertanggung jawab dan berorientasi pada perlindungan hak- hak konsumen.
Kajian terhadap tanggung jawab hukum produsen skincare atas pelanggaran keamanan produk memberikan sejumlah rekomendasi strategis yang dapat memperkuat efektivitas penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Peningkatan efektivitas tersebut memerlukan sinergi antara perangkat regulasi, lembaga pengawas, pelaku usaha, serta kesadaran hukum masyarakat. Untuk itu, beberapa langkah perbaikan dapat diarahkan sebagai berikut:
1. Penguatan sistem pengawasan terpadu
Pengawasan terhadap industri skincare perlu dioptimalkan melalui integrasi peran BPOM, Kementerian Perdagangan, dan asosiasi produsen kosmetik. Pengawasan seharusnya tidak berhenti pada proses pra-edaran, tetapi berlanjut pada tahap distribusi dan pasca-pemasaran untuk memastikan tidak ada produk yang membahayakan konsumen. Penerapan mekanisme audit berkala serta sistem pelaporan daring atas keluhan konsumen dapat mempercepat deteksi dini terhadap pelanggaran keamanan produk.
2. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas informasi produk
Produsen wajib mencantumkan informasi secara jelas mengenai komposisi bahan, izin edar, serta potensi efek samping. Penguatan regulasi pelabelan dan periklanan kosmetik diperlukan agar konsumen memperoleh pemahaman yang tepat sebelum melakukan pembelian. Tindakan tegas terhadap pelaku usaha yang menyembunyikan data bahan berisiko akan memperkuat kepercayaan publik terhadap produk dalam negeri.
3. Reformulasi regulasi agar adaptif terhadap dinamika industri
Perkembangan bioteknologi, inovasi bahan aktif, serta perdagangan melalui platform digital menuntut pembaruan norma hukum yang mengatur tanggung jawab produsen. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 perlu direvisi agar mencakup aspek tanggung jawab penyedia platform e-commerce sebagai pihak yang turut berperan dalam peredaran produk skincare. Pendekatan hukum yang adaptif terhadap perubahan teknologi akan mencegah terjadinya kekosongan norma dan memperkuat kepastian hukum bagi konsumen.
4. Pemberdayaan konsumen melalui edukasi hukum dan kesadaran kritis
Pengetahuan masyarakat mengenai hak-hak konsumen masih terbatas, sehingga diperlukan program sosialisasi terpadu yang melibatkan lembaga pemerintah, perguruan tinggi, dan organisasi masyarakat sipil. Edukasi yang berkelanjutan mengenai cara mengidentifikasi produk aman, memahami label, serta mekanisme pengaduan akan membangun budaya hukum yang proaktif. Ketika konsumen memiliki kesadaran hukum yang tinggi, ekosistem perdagangan menjadi lebih sehat karena setiap pihak memahami tanggung jawab dan batasan hukumnya.
Serangkaian langkah tersebut akan memperkuat posisi konsumen sebagai subjek hukum yang terlindungi sekaligus meneguhkan etika tanggung jawab produsen skincare dalam menjaga standar keamanan produk serta menumbuhkan iklim usaha yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Efendi, J., and J. Ibrahim, Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris, Jakarta, Indonesia: Kencana, 2018.
Fadlilah, I. N., E. T. Sari, and L. A. Manafe, “Pengaruh Kualitas Produk, Promosi Diskon, dan Kemudahan Pembelian Terhadap Minat Pembelian Ulang Produk Kecantikan MS Glow di Kota Surabaya,” Jurnal Ilmiah Ekonomi dan Manajemen, vol. 3, no. 3, p. 325, 2025.
Badan Pengawas Obat dan Makanan, “BPOM Intensifkan Pengawasan, Rp 31,7 Miliar Kosmetik Ilegal Ditemukan,” 2025. [Online]. Available: https://www.pom.go.id/siaran-pers/bpom-intensifkan-pengawasan-rp31-7-miliar-kosmetik-ilegal-ditemukan-influencer-diminta-hati-hati-dalam-promosi
Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Pengawasan Diperketat, BPOM Umumkan Daftar Kosmetik Berbahaya Hasil Intensifikasi Pengawasan di Awal 2025,” 2025. [Online]. Available: https://waskos.pom.go.id/berita/pengawasan-diperketat-bpom-umumkan-daftar-kosmetik-berbahaya-hasil-intensifikasi-pengawasan-di-awal-tahun-2025
Harahap, K., Nurhayati, Arafat, and I. Hatchi, Buku Ajar Metode Penelitian, Medan, Indonesia: PT Media Penerbit Indonesia, 2024.
