Login
Section Private Law

The Role of Notarial Deeds in Avoiding Default on Debt Agreements

Peran Akta Notaris dalam Menghindari Wanprestasi pada Perjaanjian Utang Piutang
Vol. 20 No. 4 (2025): November:

Ardiansyah Saputra (1), Gunawan Djajaputra (2)

(1) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

General Background: Debt–credit agreements constitute a common legal instrument in civil and commercial transactions, yet remain vulnerable to default, which often triggers disputes and economic losses. Specific Background: Notarial deeds are legally recognized as authentic instruments that provide preventive and evidentiary strength in structuring such agreements. Knowledge Gap: However, limited scholarly attention has been given to examining how notarial intervention substantively reduces the risk of wanprestasi and strengthens creditor protection. Aims: This study aims to analyze the preventive role of notaries in drafting balanced loan agreements and to evaluate how authentic deeds reinforce creditors’ legal standing in cases of default. Results: Findings show that notaries not only ensure the legal validity and proportionality of contractual clauses but also provide legal certainty through authentic deeds that permit direct execution without complex litigation. Novelty: This research highlights the dual preventive–executory function of notarial deeds, demonstrating their critical contribution to both dispute avoidance and expedited enforcement. Implications: Strengthening notarial practice and public awareness of authentic deeds can significantly enhance legal protection in loan agreements, reduce default risks, and promote a more secure civil transaction environment.


Highlights:




  • Notarial deeds function preventively by ensuring balanced and lawful clauses in debt–credit agreements.




  • Authentic notarial deeds give creditors strong evidentiary power and enable direct execution in cases of default.




  • Strengthening notarial practice and public awareness reduces dispute risk and enhances legal certainty in civil transactions.




Keywords: Debt–Credit Agreement, Notarial Deed, Default (Wanprestasi), Creditor Protection, Authentic Instrument

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Perjanjian utang piutang merupakan salah satu bentuk perikatan yang paling sering dijumpai dalam dinamika kehidupan masyarakat modern, baik dalam konteks hubungan keperdataan individu maupun dalam aktivitas bisnis dan transaksi komersial. Secara yuridis, perjanjian utang piutang lahir dari kesepakatan antara kreditur, sebagai pihak yang memberikan sejumlah dana atau fasilitas pinjaman, dengan debitur, sebagai pihak yang menerima pinjaman dan berkewajiban mengembalikannya dalam jangka waktu yang telah ditentukan sesuai perjanjian. Kesepakatan tersebut menciptakan hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban timbal balik, di mana kreditur berhak menuntut pengembalian utang, sedangkan debitur berkewajiban melunasi pinjaman beserta bunga atau kompensasi lainnya apabila diperjanjikan.

Namun dalam praktiknya, pelaksanaan perjanjian utang piutang tidak selalu berjalan sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati para pihak. Sering kali timbul kondisi di mana debitur tidak mampu, lalai, atau dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban hukumnya, baik secara sebagian maupun keseluruhan. Keadaan ini dikenal dengan istilah wanprestasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu ketika debitur tidak memenuhi prestasi yang menjadi kewajibannya, melaksanakan dengan tidak semestinya, atau melakukan sesuatu yang dilarang oleh perjanjian. [1].

Dalam rangka meminimalkan potensi terjadinya wanprestasi serta menjamin adanya kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat dalam suatu hubungan perdata, khususnya dalam perjanjian utang piutang, maka sangat dianjurkan agar perjanjian tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk akta notaris. Penggunaan akta notaris bukan sekadar bersifat administratif, tetapi memiliki fungsi yuridis yang mendalam, karena akta tersebut merupakan akta otentik [1].

Akta notaris tidak hanya berfungsi sebagai alat bukti, tetapi juga memiliki peran preventif dalam menghindari wanprestasi. Notaris berkewajiban memberikan penjelasan kepada para pihak mengenai isi perjanjian, memastikan bahwa perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan hukum, dan menolak pembuatan akta jika perjanjian dianggap tidak seimbang atau merugikan salah satu pihak. Dengan demikian, akta notaris membantu menciptakan perjanjian yang adil dan seimbang, serta mengurangi kemungkinan terjadinya wanprestasi [2].

Dalam hal terjadi wanprestasi, akta notaris memberikan kemudahan bagi kreditur dalam proses penagihan. Karena merupakan akta otentik, akta notaris dapat langsung digunakan sebagai dasar untuk mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan tanpa perlu melalui proses pembuktian yang panjang. Hal ini mempercepat proses penagihan dan memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi kreditur [3].

