Login
Section Labor Law

The Employer’s Legal Obligations Toward Workers’ Rights Arising from Termination of Employment (A Comparative Study between Indonesia and Germany)

Kewajiban Hukum Pengusaha Terhadap Hak Pekerja Akibat Pemutusan Hubungan Kerja (Studi Komparatif Indonesia dan Jerman)
Vol. 20 No. 4 (2025): November:

Lena Mariana Br Sitorus (1), Gunardi Lie (2)

(1) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

General Background: Termination of employment remains a critical issue in labor law due to its social, economic, and legal consequences for workers. Specific Background: In Indonesia, despite comprehensive regulation under the Manpower Law and Job Creation Law, unilateral termination continues to occur, often without due process or fulfillment of workers’ entitlements, as illustrated in the case of PT X. Knowledge Gap: However, comparative studies examining the adequacy of Indonesian protections in relation to countries with stronger welfare-oriented systems, such as Germany, remain limited. Aims: This study aims to analyze the legal obligations of employers regarding workers’ rights arising from unilateral termination and to compare regulatory frameworks between Indonesia and Germany. Results: Findings show that Indonesia provides normative protection but faces weak enforcement, inconsistent application of compensation rules, and limited procedural safeguards, whereas Germany—through the Kündigungsschutzgesetz—implements stricter termination requirements, mandatory works-council consultation, and comprehensive social security support. Novelty: This study offers a detailed doctrinal and case-based comparison highlighting structural gaps in Indonesian law using a welfare-state benchmark. Implications: Strengthening enforcement mechanisms, enhancing oversight, and integrating social security-based protections could significantly improve Indonesia’s system for safeguarding workers against unjust termination.


Highlights:




  • Highlights the gap between normative regulation and practical enforcement in Indonesia.




  • Emphasizes Germany’s stronger procedural and welfare-based safeguards for workers.




  • Identifies the need for Indonesia to strengthen legal implementation and social protection mechanisms.




Keywords: Termination of Employment, Legal Protection, Workers’ Rights, Labor Law

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja merupakan salah satu pilar fundamental dalam sistem ekonomi dan sosial suatu negara. Keberadaan hubungan kerja tidak hanya menciptakan produktivitas ekonomi, tetapi juga membentuk tatanan sosial yang menentukan kesejahteraan masyarakat [1]. Dalam dinamika hubungan industrial, terdapat berbagai hak dan kewajiban yang saling berkaitan antara pengusaha sebagai pemilik modal dan pekerja sebagai penyedia tenaga kerja. Keseimbangan antara kepentingan ekonomi pengusaha dan perlindungan hak-hak dasar pekerja menjadi isu sentral dalam hukum ketenagakerjaan di seluruh dunia. Namun salah satu isu paling krusial dalam hubungan kerja adalah Pemutusan Hubungan Kerja (selanjutnya disebut sebagai “PHK”) [2]. PHK sering kali menjadi titik akhir dari hubungan industrial yang dapat menimbulkan konsekuensi hukum, sosial, dan ekonomi bagi para pihak, terutama bagi pekerja yang kehilangan sumber penghidupannya [3]. Dalam praktiknya, PHK tidak hanya dipandang sebagai tindakan administratif, melainkan juga sebagai peristiwa hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban baru. Oleh karena itu pengaturan mengenai PHK harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pengusaha untuk mempertahankan efisiensi usaha dan hak pekerja untuk memperoleh perlindungan yang adil [4].

Di Indonesia pengaturan mengenai PHK dan hak-hak pekerja diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut sebagai “UU Ketenagakerjaan”) yang kemudian mengalami perubahan signifikan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut sebagai “UU Cipta Kerja”). Regulasi ini memberikan perlindungan kepada pekerja melalui berbagai mekanisme, seperti kewajiban pengusaha untuk memberikan pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak ketika melakukan PHK [5]. Namun demikian, dalam praktiknya masih sering ditemukan kasus-kasus di mana pengusaha melakukan PHK sepihak tanpa mengikuti prosedur yang benar atau tanpa memenuhi kewajiban-kewajiban hukum yang telah ditentukan.