Al Ghozali, F., and T. Hardyanthi, “Perlindungan Konsumen pada Platform E-Commerce: Regulasi dan Peran Pemerintah,” Ethics and Law Journal of Business and Notary, vol. 2, no. 3, p. 136, 2024.
Buloto, A. V., F. U. Puluhulawa, and A. R. Y. Mantali, “Penguatan Regulasi dan Penegakan Hukum Terhadap Peredaran Kosmetik Ilegal di Indonesia dan Singapura,” SINERGI Jurnal Riset Ilmiah, vol. 2, no. 2, p. 14, 2024.
Novita, Y. D., and B. Santoso, “Urgensi Pembaharuan Regulasi Perlindungan Konsumen di Era Bisnis Digital,” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, vol. 3, no. 1, p. 46, 2021.
Baso, A. N., Asnawi, and A. S. Pramono, “Perlindungan Hukum atas Hak Informasi Konsumen pada Transaksi Digital,” Jurnal Inovasi Hukum dan Bisnis, vol. 5, no. 1, p. 78, 2023.
Sinduningrum, A., and R. Hartono, “Penerapan Prinsip Strict Liability dalam Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Tinjauan Pasal 19 UUPK),” Review Hukum Indonesia, vol. 12, no. 2, p. 201, 2023.
Ro’is, N., and S. Hendri, “Kebijakan Pidana dalam Product Liability di Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,” Jurnal Thengkyang, vol. 5, no. 1, p. 44, 2020.
Ismawati, N. A., “Tanggung Jawab Pelaku Usaha yang Memperjualbelikan Booster Tidak Bernotifikasi BPOM dari Skincare Berpaket melalui E-Commerce,” Jurnal Hukum dan Kebijakan Publik, vol. 1, no. 1, p. 6, 2024.
Wibowo, E., and M. Taufik, “Iklan Menyesatkan dan Perlindungan Konsumen: Telaah Yuridis atas Ketentuan Pasal 9 UU Perlindungan Konsumen,” Jurnal Hukum dan Masyarakat, vol. 8, no. 2, p. 59, 2022.
Tuela, M. L., and H. M. C. Tompel, “Upaya Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Produk yang Merugikan di Indonesia,” Jurnal Hukum dan Pembangunan, vol. 48, no. 2, p. 189, 2022.
Hidayat, M., and R. Apriani, “Analisis Yuridis terhadap Tanggung Jawab Produsen atas Produk yang Merugikan Konsumen Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999,” Jurnal Hukum Responsif, vol. 10, no. 2, p. 119, 2023.
Katiandagho, V. A., B. A. Kapugu, and A. E. Gerungan, “Tanggung Jawab Produsen Terhadap Kerugian Akibat Barang Cacat dan Berbahaya yang Dialami oleh Konsumen,” Lex Administratum, vol. 13, no. 4, p. 1119, 2025.
Ruslian, N., and L. N. Hidayah, “Tanggung Jawab Hukum Produsen Otomotif Terhadap Cacat Produk (Product Liability) Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,” Zaaken Journal of Civil and Business Law, vol. 2, no. 1, p. 168, 2021.
Tuanaya, H. H., “Prinsip Tanggungjawab Produk (Product Liability) Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,” Pamulang Law Review, vol. 4, no. 2, p. 667, 2023.
Astuti, N. M. W., “Kajian Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam Upaya Pengawasan Kosmetik,” MAHESA Journal of Legal Studies, vol. 2, no. 1, p. 204, 2023.
Habib, Y. A., and J. J. Gilalo, “Analisis Penerapan Sanksi Pidana dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999,” Japendi: Jurnal Pendidikan dan Hukum, p. 74, 2025.