Perlu dibedakan antara legalisasi dan akta notaris dalam konteks perjanjian utang piutang. Legalisasi adalah pengesahan tanda tangan pada dokumen yang dibuat di bawah tangan, sedangkan akta notaris adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris. Akta notaris memiliki kekuatan pembuktian yang lebih kuat dibandingkan dengan dokumen yang hanya dilegalisasi, karena notaris bertanggung jawab atas kebenaran isi akta dan identitas para pihak [4].

Notaris memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa akta yang dibuatnya memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan untuk membuat perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Jika notaris lalai dalam menjalankan tugasnya, misalnya dengan membuat akta berdasarkan perjanjian yang tidak sah atau tidak seimbang, maka notaris dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum [5].

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa akta notaris memiliki peran yang sangat penting dalam menghindari wanprestasi pada perjanjian utang piutang. Namun, masih terdapat permasalahan dalam praktik, seperti kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya akta notaris dan adanya akta yang dibuat tanpa memperhatikan asas keseimbangan. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan untuk menganalisis lebih lanjut peranan akta notaris dalam mencegah wanprestasi, serta memberikan rekomendasi untuk meningkatkan peran notaris dalam praktik perjanjian utang piutang [5].Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, masalah yang akan dirumuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep perlindungan hukum bagi pekerja sektor informal menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia?dan bagaimana pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 1049 K/Pdt.Sus-PHI/2023 mencerminkan perlindungan terhadap pekerja sektor informal? Bagaimana peranan notaris dalam merancang akta perjanjian utang piutang agar dapat mencegah terjadinya wanprestasi? dan Bagaimana kontribusi akta otentik dalam memperkuat posisi hukum kreditur jika terjadi wanprestasi oleh debitur?

Metode

Jenis penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu suatu pendekatan penelitian yang berfokus pada analisis terhadap norma-norma hukum positif yang berlaku melalui kajian kepustakaan. Penelitian hukum normatif tidak bersifat empiris karena tidak berorientasi pada perilaku masyarakat dalam praktik hukum, melainkan menitikberatkan pada studi terhadap bahan hukum sekunder seperti peraturan perundang-undangan, doktrin para ahli, putusan pengadilan, serta literatur hukum yang relevan dengan isu yang sedang diteliti. Menurut pandangan Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif pada dasarnya merupakan sebuah proses ilmiah untuk menemukan, mengidentifikasi, serta menganalisis aturan-aturan hukum, asas-asas hukum, dan doktrin hukum yang berkaitan dengan permasalahan hukum tertentu. Pendekatan ini bertujuan untuk memperoleh kejelasan norma dan dasar hukum yang dapat digunakan dalam menjawab persoalan atau konflik hukum yang muncul di masyarakat. [6]. Penelitian ini mengutamakan analisis terhadap bahan-bahan kepustakaan sebagai sumber data utama dan tidak melibatkan penelitian lapangan secara langsung. Dengan demikian, penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian hukum perpustakaan yang mengandalkan data sekunder. Secara lebih spesifik, fokus penelitian hukum normatif dalam studi ini mencakup kajian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum, sejarah hukum, serta perbandingan hukum antar sistem hukum yang relevan.

Hasil dan Pembahasan

A. Peranan Notaris dalam Merancang Akta Perjanjian Utang Piutang Agar dapat Mencegah Terjadinya Wanprestasi

Perjanjian utang piutang merupakan salah satu bentuk kontrak yang paling umum dalam dunia bisnis dan perekonomian. Agar perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum yang kuat dan melindungi para pihak dari risiko wanprestasi, maka akta perjanjian utang-piutang perlu dibuat secara cermat dan formal. Dalam hal ini, notaris memegang peranan penting sebagai pejabat yang berwenang membuat akta otentik. Akta otentik yang dibuat oleh notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna di hadapan hukum, sehingga apabila terjadi sengketa atau wanprestasi, akta tersebut dapat dijadikan dasar hukum yang kuat untuk menuntut pelaksanaan kewajiban atau bahkan melakukan eksekusi secara langsung [7].