Permasalahan PHK sepihak di Indonesia semakin kompleks mengingat masih lemahnya posisi pekerja dibanding kan dengan pemberi kerja, kurangnya pemahaman pekerja terhadap hak-haknya, serta minimnya pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan. Salah satu contoh nyata adalah kasus pada perusahaan X dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 362 K/Pdt.Sus-PHI/2024, di mana seorang head marketing yang telah bekerja selama lebih dari empat tahun diberhentikan secara sepihak tanpa melalui tahapan pembinaan, surat peringatan, maupun persetujuan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Perusahaan menyatakan bahwa pekerja melakukan pelanggaran namun tidak dapat membuktikannya, dan tidak membayarkan hak-hak normatif seperti pesangon, uang penggantian hak, THR, dan sisa cuti tahunan sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan dan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016. Bahkan setelah mediasi di Dinas Ketenagakerjaan Kota Cimahi menghasilkan surat anjuran, perusahaan tetap mengabaikannya. Kasus ini menggambarkan praktik PHK yang merugikan pekerja dan mengindikasikan lemahnya implementasi perlindungan hukum ketenagakerjaan di Indonesia.

Sementara itu Jerman yang juga menganut sistem hukum civil law, dikenal memiliki sistem perlindungan tenaga kerja yang sangat kuat dan menyeluruh. Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja diatur dalam Kündigungsschutzgesetz (selanjutnya disebut sebagai “KSchG”) atau Undang-Undang Perlindungan terhadap Pemecatan, yang memberikan perlindungan signifikan bagi pekerja dari tindakan PHK yang tidak adil. Sistem hukum ketenagakerjaan di Jerman berlandaskan pada prinsip perlindungan sosial (Sozialschutz) dan menerapkan mekanisme yang ketat dalam pelaksanaan PHK. Hal ini mencakup kewajiban pengusaha untuk memiliki alasan yang sah (rechtfertigung) sebelum melakukan PHK, kewajiban konsultasi dengan dewan pekerja (Betriebsrat), serta pemberian kompensasi yang layak bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja [6].

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap pekerja perusahaan X yang mengalami pemutusan hubungan kerja secara sepihak, serta bagaimana pengaturan hukum mengenai hak-hak pekerja akibat pemutusan hubungan kerja sepihak dalam sistem hukum ketenagakerjaan di Indonesia dan Jerman.

Metode

Penelitian ini dilakukan dengan menelaah berbagai aspek yuridis, serta melakukan studi perbandingan dengan sistem hukum di negara Jerman. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif merupakan p enelitian yang berfokus pada asas-asas hukum, sistematika, tingkat sinkronisasi, serta perbandingan dalam ilmu hukum [7]. Pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini meliputi pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach) [8]. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan (library research) dengan tujuan menelusuri dan menganalisis penerapan aturan hukum, khususnya terkait dengan topik pemutusan hubungan kerja secara sepihak [9].

Hasil dan Pembahasan

A. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Perusahaan X yang Terkena Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak

Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum merupakan upaya untuk menjamin dan melindungi masyarakat agar dapat menikmati serta melaksanakan hak-hak yang telah diberikan oleh hukum. Sejalan dengan hal tersebut, perlindungan hukum dapat dipahami sebagai bentuk perlindungan yang diberikan kepada subjek hukum melalui instrumen hukum, baik yang bersifat preventif maupun represif, serta dapat berupa aturan tertulis maupun tidak tertulis [10]. Sementara itu, menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum merupakan bentuk penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, serta pengakuan atas hak-hak asasi manusia yang melekat pada setiap subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, dengan tujuan untuk mencegah terjadinya tindakan sewenang-wenang [10].

Dari definisi tersebutlah, perlindungan hukum terhadap pekerja yang mengalami PHK secara sepihak harus diberikan. Sesuai dengan tujuan dari prinsip keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut sebagai “UUD NRI 1945”), yang menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja [11]. Dalam konteks hukum ketenagakerjaan, perlindungan hukum bagi pekerja diatur secara khusus dalam UU Ketenagakerjaan serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (selanjutnya disebut sebagai “PPHI”), yang menekankan bahwa setiap pemutusan hubungan kerja harus dilakukan dengan alasan yang sah dan melalui prosedur penyelesaian yang diatur secara hukum. Meskipun sistem perlindungan hukum telah diatur, dalam praktiknya masih terdapat berbagai kendala dan tantangan dalam pelaksanaannya.

