Login
Section Recent Cases

Implementation of Punishment for Perpetrators of Aggravated Theft Based on the New Criminal Code

Implementasi Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Berdasarkan KUHP Baru
Vol. 20 No. 4 (2025): November:

Arfan Reano (1), Boedi Prasetyo (2)

(1) Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

General background: Aggravated theft remains one of the most prevalent property crimes in Indonesia, generating significant social and economic harm. Specific background: The enactment of the New Criminal Code (Law No. 1 of 2023) introduces substantial reforms to the formulation and classification of aggravated theft, replacing the long-standing provisions under Article 363 of the former Criminal Code. Knowledge gap: Despite these changes, there is limited scholarly analysis regarding how the new provisions affect sentencing practices, evidentiary assessment, and legal certainty within the criminal justice system. Aims: This study analyzes the implementation of criminal sentencing for aggravated theft under Article 477 of the New Criminal Code and compares it with the regulatory framework of the previous code. Results: The findings indicate that the New Criminal Code provides clearer, more systematic, and more coherent formulations of aggravating factors, alongside more proportional sentencing scales, thereby facilitating investigation, prosecution, and judicial decision-making. Novelty: This study demonstrates that the restructuring of aggravated theft provisions enhances interpretive consistency and reduces ambiguity in legal application. Implications: Overall, the revised provisions strengthen sentencing effectiveness, reinforce deterrence, and establish greater legal certainty in adjudicating aggravated theft cases.


Highlights:




  • Clarifies the shift from Article 363 (Old KUHP) to Article 477 (New KUHP) in defining aggravated theft.




  • Highlights improved clarity, structure, and proportionality in the New Criminal Code’s sentencing framework.




  • Emphasizes the enhanced legal certainty and consistency for law enforcement and judicial practice.




Keywords: Aggravated Theft, New Criminal Code, Sentencing, Legal Certainty, Proportionality


 

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Republik Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap tindakan warga negara harus mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam konteks ini, hukum pidana memegang peran penting sebagai instrumen untuk menjaga ketertiban sosial, memberikan perlindungan kepada masyarakat, serta menanggulangi berbagai bentuk kejahatan yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan bersama. Meskipun sistem hukum Indonesia terus mengalami perkembangan, fenomena kejahatan masih menjadi persoalan yang kompleks dan belum sepenuhnya dapat diberantas. Salah satu kejahatan paling umum yang menyebabkan ketegangan adalah pencurian [1].

Pencurian merupakan tindak pidana yang umum ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Motif pencurian tidak selalu berkaitan dengan faktor ekonomi, tetapi dapat pula dipengaruhi oleh kesempatan, kebutuhan sesaat, ataupun faktor lingkungan sosial. Dalam perkembangan praktik kejahatan modern, pencurian telah berkembang menjadi bentuk yang lebih serius, yaitu pencurian dengan pemberatan (curat) [2]. Secara lebih rinci Lamintang menjelaskan bahwa unsur pemberatan dalam pencurian timbul ketika perbuatan tersebut dilakukan dalam kondisi yang menambah tingkat kesalahan pelaku. Sehingga ancaman pidananya menjadi lebih berat. Keadaan pemberatan tersebut dapat berupa dilakukan pada malam hari, dilakukan oleh lebih dari satu orang, disertai perusakan, atau dilakukan di rumah yang berpenghuni [3].

Seiring meningkatnya dinamika dan mobilitas masyarakat, tindak pidana pencurian menunjukkan pola yang semakin kompleks. Lingkungan yang padat, lemahnya pengawasan, serta kondisi ekonomi yang tidak merata sering dimanfaatkan oleh pelaku untuk melancarkan aksinya. Pencurian dengan pemberatan umumnya tidak dilakukan secara spontan, tetapi melalui perencanaan, pengintaian, pembagian peran, serta penggunaan alat tertentu seperti kunci palsu atau perkakas perusak. Hal ini mencerminkan bahwa tindak pidana tersebut telah berkembang menjadi kejahatan yang lebih terorganisasi dan berpotensi menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi korban maupun masyarakat.

Konsekuensinya, tindak pidana ini memerlukan pola pemidanaan yang lebih tegas dan proporsional demi memberikan perlindungan hukum yang optimal serta menimbulkan efek jera bagi pelaku. Ketentuan mengenai tindak pidana pencurian dengan pemberatan diatur dalam Pasal 363 KUHP lama, dan diperbaharui dalam KUHP Baru pada Pasal 477 yang tercantum dalam Bab XXVI tentang tindak pidana terhadap harta benda [4].

