Vanessa Vanessa (1), Hery Firmansyah (2)
General Background: The rapid expansion of digital technology has reshaped evidentiary practices in criminal proceedings, introducing electronic evidence with characteristics distinct from conventional physical proof. Specific Background: Despite the legal recognition of electronic evidence through the ITE Law and its amendments, its vulnerability to manipulation demands strict compliance with formal and material validity requirements, including authentication and digital forensic examination. However, Indonesian courts often differ in implementing these standards. Knowledge Gap: The inconsistency in applying formal requirements—particularly digital forensic authentication—creates uncertainty regarding the admissibility and evidentiary value of electronic evidence. Aims: This study analyzes the legal validity of electronic evidence in criminal trials and examines how admissibility is implemented in practice through case studies of Decisions No. 175/Pid.Sus/2024/PN Jmb and No. 60/Pid.B/2019/PN Drh. Results: Findings show that courts inconsistently apply authentication procedures; some accept electronic evidence without forensic verification, while others rely on comprehensive digital forensic analysis to establish authenticity and integrity. Novelty: This research offers a comparative doctrinal assessment demonstrating how differing implementations of formal and material requirements directly affect evidentiary certainty. Implications: Uniform technical guidelines for digital forensic standards and judicial assessment are essential to ensure legal certainty, safeguard due process, and strengthen the probative value of electronic evidence in Indonesia’s criminal justice system.
Highlights:
Electronic evidence requires both formal (authenticity, integrity) and material (relevance, reliability) validity to be legally admissible.
Courts show inconsistent implementation, with some accepting electronic evidence without forensic authentication.
Digital forensics strengthens evidentiary certainty by verifying data integrity and supporting judicial accuracy.
Keywords: Electronic Evidence, Digital Forensics, Admissibility, Criminal Procedure, Authentication
Pendahuluan
Pada zaman digitalisasi ini, teknologi berkembang dengan sangat cepat. Perubahaan penggunaan teknologi yang semakin meningkat di setiap tahunnya tentu saja akan memberikan dampak positif serta dampak negatif ke dalam kehidupan manusia. Manusia yang hidup berdampingan dengan teknologi menjadi ketergantungan atau bahkan tidak dapat hidup tanpa adanya bantuan dari teknologi. Namun dengan seiringnya berjalan waktu, teknologi menjadi wadah dan celah dari perbuatan tindak pidana. Banyak tindak pidana yang terjadi lewat teknologi seperti penipuan, pengancaman, pemerasan, pemalsuan dan lainnya. Dari Laporan BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) memaparkan bahwa tahun 2024 telah menyentuh 620,63 juta kasus tindak pidana melalui teknologi [1]. Peradilan Pidana terkena dampak secara langsung dikarenakan kompleksitas perkara yang meningkat, seperti kasus penipuan online yang pelakunya tersembunyi atau anonim sehingga sulit untuk dilacak, ataupun ancaman cyber lainnya, seperti Man-in-the-Middle (MitM) attack, Malware, Virus, Ransomware, Denial of Service (DoS).
Dalam tindak pidana ITE, bukti elektronik seringkali menjadi hal penting untuk dapat membuktikan atau tidaknya unsur kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Berbeda dengan tindak pidana umum, tindak pidana ITE memiliki bukti yang tidak berbentuk fisik atau berupa jejak digital. Karenanya pembuktian dalam kasus ITE bergantung pada bukti digital yang berupa enkripsi data, log file, Call Logs, short message service (SMS) serta bukti digital lainnya. Pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Dokumen atau informasi elektronik telah diakui sebagai perluasan dari alat bukti yang sah. Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia sudah melakukan adaptasi terkait digitalisasi dalam hal pembuktian suatu perkara. Informasi elektronik diakui sejak tahun 1990 an, pada penetapan nomor 1751/P/1989 Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang menyatakan bahwa akta nikah yang telah dipublikasikan oleh KUA (Kantor Urusan Agama) melalui media elektronik dianggap sah dan berkekuatan hukum [2].
Bukti digital memiliki sifat yang sensitif karena mudah untuk dimodifikasi dan diubah dari pihak luar, sehingga bukti digital harus dipastikan keutuhan dan keaslian nya. Pada Pasal 6 UU ITE juga menyatakan bukti elektronik wajib dapat ditampilkan, diakses, dijamin keutuhannya, serta mampu dijustifikasi secara yuridis. Syarat Keabsahan dalam bukti elektronik terdapat persyaratan formil dan persyaratan materiil. Syarat formil yaitu bukti elektronik harus bersifat sah dan dijamin keutuhannya, sedangkan syarat materiil fokus pada relevansi bukti elektronik dengan tindak pidana atau kasusnya [3]. Hakim wajib dapat mempertimbangkan dan menilai bukti elektronik berdasarkan nilai pembuktianya, namun syarat formil dan materiil harus diperhatikan.