Salah satu contohnya adalah pekerja sering kali mengalami kesulitan untuk mendapatkan kompensasi yang seharusnya diterima ketika terjadi PHK secara sepihak oleh perusahaan. Hal tersebut mencerminkan bahwa penerapan perlindungan hukum bagi pekerja masih menghadapi berbagai hambatan, khususnya dalam realisasi hak atas kompensasi akibat PHK sepihak. Sedangkan hak untuk menuntut kompensasi tambahan atau ganti rugi merupakan bagian penting dari perlindungan hukum pekerja, yang bertujuan untuk memulihkan kerugian ekonomi maupun moral akibat tindakan PHK yang tidak sah [12]. Selain itu, pemberian hak ini juga berfungsi sebagai alat kontrol dan pencegahan agar perusahaan tidak melakukan pelanggaran hukum atau penyalahgunaan kewenangan dalam proses pemutusan hubungan kerja sehingga jika di tinjau secara umum, meski sudah terdapat berbagai aturan hukum yang mengatur perlindungan terhadap hak pekerja dalam kasus PHK sepihak, namun penerapan dan pengawasan terhadap aturan tersebut masih belum berjalan maksimal. Tantangan yang dihadapi meliputi rendahnya tingkat kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan hukum, serta terbatasnya akses pekerja terhadap informasi dan bantuan hukum yang memadai.

Hal ini sejalan dengan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor 103/Pdt.Sus PHI/2023/PN.Bdg dan dikuatkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 362 K/Pdt.Sus-PHI/2024. Kasus ini bermula ketika Y, seorang pekerja tetap di PT X, di-PHK secara sepihak oleh perusahaan pada tanggal 9 Januari 2023. Y telah bekerja sejak tahun 2019 dengan jabatan head marketing dan menerima gaji sebesar Rp5.000.000 per bulan. PHK dilakukan melalui surat keputusan perusahaan Nomor 005/MAF/HRD/I/2023 yang ditandatangani oleh pihak HRD, dengan alasan dugaan pelanggaran peraturan perusahaan. Namun pekerja merasa tidak pernah melakukan pelanggaran dan menilai PHK tersebut dilakukan tanpa prosedur hukum yang sah, karena tidak melalui tahapan pembinaan atau surat peringatan, dan tidak mendapatkan izin dari disnaker atau LPPHI sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah mendapat penetapan dari LPPHI.

Pekerja kemudian menempuh upaya hukum dengan melakukan perundingan bipartit dan tripartit melalui Dinas Tenaga Kerja Kota Cimahi. Namun, hasil mediasi tidak diindahkan oleh pihak perusahaan sehingga Y mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (selanjutnya disebut sebagai “PHI”) Bandung. Dalam Putusan Nomor103/Pdt.Sus-PHI/2023/PN.Bdg, pengadilan menegaskan bahwa PHK yang dilakukan oleh PT X merupakan tindakan yang tidak sah secara hukum karena dilakukan tanpa adanya bukti pelanggaran dan tanpa melalui mekanisme penyelesaian hubungan industrial. Pengadilan juga menilai bahwa tindakan tersebut melanggar prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi pekerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta memperoleh imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Oleh karena itu, pengadilan menghukum perusahaan untuk membayar hak-hak pekerja berupa pesangon, uang penghargaan masa kerja, serta upah selama proses persidangan sebesar Rp90.000.000.

Dikarenakan tidak merasa puas terhadap putusan PHI Bandung, PT X mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada putusan nya Mahkamah Agung melalui menolak permohonan kasasi tersebut dan menegaskan bahwa PHK sepihak yang dilakukan perusahaan batal demi hukum karena tidak didukung bukti pelanggaran serta tidak berlandaskan peraturan perusahaan yang disahkan oleh instansi ketenagakerjaan. Namun Mahkamah Agung memperbaiki amar dari Putusan PHI Bandung terkait kompensasi yang didapatkan Y yaitu Rp83.750.000,00, yaitu hanya sebatas uang penggantian hak dan uang pisah.

Bentuk perlindungan hukum terhadap pekerja dalam kasus ini tercermin dalam penerapan perlindungan hukum represif, di mana pengadilan memberikan pemulihan hak-hak pekerja yang dirugikan akibat tindakan pengusaha. Melalui proses peradilan hubungan industrial, negara hadir untuk memastikan pekerja mendapatkan hak normatifnya seperti Pesangon, Pengahargaan Masa Kerja (selanjutnya disebut sebagai “PMK”) dan Upah. Selain itu, peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan juga berfungsi sebagai perlindungan hukum preventif dengan mengatur prosedur PHK agar pengusaha tidak bertindak sewenang-wenang terhadap pekerja. Namun, perlindungan terhadap pekerja pada putusan ini tidak sepenuh nya terpenuhi, dikarenakan majelis hakim pada Mahkamah Agung hanya memberikan hak pesangon Y sesuai dengan pekerja yang pensiun. Sedangkan fakta nya Y bukan merupakan pekerja yang sudah dalam masa pensiun, melainkan pekerja yang di PHK tanpa kesalahan yang seharusnya mendapatkan pesangon sesuai dengan pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang menjelaskan bahwa pesangon yang di dapatkan pekerja jika di PHK secara sepihak karena efisiensi perusahaan dikali 2 hak pesangon. Karena dapat di lihat tindakan dari perusahaan ini yang melakukan PHK secara sepihak tanpa dasar yang jelas, diduga bentuk perusahaan untuk melakukan efisiensi perusahaan.