Tindak pidana pencurian lainnya dapat dianggap sebagai pencurian biasa yang dilakukan dalam kondisi atau keadaan tertentu. Pencurian yang dilakukan dalam kondisi khusus ini kemudian disebut pencurian yang diperberat [5]. Meningkatnya aktivitas masyarakat di ruang publik serta mobilitas yang semakin tinggi juga membuka peluang terjadinya tindak pidana pencurian. Dalam banyak kasus, pencurian tidak lagi dilakukan secara spontan, tetapi melalui pengamatan situasi, pengintaian rumah atau toko, serta pemilihan waktu yang dianggap aman bagi pelaku. Kondisi ini menunjukkan bahwa pencurian terutama pencurian dengan pemberatan kian berkembang menjadi kejahatan yang terencana dan memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi bagi masyarakat.

Seiring bertambahnya kasus pencurian di Indonesia, jumlah pencurian dengan pemberatan terus mengalami peningkatan pesat. Fenomena meningkatnya jumlah pencurian dengan pemberatan memperlihatkan bahwa kejahatan ini masih menjadi ancaman signifikan di Indonesia. Meskipun pelaku sering dijatuhi hukuman sesuai ketentuan hukum pidana, kasus serupa terus berulang. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas pemidanaan dalam memberikan efek jera. Beberapa kasus juga menunjukkan bahwa pelaku berkoordinasi dengan rekan lainnya, misalnya dengan meminta bantuan membawa alat yang digunakan dalam pencurian, sehingga menunjukkan adanya perencanaan dan persiapan yang matang. Tindakan kekerasan ini tidak hanya menimbulkan kerugian materiil, tetapi juga berdampak psikologis bagi korban, sehingga semakin menegaskan pentingnya penelitian ini.

Salah satu contoh konkret dari pola kejahatan yang melibatkan perencanaan dapat dilihat pada kasus berikut pelaku pencurian dengan pemberatan terlebih dahulu berkomunikasi dengan rekannya untuk menyediakan alat yang akan digunakan dalam aksi pencurian. Pelaku kemudian mendatangi lokasi dan menggunakan alat tersebut untuk merusak kunci motor milik korban hingga berhasil membawa kabur kendaraan tersebut. Perbuatannya mengakibatkan korban mengalami kerugian secara materiil dan Psikis. Tidak lama setelah kejadian, pelaku berhasil ditangkap oleh pihak kepolisian dan ditetapkan sebagai tersangka atas tindak pidana pencurian dengan pemberatan sebagaimana diatur dalam KUHP.

Dalam hukum pidana positif Indonesia, pengaturan mengenai delik pencurian dengan pemberatan mula-mula termuat dalam Pasal 363 KUHP yang memberikan ketentuan pidana lebih berat terhadap pencurian yang dilakukan dalam kondisi tertentu, seperti pada malam hari atau dilakukan secara bersama-sama. Dengan berlakunya KUHP Baru, pengaturan tersebut diperbaharui dan dialihkan ke Pasal 477. Pasal ini masih mempertahankan unsur pemberatan, tetapi dilakukan penyempurnaan pada rumusan delik dan ancaman pidananya agar lebih proporsional serta sejalan dengan arah kebijakan pemidanaan modern yang menitikberatkan pada perlindungan masyarakat, keadilan, dan efektivitas pencegahan kejahatan.

Tujuan utama penelitian ini adalah menganalisis penerapan pemidanaan terhadap pelaku pencurian dengan pemberatan berdasarkan ketentuan dalam KUHP Baru. Pembahasan difokuskan pada perubahan rumusan delik, ancaman pidana, dan orientasi pemidanaan sebagaimana diatur dalam Pasal 363 KUHP Lama dan Pasal 477 KUHP Baru. Penelitian ini juga menelaah sejauh mana pembaruan hukum pidana tersebut berpengaruh terhadap efektivitas pemidanaan, peningkatan efek jera, serta perlindungan hukum bagi masyarakat. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi kontribusi terhadap pengembangan kebijakan pemidanaan yang lebih proporsional, berkeadilan, dan sesuai dengan prinsip hukum pidana modern.

Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini meliputi:

1. Bagaimana ketentuan tindak pidana pencurian dengan pemberatan diatur dalam Pasal 363 KUHP Lama dan Pasal 477 KUHP Baru?

2. Bagaimana perubahan ketentuan tersebut memengaruhi penerapan pemidanaan bagi pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan?

Metode

Metode penelitian yang digunakan dalam kajian berjudul “Implementasi Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan Berdasarkan KUHP Baru” adalah metode penelitian hukum bersifat normatif. Pendekatan ini menitikberatkan pada kajian terhadap norma hukum yang mengatur tindak pidana pencurian dengan pemberatan sebagaimana termuat dalam KUHP Lama dan KUHP Baru. Fokus penelitian diarahkan pada analisis terhadap perubahan rumusan delik, faktor-faktor pemberatan, serta ancaman pidana yang ditetapkan dalam kedua peraturan tersebut. Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual, serta kajian doktrin para ahli hukum untuk menilai bagaimana pembaruan KUHP berpengaruh terhadap penerapan pemidanaan dan efektivitasnya dalam memberikan efek jera bagi pelaku.

Tujuan dari pendekatan normatif ini adalah memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai dasar hukum yang mengatur tindak pidana pencurian dengan pemberatan, serta menilai kesesuaian perubahan dalam Pasal 363 KUHP Lama dan Pasal 477 KUHP Baru dengan prinsip-prinsip pemidanaan modern, seperti keadilan, proporsionalitas, dan efektivitas pencegahan kejahatan. Melalui analisis terhadap peraturan perundang-undangan, doktrin, dan putusan pengadilan yang relevan, penelitian ini berupaya memberikan gambaran komprehensif mengenai sejauh mana pembaruan KUHP dapat memperkuat efektivitas pemidanaan, menumbuhkan efek jera, serta meningkatkan perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap kejahatan yang terjadi.

Hasil dan Pembahasan

A. Pengaturan Pencurian dengan Pemberatan Pada KUHP

Menurut hukum pidana di Indonesia, pencurian merupakan perbuatan melawan hukum yang menyerang kepentingan hukum berupa hak milik seseorang, sehingga dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap harta benda [6]. Menurut KUHP, pencurian adalah sebagai bentuk tindakan mengambil barang milik orang lain, baik seluruhnya maupun sebagian, dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum [7].

Tindak pidana pencurian memiliki 2 unsur yaitu: unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif melibatkan tindakan mengambil suatu benda yang menjadi objek tindak pidana, di mana benda tersebut seluruhnya atau sebagian milik orang lain. Dengan demikian, unsur objektif menunjukkan keberadaan benda yang diambil dalam konteks hak orang lain. Sementara itu, unsur subjektif berkaitan dengan kondisi mental pelaku, yang mencakup niat atau keinginan untuk memiliki benda tersebut secara melawan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa pencurian dilakukan dengan kesadaran dan niat jahat (mens rea) untuk melanggar hak kepemilikan orang lain [8].

Rumusan yang sama dipertahankan dalam pengaturan KUHP Baru, meskipun terdapat penyederhanaan terminologi dan harmonisasi bahasa agar lebih mudah dipahami. Pengaturan mengenai pencurian dalam kedua KUHP tetap berlandaskan konsep bahwa pencurian adalah perbuatan menghilangkan hak kepemilikan orang lain secara tidak sah demi keuntungan pelaku.

KUHP mengelompokkan tindak pidana pencurian menjadi empat kategori utama: pencurian biasa, berat, ringan, dan kekerasan yang masing-masing diatur dalam Pasal 362 hingga Pasal 365 KUHP. Secara khusus, pencurian dengan pemberatan (gekwalificeerde diefstal) merupakan bentuk pencurian yang dilakukan dalam keadaan tertentu yang memperberat kesalahan pelaku, seperti dilakukan pada malam hari, secara bersama-sama, atau disertai tindakan perusakan, sehingga ancaman pidananya menjadi lebih berat [9].

Hukum pidana di Indonesia mengatur tentang pemberatan ancaman hukuman yang diberikan karena terdapat kondisi tertentu yang menambah tingkat bahaya, dampak kerugian, atau modus operandi yang menunjukkan sifat kejahatan lebih serius. Faktor pemberatan dapat berupa cara pelaku melakukan pencurian, keadaan tempat, waktu, atau sasaran pencurian yang mengandung nilai strategis tertentu. Pemberatan diterapkan karena jenis pencurian dengan kondisi tertentu dinilai memiliki potensi bahaya yang lebih besar, seperti menimbulkan kerusakan fisik, mengganggu rasa aman masyarakat, dan menambah risiko bagi korban. Dengan demikian, konsep pencurian dengan pemberatan merupakan bentuk kriminalisasi lanjutan yang bertujuan memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat terhadap harta benda masyarakat.