Namun prakteknya terdapat beberapa putusan pengadilan yang tidak dilakukan pemeriksaan digital forensik, padahal bukti elektronik memiliki sifat yang sensitif. Dengan pemeriksaan digital forensik, keutuhan dan keaslian dari bukti elektronik tersebut menjadi terjamin bahwa memang benar bukti elektronik tidak ada sentuhan dari pihak luar yang tidak berwenang. Digital forensik bertujuan menganalisa dan mengumpulkan data dari seluruh sumber daya sistem komputer serta media penyimpanan elektronik lainnya untuk dikatakan layak diajukan di suatu persidangan [4]. Digital forensik memberikan validasi pada bukti elektronik tersebut, sehingga dengan ada nya pemeriksaan dan pernyataan dari digital forensik, membuat bukti elektronik menjadi terjamin berkekuatan hukum yang tidak dapat disanggah. Salah satu kasus yang bukti elektroniknya diterima tanpa adanya pemeriksaan dari digital forensik adalah kasusnya Jessica Wongso. Bukti elektronik pada kasus Jessica Wongso yaitu berupa rekaman CCTV yang keutuhan dan keaslian tidak terjamin karena tidak dilakukan pemeriksaan digital forensik, namun tetap diterima di pengadilan dengan alasan tidak adanya bukti lain dan telah memenuhi syarat relevansi dari kasus tersebut [5].
Tanpa pemeriksaan digital forensik nilai pembuktian pada bukti elektronik akan terus dipertanyakan keaslian dan keutuhannya, karena seringkali metadata atau enkripsi data dari bukti elektronik menjadi tidak jelas atau tiba-tiba menghilang, bukti diambil tanpa adanya prosedur forensik yang sah pada saat proses penyidikan, atau besarnya potensi manipulasi serta modifikasi dari pihak yang tidak berwenang. Untuk mengatasi kendala-kendala yang muncul, maka pemeriksaan digital forensik wajib dilakukan sebagai autentikasi awal bukti elektronik yang dihadapkan dalam pemeriksaan persidangan. Autentikasi merupakan syarat formil bukti elektronik untuk dapat diajukan ke suatu persidangan, namun pada prakteknya syarat formil sering diabaikan. Apabila syarat materiil sudah dipenuhi, maka bukti elektronik biasanya akan dikatakan cukup dapat diterima di suatu persidangan [6].
Pada Putusan Nomor 175/Pid.Sus/2024/PN Jmb dan 60/Pid.B/2019/PN Drh terlihat jelas bagaimana implementasi penilaian bukti elektronik yang berbeda. Pada putusan Nomor 175/Pid.Sus/2024/PN Jmb tidak terdapat pemeriksaan oleh digital forensik terhadap bukti elektronik yang berupa rekaman video dan foto serta hasil tangkapan layar (screenshoot). Namun bukti elektronik tersebut diterima tanpa ada pembahasan mengenai syarat formil bukti elektronik. Sedangkan pada putusan Nomor 60/Pid.B/2019/PN Drh, pada bukti elektronik yang berupa handphone dilakukan pemeriksaan oleh digital forensik dan dilampirkan berita acara pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti secara menyeluruh. Hal ini menunjukan adanya ketidaksesuaian penerapan pemeriksaan digital forensik, sehingga merumitkan penilaian keabsahan bukti elektronik itu sendiri.
Di Indonesia menggunakan sistem pembuktian negatif yang ditambah dengan keyakinan hakim [7]. Pada KUHAP Pasal 183 juga dikatakan hakim dalam menjatuhkan atau menentukan terdakwa bersalah atau tidak perlu minimal 2 alat bukti serta ditambah dengan keyakinan hakim. Dengan sistem pembuktian tersebut, hakim dapat menilai secara bebas namun tentu harus terikat dengan ketentuan pembuktian formal yang telah diatur. Kebebasan yang didapatkan oleh hakim tidak bersifat absolut dan harus dapat dipertanggung jawabkan. Dalam konteks bukti elektronik, hakim harus dapat menentukan admisibilitas dan menilai kekuatan bukti elektronik berdasarkan peraturan yang sudah diatur dalam UU ITE.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana keabsahan bukti elektronik dalam pemeriksaan persidangan perkara pidana, serta bagaimana implementasi admisibilitas bukti elektronik dalam praktik peradilan pidana, yang akan dikaji melalui studi kasus Putusan Nomor 175/Pid.Sus/2024/PN Jmb dan Putusan Nomor 60/Pid.B/2019/PN Drh.
Berdasarkan uraian tersebut, maka pengaturan keabsahan bukti elektronik harus dipastikan pengaturannya agar tidak menimbulkan ketidaksesuaian penerapannya. Tanpa adanya standar proses pemeriksaan bukti elektronik yang pasti, dan kurangnya pemahaman terhadap keabsahan bukti elektronik juga akan menimbulkan celah yang dapat melemahkan kekuatan atau nilai bukti elektronik. Maka perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis bagaimana keabsahan bukti elektronik yang seharusnya diterapkan, guna memberikan kontribusi akademik terkait bukti elektronik dalam suatu persidangan perkara pidana. Dalam penelitian ini juga menganalisis implementasi autentikasi bukti elektronik melalui pemeriksaan digital forensik dalam suatu putusan pengadilan, agar dapat terlihat jelas penerapan admisibilitas bukti elektronik pada prakteknya.
Metode
Penelitian hukum normatif merupakan metode penelitian yang dipergunakan yaitu fokus pada studi kepustakaan yang mencari dan menggali informasi dari buku, artikel ilmiah, peraturan, putusan pengadilan serta hal lainnya yang memiliki relevansi dengan hal yang diteliti.