B. Pengaturan Hukum Tentang Hak Pekerja Akibat Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak dalam Sistem Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia dan Jerman

Perlindungan hukum bagi pekerja setelah terjadinya PHK, berdasarkan berbagai literatur maupun praktik di lapangan menunjukkan bahwa ketentuan mengenai hak dan kewajiban pekerja serta pengusaha pada umumnya telah diatur dalam perjanjian kerja bersama. Melalui perjanjian tersebut tercermin bentuk-bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada pekerja [13]. Untuk memperjelas jenis perlindungan hukum yang seharusnya diterima oleh pekerja, hal tersebut dapat diklasifikasikan atau dipisahkan ke dalam beberapa bentuk perlindungan tertentu, yaitu [14]:

Perlindungan hukum terhadap pekerja dalam proses PHK menunjukkan bahwa selama proses PHK berlangsung, hubungan kerja secara hukum masih dianggap belum berakhir. Bahwa hal tersebut berarti pekerja masih memiliki kewajiban untuk melaksanakan pekerjaannya dan tetap berhak memperoleh hak-haknya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 155 UU Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa selama belum ada penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha tetap berlaku sebagaimana mestinya.

Perlindungan hukum bagi pekerja setelah terjadinya PHK mencakup hak memperoleh uang penggantian hak yang meliputi penggantian atas hak-hak yang seharusnya diterima namun belum sempat dinikmati, seperti cuti tahunan yang belum diambil, penggantian biaya transportasi kepulangan bagi pekerja yang direkrut dari daerah lain, hingga penggantian hak atas perumahan, pengobatan, dan perawatan apabila hal tersebut memang menjadi bagian dari perjanjian kerja atau kebiasaan perusahaan. Tak berhenti di situ, undang-undang yang sama juga membuka ruang bagi pemberian kompensasi tambahan lainnya yang mungkin timbul akibat proses PHK itu sendiri, misalnya uang pisah yang disepakati dalam perjanjian bersama, atau bentuk kompensasi khusus apabila PHK terjadi dalam situasi tertentu seperti penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan perusahaan, maupun karena alasan efisiensi yang tidak disertai kesalahan pekerja [15].

Berdasarkan Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, PHK hanya dapat dilakukan apabila terdapat alasan yang sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ketentuan ini menegaskan prinsip legalitas dalam hukum ketenagakerjaan yang mengharuskan setiap tindakan PHK memiliki dasar hukum yang jelas. Selanjutnya, pada ayat (2) menegaskan bahwa pelaksanaan PHK harus dilakukan dengan itikad baik dan tidak secara sewenang-wenang. Dengan demikian, meskipun PHK dibenarkan oleh hukum, pelaksanaannya wajib dilakukan secara objektif, transparan, dan proporsional. Dalam praktiknya mekanisme PHK juga telah diatur secara komprehensif pada UU Ketenagakerjaan. Proses tersebut mencakup beberapa tahapan penting, antara lain:

1. Pemberitahuan Tertulis kepada Pekerja

Pengusaha wajib memberikan surat pemberitahuan tertulis kepada pekerja atau serikat pekerja yang memuat alasan dan bukti pendukung PHK. Tujuannya adalah agar pekerja memahami dasar keputusan tersebut dan memiliki kesempatan untuk menyiapkan pembelaan diri sebelum PHK dilaksanakan.

2. Musyawarah Bipartit

Setelah pemberitahuan disampaikan, kedua belah pihak wajib melakukan perundingan atau musyawarah bipartit guna mencari solusi bersama secara damai. Tahap ini bertujuan menjaga keharmonisan hubungan industrial serta mencegah penyelesaian sengketa melalui jalur hukum, dengan mengutamakan asas kekeluargaan dan itikad baik dari kedua pihak [5].