Peran notaris tidak hanya sebatas membuat akta, tetapi juga mencakup fungsi preventif dengan menyusun klausul-klausul perjanjian yang lengkap dan jelas [8]. Klausul-klausul tersebut biasanya memuat detail-detail penting seperti jumlah utang, jangka waktu pembayaran, bunga jika ada, cara pembayaran, serta sanksi atau denda jika terjadi keterlambatan pembayaran. Dengan adanya klausul-klausul tersebut, risiko perselisihan akibat ketidakjelasan hak dan kewajiban dapat diminimalisir. Notaris juga bertanggung jawab untuk memastikan bahwa isi akta telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga perjanjian tersebut tidak menimbulkan keraguan hukum [9].

Selain aspek teknis pembuatan akta, notaris juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan penjelasan dan peringatan hukum kepada para pihak yang membuat perjanjian utang piutang. Penjelasan ini bertujuan agar kedua belah pihak memahami konsekuensi hukum dari perjanjian tersebut secara menyeluruh. Kesadaran dan pemahaman ini sangat penting untuk menghindari terjadinya kelalaian yang dapat menimbulkan wanprestasi di kemudian hari. Melalui fungsi edukatif ini, notaris membantu meningkatkan kehati-hatian para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian [10].

Ketika terjadi wanprestasi, akta otentik yang dibuat oleh notaris memiliki keunggulan untuk dapat langsung dijadikan dasar hukum penagihan atau eksekusi tanpa harus melalui proses pembuktian yang rumit di pengadilan. Hal ini tentunya memberikan perlindungan hukum yang optimal bagi kreditur dan mendorong para pihak untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan isi perjanjian. Dengan demikian, keberadaan akta notaris dapat mempercepat penyelesaian sengketa dan mengurangi risiko kerugian bagi pihak yang dirugikan [10].

Secara keseluruhan, pembuatan akta perjanjian utang piutang oleh notaris memberikan manfaat besar dalam mencegah terjadinya wanprestasi. Akta yang dibuat dengan prosedur formal, lengkap dengan klausul-klausul yang jelas, serta didukung dengan penjelasan hukum yang memadai akan meningkatkan kepastian hukum dan mengurangi potensi perselisihan. Dengan demikian, peranan notaris bukan hanya sebagai pembuat akta, melainkan juga sebagai mediator hukum yang memberikan perlindungan sekaligus mencegah konflik dalam hubungan utang piutang [10].\

B. Kontribusi Akta Otentik dalam Memperkuat Posisi Hukum Kreditur Jika Terjadi Wanprestasi oleh Debitur

Dalam ranah hukum perdata, khususnya dalam hubungan utang-piutang, akta otentik memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai alat perlindungan hukum bagi kreditur. Akta otentik merupakan dokumen resmi yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, seperti notaris, dengan kekuatan pembuktian sempurna yang diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Kekuatan pembuktian sempurna ini memberikan suatu presumption of truth terhadap isi akta tersebut, sehingga dalam proses pembuktian di pengadilan, akta otentik dianggap sebagai bukti yang sahih dan tidak dapat dibantah tanpa adanya bukti pembatalan yang sah. Dengan demikian, akta otentik memberikan posisi hukum yang jauh lebih kuat bagi kreditur dalam menuntut pemenuhan kewajiban dari debitur, khususnya jika debitur melakukan wanprestasi [11].

Keunggulan utama akta otentik terletak pada kemampuannya untuk mempercepat proses hukum yang harus ditempuh oleh kreditur. Dalam sistem hukum Indonesia, kreditur yang memiliki akta otentik dapat mengajukan permohonan eksekusi langsung kepada pengadilan berdasarkan isi akta tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 1869 KUHPer dan Peraturan Mahkamah Agung. Hal ini berarti kreditur tidak perlu menunggu proses pemeriksaan dan putusan pengadilan terlebih dahulu untuk menegakkan haknya. Dalam konteks wanprestasi, hal ini merupakan sebuah kemudahan yang signifikan karena mempercepat realisasi hak kreditur dan mencegah kerugian yang lebih besar akibat keterlambatan penyelesaian sengket [12].

Selain fungsi sebagai alat pembuktian dan instrumen eksekusi, akta otentik juga berperan preventif dalam mencegah terjadinya wanprestasi. Adanya akta otentik yang dibuat secara formal dan diawasi oleh pejabat berwenang menimbulkan kesadaran hukum yang lebih besar bagi para pihak, khususnya debitur, akan konsekuensi hukum yang dapat terjadi jika kewajiban tidak dipenuhi. Dengan kata lain, akta otentik tidak hanya sekedar alat setelah terjadinya wanprestasi, tetapi juga berfungsi sebagai alat edukasi dan pencegah yang efektif agar debitur lebih taat pada perjanjian [13].