Riset ini menggunakan metodologi yuridis normatif, yakni suatu pendekatan yang menitikberatkan pada kajian terhadap peraturan perundang-undangan, prinsip-prinsip hukum, serta ajaran-ajaran doktrinal yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan hukum yang dikaji [8]. Melalui pendekatan tersebut, peneliti berupaya menelaah, menafsirkan, dan mengonstruksi norma-norma hukum untuk memperoleh pemahaman dan solusi yang bersifat yuridis-teoretis atas isu hukum yang menjadi objek penelitian.
Data yang dimanfaatkan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, yakni informasi yang dihimpun melalui studi kepustakaan dengan menelaah berbagai sumber hukum seperti literatur yuridis, karya ilmiah, regulasi, serta pandangan para sarjana hukum. Data sekunder tersebut terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang keduanya diolah melalui analisis literatur secara mendalam untuk memperoleh interpretasi komprehensif terhadap isu hukum yang menjadi fokus kajian.
3. Bahan Hukum Primer
Peraturan perundang-undangan yang memiliki hubungan erat dengan permasalahan hukum yang menjadi fokus penelitian ini digunakan sebagai dasar pijakan untuk memperkuat analisis dan membangun landasan teoritis dalam penyusunan penelitian. Adapun regulasi yang dijadikan acuan dalam penelitian ini meliputi sebagai berikut:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
c. Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
d. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 20/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dan
e. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap/Polri) Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratorium Kriminalistik Barang Bukti.
4. Bahan Hukum Sekunder
Meliputi jurnal ilmiah, buku, temuan penelitian, serta karya tulis para sarjana hukum yang berhubungan dengan bahan hukum primer. Bahan ini berisi persepsi para ahli hukum yang digunakan untuk memperkuat analisis serta memberikan landasan teoretis terhadap permasalahan hukum yang diteliti.
Hasil dan Pembahasan
Keabsahan pada umumnya memiliki arti yaitu suatu hal yang dianggap telah sah. Dalam konteks hukum, keabsahan yaitu suatu kondisi bahwa suatu bukti dapat diterima secara sah dan memiliki nilai pembuktian yang layak di hadapan pengadilan [9]. Dengan bukti yang telah dianggap sah, hakim dapat meyakini kebenarannya karena bukti tersebut telah memiliki nilai pembuktian (probative value). Namun, sebaliknya bukti yang tidak sah, sama sekali tidak akan memiliki kekuatan pembuktian. Maka dalam suatu pembuktian dengan bukti elektronik, keabsahan menjadi unsur penting yang harus dipenuhi terlebih dahulu dan sering diperdebatkan dalam suatu persidangan.
Dalam hukum pembuktian, barang bukti dengan alat bukti seringkali dianggap hal yang sama, padahal secara konseptual terdapat perbedaan yang jelas didalamnya. Barang bukti merupakan benda yang dapat disita sesuai disebutkan dalam KUHAP Pasal 39 walau tidak disebutkan secara eksplisit. Namun pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014 Pasal 1 angka 5, dijelaskan bahwa barang bukti mencakup segala benda, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, berwujud maupun tidak berwujud, yang disita oleh penyidik guna kepentingan proses pemeriksaan pada tahap penyidikan, penuntutan, hingga persidangan di pengadilan. Barang bukti atau dianggap real evidence merupakan bukti paling bernilai dibandingkan bukti yang lain karena bersifat speaks for it self [10]. Namun dalam KUHAP, barang bukti tidak termasuk alat bukti karena barang bukti merupakan objek materiil yang baru bernilai apabila diidentifikasi oleh saksi atau terdakwa [11]. Sementara itu, menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), alat bukti meliputi lima unsur utama, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan dari terdakwa. Perbedaan terlihat jelas dalam fungsinya yaitu barang bukti berfungsi untuk mendukung kedudukan alat bukti, sedangkan alat bukti sebagai jenis bukti yang digunakan dalam persidangan untuk membuktikan suatu fakta dan menimbulkan keyakinan bagi hakim. Dalam penelitian ini akan lebih mengarah pada alat bukti elektronik yang berupa petunjuk.
Selain barang bukti dengan alat bukti dianggap sama, terdapat juga bukti elektronik dan bukti digital yang secara konseptual merupakan hal yang berbeda. Digital forensik mengklasifikasi barang bukti elektronik agar dapat memudahkan dilakukan analisis terhadap barang bukti elektronik tersebut [2]. Barang bukti elektronik adalah jenis barang bukti yang memiliki bentuk fisik dan dapat diamati secara langsung, sedangkan barang bukti digital bersifat nonfisik karena tersimpan dalam format digital, sehingga memerlukan proses ekstraksi atau pemulihan data dari perangkat elektronik. Dalam ketentuan UU ITE, barang bukti digital sering dikenal dengan informasi ataupun dokumen elektronik.
Table 1. Contoh Perbandingan Bukti Elektronik dengan Bukti Digital
Perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan signifikan dalam sistem pembuktian hukum di Indonesia. Jika sebelumnya sistem peradilan hanya mengenal bukti konvensional seperti keterangan saksi, surat, dan petunjuk, maka kini muncul bentuk baru berupa bukti elektronik yang lahir dari kemajuan digital. Bukti konvensional pada dasarnya bersifat fisik dan berwujud, seperti dokumen tertulis atau barang bukti nyata, sedangkan bukti elektronik bersumber dari media digital seperti rekaman, pesan singkat, atau data dalam perangkat elektronik [12]. Meskipun berbeda bentuk, keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni mengungkap kebenaran materiil di persidangan. Namun, karena karakter digital yang mudah dimanipulasi, bukti elektronik sempat menimbulkan perdebatan terkait keotentikan dan keabsahannya dalam ranah hukum.