Jika pelaksanaan atau tahapan tersebut telah dilakukan namun tidak mendapatkan solusi, maka dapat digugat melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Apabila putusan PHI telah menetapkan bahwa pemutusan hubungan kerja dilakukan secara sepihak dan tidak sah menurut hukum, maka pekerja berhak memperoleh pemulihan hak-haknya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak tersebut mencakup pembayaran pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjaan [12].

Sedangkan dalam sistem hukum ketenagakerjaan Jerman, pengaturan mengenai pemutusan hubungan kerja diatur dalam Employment Protection Act (Kündigungsschutzgesetz atau KSchG) yang memberikan perlindungan ketat terhadap pekerja dari tindakan pemutusan hubungan kerja yang tidak sah. Berdasarkan undang-undang tersebut, pengusaha hanya dapat melakukan PHK apabila terdapat alasan yang sah, baik karena perilaku pekerja, alasan pribadi, maupun alasan operasional. Prosedur PHK harus dilakukan secara tertulis dengan pemberitahuan kepada dewan kerja dan memperhatikan masa pemberitahuan yang proporsional dengan masa kerja pekerja.

Apabila pekerja menilai bahwa pemutusan hubungan kerja dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas, pekerja berhak mengajukan gugatan ke pengadilan tenaga kerja (Labor Court/Arbeitsgericht) dalam waktu tiga minggu sejak menerima surat PHK. Jika pengadilan menyatakan PHK tidak sah, maka pekerja dapat kembali bekerja atau menerima kompensasi finansial sesuai putusan pengadilan. Selain perlindungan hukum terhadap PHK, Jerman juga menyediakan perlindungan sosial yang komprehensif bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan.

Pekerja yang telah membayar iuran asuransi pengangguran berhak memperoleh tunjangan pengangguran (Arbeitslosengeld I) yang dibayarkan oleh Federal Employment Agency (Bundesagentur für Arbeit) selama maksimal 12 bulan, tergantung pada usia dan lama masa kerja. Setelah masa tersebut berakhir, pekerja dapat mengajukan tunjangan lanjutan (Arbeitslosengeld II) atau bantuan sosial apabila masih belum mendapatkan pekerjaan. Pemerintah juga secara aktif membantu pekerja melalui program Job Placement dan Retraining, yakni layanan penempatan kerja dan pelatihan keterampilan baru agar pekerja dapat kembali terserap di pasar tenaga kerja.

Dengan demikian, perlindungan hukum ketenagakerjaan di Jerman tidak hanya terbatas pada aspek prosedural dan keabsahan PHK, tetapi juga mencakup jaminan sosial, hak atas tunjangan pengangguran, serta bantuan aktif untuk mendapatkan pekerjaan baru. Hal ini mencerminkan pendekatan welfare state Jerman yang menempatkan kesejahteraan pekerja sebagai bagian integral dari sistem hukum ketenagakerjaan [16].

Simpulan

Perlindungan hukum terhadap pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja secara sepihak di Indonesia telah diatur secara normatif dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti UU Ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja dan UU PPHI. Namun keberadaan regulasi tersebut belum sepenuhnya menjamin perlindungan hak-hak pekerja karena masih lemahnya pelaksanaan di lapangan. Banyak kasus PHK dilakukan tanpa prosedur hukum yang sah, tanpa adanya perundingan terlebih dahulu, serta tanpa pemberian hak-hak normatif seperti pesangon dan uang penghargaan masa kerja.

Berbeda dengan Indonesia, sistem hukum ketenagakerjaan di Jerman menempatkan perlindungan terhadap pekerja sebagai bagian integral dari kebijakan sosial negara. Melalui Kündigungsschutzgesetz, pengusaha diwajibkan memiliki alasan sah untuk melakukan PHK dan berkewajiban berkonsultasi dengan dewan kerja sebelum pengambilan keputusan. Selain itu, pekerja yang kehilangan pekerjaan dijamin melalui sistem jaminan sosial berupa tunjangan pengangguran (Arbeitslosengeld) dan pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa sistem hukum Jerman tidak hanya memberikan perlindungan secara hukum formal, tetapi juga menjamin keberlanjutan kesejahteraan pekerja pasca-PHK.

Dengan demikian sistem hukum di Indonesia perlu memperkuat aspek implementasi dan penegakan hukum agar perlindungan terhadap pekerja tidak berhenti pada tataran normatif, tetapi benar-benar terwujud dalam praktik. Prinsip welfare state sebagaimana diterapkan di Jerman dapat dijadikan rujukan dalam memperbaiki sistem perlindungan ketenagakerjaan di Indonesia. Selain itu, pemerintah perlu memperkuat pengawasan ketenagakerjaan dan mengefektifkan lembaga penyelesaian hubungan industrial agar perlindungan hukum terhadap pekerja yang di-PHK sepihak dapat berjalan dengan baik. Reformulasi kebijakan jaminan sosial tenaga kerja juga perlu dilakukan dengan mencontoh mekanisme di Jerman, seperti tunjangan pengangguran dan program pelatihan kerja bagi pekerja terdampak PHK.