Namun demikian, kekuatan akta otentik tidak boleh dianggap mutlak tanpa memperhatikan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi efektivitasnya. Proses penegakan hukum yang lambat, ketidakpastian dalam pelaksanaan eksekusi, atau bahkan adanya upaya penghalangan dari debitur, bisa menjadi kendala dalam memberikan perlindungan optimal bagi kreditur. Oleh karena itu, meskipun akta otentik memberikan landasan hukum yang kuat, keberhasilan penegakan hak kreditur sangat bergantung pada sistem peradilan yang efektif dan mekanisme pelaksanaan eksekusi yang responsif [14].

Selain itu, dalam perspektif hukum kontrak, pembuatan akta otentik harus diiringi dengan perancangan perjanjian yang jelas dan lengkap. Hal ini penting agar akta otentik benar-benar mencerminkan kehendak para pihak secara komprehensif dan tidak menimbulkan keraguan di kemudian hari. Kesalahan atau kekurangan dalam isi akta dapat membuka celah bagi debitur untuk mengajukan pembelaan atau menunda pelaksanaan kewajiban, yang pada akhirnya melemahkan posisi hukum kreditur. Oleh sebab itu, peran notaris sebagai pejabat yang membuat akta otentik juga sangat penting dalam memastikan akta tersebut memenuhi persyaratan formal dan substantif sesuai ketentuan hukum yang berlaku Peran Notaris dalam Pembuatan Kontrak Jual Beli yang Berlegalitas ditinjau dari Perspekitf Hukum Positif [15].

Secara keseluruhan, akta otentik memiliki kontribusi yang sangat berarti dalam memperkuat posisi hukum kreditur jika terjadi wanprestasi oleh debitur. Dengan kekuatan pembuktian sempurna dan hak eksekusi langsung, akta otentik mempercepat proses penegakan hak dan memberikan kepastian hukum. Namun, efektivitasnya juga bergantung pada sistem peradilan yang baik dan kualitas isi akta itu sendiri. Oleh karena itu, akta otentik harus dipandang sebagai salah satu elemen penting dalam rangkaian perlindungan hukum kreditur, yang harus didukung oleh aspek hukum lain agar perlindungan tersebut dapat berjalan optimal [16].

Simpulan

Peran notaris dalam proses pembuatan akta perjanjian utang piutang memiliki kedudukan yang sangat strategis dan esensial dalam rangka mencegah timbulnya potensi wanprestasi di kemudian hari. Notaris tidak hanya sekadar berfungsi sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik yang sah menurut hukum, tetapi juga berperan sebagai penjaga ketertiban hukum perdata dengan memastikan bahwa isi dan bentuk perjanjian telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keberadaan notaris dalam pembuatan akta tidak hanya memberikan jaminan formalitas hukum, tetapi juga memberikan perlindungan substantif bagi para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Lebih jauh, notaris memiliki tanggung jawab profesional untuk merumuskan setiap klausul dalam perjanjian secara rinci, jelas, dan tidak menimbulkan multitafsir, sehingga hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur tertuang dengan transparan. Melalui peran edukatifnya, notaris wajib memberikan penjelasan hukum yang komprehensif kepada para pihak agar mereka benar-benar memahami konsekuensi yuridis dari perjanjian yang ditandatangani. Tindakan ini penting agar tidak ada pihak yang dirugikan akibat ketidaktahuan atau kesalahpahaman terhadap isi perjanjian, sehingga asas kesepakatan dan itikad baik dapat terwujud dalam setiap hubungan hukum perdata.Selain itu, akta otentik memberikan kedudukan hukum yang kuat bagi kreditur karena dapat langsung dijadikan dasar eksekusi tanpa harus melalui proses pembuktian di pengadilan. Hal ini mempercepat penegakan hak-hak kreditur dan mengurangi potensi kerugian akibat wanprestasi. Namun demikian, efektivitas suatu akta otentik juga bergantung pada kejelasan isi akta dan sistem peradilan yang efektif sehingga perlindungan hukum bagi kreditur dapat maksimal.