Seiring berjalannya waktu, muncul berbagai regulasi yang memperkuat posisi bukti elektronik dalam sistem hukum Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) beserta perubahannya menjadi dasar utama pengakuan atas validitas bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan [12]. Pengaturan tersebut mempertegas bahwa informasi atau dokumen elektronik memiliki kekuatan hukum yang setara dengan alat bukti konvensional. Maka bukti yang dihasilkan melalui media digital tidak lagi dianggap sekadar pelengkap, tetapi telah memperoleh status hukum yang diakui secara formal. Perubahan ini menunjukkan penyesuaian hukum terhadap perkembangan teknologi yang semakin kompleks dalam praktik kehidupan modern.
Pengesahan tersebut semakin diperkuat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, yang menegaskan bahwa informasi dan dokumen elektronik memiliki kedudukan yang sah sebagai alat bukti, asalkan diperoleh secara sah dan relevan dengan perkara. Putusan ini menjadi tonggak penting dalam memperluas penerimaan bukti elektronik di pengadilan, karena Mahkamah menilai bahwa penolakan terhadap bukti digital berarti menghambat proses penegakan hukum yang adaptif terhadap kemajuan zaman. Dengan demikian, sistem pembuktian di Indonesia kini lebih terbuka terhadap inovasi teknologi, meskipun tetap menuntut kehati-hatian dalam menilai keaslian dan integritas data digital. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa hukum nasional telah bertransformasi menuju sistem pembuktian yang lebih modern, tanpa meninggalkan prinsip keadilan dan kepastian hukum.
Dalam suatu pembuktian, untuk menyatakan bukti elektronik dianggap alat bukti yang sah terdapat dua syarat yang harus dipenuhi yaitu syarat formil dan syarat materiil. Persyaratan materiil bukti elektronik memiliki arti bahwa bukti elektronik harus mengacu pada peraturan yang mengatur secara spesifik [2]. Sedangkan Syarat formil merujuk pada ketentuan yang menjamin utuhnya data, keaslian sumbernya, serta aspek keamanan, ketersediaan, dan kemudahan akses informasi [2]. Pasal 6 UU ITE menegaskan bahwa suatu informasi dianggap sah apabila disajikan secara tertulis atau asli, serta bila isi informasi tersebut dapat diakses dan ditampilkan, keutuhannya terjamin, dan dapat dipertanggungjawabkan untuk menjelaskan suatu keadaan. Namun, kedua syarat tersebut terkadang sulit dibedakan secara tegas, sehingga perlu diperlihatkan penjelasan perbedaannya secara jelas agar mudah dipahami. Kedua syarat ini bersifat saling melengkapi, karena suatu bukti elektronik tidak akan sah secara formil apabila diperoleh dengan cara yang tidak sah, dan tidak akan memiliki nilai pembuktian secara materiil apabila tidak utuh, tidak autentik, atau tidak relevan dengan perkara yang diperiksa.
Table 2. Perbandingan Syarat Formil dan Syarat Materiil bukti elektronik [2]
Walaupun penilaian tersebut tidak bersifat mutlak karena pembuktian bebas, namun hakim harus dapat mampu mempertimbangkan bukti elektronik sesuai dengan bobot pembuktiannya. Salah satu aspek utama dari syarat formil adalah validasi bukti elektronik, yaitu proses memastikan bahwa bukti yang diserahkan merupakan hasil autentik dari sumber yang sah. Dalam praktik penyidikan, validasi dilakukan oleh penyidik bersama ahli digital forensik untuk menegaskan bahwa data yang diambil berasal dari pemilik atau perangkat yang relevan dengan perkara. Contohnya, sebelum menetapkan smartphone sebagai barang bukti, penyidik harus memastikan kepemilikan dan relevansinya melalui surat penetapan penyitaan serta berita acara pemeriksaan. Tanpa validasi yang sah, bukti elektronik berpotensi dianggap tidak autentik secara hukum dan tidak memenuhi syarat formil [13].
Dalam tahap digital forensik, proses validasi bukti elektronik dilakukan melalui beberapa tahapan yang sistematis. Berdasarkan standar ISO/IEC 27037, tahapan tersebut mencakup: identifikasi, pengumpulan, akuisisi, dan preservasi. Pada tahap identifikasi, penyidik menentukan perangkat atau media yang berpotensi berisi data relevan [2]. Tahap pengumpulan dilakukan dengan cara yang menjamin keutuhan data, misalnya dengan melakukan imaging forensik menggunakan perangkat write-blocker agar data asli tidak berubah [4]. Hasil imaging kemudian diverifikasi melalui perbandingan nilai hash (MD5/SHA1) untuk memastikan integritas antara data asli dan salinan forensiknya.