Pengusaha hendaknya menjalankan kewajiban hukum dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan kemanusiaan dalam setiap tindakan PHK serta memastikan bahwa seluruh hak pekerja diberikan sesuai ketentuan. Di sisi lain, pekerja perlu meningkatkan kesadaran hukum dan keberanian dalam memperjuangkan hak-haknya melalui mekanisme hukum yang tersedia. Dengan sinergi antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja, hubungan industrial di Indonesia diharapkan dapat berjalan secara harmonis dan berkeadilan.

References

A. Gofar, M. Hifni, M. Jahiri, and D. Darmawan, “Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Akibat Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak (Studi Kasus Putusan PN Serang Nomor 21/Pdt.Sus-PHI/2025/PN.Srg),” Al-Zayn Journal of Social and Legal Sciences, vol. 3, no. 4, p. 2, 2025.

W. D. Novarianti, A. P. Wisnuwardhana, O. D. Ramadhani, and M. S. Qodri, “Kendala Implementasi Pemberian Pesangon dalam Kondisi Perusahaan yang Ditutup Terhadap Pekerja yang Dikenakan PHK: Studi Kasus Putusan Nomor 183/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn,” Journal of Multidisciplinary Academic Sciences, vol. 2, no. 1, pp. 138–149, 2025.

R. Fathammubina and R. Apriani, “Perlindungan Hukum Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak Bagi Pekerja,” Jurnal Ilmiah Hukum DE’JURE: Kajian Ilmu Hukum, vol. 3, no. 1, pp. 108–130, 2018, doi: 10.35706/dejure.v3i1.1889.

M. R. Hananto and G. Lie, “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Pekerja pada Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak oleh Perusahaan (Studi Putusan Nomor 361/Pdt.Sus-PHI/2023/PN.JKT.PST),” UNES Law Review, vol. 6, no. 4, pp. 10711–10722, 2024, doi: 10.31933/unesrev.v6i4.

I. B. K. P. Manuaba and I. A. Sadnyini, “Perlindungan dan Upaya Hukum Bagi Pekerja Karena Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak,” Jurnal Analisa Hukum, vol. 1, no. 1, p. 2, 2018.

Jobtocn, “Germany’s Labor Law: A Comprehensive Guide for Enterprises,” Jobtocn, 2024.

S. Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta, Indonesia: UI Press, 1984.

P. M. Marzuki, Penelitian Hukum. Jakarta, Indonesia: Kencana, 2016.

S. H. Wibowo and J. Matheus, “Tinjauan Yuridis Pemberian Uang Pesangon kepada Karyawan yang Di-PHK Pasca Pengesahan Perppu Cipta Kerja,” Nusantara Journal of Social Sciences, vol. 10, no. 5, pp. 2560–2565, 2023, doi: 10.31604/jips.v10i5.2023.2560–2565.

P. M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya, Indonesia: Bina Ilmu, 1987.

E. J. S. Kembaren and I. Sari, “Pemutusan Hubungan Kerja Karyawan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWTT) oleh PT Duta Sarana Perkasa – Kabupaten Bogor (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 791 K/Pdt.Sus-PHI/2023),” Lex Omnibus: Journal of Constitutional and Administrative Law, vol. 1, no. 2, p. 2, 2024.

E. S. P. Sinlae et al., “Perspektif Hukum Mengenai Pembayaran Pesangon kepada Pekerja yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Sepihak,” Indonesian Journal of Islamic Jurisprudence, Economics and Legal Theory, vol. 2, no. 1, p. 8, 2024.

K. Kosidin, Perjanjian Kerja Perburuhan dan Peraturan Perusahaan. Bandung, Indonesia: CV Mandar Maju, 1999.

R. Halim, Hukum Perburuhan dalam Tanya Jawab. Jakarta, Indonesia: Ghalia Indonesia, 1985.

E. G. Mogi, “Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja yang Di-PHK Sepihak oleh Perusahaan Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” Lex Administratum, vol. 5, no. 2, p. 2, 2017.

Boundless, “End of Employment in Germany,” Boundless, 2024.