Disarankan agar para pihak dalam perjanjian utang piutang melibatkan notaris yang memiliki kompetensi agar akta otentik yang dibuat memenuhi persyaratan formal dan materiil sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu, perlu adanya peningkatan kualitas dan efisiensi sistem peradilan, khususnya dalam pelaksanaan eksekusi putusan wanprestasi, agar perlindungan hukum bagi kreditur dapat lebih optimal dan memberikan kepastian hukum dalam transaksi bisnis. Hal ini penting untuk mendukung iklim hukum yang kondusif dan menjaga kepercayaan para pelaku usaha.

References

R. Aristyo and A. B. Cahyono, “Tanggungjawab Notaris terhadap Akta PPJB dan Akta Kuasa untuk Menjual sebagai Jaminan Terjadinya Utang Piutang,” Kertha Semaya Journal of Legal Studies, vol. 9, no. 12, p. 2416, 2021.

I. D. Chandra and A. Lukman, “Kekuatan Mengikat Perjanjian Utang Piutang dengan Jaminan Hak atas Tanah Berdasarkan Akta Pengakuan Hutang Notariil,” Acta Diurnal Journal of Notarial Law Studies, vol. 6, no. 1, p. 65, 2022.

M. A. Lubis and M. Y. Harahap, “Perlindungan Hukum terhadap Kreditur sebagai Pemegang Hak Jaminan dalam Perkara Debitur Wanprestasi,” Journal of Legal Interpretation, vol. 4, no. 2, pp. 2746–5047, 2023.

Mirwansyah and S. Kholik, “Kekuatan Hukum Legalisasi Notaris terhadap Perjanjian Hutang Piutang Jika Terjadi Wanprestasi,” Audi AP Journal of Legal Research, vol. 2, no. 1, p. 10, 2023.

T. N. Pradistya, “Tanggung Jawab Notaris secara Hukum Perdata dan Hukum Administrasi yang Lalai karena Membuat Akta Perjanjian yang Tidak Memenuhi Syarat Sahnya Perjanjian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Selong Nomor 87/PDT.G/2019/PN.SEL),” Indonesian Notary, vol. 4, no. 2, p. 32, 2022.

P. M. Marzuki, Penelitian Hukum. Jakarta, Indonesia: Kencana Prenada Group, 2007.

Subekti, Hukum Perjanjian, 10th ed. Jakarta, Indonesia: Intermasa, 2014.

M. Azmi, R. Jakfar, L. D. Nugroho, U. T. Madura, and P. T. Inda, “Strategi Perancangan Kontrak yang Baik sebagai Instrumen Pencegahan Sengketa,” Journal of Academic Media, vol. 3, no. 6, pp. 1–18, 2025.

J. Asshiddiqie, Notaris dan Peranannya dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta, Indonesia: Rajawali Pers, 2016.

M. S. Lumbantoruan, “Peranan Notaris dalam Pencegahan Wanprestasi Perjanjian,” Journal of Law and Development, vol. 45, no. 2, pp. 210–212, 2015.

M. Fuady, Hukum Notariat di Indonesia. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2017.

S. V. Rangian, “Pelaksanaan Eksekusi Grosse Akta Pengakuan Hutang dalam Penyelesaian Sengketa Kredit Macet Perbankan,” Scientific Journal of Surabaya University Students, vol. 4, no. 1, pp. 1–18, 2015.

A. Yulianto, “Peranan Akta Otentik dalam Mencegah Wanprestasi,” Journal of Business Law, vol. 14, no. 1, p. 75, 2019.

E. Tinambunan, “Tinjauan Yuridis terhadap Kedudukan Hukum Cessie dalam Proses Pengalihan Piutang sebagai Kreditor,” Ikraith-Humaniora, vol. 9, no. 3, pp. 590–605, 2025.

N. Oktavia, “Peran Notaris dalam Pembuatan Kontrak Jual Beli yang Berlegalitas Ditinjau dari Perspektif Hukum Positif,” Journal of Multidisciplinary Academic Studies, vol. 2, no. 1, pp. 471–479, 2024.

E. Y. N. Simanjuntak, H. Purba, and M. Siregar, “Perlindungan Hukum terhadap Kreditur Akibat Wanprestasi dalam Perjanjian Hutang Piutang yang Diikuti dengan Akta PPJB dan Kuasa Menjual: Studi Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 124/PDT.G/2019/PN.KPN,” Lex Generalis Law Journal, vol. 6, no. 9, 2025.