Setelah bukti berhasil dikumpulkan, penyidik wajib menerapkan Chain of Custody (CoC), yaitu catatan kronologis mengenai siapa yang menangani bukti dari awal hingga digunakan di pengadilan [14]. CoC merupakan bagian penting dari syarat formil karena menjamin keaslian dan integritas bukti elektronik selama proses penyelidikan hingga persidangan. Setiap perpindahan tangan atau tindakan terhadap barang bukti harus dicatat dalam berita acara forensik. Tanpa CoC yang jelas, bukti elektronik dapat diragukan keasliannya, karena tidak ada jaminan bahwa data tersebut tidak dimanipulasi atau diubah oleh pihak lain. Proses validasi dan pemeliharaan CoC berujung pada tahap penetapan barang bukti oleh penyidik, yang kemudian dituangkan dalam berita acara penyitaan dan penetapan status barang bukti. Hanya bukti yang telah melalui tahapan formil dan forensik dengan benar yang dapat dinyatakan sah untuk diajukan ke pengadilan [15]. Maka, syarat formil bukan sekadar administratif, tetapi juga merupakan jaminan keautentikan dan keandalan bukti elektronik dalam proses pembuktian. Apabila prosedur validasi, digital forensik, atau CoC diabaikan, maka bukti tersebut dapat dianggap tidak memenuhi asas due process of law dan berpotensi dikesampingkan oleh hakim.
Sebagaimana dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, kami akan mengambil dua putusan pengadilan yaitu putusan nomor 175/Pid.Sus/2024/PN Jmb dan 60/Pid.B/2019/PN Drhterkait bukti elektronik yang dilakukan pemeriksaan autentikasi terlebih dahulu oleh digital forensik dan tanpa autentikasi.
a. Pembahasan Putusan Nomor 175/Pid.Sus/2024/PN Jmb
Putusan pengadilan nomor 175/Pid.Sus/2024/PN Jmb, yang pada intinya membahas mengenai bukti elektronik yang dinilai dapat diterima dan nilai memiliki keabsahan tanpa adanya pemeriksaan digital forensik terlebih dahulu.
1)Kronologi umum putusan pengadilan nomor 175/Pid.Sus/2024/PN Jmb
Berawal dari hubungan asmara antara terdakwa, Amy Muhammad Zein Hasibuan bin Makmur, dengan korban pada bulan Maret tahun 2023. Dalam masa hubungan tersebut, keduanya kerap melakukan komunikasi melalui video call. Pada suatu kesempatan, terdakwa meminta korban untuk membuka pakaian dan memperlihatkan bagian tubuh pribadinya. Awalnya korban menolak karena merasa malu, namun setelah dirayu dan dibujuk oleh terdakwa, korban akhirnya menuruti permintaan tersebut. Saat korban memperlihatkan bagian tubuhnya, tanpa sepengetahuan korban, terdakwa merekam percakapan video call itu menggunakan fitur rekam layar (screen recording) pada ponsel miliknya, Realme C3 warna merah.
Rekaman hasil video call tersebut kemudian disimpan oleh terdakwa dan bahkan diambil kembali dalam bentuk tangkapan layar (screenshot) yang kemudian diedit dengan menutup wajah korban menggunakan stiker dan coretan. Awalnya, rekaman dan hasil editan gambar itu disimpan hanya untuk konsumsi pribadi. Namun, setelah hubungan keduanya berakhir pada bulan Juli 2023 dan terdakwa mengetahui bahwa korban telah dekat dengan pria lain, terdakwa marah dan berniat membalas dendam. Dalam kemarahannya, terdakwa membuat akun media sosial Instagram baru dan mengunggah foto-foto korban yang memperlihatkan bagian tubuh pribadinya, dengan tujuan mempermalukan korban di ruang publik.
Tidak berhenti di situ, terdakwa juga menyebarkan foto-foto tersebut melalui aplikasi WhatsApp kepada beberapa teman korban, di antaranya Elda, Elsa, dan Reni, bahkan juga kepada pacar Reni. Terdakwa mengirimkan gambar itu dengan disertai pesan provokatif seperti “mau lihat foto payudara korban nggak”. Untuk menghindari bukti penyimpanan oleh penerima, terdakwa mengaktifkan fitur “satu kali lihat” pada WhatsApp, sehingga foto tersebut tidak dapat diambil tangkapan layar (screenshot) atau disimpan oleh penerima. Korban baru mengetahui bahwa foto-foto pribadinya telah disebarkan dan dipublikasikan pada tanggal 14 Agustus 2023, yang membuatnya merasa malu dan tertekan secara psikologis. Atas perbuatannya, terdakwa dituntut dengan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), mengenai penyebaran konten elektronik bermuatan pelanggaran kesusilaan.
2)Relevansi dengan Penelitian
Dalam konteks penelitian mengenai pembuktian elektronik, putusan ini memiliki relevansi signifikan karena menyoroti penggunaan alat bukti elektronik (yaitu hasil tangkapan layar dan unggahan media sosial) tanpa melalui pemeriksaan digital forensik secara mendalam. Dalam berkas putusan, memang terdapat keterangan bahwa bukti elektronik tersebut menjadi dasar pertimbangan pembuktian, tetapi tidak ditemukan adanya proses verifikasi forensik digital seperti pemeriksaan metadata, hash value, atau autentikasi keaslian data sebagaimana diatur dalam standar pembuktian digital. Dalam putusan hanya menyinggung bahwa bukti elektronik akan memiliki kekuatan pembuktian yang lebih kuat apabila disertai pemeriksaan digital forensik, namun tidak menjadikan ketiadaan pemeriksaan forensik sebagai alasan untuk menolak alat bukti tersebut. Maka hakim tetap menerima bukti elektronik berdasarkan keyakinan dan relevansi dengan peristiwa pidana, tanpa menerapkan prinsip autentikasi digital secara ketat.