Menurut KUHP Lama, Pasal 363 yang merinci sejumlah unsur pemberatan yang memungkinkan hakim menjatuhkan hukuman pidana yang lebih berat daripada pencurian biasa. Beberapa keadaan-keadaan, antara lain:

1. Pencurian dilakukan pada malam hari dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya;

2. Dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama;

3. Dilakukan dengan cara merusak, membongkar, memanjat, atau menggunakan kunci palsu;

4. Dilakukan terhadap hewan ternak;

5. Dilakukan terhadap barang-barang tertentu, seperti barang yang berasal dari bencana atau kecelakaan.

Ancaman pidana dalam Pasal 363 mencapai maksimal 7 tahun, namun dapat meningkat menjadi 9 tahun, bahkan 12 tahun jika adanya pemberatan yang digolongkan sebagai keadaan sangat memberatkan, misalnya pencurian yang dilakukan dengan cara menyangkutpautkan elemen kekerasan atau kondisi khusus tertentu lainnya. Struktur pasal ini pada dasarnya membagi pencurian dengan pemberatan ke dalam beberapa bentuk yang masing-masing memiliki ancaman hukuman berbeda sesuai tingkat keseriusan deliknya.

B. Pengaturan Pencurian dengan Pemberatan dalam KUHP Baru

KUHP baru memberikan pembaharuan terhadap pengaturan pencurian dengan pemberatan melalui Pasal 477 KUHP. Penyusunan KUHP baru berupaya melakukan penyederhanaan rumusan, penataan ulang kategori pemberatan, serta penyesuaian jenis pemberatan agar lebih konsisten dengan perkembangan masyarakat dan sistem pemidanaan modern [10]. KUHP Baru juga menekankan konsistensi istilah, kejelasan unsur, dan pengelompokan faktor pemberatan yang lebih sistematis dibandingkan KUHP Lama, yaitu:

1. Dalam Pasal 477 KUHP Baru, pemberatan pencurian disusun secara lebih ringkas dengan mengelompokkan bentuk pemberatan berdasarkan;

2. Cara pelaku melakukan pencurian (misalnya merusak, memanjat, masuk dengan paksa);

3. Keadaan tempat dan waktu, seperti pencurian yang terjadi di rumah atau tempat tertentu yang dilindungi hukum;

4. Jumlah pelaku, yaitu dilakukan oleh dua orang atau lebih;

5. Objek pencurian, misalnya terhadap barang yang memiliki nilai strategis tertentu [11].

Ancaman pidana dalam Pasal 477 KUHP Baru mengalami penyesuaian agar lebih proporsional dan sesuai dengan paradigma pemidanaan modern. Meskipun terdapat variasi, pada umumnya ancaman pidana lebih terukur dan dirumuskan dengan mempertimbangkan konsistensi dengan sistem hukum pidana yang lebih progresif. KUHP Baru juga menambahkan rasionalisasi pemidanaan, yaitu agar setiap pemberatan memiliki dasar objektif yang jelas dan tidak menimbulkan multitafsir sebagaimana sering terjadi dalam KUHP Lama.