3)Pertimbangan Hakim terhadap bukti elektronik perkara
Dalam pertimbangannya, majelis hakim tidak secara eksplisit membahas validitas atau keaslian bukti elektronik melalui mekanisme pemeriksaan digital forensik. Hakim hanya menyatakan bahwa apabila dilakukan pemeriksaan digital forensik, maka kekuatan pembuktian dari alat bukti tersebut akan lebih kuat. Namun, tidak adanya pemeriksaan forensik digital tidak menghalangi hakim untuk menerima alat bukti elektronik sebagai dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan bersalah kepada terdakwa. Pendekatan ini menunjukkan bahwa hakim lebih menekankan pada nilai pembuktian materiil dan keyakinan personal (conviction raisonnée) atas keterkaitan antara alat bukti dengan unsur tindak pidana, dibandingkan aspek teknis forensik.
4)Hasil Putusan dan bukti elektronik perkara
Dalam Putusan Nomor 175/Pid.Sus/2024/PN Jmb, maka Amy Muhammad Zein Hasibuan bin Makmur terbukti melanggar Pasal 27 ayat (1) UU ITE karena dengan sengaja tanpa hak menyebarkan informasi elektronik bermuatan pelanggaran kesusilaan. Atas perbuatannya, terdakwa dijatuhi pidana penjara 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan serta denda Rp1.000.000.000,00 subsider enam bulan kurungan, dengan masa penahanan diperhitungkan dan terdakwa tetap ditahan. Adapun barang bukti dalam perkara ini terdiri atas satu unit handphone Realme C3 warna merah yang digunakan untuk merekam dan menyebarkan konten, tiga lembar tangkapan layar (screenshot) hasil unggahan digital, serta satu buah flashdisk berkapasitas 16 GB yang berisi salinan data digital terkait tindak pidana. Seluruh barang bukti tersebut diperintahkan untuk dimusnahkan karena berhubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Terdakwa juga dibebankan untuk membayar biaya perkara sebesar Rp5.000,00.
b. Pembahasan Putusan Nomor 60/Pid.B/2019/PN Drh
1)Kronologi umum putusan pengadilan nomor 60/Pid.B/2019/PN Drh
Pada tanggal 15 Februari 2019, sekitar pukul 20.00 WIT, di Desa Kamal, Kabupaten Seram Bagian Barat, ketika beberapa anggota kepolisian, yakni saksi Viktor F. Pattiasina, E. Aninjola, Julius Luturkey, dan Viktor Wemay, melakukan kegiatan penyelidikan terhadap dugaan praktik perjudian di wilayah tersebut. Dalam proses penyelidikan itu, para saksi menemukan seorang laki-laki bernama Robby Yacob Latumahina alias Robby sedang menawarkan permainan togel (toto gelap) kepada seorang perempuan bernama Mbak Sam. Berdasarkan temuan tersebut, para saksi segera melakukan penangkapan terhadap Robby dan melakukan pemeriksaan di tempat. Dari hasil pemeriksaan awal, Robby mengakui bahwa kegiatan perjudian yang dilakukannya berkaitan dengan La Edi alias Edi, yang bertindak sebagai pelaku utama dalam kegiatan perjudian daring tersebut.
Menindaklanjuti keterangan tersebut, aparat kepolisian kemudian mendatangi rumah La Edi dan melakukan penangkapan serta penggeledahan. Dari hasil penggeledahan ditemukan berbagai barang bukti yang berkaitan dengan aktivitas perjudian online, di antaranya dua unit telepon genggam (merk Samsung dan OPPO), satu kartu ATM BRI, serta lembaran rekapan angka togel, buku tafsir mimpi (shio), dan alat bantu permainan bola jatuh. Berdasarkan hasil pemeriksaan lebih lanjut, diketahui bahwa terdakwa melakukan kegiatan perjudian secara daring melalui situswww.indotogelpolst.wap danwww.pangerantoto.wap, menggunakan akun dengan nama pengguna Selfi88 dan Dani51. Dalam menjalankan aktivitasnya, terdakwa melakukan transfer dana ke rekening atas nama Ucum Kalsum dan Eva Silvia sebagai bentuk deposit ke akun perjudian, kemudian menerima titipan uang dan nomor tebakan dari masyarakat melalui perantara bernama Yohan Sanyakit alias Jhon.