C. Perbandingan Pengaturan Pemidanaan Dalam KUHP Lama dan Baru

Ayat Pasal 363 KUHP Pasal 477 KUHP [1]
1 Pelaku dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun apabila perbuatan tersebut dilakukan dalam kondisi tertentu sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan berikut:Pencurian ternak;Pencurian yang dilakukan pada saat terjadi bencana atau keadaan darurat, seperti kebakaran, letusan gunung berapi, banjir, gempa bumi atau gempa laut, letusan gunung berapi, kapal karam, terdampar, kecelakaan kereta api, atau bahaya perang;Pencurian yang dilakukan di dalam rumah yang dihuni oleh seseorang yang keberadaannya tidak diketahui atau tidak diinginkan oleh pemiliknya;Pencurian yang dilakukan oleh 2 (dua) orang atau lebih yang bekerja sama;Pencurian yang dilakukan dengan cara merusak, memotong, memanjat, atau menggunakan kunci palsu, perintah palsu, atau pakaian dinas palsu untuk memasuki tempat kejadian perkara atau mencapai barang curian. Setiap orang dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh (7) tahun atau denda paling banyak Kategori V, jika melakukan pencurian dengan cara atau cara sebagai berikut:Mencuri benda yang dianggap suci dan digunakan untuk keperluan keagamaan;Mencuri benda purbakala;Mencuri ternak atau barang yang menjadi sumber penghasilan utama seseorang;Mencuri pada saat terjadi bencana atau keadaan darurat, seperti seperti kebakaran, kecelakaan transportasi, kerusuhan, maupun situasi perang;Mencuri pada waktu malam hari didalam rumah atau tempat tertutup, oleh seseorang yang tidak diketahui keberadaannya atau tidak diinginkan oleh pemiliknya;Mencuri dengan cara merusak, memecahkan, memotong, merusak, memanjat, menggunakan kunci palsu, perintah palsu, atau posisi palsu, baik untuk memasuki tempat pencurian maupun untuk mengambil barang;Mencuri secara berkelompok atau rekannya.
2 Jika pencurian sebagaimana dimaksud pada huruf (c) disertai dengan salah satu keadaan sebagaimana dimaksud pada huruf (d) atau (e), pelakunya diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf e, disertai dengan salah satu cara sebagaimana dimaksud pada huruf f atau huruf g, maka pelaku dapat dikenakan pidana penjara paling lama sembilan (9) tahun.
Table 1. Perbandingan Pengaturan Pemidanaan dalam KUHP Lama dan Baru

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru memperkenalkan sejumlah perubahan penting dalam pengaturan tindak pidana pencurian dibandingkan dengan ketentuan dalam KUHP Lama. Perubahan yang paling menonjol meliputi [12]:

1. Klasifikasi Pencurian dalam KUHP lama, pencurian dikategorikan menjadi dua jenis: pencurian biasa dan pencurian berat. KUHP Baru memperluas klasifikasi ini menjadi tiga tingkatan: pencurian biasa, pencurian berat, dan pencurian ringan. Pembagian ini mencerminkan upaya untuk menyelaraskan sistem hukum dengan tingkat keseriusan dan keadaan terjadinya tindak pidana pencurian secara proporsional.

2. Unsur-unsur Pencurian Meskipun KUHP Baru memuat beberapa perubahan rumusan dan menambahkan unsur-unsur baru pada beberapa pasal, intinya kejahatan pencurian tetap sama dengan yang terdapat dalam KUHP Lama KUHP Baru memberi penekanan lebih tegas terhadap ancaman sanksi pidana bagi para pelaku kejahatan pencurian dibandingkan dengan ketentuan dalam KUHP Lama. Pengaturan pada Pasal 363 dan Pasal 477 menunjukkan sejumlah perubahan penting. Dari segi unsur, KUHP Baru berusaha menyederhanakan rumusan dan menghilangkan istilah-istilah kolonial yang dianggap tidak relevan lagi, sehingga unsur-unsur delik menjadi lebih jelas dan mudah diterapkan. Dari segi ancaman pidana, KUHP Baru melakukan penyesuaian agar lebih proporsional dan sesuai dengan asas pemidanaan modern, serta menghindari disparitas yang tidak perlu. Sementara Pasal 363 KUHP Lama memiliki struktur yang panjang dan bersifat fragmentaris, Pasal 477 KUHP Baru dirumuskan lebih terstruktur dan sistematis sehingga memudahkan aparat penegak hukum dalam menilai tingkat keseriusan delik.

KUHP Baru lebih konsisten dalam mengelompokkan faktor pemberatan dan memberikan ruang bagi penilaian yang lebih objektif. KUHP Lama cenderung mencampuradukkan alasan pemberatan berdasarkan objek, cara, dan keadaan dengan struktur pasal yang kurang teratur. Dengan demikian, formulasi baru dalam KUHP Baru dapat dikatakan lebih sejalan dengan prinsip legal clarity dan sistem pemidanaan modern yang menekankan proporsionalitas, rasionalisasi, dan kepastian hukum.