Dalam mekanisme permainan tersebut, terdakwa memperoleh keuntungan sebesar 10% dari setiap pemasangan, dan menetapkan waktu pemasangan untuk togel Singapura hingga pukul 18.30 WIT serta togel Hongkong hingga pukul 24.00 WIT. Aktivitas perjudian tersebut dilakukan secara rutin tanpa izin dari pihak berwenang, sehingga dianggap melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Berdasarkan hasil penyidikan, bukti elektronik berupa riwayat akses situs perjudian online, pesan singkat, dan catatan transaksi keuangan dari perangkat terdakwa menunjukkan keterlibatan aktif dalam aktivitas perjudian daring. Barang bukti tersebut kemudian diajukan oleh Penuntut Umum sebagai dasar pembuktian dalam persidangan untuk membuktikan dakwaan melanggar Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Terdapat pemeriksaan digital forensik yaitu pemeriksaan dilakukan oleh Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) POLRI Cabang Makassar, dengan data:
a)Nomor Lab: 1287/FKF/III/2019 tanggal 25 Maret 2019.
b)Pemeriksaan dilakukan terhadap:
- 2 unit handphone (Samsung SM-G610F dan OPPO CPH1801).
- 3 kartu SIM (Telkomsel dan Indosat).
c)Hasilnya menunjukkan adanya riwayat akses internet (history browsing) ke situs perjudian online dan aktivitas komunikasi (SMS & panggilan) yang relevan dengan perkara.
Putusan ini ini membuktikan adanya penggunaan metode digital forensik untuk memperoleh electronic evidence yang sah dan otentik, sesuai prinsip dalam UU ITE Pasal 5 & 6 serta Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Barang Bukti dan Digital Evidence.
Hakim menilai bahwa hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik POLRI merupakan alat bukti elektronik yang sah karena dilakukan oleh lembaga yang berwenang (Puslabfor POLRI) dengan metode pemeriksaan ilmiah. Bukti elektronik berupa hasil browsing situs judi, riwayat SMS, dan call log dari handphone terdakwa berkaitan langsung dengan perbuatan pidana, sehingga memiliki nilai pembuktian yang kuat. Hakim juga mempertimbangkan adanya barang bukti fisik (handphone, ATM, buku shio, rekapan togel) yang memperkuat hubungan antara terdakwa dan aktivitas perjudian. Maka, bukti elektronik dianggap autentik, sah, dan relevan dalam membuktikan tindak pidana Pasal 27 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (2) UU ITE.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan alat bukti di persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Dataran Hunipopu menetapkan bahwa La Edi alias Edi secara sah terbukti melakukan tindak pidana “Perjudian Daring” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (2) UU ITE. Atas pelanggaran tersebut, terdakwa dijatuhi pidana penjara sembilan bulan dan denda Rp50.000.000,00 subsider satu bulan kurungan, dengan ketentuan masa penahanan yang telah dijalani diperhitungkan serta terdakwa tetap berada dalam tahanan. Dalam amar putusannya, pengadilan juga menetapkan status terhadap barang bukti yang diajukan dalam perkara ini. Barang bukti yang dianggap berkaitan langsung dengan tindak pidana dirampas untuk dimusnahkan, yakni:
a) Satu lembar rekapan nomor togel berukuran 32,9 cm × 21,3 cm;
b) Satu lembar bola jatuh berwarna putih berisi angka-angka;
c) Satu lembar buku tafsir mimpi “Sio dan Arti Mimpi 2017” berwarna hijau; dan
d) Satu lembar tabel shio berwarna putih berukuran kertas F4.
Sementara itu, barang bukti lain yang digunakan sebagai sarana dalam melakukan tindak pidana berupa satu unit telepon genggam merk Samsung J7 berwarna putih dengan nomor IMEI 1: 354462087259754 dan IMEI 2: 354463087259752, dirampas untuk negara. Adapun satu unit telepon genggam merk OPPO berwarna hitam dengan IMEI 1: 869602030053659 dan IMEI 2: 869602030053642, berikut kondom pelindung berwarna cokelat bergambar boneka, dikembalikan kepada terdakwa karena tidak terbukti digunakan secara langsung dalam aktivitas perjudian. Selain itu, satu kartu ATM BRI warna hijau dengan nomor seri 5221 8411 6766 4284 serta buku tabungan atas nama La Edi turut disertakan sebagai barang bukti dan dikembalikan kepada yang berhak. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menilai bahwa alat bukti elektronik berupa telepon genggam dan data komunikasi digital yang ditemukan dalam perangkat terdakwa telah cukup menunjukkan keterlibatan aktif dalam aktivitas perjudian daring. Bukti tersebut dinilai memiliki nilai pembuktian yang sah (admissible) karena diperoleh secara prosedural melalui penyitaan yang sah dan dihadirkan di persidangan sebagai bagian dari alat bukti elektronik yang relevan. Dengan demikian, bukti elektronik tersebut menjadi dasar penting dalam penentuan keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa dan berkontribusi langsung terhadap putusan pemidanaan yang dijatuhkan.
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa keabsahan bukti elektronik dalam perkara pidana ditentukan oleh terpenuhinya dua unsur utama, yaitu syarat formil dan syarat materiil. Syarat formil berkaitan dengan cara perolehan dan validasi bukti elektronik, yang mencakup keabsahan proses penyitaan, penerapan digital forensik, serta pemeliharaan chain of custody (CoC) yang menjamin autentikasi dan integritas data. Sedangkan syarat materiil menitikberatkan pada relevansi dan nilai pembuktian dari bukti tersebut terhadap tindak pidana yang diperiksa. Dalam praktiknya, penilaian hakim terhadap bukti elektronik masih bersifat bebas (free proof system), di mana hakim memiliki kewenangan menilai bobot pembuktian berdasarkan tingkat keandalan (reliability) dan keaslian (authenticity) dari alat bukti yang diajukan. Namun, kebebasan penilaian ini sering menimbulkan perbedaan tafsir antar putusan, karena belum adanya pedoman baku mengenai standar pemeriksaan forensik digital dan prosedur validasi bukti elektronik di tahap peradilan.