Berdasarkan hal ini, pengaturan mengenai pencurian dengan pemberatan dalam KUHP Lama dan KUHP Baru menunjukkan adanya pergeseran dari rumusan yang panjang, tidak terstruktur, dan menggunakan terminologi klasik menuju formulasi yang lebih ringkas, sistematis, dan modern. Konsep pokok tindak pidana pencurian, yaitu pengambilan barang milik orang lain dengan maksud menguasainya secara melawan hukum, tetap dipertahankan meskipun terdapat penyesuaian dalam praktik hukum. KUHP Baru menata kembali unsur pemberatan agar lebih konsisten dan mudah dipahami. Selain itu, penyesuaian ancaman pidana dilakukan secara lebih proporsional dan selaras dengan tujuan pemidanaan modern. Dengan demikian, KUHP Baru menghadirkan sistem pengaturan yang lebih jelas, aplikatif, dan adaptif terhadap dinamika perkembangan masyarakat.

D. Perubahan Hukum Terhadap Konsep Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan

Perubahan redaksi pada unsur delik dalam KUHP lama ke KUHP baru memberikan dampak langsung terhadap cara aparat penegak hukum dalam menafsirkan dan membuktikan unsur-unsur pencurian dengan pemberatan. Secara umum, unsur dasar pencurian tetap sama, seperti perbuatan mengambil, objek berupa barang milik orang lain, serta memiliki maksud untuk memiliki secara melawan hukum. Namun, penataan ulang faktor pemberatan dalam Pasal 477 KUHP Baru membuat rumusan unsur menjadi lebih sederhana dan sistematis, sehingga ruang tafsir menjadi lebih terarah [4].

Penerapannya hakim tetap menggunakan pola penafsiran yang sama terhadap unsur pokok pencurian, namun faktor pemberatan yang kini dirumuskan lebih jelas dan terstruktur memungkinkan penilaian yang lebih objektif. Jika dalam KUHP Lama beberapa unsur pemberatan cenderung panjang dan tumpang tindih, KUHP Baru menyusunnya secara lebih sistematis sehingga mempermudah pemetaan dan pembuktiannya. Perumusan yang lebih ringkas dan tegas juga mengurangi potensi multitafsir serta membantu jaksa dalam menentukan terpenuhinya unsur pemberatan secara tepat. Dengan demikian, KUHP Baru memberikan kejelasan unsur yang lebih menjamin kepastian hukum dan efektivitas pembuktian dalam proses peradilan pidana [13].

Perubahan paling terlihat antara Pasal 363 dan Pasal 477 adalah pergeseran pola ancaman pidana. KUHP Lama memberikan rentang ancaman yang cukup tinggi, antara 7 sampai 12 tahun, tergantung jenis pemberatannya. KUHP Baru merumuskan ancaman pidana dengan skala yang lebih proporsional dan selaras dengan prinsip pemidanaan modern, di mana ancaman pidana disesuaikan dengan tingkat keseriusan perbuatan dan nilai-nilai keadilan. Penerapan KUHP Baru memberikan ruang yang lebih fleksibel bagi hakim karena ancaman pidananya dirumuskan secara lebih rasional, sehingga memungkinkan penerapan hukuman yang lebih proporsional. Dari perspektif teori pemidanaan modern, pendekatan ini sejalan dengan prinsip keadilan retributif, preventif, dan korektif. Berbeda dengan KUHP Lama, yang rentang pidananya cenderung terlalu tinggi dan kurang mencerminkan prinsip proporsionalitas, karena tidak semua bentuk pemberatan memiliki tingkat bahaya yang sama.

KUHP Baru mencoba mengatasi problem tersebut dengan menata ulang ancaman pidana agar lebih logis, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, perubahan ini diharapkan dapat membuat putusan pidana lebih konsisten dan tidak menimbulkan disparitas berlebihan antar putusan pengadilan. Dari perspektif penegakan hukum, perubahan rumusan delik dalam KUHP Baru memberikan dampak yang signifikan. Penyidik di tingkat kepolisian akan lebih mudah mengklasifikasikan perbuatan pencurian sebagai pencurian biasa atau pencurian dengan pemberatan, karena unsur pemberatannya disusun secara lebih ringkas dan kategoris.