Penulis menyarankan agar pemerintah bersama lembaga penegak hukum, untuk menyusun pedoman teknis atau peraturan pelaksana yang secara rinci mengatur standar pemeriksaan, validasi, dan penilaian bukti elektronik. Pedoman tersebut penting untuk memberikan keseragaman prosedur di seluruh tingkat peradilan dan memastikan bahwa setiap bukti elektronik dinilai dengan tolok ukur yang jelas, baik secara teknis maupun yuridis. Selain itu, diperlukan pula peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dan ahli forensik digital, agar mampu menerapkan prinsip due process of law dan menjaga keseimbangan antara kepastian hukum serta keadilan substantif. Agar ke depannya diharapkan tidak ada lagi perbedaan mendasar dalam penilaian hakim terhadap bukti elektronik, sehingga keabsahan dan kekuatan pembuktiannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan hukum.
Ucapan Terima Kasih
Ungkapan rasa syukur yang mendalam penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala anugerah, petunjuk, dan penyertaan-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan karya ilmiah berjudul “Analisis Keabsahan Bukti Elektronik dalam Pemeriksaan Persidangan Perkara Pidana dan Implementasi Admisibilitasnya (Studi Putusan)” dengan hasil yang memadai. Penulis juga menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang tulus kepada seluruh pihak serta sumber rujukan yang telah memberikan sumbangsih pemikiran, informasi, dan wawasan berharga sepanjang proses penulisan ini. Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna, sehingga saran dan kritik konstruktif dari berbagai pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan karya ilmiah di masa mendatang.
Nouvan, “Jumlah Serangan Siber di Indonesia Naik, Tembus 610 Juta pada 2024,” Dataloka, 2025. [Online]. Available: https://dataloka.id/politik/4259/jumlah-serangan-siber-di-indonesia-naik-tembus-610-juta-pada-2024
H. Siregar and S. Guraba, Admisibilitas Bukti Elektronik dalam Persidangan, 1st ed. Depok, Indonesia: Rajawali Pers, 2023.
Riston, Basoddin, and L. O. Muhram, “Fungsi Digital Forensik dalam Pembuktian Tindak Pidana Siber (Studi Kasus di Polda Sultra),” Jurnal Unsultra, vol. 07, no. 1, pp. 3744–3756, 2025. [Online]. Available: https://jurnal-unsultra.ac.id/index.php/sulrev
S. Prahara, Pembuktian Elektronik dan Digital Forensik di Indonesia. Padang, Indonesia: LPPM Universitas Bung Hatta, 2022.
A. Setiawan, “Soal CCTV Kasus Jessica Wongso, Ahli Digital Forensik Ungkap Fakta Mencengangkan,” Viva, 2025. [Online]. Available: https://www.viva.co.id/berita/nasional/1649116-soal-cctv-kasus-jessica-wongso-ahli-digital-forensik-ungkap-fakta-mencengangkan
V. V. M. Pattipeilohy, “Tinjauan Hukum Terhadap Penyitaan Barang Bukti Elektronik dalam Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi,” Lex Administratum, vol. 11, no. 2, 2023.
R. Rohman et al., “Sistem Pembuktian dalam Hukum Pidana Indonesia dan Tantangan dalam Proses Peradilan,” JIMMI: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Multidisiplin, vol. 1, no. 3, pp. 279–292, 2024.
W. S. Widiarty, Buku Ajar Metode Penelitian Hukum. Jakarta, Indonesia: Publika Global Media, 2024.
H. Muhammadi, F. Wahyudi, and V. Charmila, “Keabsahan Putusan Pengadilan Agama Tentang Perceraian Yang Didasarkan Atas Kesaksian Saksi Yang Disewa,” Wasatiyah: Jurnal Hukum, vol. 5, no. 1, pp. 27–42, 2024.
A. Hamzah, Hukum Acara Pidana, 2nd ed. Jakarta Timur, Indonesia: Sinar Grafika, 2022.
M. I. F. Rahim, S. A. P. Rahim, M. A. H. A. Rahim, A. R. Rahim, and A. Rahim, “Penyitaan Barang Bukti Tindak Pidana pada Tingkat Pemeriksaan Persidangan,” Pleno Jure, vol. 9, no. 1, pp. 47–57, 2020.
E. Army, Bukti Elektronik dalam Praktik Peradilan. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2020.
M. F. Wijaya, H. S. M. Muaja, and P. Prayogo, “Kedudukan dan Status Dokumen Elektronik Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,” Lex Privatum, vol. 12, no. 3, 2023.
T. F. Efendi, R. Rahmadi, Y. Prayudi, et al., “Rancang Bangun Sistem Untuk Manajemen Barang Bukti Fisik dan Chain of Custody (CoC) pada Penyimpananan Laboratorium Forensika Digital,” Jurnal Teknologi dan Manajemen Informatika, vol. 6, no. 2, pp. 53–63, 2020.
A. Saepullah, “Peranan Alat Bukti dalam Hukum Acara Peradilan,” Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam, vol. 3, no. 1, pp. 141–157, 2018.