Menurut KUHP Lama, penentuan pemberatan sering kali memerlukan analisis lebih luas karena rumusan pasal yang panjang dan mencampurkan berbagai jenis keadaan pemerberat dalam satu pasal. Bagi jaksa, KUHP Baru membantu proses pembuktian di persidangan, karena unsur pemberatan yang dirumuskan secara sistematis dapat mempermudah pembuktian tanpa harus menafsirkan pasal secara berlebihan. Hal ini juga meminimalkan risiko dakwaan kabur (obscuur libel) atau dakwaan yang tidak tepat sasaran [14]. Bagi hakim, KUHP Baru memberi ruang pemaknaan yang lebih jelas terutama dalam pengukuran tingkat pemberatan, sehingga hakim dapat lebih mudah mempertimbangkan alasan yang meringankan dan memberatkan dalam menjatuhkan pidana yang proporsional. Secara keseluruhan, KUHP Baru memberikan kemudahan administratif, meningkatkan akurasi pembuktian, dan memperkuat konsistensi antara aparat penegak hukum.

E. Implementasi terhadap Efektivitas Pemidanaan

Efektivitas pemidanaan, perubahan ini perlu dilihat melalui empat aspek: efek jera, pencegahan umum, pencegahan khusus, dan proporsionalitas hukuman. Pertama, dari sisi efek jera, penataan unsur pemberatan yang lebih jelas serta ancaman pidana yang disesuaikan diharapkan dapat memberikan efek jera lebih tepat sasaran. Hal ini diatur di dalam Pasal 51 KUHP Baru tidak semata-mata menempelkan ancaman pidana yang tinggi, tetapi menyeimbangkannya dengan pertimbangan rasionalitas. Efek jera yang berlebihan karena ancaman pidana terlalu berat bisa kontraproduktif, sedangkan ancaman pidana yang terlalu ringan dapat mengurangi efektivitas pencegahan [15].

Kedua, dari sisi pencegahan umum, KUHP Baru yang lebih modern memberikan pesan yang lebih efektif bahwa pencurian dengan modus tertentu tetap dianggap serius oleh negara. Masyarakat dapat melihat bahwa hukum tetap melindungi kepentingan publik dengan tetap merumuskan pemberatan tetapi dengan pendekatan yang lebih terukur.

Ketiga, dari aspek pencegahan khusus, KUHP Baru memberi ruang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana yang benar-benar sesuai dengan kondisi pelaku. Dengan struktur ancaman pidana yang lebih proporsional, hakim dapat menjatuhkan sanksi yang tidak hanya menghukum namun juga memperbaiki pelaku berdasarkan tingkat kesalahan mereka masing-masing.

Keempat, aspek proporsionalitas hukuman menjadi lebih terjamin di KUHP Baru. Proporsionalitas merupakan salah satu asas pemidanaan modern—hukuman harus seimbang dengan kesalahan dan dampak perbuatan. KUHP Baru berusaha mencapainya dengan merumuskan kategori pemberatan secara sistematis sehingga setiap tingkat pemberatan memiliki alasan rasional dan obyektif.

Studi kasus pencurian sepeda motor yang menjadi objek penelitian, pelaku melakukan tindakan secara terencana dengan beberapa unsur pemberatan: pelaku berkomunikasi terlebih dahulu untuk mempersiapkan alat, pelaku melakukan pencurian secara bersama-sama, dan pelaku merusak kunci motor. Ketiga hal tersebut merupakan unsur pemberatan dalam Pasal 363 KUHP Lama dan juga masuk dalam kategori pemberatan dalam Pasal 477 KUHP Baru.

Berdasarkan KUHP Lama, hakim menjatuhkan pidana dengan mempertimbangkan cara pelaku melakukan pencurian serta akibat yang ditimbulkan. Dalam KUHP Baru, substansi unsur pemberatan tetap dipertahankan, namun dengan rumusan yang lebih sistematis dan ancaman pidana yang lebih proporsional. Hal ini memberikan kemudahan bagi hakim dalam menilai tingkat keseriusan perbuatan dan menjatuhkan hukuman yang seimbang dengan prinsip keadilan serta proporsionalitas, tanpa mengurangi efek jera dan fungsi pencegahan.

Berdasarkan hal ini, bahwa perubahan pengaturan antara KUHP Lama dan KUHP Baru membawa implikasi nyata terhadap penerapan pemidanaan. Unsur delik yang dirumuskan lebih sederhana dan sistematis membuat pembuktian lebih mudah, ancaman pidana yang disesuaikan memberi ruang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana yang lebih proporsional, serta penegakan hukum menjadi lebih efektif karena aparat penegak hukum mendapatkan pedoman yang lebih jelas. Secara keseluruhan, KUHP Baru berpotensi meningkatkan efektivitas pemidanaan melalui kejelasan rumusan, fleksibilitas pengukuran pidana, dan konsistensi penerapan hukum sehingga efek jera dan kepastian hukum dapat meningkat secara seimbang.

Simpulan

Pembaharuan KUHP melalui Pasal 477 tentang pencurian dengan pemberatan menunjukkan langkah maju menuju sistem pemidanaan yang lebih modern, rasional, dan proporsional. Rumusan baru yang lebih ringkas dan sistematis memperkuat kepastian hukum dan mempermudah aparat penegak hukum dalam mengklasifikasikan unsur delik, membuktikan pemberatan, serta menilai tingkat kesalahan secara objektif. Penyidik memperoleh kemudahan dalam menetapkan konstruksi perkara, jaksa lebih jelas dalam membangun dakwaan, dan hakim memiliki fleksibilitas yang terukur dalam menjatuhkan pidana sesuai prinsip proporsionalitas. Dalam penerapannya terhadap kasus konkret, seperti pencurian sepeda motor yang dilakukan oleh dua pelaku dengan persiapan alat dan perusakan kunci, KUHP Baru tetap mempertahankan substansi pemberatan, namun dengan kategori yang lebih tertata sehingga mempermudah penjatuhan pidana secara tepat dan konsisten.

Secara keseluruhan, KUHP Baru memberikan implikasi positif terhadap efektivitas pemidanaan karena mampu meningkatkan efek jera, memperkuat pencegahan, serta menghasilkan putusan yang lebih adil dan konsisten. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pembaruan KUHP perlu terus disertai sosialisasi dan peningkatan kapasitas aparat agar penerapannya semakin optimal. Saya selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan support dan kontribusi dalam menyelesaikan penelitian ini.

References

B. N. Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta, Indonesia: Kencana, 2008.

A. B. Nurainin, I. Mufidah, I. R. Imayuri, W. A. Putri, and Y. Rahmawati, “Tindak Pidana Pencurian dalam Perspektif Hukum Pidana (Kajian Terhadap Jenis-Jenis Tindak Pidana),” Jurnal Lentera Ilmu, vol. 1, no. 1, p. 75, 2024.

P. A. F. Lamintang and D. Samosir, Delik-Delik Khusus. Bandung, Indonesia: CV Nuansa Aulia, 2010.

Indonesia, “Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional Pasal 477,” 2023.

Kusfitono, U. Ma’ruf, and S. Kusriyah, “Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 Terhadap Proses Penyidikan Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan di Sat Reskrim Polres Kendal,” Jurnal Hukum Khaira Ummah, vol. 12, no. 4, p. 37, 2020.

A. Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di Dalam KUHP. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2016.

P. A. F. Lamintang and T. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, 2nd ed. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2009.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta, Indonesia: Rineka Cipta, 2012.

S. Ramadhan and U. Ma’ruf, “Legal Analysis of Responsibility for the Criminal Act of Aggravated Theft,” Jurnal Hukum Khaira Ummah, vol. 20, no. 2, p. 4, 2025.

M. Ramadhan and D. O. Ariyanti, “Tujuan Pemidanaan dalam Kebijakan pada Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,” Jurnal Rechten: Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia, vol. 5, no. 1, pp. 1–6, 2023, doi: 10.52005/rechten.v5i1.114.

A. Ramdani, “Perbandingan Pasal 363 KUHP Lama dan 477 KUHP Baru tentang Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan,” 2025. [Online]. Available: https://www.lawyer-ahdanramdani.com

L. H. Harahap, A. Muharram, D. Kurniawan, and R. S. Panyalai, “Kualifikasi Tindak Pidana Pencurian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lama dan KUHP Baru,” Quantum Juris: Jurnal Hukum Modern, vol. 6, no. 3, p. 102, 2024.

D. A. Musdalifah, A. Masyhar, and C. Wulandari, “Eksistensi dan Perluasan Asas Legalitas dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2023,” JISPENDIORA: Jurnal Ilmu Sosial, Pendidikan, dan Humaniora, vol. 4, no. 1, pp. 590–602, 2025.

Hukum Online, “Upaya Hukum Jika Hakim Menolak Surat Dakwaan,” 2014. [Online]. Available: http://www.hukumonline.com

S. Pettanase and J. Hamid, “Tujuan Pemidanaan dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,” Southeast Asian Journal of Islamic Education and Law, vol. 8, no. 1, p. 228, 2023.